
Kaidah
penerapan Sunnah : Jangan diperdebatkan Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as
Sewed Manhaj, 18 - Agustus - 2004,
04:04:55
Kaidah
yang kedua dalam penerapan Sunnah adalah menyampaikan Sunnah
dan tidak memperdebatkannya. Karena memperdebatkan Sunnah
hanya akan membawa pada pertikaian yang berbuntut pelecehan
terhadap Sunnah Nabawiyah itu sendiri. Berkata Imam Malik
rahimahullah: “Perdebatan hanyalah akan membawa pada
pertikaian dan menghilangkan cahaya ilmu dari dalam hati,
serta mengeraskan hati dan melahirkan kedengkian. (Syiar
a’lamin Nubala’, 8/ 106). Demikian pula dikatakan oleh Imam
Syafii dan lain-lain. (Syiar A’lamin Nubala’,
10/28)
Dalam pengamalan atau penyampaian sunnah kita
hanya diperintahkan untuk menyampaikan dengan jelas dan bukan
memperdebatkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا
عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاَغُ الْمُبِينُ. ]المائدة: 92[ Dan
ta'atlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-(Nya)
dan berhati-hatilah. Jika kalian berpaling, maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang. (al-Maidah:
92)
Sampaikanlah Sunnah dengan menjelaskan
dalil-dalilnya secara ilmiah yaitu dengan menunjukkan
keshahihan haditsnya dan menjelaskan ucapan para Ulama tentang
maknanya. Dengan kata lain kita hanya menegakkan hujjah
(dalil/keterangan, red) dan menunjukkan kebenarannya secara
riwayat dan dirayah (lihat edisi yang lalu). Adapun masalah
hidayah ada di tangan Allah.
Kita tidak bisa memaksa
setiap orang untuk menerima hidayah. Sehingga jika ada
sebagian manusia yang membantah atau memperdebatkan Sunnah
setelah jelas baginya hujjah, maka itu hanyalah salah satu
dari beberapa cara penolakan terhadap Sunnah. Untuk itu mereka
harus kita tinggalkan dan kita tidak perlu sibuk melayaninya.
Jika kita melayani mereka, maka hal itu hanyalah akan
membuang-buang waktu dan tidak akan memberikan faedah sama
sekali, bahkan hanya akan menimbulkan madlarat.
Allah
mengancam mereka yang menolak sunnah setelah jelas baginya
dengan Adzab neraka Jahanam, sebagaimaa firman-Nya: وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. ]النساء:
115[ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
(an-Nisaa’: 115)
Pada suatu hari, Imam Malik pernah
ditanya oleh seorang yang bernama Haitsam bin Jamil: “Wahai
Abu Abdillah (yakni imam Malik), seorang yang memiliki ilmu
tentang sunnah apakah boleh dia berdebat untuk membelanya?”
Imam Malik menjawab: “Jangan! Tetapi hendaklah dia
menyampaikan sunnah tersebut. Jika diterima, itulah yang
diharapkan; namun jika ditolak, maka diamlah”. (Jami’ Bayanul
Ilmih wa Fadlihi, juz 2 hal. 94) Demikian pula Imam Ahmad
menyatakan: “Sampaikanlah sunnah dan jangan kalian
memperdebatkannya”. (Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la,
melalui nukilan Syaikh Barjas dalam Dlaruratul Ihtimam, hal.
89)
Para ulama telah mengingatkan kaum muslimin agar
mereka jangan memperdebatkan masalah agama. Yang diperintahkan
kepada mereka adalah mengamalkan hal-hal yang telah diperintah
oleh Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan hal-hal yang telah
dilarang. Kebinasaan yang telah menimpa orang-orang sebelum
kita adalah karena banyaknya perdebatan, protes dan
pertentangan serta perselisihan mereka terhadap nabi-nabi
mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda: مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَاسْتَطَعْتُمْ. فَإِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهمْ
وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائهِمْ. (متفق عليه) Apa yang
aku larang, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan,
kerjakanlah sebisa kalian. Karena sesungguhnya kebinasaan
orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya
perselisihan dan pertentangan mereka terhadap para nabinya.
(HR. Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, kewajiban bagi
kita kepada umat adalah menyampaikan sunnah dengan menjelaskan
keshahihan riwayatnya dan kejelasan maknanya menurut ulama
salaf. Jika mereka menerima dakwah kita, kita ucapkan
“Alhamdulillah”. Dan kalau mereka menolak dengan
mempermasalahkan dan memperdebatkannya dengan akal dan
perasaan mereka, maka tinggalkanlah!.
