MEMOHON KEPADA ALLAH DENGAN KEDUDUKAN PARA NABI ATAU ORANG
SHALIH
Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih
Lajnah
Da’imah Lil Ifta ditanya : “Apakah boleh seseorang memohon kepada Allah dengan
perantara para nabi dan orang-orang shalih, sebab di antara para ulama ada yang
membolehkan, karena do’a tersebut tetap ditujukan kepada Allah dan sebagian
mereka ada yang melarangnya. Bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini
?”
Jawaban.
Wali adalah setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada
Allah dengan mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa” [Yunus :
61-62]
Macam-macam tawassul kepada Allah dengan perantara
wali-waliNya.
Pertama.
Seseorang bertawasul dengan do’a seorang wali
yang masih hidup, dengan do’a wali tersebut Allah meluaskan rizkinya atau
memberi kesembuhan, hidayah dan taufik atau semisalnya. Sebagaimana yang
dilakukan para sahabat tatkala hujan tak kunjung datang, mereka bertawasul
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon agar turun hujan,
seketika itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah supaya
menurunkan hujan. Tidak lama kemudian do’a beliau dikabulkan oleh Allah dan
turunlah hujan dengan lebat. [Shahih Muslim, kitab Al-Istisqa bab Do’a Fil
istisqa 3/24-25]
Contoh lain para sahabat yang bertawassul kepada Abbas
di zaman Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu meminta agar beliau
berdo’a kepada Allah untuk memohon diturunkan hujan. Lalu Abbas bin Abu Thalib
Radhiyallahu ‘anhu bedo’a kepada Allah yang diamini para sahabat. [Shahih
Al-Bukhari, bab Istisqa Fi Yaumil Jum’ah 2/18]
Bertawasul dengan do’a
orang shalih yang masih hidup untuk mendatangkan manfa’at atau menghilangkan
madharat sering terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabat.
Kedua.
Bertawasul kepada Allah dengan perantara cinta
kepada Nabi dan mengikutinya atau cinta kepada para wali dengan mengucapkan :
‘Ya Allah dengan perantara kecintaan dan ketaatanku kepada NabiMu atau
kecintaanku kepada para waliMu, maka kabulkanlah permintaanku.
Demikian
itu boleh karena termasuk tawassul dengan amal shalih sebagaimana tawassulnya
orang-orang yang terperangkap di dalam goa lalu mereka bertawassul kepada Allah
dengan amal shalih mereka masing-masing. [Shahih Al-Bukhari, kitab Badul Khalq
4/147-148]
Ketiga.
Bertawassul kepada Allah dengan perantara kedudukan
para nabi dan para wali dengan mengucapkan : “Ya Allah saya bertawassul kepadaMu
dengan perantara kedudukan para nabi atau kedudukan Husain, maka kabulkanlah
permintaanku. Meskipun kedudukan para nabi dan wali sangat agung khususnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi kedudukan tersebut bukan
menjadi penyebab terkabulkannya do’a. Oleh sebab itu tatkala Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat, maka para sahabat Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak bertawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
tetapi datang kepada paman beliau yang masih hidup untuk berdo’a kepada Allah
agar diturunkan hujan. Padahal kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah sangat tinggi dan mulia di atas mereka, akan tetapi tidak ada sahabatpun
yang bertawassul dengan kedudukan Nabi setelah wafatnya. Sementara mereka adalah
generasi umat terbaik yang paling tahu tentang kedudukan beliau dan generasi
yang sangat menctainya.
Keempat.
Berdo’a kepada Allah dengan
bertawassul dan bersumpah dengan kedudukan para wali atau para nabi seperti
ucapan mereka : Ya Allah demi kedudukan para waliMu atau para nabiMu,
kabulkanlah permintaanku. Hal tersebut dilarang karena bersumpah dengan makhluk
untuk makhluk saja tidak boleh apalagi bersumpah dengan makhluk untuk khalik
(Pencipta). Tidak ada keharusan untuk bersumpah dengan kedudukan para wali
dengan anggapan mereka lebih dekat kepada Allah.
Inilah penjelasan yang
sesuai dengan dalil-dalil dan sangat relevan dengan tujuan untuk menjaga
kemurnian aqidah dan kesyirikan. [Fatawa Islamiyah
1/48-49]
Faedah.
Tujuan meminta do’a dari seseorang yang mustajab
doanya adalah memohon manfaat untuk orang yang dimintakan dan orang yang
meminta. Sebab orang yang mendo’akan orang lain dari tempat yang jauh, para
malaikat pasti berkata kepadanya : Bagimu kebaikan seperti yang kamu mintakan
untuknya. Sebaiknya tujuan meminta do’a bukan hanya untuk kemanfaatan bagi yang
meminta saja, sebab dapat merendahkan kehormatannya meskipun hal itu
dibolehkan.[Fawaid Muntaqa’ Syarh Kitab Tauhid oleh Syaikh Utsaimin
hal.76]
[Disain dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia
Kesalahan Dalam Berdo’a hal. 9-13 Darul Haq]