
Bantahan Ahmad Dimyathi cs : Setiap bid'ah itu sesat (2)
Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al Bugisi Bid'ah-Bid'ah, 26 - Oktober - 2004, 05:02:06
Lihat apa yang dikatakan oleh Ahmad Dimyathi –semoga Allah memberi petunjuk padanya- ketika dia berkata: “Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya HARUS DITERIMA(??!!) dan tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dholalah, kalaupun dikatakan bid’ah, itu namanya bid’ah hasanah” (Dzikir Berjama’ah, Ahmad Dimyathi: 52)
Subhanallah!! Mana dalil yang menunjukkan bahwa hasil ijtihad para imam mujtahid harus diterima secara mutlak tanpa syarat? Siapa yang mendahuluimu mengatakan hal ini? Lalu apabila para imam mujtahid tersebut harus diterima, maka yang mana yang harus diterima di saat terjadi perselisihan di antara mereka?
Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaiahi wasallam:
القُضَاةُ ثَلاَثَةٌ: قَاضِيَانِ فِيْ النَّارِوَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ, قَاضٍ قَضَى بِغَيْرِ الْحََقِّ َوهُوَ يَعْلَمُ فَذَلِكَ فِي النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوْقَ النَّاسِ فَذَلِكَ فِي النَّارِ, وَقَاضٍ قَضَى بِالْحَقِّ وَهُوَ يَعْلَمُ فَذَلِكَ فِي الْجَنَّةِ
“Qadhi (penegak hukum) ada tiga: Dua dalam neraka dan satu dalam syurga:
1. Qadhi yang memutuskan hukum tanpa hak dan dia mengetahui hal itu maka dia dalam neraka.
2. Qadhi yang menetapkan hukum dan dia tidak berilmu maka menyebabkan dia membinasakan hak-hak manusia, maka dia dalam neraka.
3. Qadhi yang memutuskan (hukum) dengan kebenaran dan dia berilmu tentangnya maka dia dalam syurga”.( Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullah:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Apabila telah shahih suatu hadits, maka itulah madzhabku”.
Beliau juga berkata:
لاَ يَحِلَُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ بِقَوْلِنَا مَا لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أََخَذْنَاهُ
“Tidaklah halal bagi seorang pun mengambil pendapat kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”.
Beliau juga berkata:
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يُفْتِي بِكَلاَمِي
“Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk ber-fatwa dengan perkataanku”.
Berkata Imam Malik rahimahullahu Ta’ala:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِئُ وَأُصِيبُ, فَانْظُرُوا فِي رَأْيِي, فَكُلُّ مَا وَافَقَ الكِتَابَ وَالسُنَّةَ فَخُذُوْهُ, وَكَلُّ مَا لَمْ يُوَاِفقْ الكِتَابَ وَالسُنَّةَ فَاتْرُكُوهُ
“Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku, maka setiap apa yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka ambillah, dan setiap apa yang tidak mencocoki Al-Kitab dan As-Sunnah maka tinggalkanlah”.
Beliau juga berkata:
وَلَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وآله وسلم إِلاَّ وَيُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيَتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم
“Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melainkan bisa diterima dan ditolak perkataannya kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.”
أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اِسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اله عليه وآله وسلم, لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Sepakat kaum muslimin bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya kare-na perkataan seseorang (dari manusia)”.
Dan beliau juga berkata:
إَذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم, فَقُوْلُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَدَعُوا مَا قُلْتُ
“Jika kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka ambillah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tinggalkan apa yang aku katakan”.
Dan berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala:
لاَ تُقَلِّدْنِي , وَلاَ تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِي وَلاَ الأَوْزَاعِي وَلاَ الثَّوْرِي, وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا
“Janganlah kamu ber-taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Syafi’i dan tidak pula Ats-Tsauri dan Al-Auza’i, dan ambillah dari mana mereka mengambilnya”.
Dan beliau berkata pula:
رَأْيُ الأَوْزَاعِي, وَرَأْيُ مَالِكٍ, وَرَأْيُ أَبِي حَنِيْفَةَ كُلُّهُ رَأْيٌ, وَهُوَ عِنْدِي سَوَاءٌ, وَإِنَّمَا الحُجَّةُ فِي الآثَارِ
“Pendapat Auza’i pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat, dan menurutku semuanya sama. Hujjah hanyalah dengan riwayat (atsar)”.