Jeleknya Ilmu
Kalam (Filsafat) Perdebatan terhadap nash-nash yang telah
jelas datangnya dari Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu
yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّ
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ
أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ مَا هُمْ
بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ. ]غافر: 56[ Sesungguhnya orang-orang yang
memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa ilmu yang sampai
kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah
(keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tidak akan
mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Ghafir:
56)
Memang orang-orang yang sesat seringkali diberi
oleh Allah keahlian dalam berdebat dan bersilat lidah. مَا
ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا
الْجَدَلَ. (رواه أحمد) Tidaklah sesat satu kaum setelah
datangnya petunjuk kecuali setelah diberikan kepada mereka
kepandaian debat. (HR. Ahmad) (Syaikh Barjas dalam Dlaruratul
Ihtimam, Syaikh Barjas, hal. 89)
Ilmu debat/kalam
bukanlah ilmu yang bermanfaat. Bahkan sebaliknya hanya akan
membawa madlarat dan kesesatan, karena ilmu kalam adalah ilmu
yang mengajarkan bagaimana membantah dengan akal dan permainan
kata-kata. Para ulama telah memperingatkan kita dari bahaya
ilmu kalam atau mantiq tersebut. Berkata Imam Ahmad:
“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul kalam, walaupun ia
membela sunnah. Karena urusannya tidak akan membawa kebaikan!”
(Al-Ibanah, juz 2/540 melalui nukilan Lamu ad-Duur Minal
Qaulil Ma’tsur, Syaikh Jamal Ibnu Furaihan, hal.
40)
Berkata Abdul Harits: “Aku mendengar Abu Abdillah
berkata: “Jika engkau melihat seseorang menyukai ilmu kalam,
maka berhati-hatilah kalian dengannya”. (Idem) Imam Syafi’i
berkata; “Barangsiapa yang bermantiq, maka dia akan jadi
zindiq (sesat)”. Beliau juga berkata: “Hukumanku bagi ahlul
kalam adalah dipukul dengan pelepah korma dan sandal,
dikelilingkan ke kampung-kampung dan diumumkan di hadapan
manusia: “Inilah balasan bagi orang-orang yang meninggalkan
kitab dan sunnah dan berpaling pada ilmu kalam””. (Syarh
al-Aqidatul ath-Thahawiyah, hal. 72)
Ingatlah wahai
kaum muslimin, agama ini bukanlah milik para pemenang debat.
Tidak mesti mereka yang menjadi pemenang dalam perdebatan
adalah orang yang berada di atas kebenaran.
Dikisahkan
oleh Ma’n bin Isa: “Imam Malik bin Anas rahimahullah pada
suatu pernah pulang dari suatu majlis dalam keadaan beliau
bertekan pada tanganku. Kemudian beliau ditemui oleh seseorang
yang dipanggil dengan nama Abul Hauriyah. Orang ini termasuk
orang yang sesat beraliran murji’ah. Ia berkata: “Wahai hamba
Allah, dengarkanlah dariku sesuatu. Aku ingin berbicara
denganmu menyampaikan argumentasiku kepadamu dan menyampaikan
pendapatku kepadamu (yakni mengajak berdebat –pent.)”. Maka
Imam Malik menjawab: “Bagaimana jika engkau bisa
mengalahkanku?” Ia berkata: “Jika engkau kalah, maka engkau
harus mengikutiku”. Imam Malik berkata lagi: “Jika datang
orang ke-3 menyampaikan argumentasinya kepada kita, kemudian
ia mengalahkan kita?” Ia menjawab: “Jika kita kalah, maka
kitapun mengikutinya”. Mendengar jawaban ini, imam Malik
berkata: “Wahai hamba Allah, Allah telah mengutus Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan agama yang satu,
tetapi aku melihat engkau berpindah-pindah dari satu agama ke
agama yang lain”. Dalam riwayat yang lain: “Bukanlah agama ini
milik para pemenang debat”. (Asy-Syari’ah, al-Ajurri,
64)
Wallahu a’lam
(Bersambung ke Kaidah-Kaidah
Penerapan Sunnah Mempertimbangkan Maslahat dan
Mafsadah).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf
Edisi: 18/Th. I tgl 22 Dulhijjah 1424 H/13 Pebruari 2004 M,
penulis Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul asli
"Kaidah-kaidah penerapan Sunnah : Sampaikan Sunnah dan Jangan
Diperdebatkan". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah
terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min.
50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us
Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp.
(0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar
As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri
Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus
Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah
HP.
081564634143)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=737
|