Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama’ah (5)
19 January, 2007– Tingkat pembahasan: Lanjutan
Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama’ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Pada bahasan kali ini, bantahan ilmiah terhadap buku K.H. Dimyathi Badruzzaman yang berjudul “Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah” lebih difokuskan pada beberapa problematika yang umumnya ditemui pada zikir berjama’ah, beserta syubhat dan jawabannya. Mungkin diantara syubhat tersebut pernah terpikirkan oleh kita atau mungkin sempat kita yakini. Simak bantahannya pada edisi kali ini. Semoga bermanfa’at…
***
BEBERAPA PROBLEMATIKA YANG ERAT HUBUNGANNYA DENGAN ZIKIR BERJAMA’AH
A. Hukum berzikir dengan suara nyaring.
Pada pembahasan ini, bapak Kyai menyebutkan ayat 200, surat Al Baqarah, yang bunyinya:
فإذا قضيتم مناسككم فاذكروا الله كذكركم آباءكم أو أشد ذكرا
“Apabila kamu telah menyelesaikan manasikmu (ibadah hajimu), maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau bahkan (berzikirlah) lebih banyak dari itu.“ (QS Al Baqarah: 200)
Pada penerjemahan ayat ini, bapak Kyai melakukan manipulasi terjemahan, yaitu pada hal: 81, tatkala beliau menerjemahkan firman Allah أو أشد ذكرا, beliau menerjemahkannya menjadi: “atau (bahkan) lebih keras dari itu.”
Manipulasi ini, beliau ulangi lagi terhadap perkataan Syeikh Ahmad Mushthafa Al Maraghi, yang berkata:
فإذا فرغتم من مناسك الحج ونفرتم فأكثروا من ذكر الله وبالغوا فيه كما تفعلون بذكر أباءكم ومفاخرفهم وأيامهم.
“Bila kamu telah selesai dari ibadah haji, dan kamu telah melakukan nafar, maka perbanyaklah zikir (dengan menyebut) Allah, dan bermubalaghoh (berlebih-lebihan dalam memperbanyak zikir), sebagaimana kamu melakukannya ketika menyebut-nyebut nenek moyangmu dengan membangga-banggakan mereka dan sejarah hidup mereka.”
Bapak Kyai menerjemahkan perkataan وبالغوا فيه dengan: “dan keraskanlah suaramu dalam berzikirnya.”
Hal serupa juga beliau lakukan tatkala menerjemahkan perkataan Syeikh Ahmad Al Shawi Al Maliki, yang berkata:
فاذكروا الله ذكرا كائنا كذكركم أباءكم أو أشد
“Maka berzikirlah kamu (dengan menyebut) Allah, dimana zikirmu (penyebutanmu) itu sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu atau lebih.“
Bapak Kyai menterjemahkan kata أو أشد, dengan: “lebih keras lagi dari itu.”
Saya ingin bertanya kepada bapak Kyai, apakah yang dimaksud dengan kata “lebih”, dalam ayat di atas dan juga pada ucapan para ulama’, adalah lebih keras semata? sehingga bila ada orang yang membaca takbir satu kali saja dengan berteriak dan menggunakan pengeras suara, sudah dianggap menjalankan perintah dalam ayat ini? Karena tentu suara yang ia hasilkan dengan teriakan dan dibantu oleh pengeras suara itu lebih keras dari suara orang-orang musyrikin zaman dahulu, yang hanya menyebut-nyebut nenek-moyang mereka dengan suara biasa. Demikiankah pemahaman bapak Kyai tentang ayat ini?
Ataukah yang dimaksud dari kata “lebih” ialah dalam hal jumlah, ke-khusyu’-an dan penghayatan akan zikir tersebut (kualitas dan kuantitasnya)?
Agar menjadi jelas, mari kita simak penafsiran Ibnu Jarir At Thabari –imamul mufassirin- berikut ini:
والصواب من القول عندي في تأويل ذلك أن يقال: إن الله جل ثناؤه أمر عباده المؤمنين بذكره بالطاعة له في الخضوع لأمره والعبادة له بعد قضاء مناسكهم، وذلك الذكر جائز أن يكون هو التكبير الذي أمر به جل ثناؤه بقوله: )واذكروا الله في أيام معدودات( الذي أوجبه على من قضى نسكه بعد قضائه نسكه، فألزمه حينئذ من ذكره ما لم يكن له لازما قبل ذلك، وحث على المحافظة عليه محافظة الأبناء على ذكر الآباء في الإكثار منه، بالاستكانة له والتضرع إليه بالرغبة منهم إليه في حوائجهم كتضرع الولد لوالده والصبي لأمه وأبيه، أو أشد من ذلك إذ كان ما كان بهم وبآبائهم من نعمة فمنه وهو وليه
”Dan menurutku pendapat yang benar tentang tafsir ayat ini, ialah: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya, yaitu kaum mukminin agar berzikir kepada-Nya (mengingat-Nya) dengan menjalankan keta’atan kepada-Nya, yang terwujud pada sikap patuh kepada perintah-Nya dan menjalankan ibadah kepada-Nya seusai menjalankan manasik hajinya. Dan zikir ini, bisa saja yang dimaksudkan ialah bacaan takbir yang Allah Azza wa Jalla perintahkan dalam firman-Nya:
واذكروا الله في أيام معدودات
”Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah pada hari-hari yang telah dihitung (hari tasyriq: 11, 12, 13 Dzul Hijjah).” (QS Al Baqarah: 203). Yaitu Zikir yang diwajibkan atas orang-orang yang telah menyelesaikan manasik hajinya. Maka Allah pada saat itu mengharuskan mereka untuk membaca zikir yang sebelumnya tidak diwajibkan, dan menganjurkan mereka agar terus menerus mengucapkannya, sebagaimana layaknya seorang anak yang terus menerus menyebut-nyebut ayahnya, yaitu dengan cara berserah diri, dan merendahkan diri kepada-Nya, agar Allah memenuhi kebutuhannya, layaknya seorang anak yang merengek kepada ayah dan ibunya atau lebih lagi, karena seluruh kenikmatan yang ada pada mereka dan juga pada orang tua mereka datangnya dari Allah, dan Dialah yang memilikinya.” (Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Aay Al Qur’an, oleh Ibnu Jarir At Thabari 2/298).
Saya kembali ingin bertanya kepada bapak Kyai: Apa yang sebenarnya mendorong bapak untuk melakukan ini semua?
