
Kaidah
penerapan Sunnah : Pertimbangan yang
matang Penulis: Ustadz
Muhammad Umar as Sewed Manhaj, 27 - Agustus - 2004,
11:27:18
Dalam
menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam tidak boleh lepas dari kaidah maslahat (pengaruh yang
baik) dan mafsadah (pengaruh yang jelek)nya.
Para
ulama telah meletakkan kaidah-kaidah umum yang ma’ruf dan
dikenal dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. Kaidah
tersebut diantaranya: “Jika dihadapkan kepada kita dua
mafsadah, maka kita harus menghindari mafsadah yang lebih
besar dengan mengerjakan yang lebih kecil”. Atau kaidah yang
sejenisnya yakni “Menolak mafsadah lebih diutamakan daripada
mendatangkan maslahat”.
Kaidah-kaidah yang seperti ini
sesungguhnya diterapkan kalau terjadi dilematis antara 2
keadaan. Artinya jika dihindari yang satu, maka akan terkena
yang lainnya. Adapun jika keadaannya tidak seperti itu, maka
jelas mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam merupakan maslahat yang besar.
Kaidah-kaidah
para ulama tadi diambil dari dalil-dalil yang banyak dan
shahih. Salah satu di antaranya adalah apa yang telah
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Aisyah:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْجَدْرِ أَمِنَ الْبَيْتِ هُوَ؟ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ فَمَا
لَهُمْ لَمْ يُدْخِلُوْهُ فِي الْبَيْتِ؟ قَالَ إَنَّ قَوْمَكِ
قَصَّرَتْ بِهِمُ النَّفَقَةُ. قُلْتُ فَمَا شَأْنُ بَابِهِ
مُرْتَفِعًا؟ قَالَ فَعَلَ ذَلِكَ قَوْمُكِ لِيُدْخِلُوْا مَنْ
شَاؤُوْا وَيَمْنَعُوْا مَنْ شَاؤُوْا وَلَوْلاَ أَنْ قَوْمَكِ
حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِالْجَاهِلِيَّةِ فَأَخَافُ أَنْ تُنْكِرَ
قُلُوْبَهُمْ أَنْ أَدْخُلَ الْجَدْرَ فِي الْبَيْتِ وَأَنْ
أُلْصِقَ بَابَهُ بِاْلأَرْضِ. (رواه البخاري ومسلم) Aku
bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Apakah al-jadru (Hijr Ismail) itu termasuk Baitullah
(Ka’bah)?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
“Ya”. Aku katakan: “Kalau begitu mengapa tidak dimasukkan ke
dalam Baitullah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya kaummu
kekurangan dana”. Aku bertanya lagi: “Dan kenapa pintunya
berada di atas?” Beliau menjawab: “Dibangun sedemikian rupa
supaya kaummu bisa memasukkan siapa yang dikehendaki dan
melarang siapa yang dikehendakinya. Kalau saja bukan karena
kaummu yang baru masuk Islam dan sangat dekat dengan jahiliyah
-yang aku khawatir hati-hati mereka akan mengingkarinya,
niscaya aku akan memasukkan al-Jadru ke dalam bangunan
Baitullah dan niscaya aku tempelkan pintunya ke bumi.” ( HR.
Bukhari dan Muslim ).
Hadist ini dimasukkan oleh Imam
Bukhari dalam Shahihnya dengan diberi judul: ”Bab meninggalkan
sesuatu yang baik karena kekhawatiran kurangnya pemahaman
manusia, hingga akan menyebabkan mereka bertambah jauh.” Ibnu
Hajar dalam syarh hadist ini mengatakan: “Hadist ini
memberikan faedah tentang bolehnya meninggalkan suatu maslahat
karena kekhawatiran terjatuh ke dalam mafsadah”.
Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Dianjurkan bagi seseorang untuk memiliki tujuan melembutkan
hati-hati manusia dengan cara meninggalkan beberapa hal yang
mustahab (tidak wajib). Karena maslahat menyatunya hati-hati
kaum muslimin terhadap agamanya lebih besar daripada maslahat
yang akan didapatkan dengan mengerjakannya. Sebagaimana
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam meninggalkan untuk
membangun Ka’bah (dengan menyatukan Hijr Ismail dengan
bangunan ka’bah –pent), karena dengan cara yang demikian akan
terjaga hati-hati kaum muslimin yang baru masuk Islam pada
saat itu”.