Dan yang lainnya dari perkataan para imam dan fuqoha’ yang mengharuskan seseorang merujuk kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam segala perkara agama, bukan malah harus menerima pendapat mereka tanpa melihat mana di antara mereka yang lebih mendekati kebenaran.
Adapun riwayat yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi itu tidak lebih hanya memberikan izin kepada seorang ahli ilmu yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad untuk mengeluarkan pendapatnya dalam suatu perkara ketika tidak mengetahui ada dalil-nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, atau perkataan para ‘Ulama salaf dari kalangan shahabat dan Tabi’in, bukannya memberikan keterangan bahwa ijtihadnya harus diikuti, apalagi untuk mentakhsis sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam???, bukankah ijtihad hanya diperbolehkan di saat tidak mendapatkan nash syar’i??? sungguh aneh pendapatmu wahai saudara!!
Simaklah apa yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu Ta’ala:
“Yang wajib atas setiap yang sampai kepadanya perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan mengetahuinya agar menjelaskannya kepada umat, dan menasehati mereka, dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintahnya (Rasul), walaupun menyelisihi pendapat seorang yang agung dari umat ini karena sesungguhnya perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti daripada pendapat siapapun yang diagungkan yang telah menyelisihi perintahnya pada sebagian perkara. Dari sinilah para shahabat dan setelahnya menolak setiap yang menyelisihi sunnah yang shahihah dan terkadang mereka bersikap keras dalam menolaknya, bukan karena benci kepada mereka, namun karena cinta dan diagungkan dalam jiwa mereka. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lebih mereka cintai, perintahnya di atas seluruh perintah makhluk, maka apabila bertentangan antara perintah Rasul dengan perintah yang lainnya, maka perintah Rasul lebih utama diikuti dan didahulukan”. ( Sifat Shalat Nabi, Al-Albani hal. 54 )
Adapun pendapat para ‘Ulama yang anda nukilkan tentang takhsis (pengkhususan) hadits tersebut, hal itu disebabkan karena memahaminya secara definisi bahasa, bukan secara istilah. Seperti apa yang anda nukilkan dari Imam Nawawi yang menafsirkan hadits “kullu bid’atin dholalah” yang dimaksud adalah kebanyakan (bukan seluruh) bid’ah. Berikut ini perkataan beliau secara lengkap:
((وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)) هَذَا عَامٌ مَخْصُوْصٌ وَالمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ قَالَ أَهْلُ الْلُغَةِ: هِيَ كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ.قَالَ الْعُلَمَاءُ: البِدْعَةُ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ ...
“(Kullu bid’atin dholalah) (hadits) ini umum yang dikhususkan, yang dimaksud adalah kebanyakan bid’ah. Berkata ahli bahasa: bid’ah adalah segala sesuatu yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya. Berkata para ‘Ulama: Bid’ah terbagi menjadi lima bagian …” ( Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi: 6/154-155)
Begitu pula yang dinukilkan dari Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir As-Shan’ani. Selengkapnya beliau berkata:
((وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ )) البِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ, وَالمُرَادُ بِهَا هَهُنَا مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيًةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ ... ثُمَّ قَالَ: فَقَوْلُهُ ((كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ )) عَامٌ مَخْصُوْصٌ
“(Kullu bid’atin dholalah) Bid’ah secara bahasa adalah apa yang diamalkan tanpa ada contoh sebelumnya, dan yang dimaksud di sini adalah apa yang diamalkan tanpa didahului amalan syar’i dari kitab dan sunnah … lalu beliau berkata: maka sabdanya (kullu bid’atin dholalah) adalah umum yang dikhususkan”. (Lihat kitab Subulussalam, As-Shan’ani: 2/103-104)
Demikian pula yang dinukil dari Muhammad bin Allan As-Shiddiqi rahimahullah. Beliau berkata setelah menyebutkan definisi bid’ah secara bahasa dan istilah:
((ضَلاَلَةٌ)) ِلأَنَّ الْحَقَّ فِيْمَا جَاءَ بِهِ الشَّرْعُ فَمَا لاَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ يَكُوْنُ ضَلاَلَةً, إِذْ لَيْسَ بَعْدَ الحَقِّ إِلاَّ الضَلاَلُ, وَالمُرَادُ بِالضَّلاَلَةِ هُنَا مَا لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ وَإِنَّمَا حَمَلَ عَلَيْهِ مُجَّردُ الشَّهْوَةِ أَوِ الإِرَادَةِ, بِخِلاَفِ مُحْدَثٍ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ إِمَّا بِحَمْلِ النَّظِيْرِ عَلَى النَّظِيْرِ أَوْ بِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ حَسَنٌ ... ثُمَّ قَالَ: فَعُلِمَ أَنَّ قَوْلَهُ ((وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة)) عَامٌ أُرِيْدَ بِهِ خَاصٌ.