Menurut hemat saya: seharusnya bapak Kyai menyebutkan atau berdalil dengan firman Allah Ta’ala berikut ini:
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
“Dan berzikirlah (sebutlah) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan senja, dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai.” (QS Al A’araf: 205)
Al Qurthubi Al Maliki tatkala menafsirkan ayat ini berkata:
)ودون الجهر( أي دون الرفع في القول، أي أسمع نفسك، كما قال: )وابتغ بين ذلك سبيلا( أي بين الجهر والمخافتة، ودل هذا على أن رفع الصوت بالذكر ممنوع
“Dunal Jahri (tidak mengeraskan suara) maksudnya ialah: tidak meninggikan suara, yaitu cukup dengan memperdengarkan diri sendiri, sebagaimana firman Allah: ‘dan carilah jalan tengah diantara keduanya itu.’ Maksudnya: antara mengeraskan suara dan merendahkannya. Dan ayat ini menunjukkan bahwa meninggikan suara tatkala berzikir adalah terlarang.“ (Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, oleh Al Qurthubi Al Maliki 7/355).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan berkata:
أي اذكر ربك في نفسك رغبة ورهبة وبالقول لا جهرا، ولهذا قال: ) ودون الجهر من القول(، وهكذا يستحب أن يكون الذكر لا يكون نداء وجهرا بليغا، ولهذا لما سألوا رسلو الله فقالوا: أقريب ربنا فنناجيه أم بعيد فنناديه؟ فأنزل الله عز وجل )وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان(
“Maksudnya: berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rasa harap dan takut, dan dengan suaramu (lisanmu) tanpa mengeraskannya, oleh karena itu Allah berfirman: ‘dan dengan tidak mengeraskan suara’, dan demikianlah yang disunnahkan, hendaknya zikir itu (dengan suara) tidak sampai seperti panggilan, dan suara yang terlalu keras, oleh karena itu tatkala para sahabat bertanya kepada rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, dan mereka berkata: Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a dengan berbisik-bisik) kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita memanggilnya? Maka Allah turunkan firman-Nya:
وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang memohon, bila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al Baqarah: 186). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adlim, oleh Ibnu Katsir 2/281). Inilah keterangan Ibnu Katsir secara lengkap, dan pada penjelasanya ini, beliau menyebutkan tiga bentuk suara: suara yang tidak keras dan sewajarnya, yang beliau ungkapkan dengan بالقول لا جهرا, panggilan/seruan نداء dan suara yang terlalu keras جهرا بليغا , dan suara yang tidak sampai pada tingkat panggilan dan juga tidak terlalu keras, inilah yang dimaksudkan dalam hadits-hadits dan ucapan para ulama’ yang menjelaskan dibolehkannya mengeraskan suara, bukan seperti yang dilakukan oleh Muhammad Arifin Ilham bersama jama’ahnya, dengan berjama’ah, dikomando, dengan satu suara, satu bacaan dan menggunakan pengeras suara.
Diantara dalil-dalil yang menguatkan pemahaman ini ialah hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi sendiri, yaitu hadits riwayat Kholifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan -radhiallahu ‘anhuma-, ia menuturkan:
إن رسول الله خرج على حلقة من أصحابه فقال: ما أجلسكم ؟ قالوا: جلسنا نذكر الله ونحمده على ما هدانا للإسلام ومن به علينا. قال: آلله ما أجلسكم إلا ذاك؟ قالوا: والله ما أجلسنا إلا ذاك. قال: أما إني لم أستحلفكم تهمة لكم، ولكنه أتاني جبريل فأخبرني أن الله عز وجل يباهي بكم الملائكة
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah keluar rumah menuju ke suatu halaqah (perkumpulan) sebagian sahabatnya, kemudian beliau bersabda: Apakah yang membuat kalian duduk-duduk? Mereka-pun menjawab: Kami berzikir kepada Allah dan memuji-Nya atas hidayah beragama Islam yang telah Ia karuniakan kepada kami. Beliau bersabda: Demi Allah, benarkah kalian tidak duduk-duduk melainkan karena itu? Mereka menjawab: Demi Allah, tidaklah kami duduk-duduk melainkan karena itu. Beliau bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah bersumpah karena mencurigai kalian, akan tetapi Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengabarkan bahwa Allah Azza wa Jalla membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat.” (Riwayat Muslim 4/2075, hadits no: 2701)
Seandainya para sahabat yang duduk-duduk berjamaah ini berdizikir dengan dikomando, dengan satu suara, dan satu bacaan, dan dengan mengeraskan suara seperti yang dikatakan oleh bapak Kyai Dimyathi, niscaya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tidak perlu bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan. Hal ini –sebagaimana dikatahui bersama- karena rumah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam melekat dengan dinding masjidnya, sehingga bila zikir mereka ala zikirnya Muhammad Arifin Ilmam, niscaya akan terdengar oleh beliau shollallahu’alaihiwasallam, dan beliau tidak perlu lagi bertanya tentang apa yang mereka lakukan.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya lagi kepada bapak Kyai: Suara Muhammad Arifin Ilham beserta jama’ahnya, yang menggunakan sound system, bila di bandingkan dengan pengumuman orang hilang atau panggilan yang ada di terminal-terminal bus, bandara, atau stasiun kereta api, manakah yang lebih keras? Saya yakin suara Muhammad Arifin Ilham lebih keras berlipat kali, dan lebih tepat menjadi contoh dari perkataan bapak Kyai pada hal: 90: “sebenarnya yang dilarang itu jika menyaringkan suaranya dengan keterlaluan atau berlebih-lebihan (over acting)”. Bila demikian halnya, apakah bapak Kyai juga mengatakan bahwa zikir dengan suara sekeras itu boleh atau bahkan sesuai dengan sunnah???!
Para pembaca yang budiman, renungkanlah pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a dengan berbisik-bisik) kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita memanggilnya?”
Bila perbedaan antara ketiga macam suara ini telah jelas, maka mari kita renungkan hadits berikut:
عن أبي موسى قال: كنا مع النبي في سفر، فجعل الناس يجهرون بالتكبير، فقال النبي : أيها الناس اربعوا على أنفسكم إنكم ليس تدعون أصم ولا غائبا، إنكم تدعون سميعا قريبا
“Dari Abi Musa rodiallahu’anhu ia berkata: Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara takbir mereka, maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Wahai para manusia, kasihanilah dirimu dan rendahkanlah suaramu! sesungguhnya kamu tidak sedang menyeru dzat yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya kamu sedang menyeru Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat.” (Riwayat Al Bukhori 3/1091, hadits no: 2830, dan Muslim 4/2076, hadits no: 2704)
Imam An Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata:
ارفقوا بأنفسكم واخفضوا أصواتكم، فان رفع الصوت إنما يفعله الإنسان لبعد من يخاطبه ليسمعه، وأنتم تدعون الله تعالى وليس هو بأصم ولا غائب بل هو سميع قريب… ففيه الندب إلى خفض الصوت بالذكر إذا لم تدع حاجة إلى رفعه، فإنه إذا خفضه كان أبلغ فى توقيره وتعظيمه، فإن دعت حاجة إلى الرفع، رُفِع كما جاءت به أحاديث.
