Artikel Fatwa :
Bertabarruk Dengan Ulama dan Orang-orang Shalih Serta
Bekas-bekas Sentuhan Mereka
Sabtu, 27 Maret 04
Tanya :
Apakah ada ulama yang membolehkan mengambil berkah dari para ulama dan
orang-orang shalih serta bekas-bekas sentuhan mereka berdasarkan atsar berupa
perbuatan dari sebagian Sahabat Radhiallahu 'anhum terhadap Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam? Apa hukumnya? Tidak bisakah diserupakan dengan selain Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam? Apakah mungkin mengambil berkah dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafatnya beliau? Apakah hukum bertawassul
(mengambil perantaraan dalam ibadah) kepada Allah dengan berkah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam?
Jawab :
Al-Hamdulillah. Tidak boleh mengambil berkah dari selain Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, dengan wudhunya, rambutnya, keringatnya atau bagian manapun
dari tubuhnya. Semua itu hanya khusus bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
karena Allah menjadikan tubuh beliau dan setiap yang menyentuhnya itu penuh
kebaikan dan berkah. Oleh sebab itu, para Sahabat Radhiallahu 'anhum tidak
pernah mengambil berkah dari salah seorang di antara mereka semasa hidup atau
sudah matinya, juga terhadap para Al-Khulafa Ar-Rasyidun dan yang lainnya. Itu
menunjukkan bahwa mereka mengetahui bahwa hal tersebut khusus hanya kepada Nabi
saja, tidak kepada yang lain. Karena yang demikian itu adalah sarana menuju
kemusyrikan dan ibadah kepada selain Allah. Demikian juga tidak dibolehkan
bertawassul dengan selain Allah, dengan kemuliaan Nabi, jasad, sifat atau
keberkahan beliau, karena tidak ada dalil, dan karena itu merupakan sarana
menuju kemusyrikan dan sikap kultus terhadap beliau. Selain itu, perbuatan itu
juga belum pernah dilakukan oleh para Sahabat Radhiallahu 'anhum. Kalau itu
merupakan perbuatan baik, tentu mereka telah mendahului kita melakukanya.
Demikian juga karena itu bertentangan dengan dalil-dalil syariat, seperti firman
Allah: "Dan Allah itu memiliki nama-nama yang baik, berdoalah dengan bertawassul
dengannya.." (Al-A'raaf : 180) Allah tidak menyuruh untuk berdoa kepadanya
dengan kemuliaan seseorang, hak seseorang, atau keberkahan seseorang. Sama
dengan bertawassul dengan asma Allah bertawassul dengan sifat-sifat-Nya, seperti
kemuliaan-Nya, rahmat-Nya, kalam-Nya dan lain-lain. Di antaranya yang
diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih berupa meminta perlindungan dengan
kata-kata Allah yang sempurna (doa masuk ke satu tempat), dan meminta
perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaan-Nya (doa mengobati sakit). Di antara
tawassul sesenis yang dibolehkan adalah bertawassul dengan kecintaan kepada
Allah dan kecintaa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga engan iman
kepada beliau. Karena bertawassul dengan amal shalih diriwayatkan dalam kisah
beberapa orang yang terjebak dalam goa. Yakni ketika mereka berteduh di dalamnya
dan hendak bermalam di situ, tiba-tiba jatuh batu besar dari atas gunung dan
menutupi pintu gua. Mereka tidak mampu mendorongnya. Merekapun merundingkan cara
untuk bisa selamat dari gua itu. Mereka bersepakat bahwa mereka hanya bisa
selamat dengan berdoa, dengan perantaraan amal shalih mereka. Yang pertama
bertawassul dengan amalannya bahwa ia pernah melakukan perbuatan baik sekali
kepada kedua orang tuanya. Mulailah batu karang itu bergeser sedikit, namun
belum memungkinkan mereka untuk keluar. Yang kedua bertawassul dengan amalannya
bahwa ia memelihara diri dari zina, padahal ia mampu melakukannya. Maka
bergeserlah batu itu sedikit lagi, namun belum memungkinkan mereka untuk keluar.
Lalu yang ketiga bertawassul dengan amalan bahwa ia pernah menjaga amanah
sedemikian rupa, maka terbukalah pintu gua itu bagi mereka. Hadits tersebut
tercantum dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dari kisah orang-orang terdahulu, karena mengandung pelajaran dan
peringatan buat kita. Para ulama telah menjelaskan jawaban yang kami berikan di
sini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Ibnul Qayyim,
Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majied Syarah dari Kitabut Tauhid dan
yang lainnya. Adapun hadits tawassul orang buta kepada Nabi pada masa hidupnya,
lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan syafa'at kepadanya dan
mendoakannya sehingga Allah mengembalikan penglihatannya, maka itu termasuk
tawassul dengan doa dan syafa'at beliau, bukan kemuliaan beliau dan hak beliau.
Itu jelas sekali dalam hadits tersebut. Sebagaimana di Hari Kiamat nanti manusia
akan meminta syafa'at kepada beliau dalam memutuskan perkara mereka. Dan
sebagaimana para penghuni Surga nanti juga akan meminta syafa'at kepada beliau
untuk masuk Surga mereka. Itu termasuk bertawassul dengan beliau ketika beliau
hidup di kehidupan Akhirat nanti. Itu termasuk tawassul dengan doa dan syafa'at
beliau, bukan dengan jasad dan hak atau kemuliaan beliau, sebagaimana telah
dijelaskan oleh para ulama, di antaranya yang telah kami sebutkan tadi.
Kitab Majmu' Al-Fatawa wal Maqalat Al-Mutanawwi'ah
oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz –Rahimahullah-- VII :
65)