Hukum Meminta Bantuan Kepada Jin Untuk Mengetahui
Perkara-perkara Ghaib
Sabtu, 05 Februari 05
Apa hukum Islam mengenai orang yang meminta bantuan kepada
jin untuk mengetahui perkara-perkara ghaib? Apa hukum Islam tentang menghipnotis,
yang dengannya kekuasaan peng-hipnotis untuk mempengaruhi orang yang dihipnotis
menjadi kuat. Selanjutnya dia menguasainya dan membuatnya meninggalkan yang
haram, menyembuhkan dari penyakit kejiwaan, atau melakukan pekerjaan yang
diminta oleh penghipnotis? Apa pula hukum Islam tentang ucapan si polan: Bihaqqi
fulan (dengan hak si fulan); apakah ini sumpah atau tidak? Berilah penjelasan
kepada kami.
Jawaban:
Pertama, ilmu tentang perkara-perkara ghaib hanya dimiliki oleh Allah secara
khusus. Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mengetahuinya, baik jin
maupun selainnya, kecuali apa yang Allah wahyukan kepada siapa yang
dikehendakiNya dari para malaikat atau rasul-rasulNya. Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman,
"Katakanlah, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara
yang ghaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan
dibangkitkan." (An-Naml: 65).
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman mengenai NabiNya, Sulaiman Alaihissalam,
dan jin yang ditundukkanNya untuknya,
"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya.
Maka tatkala ia telah tersung-kur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka
mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang meng-hinakan."
(Saba': 14).
Dia berfirman,
"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya." (Al-Jin: 26-27).
Diriwayatkan secara sah dari an-Nawwas bin Sam`an Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam bersabda,
"Jika Allah hendak mewahyukan suatu perkara Dia berfirman dengan wahyu, maka
langit menjadi takut atau sangat gemetar karena takut kepada Allah r. Jika ahli
langit mendengar hal itu, maka jatuh dan bersungkur dalam keadaan bersujud
kepada Allah. Mula-mula yang mengangkat kepalanya adalah Jibril, lalu Allah
berbicara kepadanya dari wahyuNya tentang apa yang dikehen-dakiNya. Kemudian
Jibril melintasi para malaikat. Setiap kali melewati suatu langit, maka para
malaikat langit tersebut ber-tanya, 'Apa yang difirmankan oleh Tuhan kami, wahai
Jibril?' Jibril menjawab, 'Dia berfirman tentang kebenaran, dan Dia Mahatinggi
lagi Mahabesar.' Lalu mereka semua mengucapkan seperti yang dikatakan Jibril.
Lalu Jibril menyampaikan wahyu ke tempat yang diperintahkan Allah kepadanya.'"
Dalam ash-Shahih dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shalallaahu
alaihi wasalam, beliau bersabda,
"Jika Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat meletakkan
sayap-sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seolah-olah rantai di atas batu
besar. Ketika telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, maka mereka bertanya,
'Apakah yang difirman oleh Tuhan kalian.' Mereka menjawab kepada yang bertanya,
'Dia berfirman tentang kebenaran dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lalu
pencuri pembicaraan (setan) mendengarkannya. Pencuri pembicaraan demikian,
sebagian di atas sebagian yang lain -Sufyan menyifatinya dengan telapak
tangannya lalu membalikkannya dan memisahkan di antara jari-jarinya-. Ia
mendengar pembicaraan lalu menyampaikannya kepada siapa yang di bawahnya,
kemudian yang lainnya menyampai-kannya kepada siapa yang di bawahnya, hingga ia
menyampaikannya pada lisan tukang sihir atau dukun. Kadangkala ia mendapat
lemparan bola api sebelum menyampaikannya. Kadangkala ia menyampaikannya sebelum
mengetahuinya, lalu ia berdusta bersamanya dengan seratus kedustaan. Lalu
dikatakan, 'Bukankah ia telah berkata kepada kami demikian dan demimkian,
demikian dan demikian.' Lalu ia mempercayai kata-kata yang didengarnya dari
langit."
Atas dasar ini maka tidak boleh meminta bantuan kepada jin dan makhluk-makhluk
selainnya untuk mengetahui perkara-perkara ghaib, baik berdoa kepada mereka,
mendekatkan diri kepada mereka, membuat kemenyan, maupun selainnya. Bahkan, itu
adalah kesyirikan, karena ini sejenis ibadah. Padahal Allah telah memberi tahu
kepada para hambaNya agar mengkhususkan peribadatan kepadaNya seraya
mengikrarkan,
"Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan."
(Al-Fatihah: 5).
Telah sah dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda kepada Ibnu
Abbas,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ
وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
"Jika kamu meminta, maka memintalah kepada Allah dan jika
kamu meminta pertolongan, maka memintalah pertolongan kepada Allah."