“Kasihanilah dirimu, dan rendahkanlah suaramu, karena mengeraskan suara, biasanya dilakukan seseorang, karena orang yang ia ajak berbicara berada di tempat yang jauh, agar ia mendengar ucapannya. Sedangkan kamu sedang menyeru Allah Ta’ala, dan Dia tidaklah tuli dan tidak juga jauh, akan tetapi Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat …Sehingga dalam hadits ini ada anjuran untuk merendahkan suara zikir, selama tidak ada keperluan untuk mengerasakannya, karena dengan merendahkan suara itu lebih menunjukkan akan penghormatan dan pengagungan. Dan bila ada kepentingan untuk mengeraskan suara, maka boleh untuk dikeraskan, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits.” (Syarah Shahih Muslim, oleh Imam An Nawawi 17/26).
Dari keterangan Imam An Nawawi ini kita dapat menyimpulkan bahwa pada dasarnya setiap orang yang berzikir itu hendaknya ia merendahkan suaranya, kecuali bila ada alasan untuk mengeraskannya, misalnya seorang imam yang hendak mengajari makmumnya wirid-wirid dan zikir-zikir yang dahulu diucapkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As Syafi’i di atas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Abbas rodiallahu’anhu tatkala ia menjadi imam dalam shalat janazah dan hendak mengajarkan kepada makmumnya bahwa disunnahkan membaca al fatihah dalam shalat janazah:
عن طلحة بن عبد الله بن عوف قال: صليت خلف بن عباس رضي الله عنهما على جنازة فقرأ بفاتحة الكتاب. فقال: ليعلموا أنها سنة
“Dari Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf ia berkata: Aku pernah menshalati jenazah di belakang (berjamaah dengan) Ibnu ‘Abbas –radhiallahu ‘anhuma-, maka beliau membaca surat Al Fatihah (dengan suara keras), kemudian beliau berkata: Agar mereka mengetahui bahwa ini (membaca al fatihah dalam shalat jenazah) ialah sunnah).” (Riwayat Bukhori 1/448, hadits no: 1270)
Adapun hadits Ibnu Abbas rodiallahu’anhu:
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي , وقال ابن عباس: كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته
“Bahwa mengeraskan suara saat berzikir seusai orang-orang mendirikan shalat fardhu, biasa dilakukan pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan Ibnu Abbas berkata: Dahulu aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari shalatnya, bila aku telah mendengarnya (suara zikir).” (Riwayat Bukhori 1/288, hadits no: 805, dan Muslim 1/410, hadits no: 583)
Maka perlu diketahui bahwa bapak Kyai Dimyathi tatkala mengomentari hadits ini, yaitu dengan cara menukilkan perkataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dan An Nawawi, beliau hanya menukilkan awal perkataan dari syarah kedua ulama’ ini, dan melalaikan akhir dari syarah mereka. Seandainya bapak Kyai membaca dan mencermati syarah kedua ulama’ ini dari awal hingga akhir, niscaya bapak Kyai akan mendapatkan sebuah kesimpulan matang dari seorang imam besar, yaitu Imam As Syafi’i. Kesimpulan beliau ini adalah hasil dari penggabungan seluruh hadits-hadits yang berkaitan dengan masalaha ini, dan berikut ini saya nukilkan kesimpulan beliau tersebut
حمل الشافعي رحمه الله تعالى هذا الحديث على أنه جهر وقتا يسيرا حتى يعلمهم صفة الذكر، لا أنهم جهروا دائما. قال: “فاختار للإمام والمأموم أن يذكر الله تعالى من الصلاة ويخفيان ذلك، إلا أن يكون إماما يريد أن يتعلم منه، فيجهر حتى يعلم أنه قد تعلم منه، ثم يسر”، وحمل الحديث على هذا
“Imam As Syafi’i –rahimahullah Ta’ala- menafsiri hadits ini bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam mengeraskan suaranya dalam beberapa waktu saja, guna mengajari sahabatnya cara berzikir, bukan berarti mereka (Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya) senantiasa mengeraskan suaranya. Beliau (As Syafi’i) berkata: ‘Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berzikir kepada Allah, seusai menunaikan shalatnya, dan hendaknya mereka merendahkan suara zikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (zikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan zikirnya, hingga bila ia sudah merasa bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya.’” (Syarah Shahih Muslim oleh An Nawawi 5/84, dan Fath Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 2/326. Dan baca pula Al Umm oleh As Syafi’i 1/126-127).
Kesimpulan Imam As Syafi’i ini didukung oleh beberapa hal berikut ini:
عن قيس بن عباد قال: كان أصحاب رسول الله , يكرهون رفع الصوت عند ثلاث: عند القتال وفي الجنائز وفي الذكر
“Diriwayatkan dari Qais bin ‘Abbad ia berkata: Dahulu para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak menyukai untuk mengeraskan suara pada tiga keadaan, yaitu: di saat berperang, menghadiri janazah, dan pada saat berzikir.“ (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 6/143, no: 30174, Al Baihaqi 4/74, dan Al Khathib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh baghdad 8/91)
Imam An Nawawi dalam kitabnya At Tahqiq berkata:
يندب الذكر والدعاء عقب كل صلاة ويسر به، فإن كان إماما يريد تعليمهم جهر، فإذا تعلموا أسر
“Disunnahkan untuk berzikir dan berdo’a setiap kali selesai shalat (lima waktu) dan hendaknya ia merendahkan suaranya. Bila ia seorang imam dan hendak mengajarkan makmumnya (bacaan zikir) maka ia boleh untuk mengeraskan suaranya, kemudian bila mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya.” (At Tahqiq oleh An Nawawi: 219).
Ucapan beliau pada kitab ini, menjelaskan maksud dari ucapan beliau pada kitab-kitabnya yang lain, hal ini karena kitab At Tahqiq adalah salah satu buku paling akhir yang beliau tuliskan, sehingga pendapat beliau dalam buku ini harus didahulukan dibanding pendapat beliau pada buku-buku yang lainnya, terlebih-lebih bila dibanding kitabnya Syarah Shahih Muslim. (Baca Muqaddimah kitab At Tahqiq oleh Syeikh ‘Adil Abdul Maujud).