Juga dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud
Radiyallahu ‘anhu. Ketika beliau melihat perbuatan khalifah
Utsman ibn Affan yang tidak mengqashar shalatnya ketika dalam
safar. Beliau mengingkarinya dengan mengucapkan: “Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un, aku shalat di belakang Abu Bakar dan
Umar, keduanya mengqashar shalatnya. Namun Utsman bin Affan
menyempurnakan shalatnya”. Meskipun demikian, beliau tetap
sholat di belakang Utsman empat rakaat. Ketika hal ini
ditanyakan kepadanya, beliau mengatakan bahwa perselisihan
adalah suatu kejelekan.
Demikian pula jawaban khalifah
Utsman bin Affan ketika beliau ditanya mengapa beliau
menyempurnakan shalat dan tidak mengqasharnya. Beliau menjawab
bahwa karena pada saat itu banyak orang awam dan mereka yang
baru masuk Islam, maka beliau khawatir jika mereka menganggap
bahwa shalat dluhur itu dua rakaat. Ini menunjukkan bahwa
ta’liful qulub (menjinakkan hati) lebih besar maslahatnya
daripada mengerjakan hal yang mustahab.
Oleh karena
itu, mengerjakan suatu amalan sunnah bisa jadi pada satu
keadaan menjadi mustahab (dianjurkan); namun dalam keadaan
lain, meninggalkannya lebih afdhol sesuai dengan maslahat yang
lebih unggul. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
juz 22, hal. 407).
Meskipun demikian, perlu
diperhatikan bahwa dalam masalah ini maslahat yang dimaksud
adalah maslahat agama atau maslahat yang syar’iyah, bukan
maslahat pribadi atau maslahat dunia (keuntungan dunia)
belaka. Dan juga kaidah ini berlaku pada hal-hal yang hukumnya
mustahab bukan pada perkara yang wajib. Adapun jika perkara
itu adalah perkara yang wajib, maka meninggalkannya akan
mendapat dosa dan diancam dengan adzab api neraka. Adakah
mafsadah yang lebih besar dari pada masuknya seseorang ke
dalam api neraka?
Kaidah ini tidak bertentangan dengan
kaidah asal yang memerintahkan untuk senantiasa menghidupkan
sunnah. Karena kaidah yang sedang kita bahas ini bersifat
sementara dan pada keadaan tertentu, bukan untuk mematikan
sunnah selama-lamanya.
Dalam masalah ini ada sebagian
di antara kaum muslimin yang melampaui batas, seperti Ikhwanul
Muslimin, Sururiyin (pengikut Muhammad Surur Nayif Zainal
Abidin), Qutbiyyun (pengikut Sayid Qutub) dan sejenisnya.
Mereka menggunakan kaidah ini dalam metode dakwahnya secara
berlebihan, hingga mereka mematikan sunnah dan menggagap
sunnah sebagai penghalang da’wah. Bahkan di antara mereka ada
yang mendudukkan “Maslahatu Da’wah” seakan-akan tuhan, mereka
menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan Allah, mengharamkan
hal-hal yang telah dihalalkan, merubah syari’at, mematikan
sunnah, bahkan membenci ahlussunnah yang menghidupkan sunnah
hanya dengan alasan Maslahatud Da’wah (kepetingan
dakwah).
Kita katakan bahwa kalau meninggalkan sunnah
secara keseluruhan, apalagi meninggalkan perkara-perkara yang
wajib, maka itu bukan maslahat untuk da’wah, bukan pula untuk
agama ini, bahkan yang terjadi adalah mafsadah yang besar dan
kehancuran Islam.
Berkata Ibnu Mas’ud Radiyallahu
‘anhu: ”Akan muncul suatu kaum yang meninggalkan sunnah
seperti ini (yaitu satu ruas jari). Jika kalian biarkan,
niscaya mereka akan mendatangkan bencana yang besar.
Sesungguhnya tidaklah ahlul kitab meninggalkan agamanya
kecuali diawali dengan meninggalkan satu sunnah demi satu
sunnah, hingga berakhir dengan meninggalkan sholat. Kalau
mereka tidak berusaha menghidupkan sunnah niscaya mereka pun
akan meninggalkan sholat.” (diriwayatkan oleh al-Lalikai di
dalam Syarh Ushulul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, juz
1/91).