“(Dholalah [sesat]), sebab kebenaran adalah apa yang dibawa oleh syari’at maka apa yang tidak kembali kepadanya maka sesat. Sebab tidak ada lagi selain kebenaran melainkan kesesatan. Yang dimaksud sesat di sini adalah yang tidak ada asalnya dalam syari’at, yang membawanya melakukan hal tersebut adalah syahwat atau keinginan. Berbeda dengan perkara baru yang ada asalnya dalam syari’at apakah dengan membawa sesuatu kepada yang serupa dengannya, atau dengan cara lain, maka hal tersebut baik ... lalu berkata: Maka diketahuilah bahwa sabdanya (kullu bid’atin dhalalah) adalah umum yang dikhususkan.”( Lihat kitab Dalil Al-Falihin, Ibnu Allan: 1/308-309)
Dari penukilan ini semua sangatlah jelas bahwa mereka memaksudkan dengan istilah bid’ah adalah bid’ah secara bahasa, oleh karenanya mereka mengatakan “hadits ini umum yang dikhususkan” yang maknanya adalah lafadz “bid’ah” adalah lafadz yang umum, karena mencakup seluruh perbuatan baru yang tidak ada contohnya, baik dalam masalah dunia maupun syari’at, namun hadits tersebut maksudnya adalah bid’ah istilah yang hanya menyangkut masalah agama, adapun yang tidak termasuk dalam masalah agama, atau yang ada asalnya dalam agama, maka yang demikian itu termasuk bid’ah secara bahasa. Oleh karena itu mereka mencontohkan beberapa bid’ah tersebut seperti memelihara ilmu dengan cara menulisnya, membantah para mulhid dengan menegakkan dalil atas mereka, membangun madrasah, perluasan dalam warna makanan dan pakaian yang bernilai tinggi, dan yang lainnya yang termasuk bid’ah secara bahasa. Ini menunjukkan bahwa tidak terdapat khilaf dikalangan para ‘Ulama bahwa bid’ah dalam istilah syari’at itu sesat secara mutlak. Wallahul muwaffiq
Pembagian Bid’ah Menjadi Bid’ah Haqiqiyah Dan Idlafiyah
Bid’ah Haqiqiyah
Adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari syari’at yang mendasarinya, baik dari Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ atau kias dan pendalilan yang mu’tabar (diakui) di kalangan ahli ilmu, secara keseluruhan atau terperinci. Seperti pengingkaran bahwa Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam termasuk hujjah dalam syari’at, atau pengakuan sebagai nabi, atau mengaku bahwa diturunkan kepadanya wahyu, dan yang lainnya yang tidaklah terdapat perselisihan bahwa hal tersebut sangatlah berten-tangan dengan syari’at yang suci ini. (Mauqif Ahlis Sunnah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, karangan Ibrahim Ar-Ruhaili: 1/95)
Bid’ah Idlafiyah
Adapun bid’ah idlafiyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi terkait:
1. Di mana pada satu sisi, dia mempunyai dalil yang berkaitan dengan bid’ah itu, sehingga dari arah ini tidak dikatakan bid’ah
2. Tidak berkaitan dengan satu dalilpun, seperti halnya bid’ah haqiqiyah
Yakni, dari sisi adanya dalil sebagai dasar, dia adalah sunnah. Sementara dari sisi lain, merupakan bid’ah karena bersandar kepada syubhat (kerancuan), bukan kepada dalil atau sama sekali tidak bersandar kepada apapun. (Al-Al-I’tisham: 1/367-368)
Contohnya seperti seseorang yang membiasakan suatu model tertentu dalam beribadah, seperti didirikannya shalat sunnah secara berjama’ah di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama’ah kecuali pada malam Ramadhan, dan juga di antaranya adalah acara dzikir berjama’ah model Arifin Ilham yang akan kita paparkan berikut ini. (Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal-Jama’ah min Ahlil Ahwa’: karangan Ar-Ruhaili: 1/97)
Tidak Semua Yang Asalnya Disyari’atkan, Berlaku Pula Dalam Segala Hal
Dari keterangan tentang pembagian bid’ah tadi, jelaslah bagi kita bahwa tidak semua yang pada asalnya disyari’at-kan maka dia masyru’ dari segala sisi, sama saja apakah berkaitan dengan waktu, tempat atau yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Imam As-Suyuthi rahimahullahu Ta’ala dalam Al ‘Amru bil Ittiba’ ketika menyebutkan sebagian bid’ah yang disangka sebagian besar kaum muslimin adalah ibadah, amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, ketaatan atau sunnah.