Adapun Hadits Abu Sa’id Al Khudri rodiallahu’anhu:
أكثروا ذكر الله حتى يقولوا إنه مجنون
“Perbanyaklah zikir kepada Allah, hingga mereka berkata: sesungguhnya dia itu orang gila.” (Riwayat Ahmad 3/68, Abd bin Humaid 1/289, hadits no: 925, Abu Ya’ala 2/521, hadits no: 1376, Ibnu Hibban 3/99, hadits no: 817, dan Al Hakim 1/677, hadits no: 1839, dan Al Baihaqi dalam kitabnya Syu’abul Iman 1/398, hadits no: 526), adalah hadits dhaif (lemah), karena hadits ini diriwayatkan melalui jalur seorang perawi yang bernama: Darraj Abdurrahman bin Sam’an Abu As Samh Al Misri, dan dia ialah perawi yang lemah riwayatnya. Oleh karena itu hadits ini divonis dhaif (lemah) oleh Ibnu ‘Adi, Az Zahabi, dan Al Hatsami. (Lihat Al Kamil Fi Ad Dhu’afa’ Al Rijal oleh Ibnu ‘Adi 3/115, Mizan Al I’itidal fi Naqd Al Rijal, oleh Az Zahabi 3/41, dan Majma’ Al Zawaa’id oleh Al Haitsami 10/75).
Begitu juga hadits selanjutnya, yaitu hadits Ibnu Abbas rodiallahu’anhu:
اذكروا الله ذكرا يقول المنافقون إنكم مراؤون
“Berzikirlah kamu kepada Allah hingga orang-orang munafiq berkata: sesungguhnya kalian ialah orang-orang yang berbuat riya’ (pamer).” (Riwayat At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 12/169, hadits no: 12786, dan Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’ 3/80). Karena hadits ini diriwayatkan melalui jalur perawi yang bernama Al Hasan bin Abi Ja’afar Al Jufri, dan dia adalah dhaif, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Hatsami. (Lihat Majma’ Al Zawaa’id, oleh Al Hatsami 10/76).
Kemudian pada kesempatan ini saya ingin meralat kesalahan bentuk lain yang dilakukan oleh bapak Kyai Dimyathi, yaitu pada hal: 87, tatkala beliau menuliskan: “Hadis riwayat Imam Al Baihaqi dari Zaid bin Aslam r.a dari sebagian sahabat Nabi Saw.”
Singkatan (r.a) ialah kepanjangan dari “radhiallah ‘anhu”, sehingga penulisan singkatan (r.a) setelah nama Zaid bin Aslam mengisyaratkan bahwa orang ini ialah sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, padahal ia adalah seorang tabi’in, dan bukan sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Saya tidak tahu apakah bapak Kyai dengan sengaja menuliskan singkatan ini setelah nama Zaid bin Aslam, atau tidak?!
B. Hukum berzikir sambil menangis.
Pada pembahasan ini bapak Kyai Dimyathi telah menyebutkan banyak dalil yang menunjukkan disyariatkannya menangis karena Allah, di saat berzikir. Dan yang menjadi kritikan saya ialah:
Kritikan pertama:
Pada halaman: 95, beliau menyebutkan hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu yang menyebutkan bahwa diantara yang akan dinaungi Allah dibawah Arsy-Nya ialah orang yang berzikir sampai berlinang kedua matanya. Yang menjadi kritikan saya ialah, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim, akan tetapi beliau menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dan Al Baihaqi.
Metode ini menyelisihi etika dan kebiasaan ulama’ ahlul hadits, dalam hal takhrij hadits. Mereka bila mendapatkan suatu hadits telah diriwayatkan oleh kedua imam ini, atau salah satunya, mereka akan senantiasa menyebutkan bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim atau salah satunya. Bahkan banyak dari mereka tidak merasa perlu lagi untuk menyebutkan imam lainnya.
Imam Al Baihaqi sendiri dalam kitabnya As Sunan Al Kubra bila meriwayatkan suatu hadits yang telah diriwayatkan oleh Bukhori atau Muslim, beliau senantiasa menjelaskannya. (Sebagai buktinya, silahkan baca As Sunnan Al Kubra oleh Al Baihaqi: 1/5,7,8,10, 11, 12, 13, 14,15,16, 17,18, 20, 21 dll).
Hal ini dikarenakan ulama’ telah sepakat untuk menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam ini, atau salah satunya, karena keduanya telah menetapkan kriteria ketat bagi hadits-hadits yang dicantumkan dalam kitab mereka, yaitu hanya hadits-hadits shahih lah yang mereka cantumkan. Sebagai contohnya ialah apa yang dilakukan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, dalam kitabnya Bulughul Maram, beliau berkata pada muqaddimah kitabnya ini:
وقد بينت عقب كل حديث من أخرجه من الأئمة لإرادة نصح الأمة، فالمراد بالسبعة: أحمد والبخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه، وبالستة من عدا أحمد، وبالخمسة من عدا البخاري ومسلما، وقد أقول: الأربعة وأحمد، وبالأربعة من عدا الثلاثة الأول، وبالثلاثة من عداهم وعدا الأخير، وبالمتفق عليه: البخاري ومسلم، وقد لا أذكر معهما غيرهما
“Dan saya telah menjelakan di belakang setiap hadits nama-nama imam yang meriwayatkannya, untuk menyampaikan nasehat kepada ummat. Dan yang dimaksud dengan sebutan tujuh imam ialah: Ahmad, Al Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At Tirmizi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah. Adapun enam imam ialah: selain imam Ahmad, dan yang dimaksud dengan lima imam ialah: selain Bukhori dan Muslim, dan kadang kala saya sebut: empat imam dan Ahmad. Empat imam ialah: selain ketiga imam pertama, dan tiga imam ialah: selain ketiga imam pertama dan yang terakhir. Dan yang dimaksud dengan muttafaqun ‘alaih ialah: Bukhori dan Muslim, dan kadangkala aku tidak menyebutkan bersama keduanya imam lain selain keduanya.“ (Bulugh Al Maram Min Adillatil Ahkam, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, hal: 8).
Bahkan ada sebagian ulama’ yang tidak menyebutkan dalam kitabnya selain hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kedua imam ini, misalnya kitab ‘Umdatul Ahkam, oleh Al Hafidz Abdul Ghani Al Maqdisi.
