Yazid bin Abdul Qadir
Jawas
Halaman dua dari dua tulisan
H. WAKTU MEMULAI DAN
MENGAKHIRI I'TIKAAF
Di tulisan bagian pertama
sudah disebutkan bahwa i'tikaaf sunnat waktunya tidak terbatas. Maka bila
seseorang telah masuk masjid dan berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di
dalam masjid beribadah beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar.
Dan jika seseorang berniat hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan, maka hendaklah ia mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam.
Pendapat yang menerangkan
bahwa masuk i'tikaaf sebelum matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan malam ke
21, adalah pendapat Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam
salah satu pendapatnya.
(Lihat Syarah Muslim, 8 : 68, Majmu' Syahrul
Muhadzdzab 6 : 492. Fathul Baari 4 : 277. Al-Mughni 4 : 489-490 dan Bidayatul
Mujtahid 1 : 230).
Dalil mereka ialah :
Riwayat i'tikaaf-nya Rasulullah SAW di awal Ramadhan, pertengahan dan akhir
Ramadhan, kemudian bersabda :
"Barangsiapa yang hendak
beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir
(dari bulan Ramadhan) ..."
(Hadits Shahih riwayat Bukhari 2 : 256 dan Muslim
2 : 171-172)
"Sepuluh terakhir",
maksudnya ialah nama bilangan malam, dan bermula pada malam ke dua puluh satu
atau malam ke dua puluh. (Lihat Fiqhus Sunnah 1 : 403). Tentang Hadits 'Aisyah :
"Kata 'Aisyah : "Adalah
Nabi SAW, bila hendak i'tikaaf, beliau shalat shubuh dulu, kemudian masuk ke
tempat i'tikaaf ".
(Hadist Shahih riwayat Bukhari 2 : 257 dan Muslim 3 :
175).
Hadits ini dijadikan
dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan waktu i'tikaaf adalah di
permulaan siang. Ini menurut pendapat Al-Auza'i, Al-Laits dan Ats-Tsauri. (lihat
Nailul Authar 4 : 296).
Hadits 'Aisyah di atas
maksudnya ialah bahwa Nabi SAW, masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk
i'tikaaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi bukan
masuk masjidnya ba'da Shubuh.
Adapun masuk ke masjid
untuk i'tikaaf tetap di awal malam sebelum terbenam matahari. (Lihat Fiqhus
Sunnah 1 : 403).
Mengenai waktu keluar
dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari
bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i waktunya adalah
sesudah matahari terbenam (di akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad
disunnahkan ia tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi keluar
dari masjid ketika ia keluar ke lapangan mengerjakan shalat 'Id. Akan tetapi
menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah matahari terbenam. (Lihat
Bidayaatul Mujtahid 1 : 230 dan Al-Mughni 4 : 490).
Jadi kesimpulan empat
Imam sepakat bahwa i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di akhir
Ramadhan.
Kata Ibrahim : "Mereka
menganggap sunnat bermalam di masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang
beri'tikaaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi
harinya langsung pergi ke lapangan (untuk shalat I'dul Fitri)". (Baca Al-Mugni 4
: 490-491).
Dan orang yang bernadzar
akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari tertentu, atau bermaksud
melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaknya ia memulai i'tikaafnya itu sebelum
terbit fajar, dan keluar dari masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf
itu di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.
(Lihat Bidayaatul Mujtahid 1 :
230. Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6 : 494. Fiqhus Sunah 1 : 403-404).
Kata Ibnu Hazm : Orang
yang bernadzar hendak i'tikaaf pada satu malam atau beberapa malam tertentu,
atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid
sebelum terbenam matahari, dan keluar dari masjid bila sudah terbitnya fajar.
Sebabnya karena permulaan malam ia saat yang mengiringi terbenamnya matahari,
dan ia berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu
terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak
dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan
diniatkannya.
(Lihat Al-Muhalla 5 : 198 masalah No. 636).
I. HAL-HAL YANG SUNNAT
DAN MAKRUH BAGI ORANG YANG I'TIKAAF
Disunnatkan bagi orang
yang beri'tikaaf memperbanyak ibadat sunnat serta menyibukkan diri dengan shalat
berjama'ah lima waktu dan shalat-shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, tasbih,
tahmid, takbir, istigfhar, berdo'a, membaca shalawat atas Nabi SAW dan
ibadat-ibadat lain yang mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala.