Selanjutnya beliau berkata: ”Adapun yang kedua dari hal-hal yang dianggap manusia sebagai ketaatan, dan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sesungguhnya adalah kebalikannya. Atau yang meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakan-nya, adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syari’at dalam salah satu bentuk amalan, pada waktu atau tempat tertentu. Misalnya puasa (hanya) siang hari, thawaf (hanya) di Ka’bah. Atau hanya berlaku untuk satu orang seperti yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam perkara mubah atau keringanan-keringanan. Kemudian datang si jahil mengkiaskan dirinya dengan keadaan itu dan melaksanakannya, padahal pekara itu terlarang baginya untuk mengerjakannya. Atau misalnya dia mengkiaskan bentuk-bentuk atau cara-cara pelaksanaan amalan tersebut satu dengan yang lainnya tanpa menghiraukan perbedaan waktu dan tempatnya.”
Syaikh ‘‘Amru bin ‘Abdul Mun’im ketika menerangkan tentang kaidah bagaimana mengenal suatu bid’ah, mengatakan: ”Semua bid’ah yang disebutkan secara mutlak oleh syari’at dan dibatasi oleh sebagian manusia menurut tempat, waktu, bentuknya ataupun jumlahnya, maka hal itu adalah bid’ah.”
“Bisa jadi, suatu ibadah bersambung dengan ibadah lain yang disyari’atkan, hanya saja hubungan tersebut secara bersamaan termasuk bid’ah.”
Beliau mengatakan pula: “Ibadah adalah amalan tauqifiyah, bukan hanya dalam bentuk dan tata caranya tetapi juga waktu pelaksanaannya, juga tempatnya sehubungan dengan ibadah lainnya dan keberadaannya bersama kebiasaan yang lain. Maka dari sini, tidak boleh menyambung ibadah dengan ibadah lain kecuali apabila ada dalil syari’at yang membolehkannya. Kalau tidak ada dalil yang mendasarinya maka perbuatan itu adalah bid’ah.”
Dan berkata pula Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahu Ta’ala:
لَيْسَ كُلُّ مَا كَانَ قُرْبَةً فِي مَوْطِنٍ يَكُوْنُ قُرْبَةً فِي كُلِّ الْمَوَاطِنِ, وَإِنَّمَا يُتَّبَعُ فِي ذَلِكَ كُلُّ مَا وَرَدَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ فِي مَوَاضِعِهَا
“Bukan setiap yang dianggap qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) menjadi qurbah disetiap tempat, namun diikuti hal tersebut semua apa yang datang di dalam syari’at (sesuai) tempat-tempatnya.”( Iiqodzul Himam, Salim Al-Hilali: 98)
Dan inilah, sekarang saya hadirkan ke hadapan sidang pembaca –semoga Allah merahmati anda- sekelumit contoh dalam permasalah-an ini agar kaidah ini mudah dipahami, sbb :
1. Membaca Al-Qur’an. Ini jelas ibadah. Keutamaannya banyak diungkapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan di sini kami hanya mencantumkan sebagiannya karena khawatir terlalu panjang.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Umamah Shudai bin ‘Ajlan Al-Bahili radliyallahu ‘anhu, katanya: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
اِقْرَؤُوا القُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Quran, karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at.”