Kritikan kedua:
Lafadz hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu dalam seluruh kitab-kitab hadits sama atau berdekatan, tidak ada perbedaan makna, yaitu sebagaimana berikut:
عن أبي هريرة عن النبي قال: سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله: الإمام العادل، وشاب نشأ في عبادة ربه، ورجل قلبه معلق في المساجد، ورجلان تحابا في الله اجتمعا عليه وتفرقا عليه، ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال، فقال: إني أخاف الله، ورجل تصدق أخفى حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه ورجل ذكر الله خاليا ففاضت عيناه
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah dibawah naungan-Nya pada hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Tuhannya, laki-laki yang hatinya senantiasa tekait dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka bersatu dan berpisah atas dasar cinta ini, seorang laki-laki yang dirayu oleh wanita bangsawan (memiliki kedudukan sosial) dan berparas molek, kemudian ia berkata: Sesungguhnya aku takut kepada Allah, orang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang ia sembunyikan, sampai-sampai tangan kirinya tidak menngetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang berzikir kepada Allah di kesunyian, kemudian berlinanglah kedua matanya.” (Riwayat Bukhori 1/234, hadits no: 629, dan Muslim 2/705, hadits no: 1031)
Inilah lafaz hadits yang benar, dan ada pada kitab-kitab hadits. Sedangkan yang disebutkan oleh bapak Kyai Dimyathi berbeda dengan ini, baik riwayat yang pertama, yang beliau nyatakan sebagai riwayat Ibnu ‘Asakir, atau riwayat kedua yang beliau nyatakan sebagai riwayat Al Baihaqi:
Agar para pembaca yang budiman dapat mengadakan perbandingan, akan saya sebutkan ulang riwayat yang termaktub di buku bapak Kyai:
Riwayat Ibnu ‘Asakir:
سبعة في ظل العرش يوم لا ظل إلا ظله رجل ذكر الله ففاضت عيناه
“Ada tujuh golongan manusia yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah ‘Arsy-Nya pada suatu hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya: yang pertama adalah seorang yang berzikir sampai berlinang kedua matanya …” (Lihat Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir 66/234, dan Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah, oleh K.H. Drs. Muhammad Dimyathi Badruzzaman 95).
Pada riwayat ini, tidak disebutkan kata خاليا “di kesunyian”, sehingga dalam disiplin ilmu ushul fiqih atau musthalah hadits, riwayat Ibnu ‘Asakir ini harus ditafsiri atau dipahami selaras dengan riwayat lainnya yang jelas-jelas shahih dan lebih kuat sanadnya.
Dan seandainya bapak kyai menolak alternatif penggabungan ini, maka riwayat ini karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang nyata-nyata lebih kuat, tidak dapat diterima, terlebih-lebihi salah seorang perowinya, yaitu Abu Rauq Ad Dimasyqi, tidak diketahui statusnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Asyakir sendiri dalam kitabnya Tarikh Dimasyq jilid: 66/233. Ditambah lagi Ibnu ‘Asakir sendiri dalam kitab yang sama pada halaman lain, meriwayatkan hadits ini dengan lafadz yang sama dengan lafadz riwayat Bukhori dan Muslim di atas, yaitu dengan menyebutkan kata: خاليا “di kesunyian”. (Baca Tarikh Dimasyq 5/215, 22/226, 39/159 dan 51/137).
Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa bapak Kyai memilih riwayat lemah ini, dan meninggalkan riwayat Bukhari dan Muslim??! Apakah karena lafadz riwayat mereka yang menggunakan kata: “di kesunyian” menghancurkan dan meruntuhkan misi dan tugas yang sedang bapak emban, yaitu misi menegakkan benang basah zikir berjamaah ala Muhammad Arifin Ilham? Dan karena saya tidak ingin dikatakan berburuk sangka, maka pada kesempatan ini, saya mohon klarifikasi dan jawaban yang jelas dari bapak kyai.
Riwayat Al Baihaqi:
سبعة يظلهم الله تحت ظل عرشه يوم لا ظل إلا ظله رجل قلبه معلق بالمساجد ورجل دعته امرأة ذات منصب فقال: إني أخاف الله ورجلان تحابا في الله ورجل غض عينه عن محارم الله وعين حرست في سبيل الله وعين بكت من خشية الله.
“Ada tujuh golongan manusia yang akan diberi naungan oleh Allah di bawah ‘Arsy-Nya pada suatu hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: 1. Seorang yang hatinya penuh perhatian terhadap masjid, 2. Seseorang yang diajak (berbuat zina) oleh seorang perempuan yang punya kedudukan, namun ia mampu berkata: saya takut akan azab Allah, 3. Ada dua orang yang keduanya saling mencintai karena Allah, 4. Seseorang yang memejamkan matanya dari segala yang diharamkan Allah, 5. Mata yang melek ketika perang melawan musuh, 7. Mata yang menangis karena takut dan kagum terhadap kebesaran Allah.”
Riwayat hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu dengan lafadz seperti ini, setelah saya teliti di kitab-kitab Imam Al Baihaqi, bahkan di kitab-kitab hadits lainnya yang saya ketahui, akan tetapi tidak ada seorang Imam-pun yang meriwayatkan dengan lafadz seperti yang disebutkan oleh bapak Kyai ini. Bahkan Imam Al Baihaqi meriwayatkan hadits ini berkali-kali dalam beberapa bukunya, diantaranya: As Sunan Al Kubra: 3/465, 4/190, 8/162, 10/87, dan juga pada kitabnya: Syu’ab Al Iman: 1/405, hadits no: 549, 1/487, hadits no: 794, 3/243, hadits no: 3439, 6/11, hadits no: 7357, dan 6/483, hadits no: 8991, semuanya dengan lafadz yang sama atau serupa dengan lafadz riwayat Bukhari dan Muslim.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada bapak Kyai: Mengapa tatkala menukilkan hadits ini dari buku Ali Al Azizi, bapak tidak meneliti terlebih dahulu keabsahan dan kebenaran lafadznya, sebagaimana yang bapak lakukan sebelumnya dengan hadits yang disebutkan oleh An Nasafi, dan sebelumnya oleh Ibn ‘Allan Al Shiddiqi??!! Bukankah bapak adalah seorang yang dikenal sebagai pakar hadits yang tersohor di bumi pasundan?!
Saya tidak tahu, apa penafsiran ini semua??!! Apakah bapak Kyai tatkala menuliskan bukunya ini tidak memiliki As Shahihain (Shahih Bukhari, dan Muslim), (akan tetapi bila kita merujuk kepada bibliografi yang ada pada akhir bukunya, kita dapatkan beliau menyebutkan bahwa diantara referensinya ialah Shahih Bukhari dan Muslim), dan hanya memiliki kitab karya Ali Al Azizi? Atau entah apa yang terjadi pada bapak Kyai??!!
Saya justru memiliki praduga kuat bahwa Ali Azizi telah memalsukan hadits ini, dengan cara menggabungkan beberapa hadits menjadi satu hadits, wallahu Ta’ala A’lam.
