
Kaidah
penerapan Sunnah : Pastikan kesahihannya Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar as
Sewed Manhaj, 18 - Agustus - 2004,
03:44:43
Dalam
menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam kita harus berhati-hati dan teliti. Dalam masalah ini
kita harus memperhatikan beberapa kaidah yang telah para ulama
tetapkan agar penerapan sunnah itu tidak justru berbalik
memancing orang untuk mencemoohkannya, padahal hal itu
diakibatkan oleh kesalahan kita dalam penerapannya.
Kesalahan tersebut dapat berasal dari dua sisi.
Pertama, hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang
dlaif (lemah) atau bahkan palsu. Atau pemahaman kita yang
keliru terhadap hadits yang kita jadikan sebagai sandaran
walaupun shahih.
Oleh karena itu kaidah pertama yang
harus kita perhatikan dalam penerapan sunnah adalah memastikan
kesahihan hadits dan memastikan kebenaran istinbat
(pengambilan, red) hukumnya. Yang pertama diistilahkan dengan
riwayah, dan yang kedua diistilahkand dengan dirayah.
Keshahihan Riwayat Dalam penerapan sunnah kita
harus memastikan kebenaran hadits tersebut dari sisi
riwayatnya. Dengan demikian dengan yakin kita mengamalkan
hadits yang shahih dan benar-benar merupakan ucapan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena hadits-hadits yang dlaif,
palsu, atau mungkar atau yang sejenisnya tidak dapat dijadikan
sandaran dalam seluruh amalan kita.
Berkata Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak boleh kita menyandarkan syariat
agama ini pada hadits-hadits yang dhaif (lemah), yang tidak
shahih (benar, red) ataupun tidak hasan (baik, red). (Majmu’
Fatawa juz I, hal.250)
Berkata Syaikh Zakariya bin
Muhammad al-Anshari: “Jalan orang yang ingin berdalil dengan
hadits dari kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab musnad, jika
dia memiliki kemampuan untuk memeriksa hadits-hadits tersebut,
hendaklah meneliti sanadnya (bersambung atau tidak -pent).
Juga perawi-perawinya (terpercaya atau tidak) dan seterusnya.
Kalau tidak mampu dan telah ada para ulama ahlul hadits yang
menshahihkannya atau menghasankannya, boleh baginya untuk
mengikutinya”.
Semua ucapan para ulama tersebut,
membimbing kita agar jangan kita terjerumus dalam pemakaian
hadits yang lemah yang akibatnya akan fatal terhadap diri kita
dan terhadap dakwah. Jangan sampai kita digolongkan ke dalam
orang-orang yang berdusta atas nama nabi, menyampaikan bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata begini dan
begitu ternyata beliau tidak pernah
mengatakannya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
mengancam: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (متفق عليه) Barang siapa yang
dengan sengaja berdusta atas namaku, maka dia telah
mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. (HR. Bukhari
Muslim dari Abu Hurairah)
Adapun hadits-hadits yang
dlaif (lemah) tidak bisa menentukan suatu hukum apapun. Juga
tidak bisa mewajibkan sesuatu atau menjadikannya mustahab
(sunat) seperti ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Tidak
seorangpun dari para ulama yang menyatakan bolehnya menganggap
sesuatu adalah wajib atau mustahab dengan hadits dlaif.
Barangsiapa yang mengatakan demikian, maka dia telah
menyelisihi ijma’ dan kesepakatan para ulama!”. (Majmu’
Fatawa, 251)
Demikianlah prinsip ahlus sunnah dalam
penerapan sunnah. Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari
kalangan tarikat-tarikat sufi, baik yang tergabung dalam
kelompok jamaah tabligh ataupun kelompok-kelompok dzikir atau
dalam bentuk sosok-sosok sufi yang ditokohkan sebagai ulama.
Mereka menganggap bahwa hadits dlaif dapat menjadi dalil dalam
fadlailul a’mal. Sehingga buku mereka dipenuhi dengan
hadits-hadits dlaif, maudlu’ (palsu) dan lainnya. Ketika
ditegur mereka menjawab dengan enteng: ”Dlaif-dlaif juga
merupakan hadits”. Akibatnya jelas, yaitu membawa mereka pada
kesesatan dan penyimpangan.
Kebenaran Istimbath
Hukum Perkara yang kedua, jika telah dipastikan keshahihan
suatu hadits, kita harus meneliti pula makna yang dimaksudkan.
Kita harus benar dalam mengambil hukum (istimbath hukum) dari
hadits tersebut. Tentunya, harus kita ketahui bahwa yang
paling tepat dalam melakukan istimbath hukum dan penerapannya
terhadap sunnah adalah generasi pertama dan utama dari umat
ini, yakni dari kalangan para Shahabat Radhiallahu 'anhum.
Jangan sampai kita keliru dalam menafsirkan atau
mengambil kesimpulan terhadap hadits-hadits yang shahih
tersebut. Sebagai contoh, ada sebagian kaum muslimin yang
menafsirkan kalimat khuruj fie sabilillah dengan mengembara
yang diistilahkan oleh syaikhul Islam dengan siyahah. Beliau
menjelaskan bahwa siyahah adalah perkara kebid’ahan kaum sufi.
