Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Halaman satu dari dua tulisan
A. DEFENISI I'TIKAAF
I'tikaaf berasal dari kata :
'AKAFA - YA'KIFU - WAYA'KUFU - 'UKUUFAN
I'tikaaf menurut bahasa ialah = "menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan".
Allah berfirman :
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat
kepadanya ?" (QS 21 : 52)
Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah : seseorang
tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan
shifat/cara tertentu.
(Lihat Syarah Muslim, 8 : 66. Fathul Baari 4 : 271.
Muhalla 5 : 179, masalah No. 624).
B. DISYARI'ATKANNYA
Para Ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam dan Nabi
SAW selalu mengerjakan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Artinya
:
"Dari 'Aisyah ra, istri Nabi SAW, ia berkata : "Adalah Nabi SAW, biasa
i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sampai beliau wafat
kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya".
(Hadist
riwayat Bukhari 2 : 255. Fathul Baari 4 : 271 Nomor 2462. Ahmad 6 : 292 dan
Baihaqy 4 : 315, 320).
"Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW, biasa i'tikaaf pada
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad,
Bukhari dan Muslim).
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Adalah Rasulullah SAW, apabila sudah masuk
sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau menghidupkan malam itu,
membangunkan istrinya dan mengikat kainnya".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad,
Bukhari 2 : 255. Muslim 3 : 176. Abu Dawud No. 1376. Nasa'i 3 : 218 dan
Tirmidzi).
Maksud dari kalimat :
"'Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah SAW, bersungguh-sungguh
pada sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di
malam-malamnya".
(Hadits Shahih riwayat : Ahmad dan Muslim 3 : 176).
Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya, begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun menyatakan keutamaannya.
Berkata Imam Abu Dawud As-Sijistany : "Saya bertanya kepada Imam Ahmad :
Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf ? Jawab beliau :
tidak kudapati, kecuali ada sedikit riwayat, dan riwayat inipun lemah.
(Lihat
Al-Mughni, 4 : 455-456 dan Silsilah Ahaadist Dha'ifah dan Maudhu'-ah No. 518).
C. HUKUM I'TIKAAF
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu sunnat dan wajib.
I'tikaaf Sunat.
Ialah yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari
pada-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW. I'tikaaf seperti ini sangat
ditekankan dan lebih utama dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW setiap bulan Ramadhan sampai
beliau wafat.
I'tikaaf Wajib.
Ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang
terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia
mengatakan wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. Atau
dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah dengan menyembuhkan
penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam. Nadzar ini wajib
dilaksanakan.
Rasulullah SAW bersabda.
Artinya :
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Telah
bersabda Rasulullah SAW : "Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu
keta'atan kepada Allah hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan barangsiapa
bernadzar untuk melakukan ma'shiat (kedurhakaan/kesyirikan) kepada Allah, maka
janganlah lakukan ma'syiat itu".
(Hadits Shahih riwayat : Bukhari, Malik, Abu
Dawud No. 3289, Nasa'i, Tirmidzi, Darimy 2 : 184. Ibnu Majah No. 2126, Ahmad 6 :
36,41,224 dan Baihaqy 19/68 dan Ibnu Jarud No. 934).
'Umar bin Khattab ra, pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : Ya Rasulullah,
saya pernah bernadzar di zaman jahiliyah akan beri'tikaaf satu malam di masjid
Haram ? Sabda beliau : "Penuhilah nadzarmu itu !".
(Hadist Shahih riwayat :
Bukhari 2 : 256, Fathul Baari No. 2032 dan Muslim 5 : 89).
D. WAKTUNYA
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu.
Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.
Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli Fiqih, i'tikaaf yang sunat tidak ada batasnya (lihat Bidayatul Mujtahid 1 : 229). Kata Ibnu Hazm : boleh seseorang i'tikaaf siang saja. Inilah merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Sulaiman (baca Al-Muhalla 5 : 179-180 masalah no. 614).
E. SYARAT-SYARAT I'TIKAAF
Orang yang i'tikaaf syaratnya ialah :
Bila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka :
F. RUKUN-RUKUN I'TIKAAF
Allah berfirman :
"Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus"
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya segala
perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut
niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang
diniatkannya..."
(Hadits Shahih riwayat Bukhari (Fathul Baari 1 : 9) 6 : 48).
Mengenai diwajibkannya di masjid berdasarkan
firman Allah Ta'ala :
"....tetapi janganlah kamu campuri mereka itu,
sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid ...." (QS 2 : 187)
Jadi i'tikaaf itu hanya shah di masjid.
G. PENDAPAT FUQAHA
Mengenai Masjid yang Shah Dipakai Untuk I'tikaaf
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam Nawawi berkata : "I'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". (Lihat Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6 : 483).
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan shah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah shah menerangkan bahwa isteri-isteri Nabi SAW, melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. (Lihat Fiqhus Sunnah 1 : 402).
Tentang wanita i'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri
terpisah dari laki-laki, dan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah
yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, ikhtilath dengan laki-laki
di tempat yang sudah semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya para ulama
membolehkan, dan di usahakan untuk tidak saling pandang-memandang antara
laki-laki dan wanita.
(Lihat Al-Mughni 4 : 464-465, baca Fiqhul Islam syarah
Bulughul Maram 3 : 260)