Sebagai peringatan bagi kita semua, mari kita simak nasehat seorang tabi’in, yaitu Muhammad bin Sirin berikut ini:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka hendaknya kamu selektif dalam mencari guru yang kamu menimba ilmu darinya.” (Riwayat Muslim, dalam Muqaddimah kitab As Shahih-nya 1/14, Sunan Ad Darimi, 1/124, no: 424, Al Mushannaf oleh Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah 5/434, no: 26636, dan Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 2/278).
Demikian juga halnya dengan buku atau kitab, hendaknya kita selektif dalam membeli dan membaca kitab, tidak setiap kitab kita baca, akan tetapi hendaknya yang kita baca ialah kitab karya ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.
Oleh karenanya saya mengharapkan bapak Kyai dapat meneliti ulang hadits ini, dan tidak cukup hanya menukil dari orang lain, dan membuktikan kepada masyarakat keabsahan hadits Abu Hurairah dengan lafadz seperti ini, karena kesalahan dalam hal ini, adalah kesalahan fatal, terlebih-lebih dari seorang yang dikenal memiliki keahlian dalam meneliti hadits semacam bapak Kyai Dimyathi.
Apapun yang terjadi, yang jelas lafadz hadits yang nyata-nyata shahih, menjelaskan bahwa yang tergolong ke dalam tujuh golongan ini ialah: seseorang yang berzikir kepada Allah di kesunyian, kemudian berlinang air matanya, bukan yang berzikir berjama’ah dan menggunakan pengeras suara, dan disiarkan melalui berbagai stasiun televisi.
Imam Al Baihaqi setelah meriwayat hadits ini menukilkan dari Al Hulaimi As Syafi’i, ia berkata:
ومعنى ذلك أنها اذا لم تكن واجبة جرى فيها الرياء عند الإبداء وإذا اخفيت كانت من الرياء أبعد
“Maknanya, bila zikir itu bukan termasuk zikir yang wajib, akan mudah dijangkiti oleh riya’ bila ditunjukkan kepada orang lain, dan bila disembunyikan, niscaya lebih terjauh dari riya’.” (Syu’ab Al Iman, oleh Al Baihaqi 3/243).
Dari hadits ini kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua tangisan terpuji, dan dianjurkan, akan tetapi tangisan yang terpuji dan dianjurkan ialah tangisan yang benar-benar muncul dari ketulusan dan rasa takut kepada Allah. Adapun tangisan yang disebabkan karena terbawa oleh suasana dan intonasi suara yang terkesan pilu nan syahdu, masih perlu dikoreksi ulang. Terlebih-lebih bila hal itu terjadi dalam suatu acara yang tidak ada contohnya dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, misalnya acara ‘Indonesia Berzikir’.
Allah Ta’ala berfirman:
الله نزل أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني تقشعر منه جلود الذين يخشون ربهم ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذكر الله
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling bagus (yaitu Al Qur’an), sebuah kitab yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan-nya kemudian menjadi luluh kulit dan kalbunya menuju kepada zikir (mengingat) Allah.” (QS Az Zumar: 23)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir As Syafi’i menyebutkan kriteria orang-orang abraar (baik), diantaranya:
الثالث: أنهم يلزمون الأدب عند سماعها كما كان الصحابة رضي الله عنهم عند سماعهم كلام الله تعالى من تلاوة رسول الله تقشعر جلودهم ثم تلين مع قلوبهم إلى ذكر الله، لم يكونوا يتصارخون ولا يتكلفون ما ليس فيهم، بل عندهم من الثبات والسكون والأدب والخشية ما لا يلحقهم أحد في ذلك. ولهذا فازوا بالمدح من الرب الأعلى في الدنيا والآخرة
“Kriteria ketiga: Mereka senantiasa menjaga adab (kesopanan) tatkala mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an, sebagaimana dahulu yang dilakukan oleh para sahabat –radhiallahu ‘anhum- tatkala mendengar bacaan Al Qur’an dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kulit mereka tergetar, kemudian menjadi luluh bersama kalbunya untuk berzikir kepada Allah. Mereka tidaklah berteriak histeris, dan menangis dengan dibuat-buat, akan tetapi mereka memiliki ketegaran, keteguhan, kesopanan dan rasa takut, yang tidak akan ada orang yang dapat menyamai mereka dalam hal itu. Oleh karena itu mereka meraih pujian di dunia dan akhirat dari Tuhan Yang Maha Tinggi.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, oleh Ibnu Katsir 4/51).
Demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya, mereka tergetar oleh bacaan Al Qur’an, air mata mereka berlinang, hati mereka dipenuhi oleh rasa takut kepada Allah. Mereka menangis karena kalbunya dipenuhi oleh keimanan, bukan karena hanyut oleh suasana dan intonasi komando. Renungkanlah beberapa riwayat berikut ini:
عن عبد الله بن الشخير قال: رأيت رسول الله يصلي وفي صدره أزيز كأزيز المرجل من البكاء
“Dari sahabat Abdullah bin As Syikhkhir rodiallahu’anhu ia berkata: Aku pernah menyaksikan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sedang shalat, dan di dadanya terdengar suara bak suara periuk yang mendidih.” (Riwayat Ahmad 4/25, Abu Dawud, 1/390, hadits no: 904, An Nasa’i 3/13, hadits no: 1214, Ibnu Khuzaiman 2/53, hadits no: 900, Ibnu Hibban 2/439, hadits no: 665, dan Al Hakim 1/396, hadits no: 971)
Ini menunjukkan bahwa beliau shollallahu’alaihiwasallam menahan tangisnya, sehingga yang terdengar hanya suara isakan di dada beliau shollallahu’alaihiwasallam, dan tidak sampai menjadi tangisan dengan suara keras.
Dalam riwayat lain:
عن عبد الله بن مسعود قال قال لي النبي ,اقرأ علي. قلت: يا رسول الله آقرأ عليك وعليك أنزل؟! قال: نعم. فقرأت سورة النساء حتى أتيت إلى هذه الآية فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد وجئنا بك على هؤلاء شهيدا قال: حسبك الآن. فالتفت إليه فإذا عيناه تذرفان
“Dari sahabat Abdullah bin mas’ud ia berkata: Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda kepadaku: Bacakan untukku Al Qur’an. Aku menjawab: Wahai Rasulullah, apakah layak aku membacanya untukmu, sedangkan Al Qur’an kepadamu lah diturunkan?! Beliau menjawab: Ya. Maka akupun membaca surat An Nisa’ hingga sampai pada ayat: ‘Maka, bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).’ (QS An Nisa’: 41). Beliau bersabda: ‘Sekarang berhentilah (cukup)!’ Dan ternyata kedua mata beliau telah berlinangkan air mata.” (Riwayat Bukhori 4/1925, hadits no: 4763)
Beliau hanya meneteskan air mata, bandingkan dengan tangisan kebanyakan orang pada zaman sekarang bila mendengar ceramah atau nasehat seorang da’i, mereka menangis meraung-raung, sehingga masjid menjadi gaduh karena suara tangisan orang-orang yang menghadiri ceramah itu. Dan renungkan pula kisah berikut ini:
عن العرباض بن سارية قال: صلى بنا رسول الله ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodiallahu’anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesankan, sehingga air mata kami berlinang, dan hati kami tergetar……”
Para sahabat hanya merasakan takut dan tergetar hatinya, dan mata mereka berlinang. Beda halnya dengan kebanyakan orang pada zaman sekarang, yang menangis meraung-raung. Subhanallah, apakah keimanan mereka lebih tinggi dibanding keimanan para sahabat?! Mustahil.
