Hukum Menyembelih Di Bangunan Kuburan Dan Berdoa
Kepada Penghuninya
Jumat, 02 April 04
Tanya :
Apakah hukum bertaqarrub (beribadah) dengan cara menyembelih sembelihan di sisi
bangunan kuburan para wali yang shalih dan ucapan yang berbunyi, “Berkat hak
wali-Mu yang shalih, si fulan, maka sembuhkanlah kami atau jauhkanlah kami dari
kesulitan anu”?
Jawab :
Telah diketahui bersama berdasarkan dali-dalil dari Kitabullah dan as-Sunnah
bahwa bertaqarrub dengan cara menyembelih untuk selain Allah, baik untuk para
wali, jin, berhala-berhala atau para makhluk lain-nya adalah perbuatan syirik
kepada Allah dan termasuk perbuatan orang-orang Jahiliyyah dan musyrikin.
Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163).
Yang dimaksud dengan ‘an-Nusuk’ (pada kalimat: Wa nusuki- penj.) di dalam ayat
tersebut adalah ‘adz-Dzabhu’ (penyembelihan). Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah perbuatan syirik
kepada-Nya sama halnya dengan shalat untuk selain Allah.
Dalam ayat lain, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu; dan berkorban-lah.” (Al-Kautsar: 1-2).
Dalam surat ini, Allah Ta’ala memerintahkan kepada nabi-Nya agar melakukan
shalat untuk Rabb-nya dan menyembelih untuk-Nya. Ini berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh Ahli Syirik, yaitu bersujud kepada selain Allah dan menyembelih
untuk selain-Nya.
Demikian pula dalam firman-firman-Nya yang lain,
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyem-bah selain Dia.”
(Al-Isra’: 23).
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5).
Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Jadi, menyem-belih merupakan
bentuk ibadah, karenanya wajib dilakukan dengan ikhlas, untuk Allah semata.
Di dalam shahih Muslim dari riwayat Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib
Radhiallaahu anhu , dia berkata, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
áóÚóäó Çááåõ ãóäú ÐóÈóÍó áöÛóíúÑö Çááåö.
“Allah melaknat siapa pun yang menyembelih untuk
selain Allah.”( Shahih Muslim, kitab Al-Adhahi dari hadits Ali, no. 1978 )
Sedangkan ucapan seseorang, “Aku meminta kepada Allah melalui (dengan) hak para
wali-Nya”, “melalui jah para wali-Nya”, “melalui hak Nabi” atau “melalui jah
Nabi”; maka ini semua bukan kategori syirik tetapi bid’ah menurut Jumhur ulama,
di samping merupakan salah satu sarana kesyirikan sebab berdoa adalah ibadah dan
tata caranya bersifat tawqifiyyah. Selain itu, tidak ada hadits yang
diriwayatkan secara shahih dari Nabi kita yang mengindikasikan bahwa bertawassul
melalui hak, atau jah salah seorang dari makhluk adalah disyari’atkan atau
dibolehkan sehingga tidak boleh bagi seorang Muslim menciptakan sendiri
(meng-ada-adakan) suatu bentuk tawassul yang tidak disyari’atkan oleh Allah
Ta’ala. Hal ini berdasarkan firman-Nya,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (Asy-Syura: 21).
Juga, berdasarkan sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
ãóäú ÃóÍúÏóËó Ýöíú ÃóãúÑöäóÇ åóÐóÇ ãóÇ áóíúÓó Ýöíúåö Ýóåõæó ÑóÏøñ.
“Barangsiapa yang berbuat baru (mengada-ada) di
dalam urusan kami ini (dien ini) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka
ia tertolak.”( Muttafaq ‘Alaih; Shahih Al-Bukhari, kitab Ash-Shulhu, no. 2697;
Shahih Muslim, kitab Al-Aqdhiyah, no. 1718 )
Dan dalam riwayat Muslim yang juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam
shahihnya secara mu’allaq (hadits yang dibuang satu atau lebih dari mata rantai
periwayatannya lalu disandarkan langsung kepa-da periwayat yang berada di atas
mata rantai yang dibuang tersebut-penj.) akan tetapi diungkapkan dengan lafazh
yang pasti (tegas), disebutkan:
ãóäú Úóãöáó ÚóãóáÇð áóíúÓó Úóáóíúåö ÃóãúÑõäóÇ Ýóåõæó ÑóÏøñ.