Untuk itu kita harus memiliki dan menerapkan
kadah-kaidah dalam penerapan sunnah secara lengkap. Jangan
mengambil salah satunya dan membuang yang lainnya. Kaidah yang
pertama dan utama adalah bagaimana menghidupkan sunnah secara
keseluruhan pada diri kita dan masyarakat kita. Allah
berfirman: يَآ أَيُّهَا الَذِيْنَ ءَامَنُوْا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَآفَةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ. ]البقرة: 208[ Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam
secara keseluruhan. Dan janganlah kalian turuti
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata
bagimu. (al-Baqarah: 208)
Kami berikan satu contoh,
yaitu ketika kita melihat satu sunnah yang tidak wajib
hukumnya (mustahab) seperti sunnahnya sholat memakai sandal.
Dalam keadaan masyarakat yang jahil dan diperkirakan akan
dapat menjadi fitnah bagi mereka dengan mencela sunnah
tersebut atau mencela dakwah ahlu sunnah, maka hendaknya kita
tidak mengerjakan atau lebih tepatnya menunda hingga kita
menyampaikan ilmunya, menerangkan dalilnya, menegakkan
hujahnya, membuktikan keshahihan riwayatnya dan menjelaskan
istimbat hukumnya menurut para ulama agar tidak membuat salah
paham mereka.
Berkata Syaikh Abdussalam bin Barjas:
“Pemahaman yang benar terhadap kaidah ini adalah jika pada
penerapan suatu sunnah dapat mengakibatkan mafsadah yang jelas
lebih besar dari maslahat yang didapatkannya maka tahanlah
sunnah tersebut di tempat tersebut (pada saat tersebut) dengan
mengupayakan beberapa perkara: 1. Wajib menasehati mereka
dan mengingatkan mereka tentang kedudukan sunnah yang tinggi
dan agung tersebut. 2. Tidak meninggalkan sunnah tersebut
untuk selamanya. 3. Jika diketahui bahwa para penentang
sunnah tersebut menolaknya bukan karena bodoh, tetapi karena
benci terhadap sunnah tersebut, karena ta’ashub (fanatik)
kepada madzhab tertentu atau karena mengikuti aliran tertentu,
maka sunnah harus tetap ditegakkan. Tidak peduli dengan mereka
atau seribu orang seperti mereka. Karena telah shahih
riwayatnya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda: ...فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ
مِنِّيْ... (رواه البخاري) ...Barangsiapa yang benci pada
sunnahku, maka dia bukan dari golonganku... (HR.
Bukhari)
Selanjutnya Syaikh Abdussalam bin Barjas
mengatakan: “Karena maslahat besar yang kita inginkan adalah
bagaimana kita mewujudkan kasih sayang di antara ahlus sunnah
dan sebaliknya menghilangkan permusuhan dan kebencian di
antara mereka, maka ketika telah diketahui seseorang atau
sekelompok tertentu benci kepada sunnah, maka hilanglah kasih
sayang kita kepada mereka dan wajib memboikot dan membenci
mereka karena Allah.
Hal ini berbeda keadaannya jika
yang membenci dan menolak sunnah adalah orang awam seperti
kebanyakan kaum muslimin. Jika kita menunda beberapa perkara
yang tidak wajib karena mengimbangi mereka hingga mereka paham
terhadap perkara tersebut, hal ini adalah satu sikap yang
bijaksana dan perkara yang disyari’atkan. Sikap ini dilakukan
agar kebodohan mereka tidak membawa mereka terjerumus dalam
ucapan-ucapan yang tidak pantas diucapkan. Langkah berikutnya
adalah mengenalkan kepada mereka sunnah-sunnah tersebut dengan
penuh hikmah dan kelembutan. Kalau perlu meminta bantuan
kepada orang-orang yang berilmu dalam masalah
tersebut.
Kalau upaya-upaya tersebut telah dilakukan
dan telah jelas bagi mereka petunjuk, namun mereka tetap
membenci dan menolaknya, maka gabungkanlah mereka dengan
kelompok tadi (yakni ahlil bid’ah). (Dlaruratul Ihtimam,
Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 96-97)
(Dikutip
dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 16/Th. I, tgl 8
Dulhijjah 1424 H/30 Januari 2004 M, penulis Ustadz Muhammad
Umar as Sewed, judul asli "Kaidah-kaidah penerapan Sunnah :
Mempertimbangkan Maslahat dan Mafsadah". Risalah Dakwah MANHAJ
SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp.
100,-/exp. Pesanan min. 50 exp bayar di muka. Diterbitkan oleh
Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW
03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz
Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi
Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi:
Arief, Agus Rudiyanto; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi:
Abu Rahmah HP.
081564634143)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=738
|