Ataukah penceramahnya lebih mengena, pandai dan tulus bila dibanding dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam? Na’uzubillah min dzalika.
Asma’ binti Abi Bakar tatkala mendengar cerita bahwa ada sekelompok orang yang bila mendengar bacan Al Qur’an, mereka terjatuh pingsan, beliau malah membaca ta’awudz, pertanda beliau tidak menyukai hal ini, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
عن عبد الله بن عروة بن الزبير قال: قلت لجدتي أسماء: كيف كان يصنع أصحاب رسول الله إذا قراوا القرآن؟ قالت: كانوا كما نعتهم الله عز وجل، تدمع أعينهم وتقشعر جلودهم. قلت: فإن ناسا ههنا إذا سمعوا ذلك تأخذهم عليه غشية. فقالت: أعوذ بالله من الشيطان
“Abdullah bin Urwah bin Al Zubair, ia berkata: Aku bertanya kepada nenekku Asma’: Bagaimana dahulu para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam bila mereka membaca Al Qur’an? Ia menjawab: Dahulu mereka sebagaimana yang disifatkan oleh Allah Azza wa Jalla, berlinang air matanya dan bergetar kulitnya. Akupun berkata: Sesungguhnya di sini ada beberapa orang yang bila mendengarkan bacaan Al Qur’an, mereka terjatuh pingsan: Nenekku berkata: Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan.” (Riwayat Sa’id bin Manshur 2/330, no: 95, dan Al Baihaqi dalam kitabnya Syu’ab Al Iman 2/365, no: 2062).
Bila ada yang bertanya: Kalau demikian, bagaimana caranya membedakan orang yang benar-benar menangis karena takut kepada Allah dengan orang yang menangis karena hanyut oleh suasana dan intonasi suara penceramah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, simaklah jawaban seorang tabi’in berikut ini:
عن عمران بن عبدالعزيز قال: سمعت محمد بن سيرين وسئل عمن يسمع القرآن فيصعق، قال: ميعاد ما بينا وبينهم أن يجلسوا على حائط فيقرأ عليهم القرآن من أوله ألى آخره، فإن سقطوا فهم كما يقولون
“Dari ‘Imran bin Abdil Aziz, ia berkata: Aku pernah mendengarkan Muhammad bin Sirin ditanya tentang orang yang mendengar bacaan Al Qur’an kemudian ini jatuh pingsan. Ia menjawab: untuk membuktikan kebenaran mereka, silahkan mereka duduk di atas tembok pagar, kemudian mereka diperdengarkan bacaan Al Qur’an dari awal hingga selesai, bila mereka tetap terjatuh, maka mereka benar-benar seperti apa yang mereka katakan (benar-benar khusyu’).” (Riwayat Abu Nu’aim , dalam kitabnya Hilyah Al Auliya’ 2/265).
Metode Muhammad bin Sirin ini adalah metode paling tepat untuk membuktikan kebenaran dan ketulusan tangis orang-orang yang menangis di saat berzikir dan mengaminkan do’a orang lain.
Dan menurut hemat saya, yang perlu ditanyakan dan direnungkan lebih mendalam dan pada setiap saat ialah: Mengapa masyarakat kita sekarang menangisnya hanya pada saat mendengar ceramah seseorang atau mengaminkan do’a seseorang, sedangkan tatkala mendengar bacaan Al Qur’an atau membaca Al Qur’an tidak ada tangisan? Apalagi tangisan, sebutir air mata saja tidak ada, terlebih-lebih bila ia membaca Al Qur’an di kesunyian, dan tidak ada yang mendengar bacaannya?!
Apakah ceramah, nasehat, dan do’a penceramah itu lebih fasih, mengena, tulus bila dibanding dengan bacaan Al Qur’an?
Saya ingin mengajak pembaca yang budiman untuk jujur pada diri sendiri, dan bertanya kepada hati nurani masing-masing: Mengapa kalau mendengar orang yang lembut suaranya dan merdu irama bacaannya kita merasa lebih khusyu’, sedangkan bila kita mendengar orang yang fales suaranya dan kurang enak iramanya, kita kurang khusyu’ atau bahkan tidak khusyu’?! Apakah Al Qur’annya berbeda, ataukah hati kita lebih terpengaruh oleh suara seseorang daripada makna Al Qur’an?
Marilah kita jujur kepada diri sendiri, sehingga kita tidak mendustai hati nurani kita, dan -na’uzubillah- tidak mendustai Allah.
Dan contoh nyata, mari kita renungkan baik-baik kisah birikut ini:
عن نوح بن قيس قال: كان بيني وبين أخي خالد وبين عمرو بن عبيد إخاء، فكان يزورنا فإذا صلى في المسجد يقوم كأنه عود، فقلت لخالد: أما ترى عمرا ما أخشعه وأعبده؟! فقال: أما تراه إذا صلى في البيت كيف يصلي؟. قال: فنظرت إليه إذا صلى في البيت يلتفت يمينا وشمالا
“Dari Nuh bin Qais, ia menuturkan: Antaraku dan saudaraku Khalid dengan ‘Amr bin ‘Ubaid (tokoh golongan Mu’tazilah -pen) terjalin persahabatan, sehingga ia sering berkunjung ke rumah kami. Dan bila ia mendirikan shalat di masjid, ia berdiri bak sebatang kayu, maka akupun berkata kepada saudaraku Khalid: Tidakkah engkau lihat ‘Amr, betapa khusyu’nya dan betapa rajinnya ia beribadah?! Maka saudaraku Khalid menjawab: Apakah engkau tidak pernah melihatnya bila ia shalat di rumah, bagaimanakah ia mendirikan shalat?! Maka akupun melihatnya tatkala ia shalat dirumah, ternyata ia menoleh ke kanan dan ke kiri.” (Lihat kisah ini di kitab Ad Dhu’afa’ oleh Al ‘Uqaili, dan 3/285, Mizan Al I’itidal oleh Az Zahabi 5/333).