Kedua, hipnotis adalah salah satu jenis perdukunan dengan mempergunakan jin
sehingga penghipnotis memberi kuasa kepa-danya atas orang yang dihipnotisnya. Ia
berbicara lewat lisannya dan mendapatkan kekuatan darinya untuk melakukan suatu
pekerjaan lewat penguasaan terhadapnya, jika jin tersebut jujur bersama
penghipnotis itu. Ia mentaatinya sebagai imbalan "pengabdian" penghipnotis
kepadanya. Lalu jin itu menjadikan orang yang dihipnotis tersebut mentaati
kemauan penghipnotis terhadap segala yang diperintahkannya berupa
pekerjaan-pekerjaan atau informasi-informasi lewat bantuan jinnya, jika jin itu
jujur ber-sama si penghipnotis. Atas dasar itu maka menggunakan hipnotis sebagai
sarana untuk menunjukkan tempat pencuri, barang yang hilang, menyembuhkan
penyakit, atau melakukan aktifitas lainnya lewat jalan penghipnotis adalah tidak
boleh bahkan kesyirikan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan. Dan, karena
itu berarti kembali kepada selain Allah, dalam perkara yang diluar sebab-sebab
biasa yang disediakan Allah Subhannahu wa Ta'ala untuk para makhluk dan
diperbolehkan untuk mereka.
Ketiga, ucapan seseorang: Bihaqqi fulan (demi/ dengan hak polan), mengandung
makna sumpah. Maksudnya, aku bersum-pah kepadamu demi polan. Ba' di sini adalah
Ba' al-Qasam (kata yang mengandung arti sumpah). Bisa juga mengandung makna
tawassul dan meminta bantuan kepada diri fulan atau kedu-dukannya. Jadi, Ba' ini
untuk Isti`anah (meminta bantuan). Pada kedua hal ini, ucapan ini tidak boleh.
Adapun yang pertama, bersumpah kepada makhluk oleh makhluk adalah tidak boleh.
Bersumpah kepada makhluk sangat dilarang oleh Allah, bahkan Nabi Shalallaahu
alaihi wasalam menetapkan bahwa bersumpah kepada selain Allah adalah syirik.
Beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ
أَشْرَكَ
"Barangsiapa bersumpah kepada selain Allah, maka ia telah
syirik." (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim; ia menilainya sebagai
hadits shahih).
Adapun yang kedua, karena para sahabat tidak ber-tawassul kepada diri Nabi a dan
tidak pula kepada kedu-dukannya semasa hidupnya dan sesudah kematiannya. Padahal
mereka itu manusia yang paling tahu tentang maqam dan kedudukan beliau di sisi
Allah serta lebih tahu tentang syariat. Berbagai penderitaan telah mereka alami
semasa hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan setelah kematiannya, namun
mereka kembali kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Seandainya bertawassul dengan
diri atau kedudukan beliau Shalallaahu alaihi wasalam itu disyariatkan, niscaya
beliau telah mengajarkan hal itu kepada mereka; karena beliau tidak meninggalkan
suatu perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan beliau
memerintahkannya dan memberi petunjuk kepadanya. Dan, niscaya mereka
mengamalkannya karena me-reka sangat antusias mengamalkan apa yang disyariatkan
kepada mereka, terutama pada saat mengalami kesulitan. Tiadanya kete-tapan izin
dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengenainya dan petunjuk kepadanya serta
mereka tidak mengamalkannya adalah bukti bahwa itu tidak diperbolehkan.
Yang sah dari para sahabat , bahwa mereka bertawassul kepada Allah dengan doa
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kepada Tuhannya agar permohonan mereka
dikabulkan semasa hidupnya, seperti dalam Istisqa' (meminta hujan) dan selainnya.
Tatkala beliau telah wafat, Umar Radhiallaahu anhu ketika keluar untuk Istisqa'
mengatakan,
"Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami lalu Engkau memberi
hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan
paman Nabi kami, maka berilah kami hujan."
Maka, mereka diberi hujan.
Maksudnya doa al-Abbas kepada Tuhannya serta permo-honannya kepadaNya, dan yang
dimakud bukan bertawassul kepada kedudukan al-Abbas; karena kedudukan Nabi
Shalallaahu alaihi wasalam lebih besar dan lebih tinggi darinya. Kedudukan ini
tetap berlaku untuknya sepeninggalnya sebagaimana semasa hidupnya. Sean-dainya
tawassul tersebut yang dimaksudkan, niscaya mereka telah bertawassul dengan
kedudukan Nabi a daripada bertawas-sul kepada al-Abbas. Tetapi, nyatanya, mereka
tidak melakukannya. Kemudian, bertawassul kepada kedudukan para nabi dan semua
orang shalih adalah salah satu sarana kesyirikan yang terdekat, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh fakta dan pengalaman. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang
untuk menutup jalan tersebut dan melindungi tauhid. Semoga shalawat dan salam
senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para
sahabatnya.
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, vol. 30, hal. 78-81, al-Lajnah ad-Da'imah.