TINGGAL DI LINGKUNGAN PELAKU
KESYIRIKAN
Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal
Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
ditanya : Seorang laki-laki tingal di lingkungan suatu jamaah yang suka
ber-istighatsah kepada selain Allah. Bolehkan dia shalat (menjadi makmum) di
belakang mereka. Wajibkah dia hijrah dari mereka ? Apakah kesyirikan mereka
termasuk syirik besar ? Dan apakah ber-wala kepada mereka sama seperti ber-wala
kepada orang kafir yang sesungguhnya ?
Jawaban.
Jika jamaah yang Anda
tinggal bersama mereka itu keadaannya memang seperti yang Anda ceritakan, yaitu
ber-istighatsah kepada selain Allah, baik kepada orang-orang yang telah
meninggal, orang yang tidak hadir (tidak ada bersamanya), pohon, batu,
bintang-bintang, dan selainnya, maka mereka musyrik syirik besar, keluar dari
agama Islam. Tidak boleh ber-wala kepada mereka sebagaimana tidak boleh ber-wala
kepada orang kafir.
Tidak sah shalat di belakang mereka dan tidak boleh
bergaul dengan mereka ataupun tinggal di tengah-tengah mereka, kecuali bagi
orang yang ingin mengajak mereka kepada kebenaran di atas petunjuk dan ada
harapan mereka akan menerima ajakan serta dia dapat memperbaiki keadaan agama
mereka. Jika tidak bisa, wajib baginya hijrah dari mereka dan mencari jama’ah
lain yang mau bersama-sama bahu membahu membangun pondasi Islam dan
cabang-cabangnya, serta menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jika dia tidak mendapatkan jamaah seperti itu, maka hendaknya dia
berlepas diri dari jamaah-jamaah yang ada walaupun terasa berat.
Hal ini
berdasarkan hadits yang shahih dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu ia
berkata.
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan
karena khawatir terjerumus ke dalamnya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami
dahulu berada dalam kejahilan dan kejelekan, lalu Allah mendatangkan kebaikan
ini (yaitu Islam). Apakah sesudah kebaikan in ada kejelekan ?’ Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah kejelekan
itu ada kebaikan ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, tetapi
padanya ada dakhan[1]’. ‘Apa dakhan-nya ?’ tanyaku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ‘Suatu kaum yang bersunnah bukan dengan sunnahku dan mengambil
petunjuk bukan dari petunjukku. Kalian mengetahui siapa mereka dan kalian
ingkari.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan lagi?’.
‘Ya, para dai yang menyeru di atas pintu-pintu Jahannam. Siapa saja yang
mengikuti mereka, akan mereka jebloskan ke dalamnya’. Jawab Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, gambarkan keadaan mereka kepada
kami’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Mereka dari bangsa kita dan
berbicara dengan bahasa kita.’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan jika kami mendapati mereka ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, ‘Tetaplah bersama jama’ah kaum muslimin dan imam mereka’. Aku bertanya,
‘Jika mereka tidak memiliki jama’ah dan juga imam?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Tinggalkan jamaah itu semuanya, sekalipun engkau harus
menggigit akar pohon, sampai kematian datang kepadamu sedang dalam keadaan
seperti itu” [Hadits Riwayat Bukhari VIII/92, Muslim –Syarah Nawawi XII/236, Abu
Dawud IV/445, 447]
Semoga shalawat tercurah kepada Nabi, keluarganya dan
sahabat-sahabatnya.
[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah 1/102-103, Fatwa no.
2787 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul Asimah Riyadh. Di
salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa’dah 1423H Hal. 8]
Fotte
Note
[1] Kabut/asap. Maksud beliau bahwa kebaikan (Islam) di saat itu tidak
lagi murni, melainkan sudah bercampur dengan kerusakan/kejelakan,
-pent