Bertanyalah kepada hati nurani kita: Mengapa tatkala saya mengaminkan do’a guru pengajian, saya terasa lebih khusyu’ sedangkan bila berdo’a sendiri tidak sedemikian khusyu’?
Ini semua akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala, kelak pada hari qiyamat. Pada saat itu kita tidak akan dapat berpura-pura dihadapan-Nya, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:
اليوم نختم على أفواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بما كانوا يكسبون
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan.” (QS Yaasiin: 65)
Kritikan ketiga:
Pada hal: 101, bapak Kyai berkata: “kami yakin betul bahwa menangis beliau (yaitu Muhammad Arifin Ilham) itu karena begitu khusyu’nya, takut akan azab Allah dan mengharapkan tegaknya syari’at Islam di bumi Indonesia ini.”
Yang ingin saya katakan pada kesempatan ini ialah:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
فلا تزكوا أنفسكم هو أعلم بمن اتقى
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” (QS An Najem: 32)
Rosulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
عن عبد الرحمن بن أبي بكرة عن أبيه قال: أثنى رجل على رجل عند النبي فقال: ويلك قطعت عنق صاحبك، قطعت عنق صاحبك مرارا، ثم قال: من كان منكم مادحا أخاه لا محالة فليقل :أحسب فلانا والله حسيبه ولا أزكي على الله أحدا، أحسبه كذا وكذا، إن كان يعلم ذلك منه
“Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari ayahnya, ia berkata: Ada seorang lelaki memuji di hadapan Nabi shollallahu’alaihiwasallam seorang lelaki lain, maka beliau bersabda: Celaka engkau, engkau telah memenggal leher kawanmu, engkau telah memenggal leher kawanmu, (beliau bersabda demikian) berkali-kali. Kemudian beliau bersabda: barang siapa merasa terpaksa memuji saudaranya, maka hendaknya ia berkata: Saya rasa/duga/kira si fulan (demikian) –dan Allahlah yang akan menghisabnya dan saya tidak mendahului Allah dalam menganggap suci seseorang-, saya kira dia itu demikian, demikian, bila hal (pujian/kelebihan) itu memang ada padanya.” (Riwayat Bukhori 2/946, hadits no: 2519, dan Muslim, 4/2296, hadits no: 3000)
At Thiibi berkata: “Maksud hadits ini: hendaknya ia (orang yang memuji) berkata: saya duga/kira bahwa si fulan itu demikian, bila benar-benar ia merasakan bahwa orang itu demikian halnya, dan Allahlah yang mengetahui isi hatinya, karena Dia-lah yang akan memberinya balasan, dan jangan sekali-kali ia berkata: saya yakin betul dan telah membuktikan dengan nyata hal ini pada orang itu.“ (Lihat Fath Al Bari, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 10/477).
Ibnu hajar Al ‘Asqalani memberikan penjelasan, mengapa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam melarang kita untuk memberikan pujian dengan cara pasti semacam ini:
وقد يقول ما لا يتحققه مما لا سبيل له إلى الاطلاع عليه ولهذا قال : فليقل أحسب, وذلك كقوله: إنه ورع ومتق وزاهد، بخلاف ما لو قال: رأيته يصلي أو يحج أو يزكي، فإنه يمكنه الاطلاع على ذلك. ولكن تبقى الآفة على الممدوح، فإنه لا يأمن أن يحدث فيه المدح كبرا أو إعجابا، أو يكله على ما شهره به المادح، فيفتر عن العمل، لأن الذي يستمر في العمل غالبا هو الذي يعد نفسه مقصرا
“Bisa saja ia mengatakan sesuatu yang belum ia buktikan, yaitu berupa hal-hal yang tidak mungkin untuk dia ketahui. Oleh karenanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda: ‘Hendaknya ia berkata: saya duga/kira’, yang demikian ini seperti ucapan: sesungguhnya orang ini adalah orang yang wara’, bertaqwa, dan zuhud, beda halnya bila ia berkata: Aku pernah melihat dia mendirikan shalat, atau menunaikan haji atau membayar zakat, karena hal-hal ini dapat disaksikan secara langsung. Walau demikian, tetap saja (pujian itu) dapat menjadi petaka bagi orang yang dipuji, karena tidak ada jaminan bahwa pujian itu tidak menumbuhkan rasa sombong dan congkak padanya, atau menjadikannya merasa cukup dengan pujian orang itu, sehingga ia menjadi malas beramal. Karena –biasanya- hanya orang yang istiqomah dalam amalannya-lah yang dapat menyadari bahwa dirinya kurang beramal.” (Ibid 10/478).
Sebagai bukti dari ucapan Ibnu Hajar ialah firman Allah Ta’ala:
والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة أنهم إلى ربهم راجعون أولئك يسارعون في الخيرات وهم لها سابقون
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera mendapatkannya.” (QS Al Mukminun: 60)
Istri Nabi shollallahu’alaihiwasallam ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- bertanya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tentang maksud ayat ini, apakah mereka itu adalah orang-orang yang minum khamer dan mencuri, kemudian mereka takut kepada Allah? Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menjawab:
لا يا بنت الصديق، ولكنهم الذين يصومون ويصلون ويتصدقون، وهم يخافون أن لا يقبل منهم، أولئك الذين يسارعون في الخيرات
“Bukan wahai putri (Abu Bakar) As Siddiq! Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menjalankan puasa, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sedangkan mereka merasa takut bila amalan mereka tidak diterima, mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.” (Riwayat Ahmad 6/159, At Tirmizi 5/327, hadits no: 3175, dan Ibnu Majah 2/1404, hadits no: 4198)
Bapak Kyai yang terhormat, bandingkanlah ayat, hadits dan keterangan ulama’ di atas dengan klaim bapak terhadap Muhammad Arifin Ilham: “Kami yakin betul bahwa menangis beliau (yaitu Muhammad Arifin Ilham) itu karena begitu khusyu’nya, takut akan azab Allah dan mengharapkan tegaknya syari’at Islam di bumi Indonesia ini.” Camkanlah ini baik-baik, semoga kita semua senantiasa mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah Ta’ala. Amiin.
Agar tidak timbul komentar miring tentang tulisan saya ini, pada kesempatan ini saya juga berkata bahwa saya juga tidak setuju dengan orang yang mengatakan: “Muhammad Arifin Ilham itu hanya pandai menjual air mata, akan tetapi mari kita serahkan semuanya kepada Allah, hanya Dialah yang tahu isi hati dan jati diri Muhammad Arifin Ilham, dan Dia pulalah yang akan menghisab seluruh amalan Muhammad Arifin Ilham dan juga amalan kita semua.”
–bersambung–