Termasuk juga hal ini
disunnatkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits,
membaca riwayat para Nabi dan orang-orang shaleh, dan mempelajari kitab-kitab
fiqh serta kitab-kitab yang berisi tentang masalah 'aqidah.
Dimakruhkan bagi orang
yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfa'at, baik
berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau :
"Diantara kebaikan Islam
seseorang, ialah ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna".
(Hadits riwayat
Tirmidzi No. 2419. Ibnu Majah No. 3976 dan di-shahkan oleh Syaikh Al-Albani di
Shahih Jami'us Shagir No. 5787).
Dimakruhkan pula menahan
diri dari berbicara, ya'ni : seseorang tidak mau bicara, karena mengira bahwa
hal itu mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Ibnu Abbas berkata :
Ketika Nabi SAW sedang khutbah, tampak oleh beliau seorang laki-laki yang tetap
berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para shahabat)
siapakah orang itu ? Jawab mereka : "Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus
berdiri, tidak akan duduk, tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan
terus berpuasa. Maka Nabi SAW bersabda:
"Suruhlah ia berbicara,
bernaung dan duduk, dan hendaklah ia meneruskan puasanya".
(Hadits Shahih
riwayat Bukhari, Abu Dawud No.3300, Ath-Thahawy Fii-Masykilil Aatsaar. 3 : 44
dan Baihaqy 10 : 75).
J. HAL-HAL YANG
MEMBATALKAN I'TIKAAF
K.
HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I'TIKAAF
"Dari 'Aisyah, bahwa ia pernah
menyisir rambut Nabi SAW, padahal ia sedang haidh, dan Nabi SAW sedang i'tikaaf
di masjid, dan 'Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi SAW dimasukkan
ke kamar 'Aisyah. Dan adalah Nabi SAW, bila sedang i'tikaaf tidak pernah masuk
rumah melainkan kalau untuk menunaikan hajat".
(Hadits Shahih riwayat Bukhari
2 : 260, 256. Muslim 1: 167, Abu Dawud No. 2467. Tirmidzi. Ibnu Majah No. 1776
dan 1778. Malik. Ibnul Jarud dan Ahmad 6 : 104,181,235,247,262).
Berkata
Ibnul Munzir : Para Ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf boleh keluar dari
masjid (tempat i'tikaaf-nya) untuk keperluan buang air besar atau kencing,
karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sebab tidak mungkin
dilakukan di masjid. Dalam hal ini sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum
bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia keluar (sekedarnya)."
(Lihat
Fiqhus Sunnah 1 : 405).
'Aisyah juga meriwayatkan
bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika ia sedang i'tikaaf melainkan hanya
sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada
si sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan
Muslim.
L.
KHATIMAH
Sebagai khatimah dari
tulisan ini, dianjurkan bagi orang-orang yang i'tikaaf pada sepuluh hari
terakhir Ramadhan dan yang tidak i'tikaaf, berusahalah memanfa'atkan kepada
Allah, perbanyaklah baca Al-Qur'an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan
shalat-shalat sunnat yang diajarkan Rasulullah SAW, mudah-mudahan kita termasuk
orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari
seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala, sabda Rasulullah SAW :
"Dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah SAW, bersabda : "Barangsiapa yang berdiri (shalat tahajjud/tarawih),
karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni
dosa-dosa-nya yang telah lalu".
(Hadits Shahih riwayat Bukhari 2 : 252.
Muslim 2 : 177. Abu Dawud No. 1371. Nasa'i 4 : 155-158. Darimy, Ibnu Majah No.
1326. Ahmad 2 : 281,289,408,423).
Dan perbanyak pula baca
dzikir di bawah ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya
Lailatul Qadar.
"ALLAHUMMA INNAKA
'AFUUWUN TUHIBBUL 'AFWA FA' FU 'ANNII"
"Ya Allah ! Sesungguhnya
Engkau Maha pemaaf dan suka mema'afkan, maka ma'afkanlah aku".
(Hadits Shahih riwayat
Ahmad 6 : 171. Ibnu Majah No. 3850. Tirmidzi No. 3580 (Shahih Tirmidzi No. 2789
dan Shahih Ibnu Majah No. 3105)).
Wallahu 'Alamu Bish
Shawaab