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan/perbuatan
(dalam dien ini) yang bukan berpijak kepada perintah kami, maka ia tertolak.”(
Diriwayatkan secara mu’allaq oleh Imam Al-Bukhari, kitab Al-Buyu’, bab An-Najasy
dan dalam kitab Al-I’tisham, bab Idza ijtahada Al-‘Amil. Riwayat ini
diriwayatkan secara maushul (bersambung) di dalam shahih Muslim, kitab
Al-Aqdhiyah, no. 1718 )
Makna sabda beliau ÑóÏøñ ( Radd )adalah tertolak bagi pelakunya dan tidak
diterima.
Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikat diri dengan syari’at
Allah dan berhati-hati dari perbuatan yang diada-adakan oleh manusia alias
bid’ah.
Sedangkan tawassul yang disyari’atkan adalah dengan cara berta-wassul melalui
Asma’ dan Shifat-Nya, mentauhidkan-Nya dan amal-amal shalih yang di antaranya
adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mencintai Allah dan Rasul-Nya dan
amal-amal kebajikan dan kebaikan semisal itu. Dalil-dalil yang memperkuat hal
itu banyak sekali, di antara-nya firman Allah Ta’ala,
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asma-ul husna itu.” (Al-A’raf: 180).
Di antaranya pula, sebagaimana doa yang didengar oleh Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam dari seseorang yang mengucapkan,
Çóááøóåõãøó Åöäøöí ÃóÓúÃóáõßó ÈöÃóäøöíú ÃóÔúåóÏõ Ãóäøóßó ÃóäúÊó Çááåõ¡ áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó ÃóäúÊó ÇúáÃóÍóÏõ ÇáÕøóãóÏõ ÇáøóÐöíú áóãú íóáöÏú æóáóãú íõæúáóÏú æóáóãú íóßõäú áóåõ ßõÝõæðÇ ÃóÍóÏñ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu
melalui per-saksianku bahwa Engkau adalah Allah, Tiada Tuhan yang haq untuk
disembah selain Engkau, Yang Maha Tunggal Dan Tempat Bergantung, Yang Tidak
beranak dan tidak diperanakkan, Yang tiada bagi-Nya seorang pun yang dapat
menandingi.”
Lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
áóÞóÏú ÓóÃóáó Çááåó ÈöÇúÓöãöåö ÇúáÃóÚúÙóãö ÇáøóÐöíú ÅöÐóÇ ÓõÆöáó Èöåö ÃóÚúØóì æóÅöÐóÇ ÏõÚöíó Èöåö ÃóÌóÇÈó.
“Sungguh dia telah memohon kepada Allah melalui
Nama-Nya yang Maha Agung, Yang bilamana dimohonkan melaluinya, pasti Dia akan
memberi dan bila Dia dimintai (dengan berdoa) mela-luinya, pasti Dia akan
mengabulkan.”( Dikeluarkan oleh para pengarang empat kitab Sunan: Abu Daud,
kitab Ash-Shalah, no. 1493; At-Turmudzi, kitab Ad-Da’awat, no. 3475; An-Nasa’i,
As-Sunan Al-Kubra, no. 7666; Ibnu Majah, kitab Ad-Du’a, no. 2857. Dan Ibnu
Hibban, bab Ihsan, no. 891, disha-hihkan oleh beliau sendiri. )
Di antara dalilnya yang lain adalah hadits tentang tiga orang yang terkurung di
dalam gua lantas mereka bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui amal-amal shalih
mereka; orang pertama bertawassul kepada Allah melalui perbuatan birrul walidain
(baktinya terhadap kedua orang tuanya). Orang kedua bertawassul kepada Allah
melalui kesucian dirinya dari melakukan zina padahal sudah di depan matanya.
Orang ketiga bertawassul kepada Allah melalui tindakannya mengembangkan
(meng-investasikan) upah buruhnya (yang minggat), kemudian dia menyerahkan semua
hasil investasi itu kepadanya (setelah dia datang lagi). Berkat
perbuatan-perbuatan di atas, Allah menghindarkan mereka dari kesulitan tersebut,
menerima doa mereka serta menjadikan batu besar yang menyum-bat mulut goa
tersebut bergeser dan terbuka. Hadits tersebut disepakati keshahihannya (oleh
Imam Bukhari dan Muslim-penj.). Wallahu waliyy at-Taufiq.
( Kumpulan Fatwa dan Beragam Artikel Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 324-326. )