Padahal dalam al-Qur’an dan asSunnah maksud kalimat “khuruj
fie sabilillah” adalah jihad dan berperang di jalan Allah.
Untuk itu, dalam masalah istimbath kita harus merujuk
kepada mereka yang telah dipastikan kebenarannya dalam
penerapan Qur’an dan as-Sunnah, yaitu generasi para shahabat,
sebagaimana Allah berfirman: وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. ]التوبة:
100[ Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah:
100)
Dalam ayat ini Allah meridlai tiga golongan
manusia yakni kaum Muhajirin, Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan ihsan (baik). Hanya merekalah yang
telah mendapatkan rekomendasi dan pujian dari Allah. Hal ini
menunjukkan kalau mereka telah tepat dalam menerapkan
al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupannya.
Karena
kita bukan dari kaum Muhajirin dan bukan pula kaum Anshar,
maka hendaknya kita menjadi para pengikut mereka dengan ihsan
(baik, red), baik dalam memahami, istimbath hukum, menafsirkan
dan ataupun penerapannya agar kita termasuk dalam golongan
yang diridlai-Nya. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti
mereka, berarti mereka telah menentang Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam dan tidak mau mendengarkan ucapan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam berikut: خَيْرُ النَّاسِ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ. (متفق عليه) Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang
berikutnya. (HR. Bukhari Muslim)
Manusia yang terbaik
adalah para shahabat, kemudian yang mengikuti mereka
setelahnya (para tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka
(atba’ut tabi’in).
Para shahabat merupakan generasi
yang telah dipastikan keimanan mereka dalam ucapan Allah
Ta’ala : وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ
الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ.
]الأنفال: 74[ Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad pada jalan Allah (kaum muhajirin), dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin yakni kaum anshar),
mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (al-Anfaal:
74)
Dengan demikian barangsiapa yang tidak mau
mengikuti orang-orang yang beriman tersebut terancam dengan
kesesatan di dunia dan adzab jahannam di akhirat. Allah
tegaskan dalam firman-Nya: لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا. ]النساء: 115[
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisaa’:
115)
Oleh karena itu barangsiapa yang mengikuti mereka
akan mendapatkan petunjuk, dan yang meninggalkannya terancam
akan mendapatkan kesesatan. فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا
ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ . ]البقرة: 137[ Maka jika mereka
beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh
mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah:
137)
Dalam ayat ini yang dimaksud kata ganti orang
kedua yaitu “kalian” dalam ucapan Allah: “Jika mereka beriman
seperti kalian beriman” adalah para shahabat. Artinya, jika
mereka beriman seperti para shahabat beriman, maka dia akan
mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan lurus. Namun
sebaliknya jika mereka tidak mau mengikuti para shahabat,
mereka akan terus berada dalam pertikaian dan perselisihan,
menyimpang dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam
kesesatan dan kebid’ahan.
Para perusak Sunnah Mereka
yang menyelisihi kaidah pertama dalam penerapan sunnah ini
bukanlah orang yang termasuk menghidupan sunnah, tetapi justru
mematikan sunnah. Karena mereka yang memakai hadits-hadits
dlaif, maudlu’, palsu, dan sejenisnya justru menjatuhkan
martabat sunnah nabawiyah. Karena riwayat-riwayat yang mungkar
dan palsu tersebut adalah buatan manusia biasa yang banyak
mengandung kesalahan, kekurangan atau sebaliknya mengandung
ekstrimitas dan berlebih-lebihan. Dan semua penyimpangan
tersebut diatas namakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam.
Demikian pula yang tidak memahami
hadits-hadits nabi dengan pemahaman para shahabat niscaya yang
terjadi justru kesesatan pula. Dengan demikian menyalahi
kaidah pertama ini konsekwensinya adalah terjerumus dalam
kebid’ahan dan kesesatan.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
Iqtidla’ Sirathil Mustaqiem Fie Mukhalafati Ashhabil Jahim
menyatakan bahwa golongan yang mematikan sunnah ada dua jenis:
Pertama, yang tidak mau mengamalkan sunnah; Kedua, mereka yang
menambah-nambahinya dengan perkara baru. Yakni mereka yang
menambahi sunnah dengan perkara baru, pemahaman baru, cara
istimbath hukum yang baru atau hadits-hadits baru (yakni
hadits yang maudlu’ dan palsu) secara tidak sadar mereka juga
ikut membantu mematikan Sunnah Nabawiyah. Dengan kata lain
menerapkan sunnah tidak dengan kaidah sunnah adalah justru
menghancurkan dakwah Sunnah.
(Bersambung ke
Kaidah-Kaidah Penerapan Sunnah : Sampaikan Sunnah & Jangan
diperdebatkan).
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj
Salaf Edisi: Edisi: 17/Th. I tgl 15 Dulhijjah 1424 H/6
Pebruari 2004 M , penulis Ustadz Muhammad Umar as Sewed, judul
asli "Kaidah-kaidah penerapan Sunnah : Pastikan kesahihan
riwayat dan Makna". Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah
terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min.
50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us
Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp.
(0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar
As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri
Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief, Agus
Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Abu Rahmah
HP.
081564634143)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=736
|