Beberapa Contoh Bid'ah Masa Kini
1/2
Kamis, 25 Maret 2004 22:45:41 WIB
Kategori :
Bid'ah
Dimuat oleh :
admin
BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI
Oleh
Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
[1/2]
Di antaranya adalah
:
[A] Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.
[B] Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat
tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup
ataupun yang sudah meninggal.
[C] Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring
dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang
mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru)
orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama
mereka. Hal ini
menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
“Artinya : Sungguh kalian akan
mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia
men-shahihkannya]
[1] Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘
Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan
Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan
terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi
setelah abad ke empat Hijriyah.
Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata
: “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan
Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah
dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama,
yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi
terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang
diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat
pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan”
[Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
“Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya
meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam
atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan.
Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang
perselisihan.
Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama
salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni
atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti)
melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan
baik.
Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan
mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin
dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati,
tangan dan lisan. Begitulah jalan
generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti
mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim
1/615]
[2] Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat
Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup
Ataupun Yang Sudah Meninggal.
Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk
(mengharapkan berkah) dari makhluk.
Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah
(pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk
mendapatkan uang dari orang-orang awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya
tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah
mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan
mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu,
barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang
sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik
bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau
termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang
tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan
berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan
rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut
hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara
mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak
ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah
wafat.
Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau
tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para
wali. Mereka juga
tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu,
Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia.
Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan
tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana
terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang
dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang
mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah.
Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang
mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka bagaimana
bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang
wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau
tidur disana ?!
[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani
Al-‘Aliy, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, hal 152-159, Darul
Haq]