Meskipun adanya keutamaan sebesar ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melarang kita membacanya pada waktu sujud, ruku’ di dalam shalat sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, katanya: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ اْلقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرّكُوْعُ فَعَظِّمُوا فِيْهِ الرَّبَّ وَأَمَّا اْلسُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, sesungguhnya saya dilarang membaca Al-Qur’an dalam keadaan sedang ruku’ atau sujud. Maka agungkanlah Allah ketika ruku’. Adapun sujud, maka bersungguh-sung-guhlah berdo’a, maka pantaslah untuk dikabulkan do’a kalian.”
2. Demikian pula shalat. Di mana shalat adalah kebaikan yang telah ditetapkan. Seperti diriwayatkan oleh Ath-Thabrani (Mu’jamus Shaghir) dengan sanad hasan dari beberapa jalannya dari hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
اَلصَّلاَةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ
“Shalat itu adalah kebaikan yang ditetapkan.”
Namun demikian, kalau seseorang shalat sesudah ‘Ashar atau sesudah fajar (Shubuh) atau ketika matahari tepat di atas (belum bergeser) tanpa alasan, maka shalat itu terlarang sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma, katanya:
شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُوْنَ وَ أَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْشُ وَبَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَمْشُ
“Salah seorang laki-laki yang diridhai dan yang paling mulia-nya adalah ‘Umar, dia bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melarang shalat sesudah fajar (Shubuh) sampai terbitnya matahari dan sesudah ‘ashar sampai terbenamnya matahari.”
Dan Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيْهِنَّ وَأَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حَيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْشُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ اْلظَّهِيْرَةَ حَتَّى تَمِيْلَ وَحِيْنَ تَضَّيَفُ الشَّمْشُ لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغُرُوْبَ
“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam melarang kami shalat padanya, dan melarang menguburkan jenazah pada waktu itu, yaitu ketika matahari terbit sampai dia naik, dan ketika tepat berada di atas sampai dia bergeser dan pada saat dia akan tenggelam sama sekali.”
Begitupula kalau dikhususkan shalat pada waktu yang ditentukan disertai keyakinan adanya keutamaan apabila dikerjakan pada saat itu. Sebagaimana keyakinan sebagian orang adanya keutamaan memperbanyak shalat pada bulan Rajab atau Sya’ban. Oleh karena itu pula Imam An Nawawi rahimahullahu Ta’ala menyatakan dalam fatwanya bahwa Shalat Rajab dan Sya’ban adalah dua bid’ah yang tercela.
3. Demikian pula ucapan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka sesungguhnya keduanya adalah ibadah yang disyari’atkan. Bahkan Allah Ta’ala memerintahkannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
اِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمً
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan sebenar-benarnya.” (QS Al Ahzab: 56.)
Dengan adanya perintah Allah ini, namun jika mengkhusus-kannya (dikerjakan) pada satu waktu atau tempat tertentu, merupakan perbuatan bid’ah yang munkar. Sebagaimana halnya bila seseorang menyambung ucapan shalawat ini setelah dia bersin dan membaca Alhamdulillah.
Imam At Tirmidzi, Al Hakim dan yang lain meriwayatkan dari Nafi’, bahwa ada seorang laki-laki bersin di sebelah Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, kemudian dia berkata: الَحَمْدُ للهِ وَالصَلاَةُ وَالْسَلاَمُ عَلَى رَسُوْلِه (Segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat serta salam untuk Nabi-Nya). Ibnu ‘Umar berkata: “Dan saya mengatakan: الحَمْدُ للهِ وَالسَلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (Segala puji hanya bagi Allah, dan salam sejahtera bagi Rasulullah), bukan begini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengajari kami. Beliau ajarkan kami untuk mengucapkan: الحَمْدُ لله dalam setiap keadaan.”
Beberapa contoh tersebut di atas sangatlah jelas bagi kita bahwa di dalam beramal mestilah kita melihat kepada apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam mengamalkannya, apakah beliau menyebutkannya secara umum atau khusus dalam tempat tertentu, apakah disyari’atkan dalam setiap kondisi ataukah hanya dalam kondisi tertentu. Jika kita memahami ini dengan baik, tentunya akan nampak bagi kita mana amalan yang bid’ah dan mana pula yang disyari’atkan.
(Disalin dari "Bid'ah 'Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap 'Arifin Ilham Al Banjari", Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i, Yaman. Diterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya" oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: darussalafpress@plasa.com)
|
|
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=768
|