:: Artikel Paling Populer
:: |
Jum'at, 20 Juni 2003 - 07:06:37
|
Membongkar
Selubung Hizbut Tahrir (I) |
Rabu, 17 Juni 2003 - 20:51:13
|
Nyanyian
Dan Musik Dalam Islam (I) |
Rabu, 18 Juni 2003 - 22:28:53
|
Hukum
Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal) |
Jum'at, 20 Juni 2003 - 07:11:31
|
Membongkar
Selubung Hizbut Tahrir (III) |
Jum'at, 20 Juni 2003 - 07:07:42
|
Membongkar
Selubung Hizbut Tahrir (II) |
Senin, 05 Oktober 2003 - 23:46:03
|
Deretan
Ulama' Salafy penentang Ihya ut Turots |
Ahad, 08 Juni 2003 - 18:25:14
|
Siapakah
Ahlu Sunnah ? |
Ahad, 08 Juni 2003 - 18:19:43
|
Mengenal
Allah |
Ahad, 08 Juni 2003 - 18:39:18
|
Perkara
Baru dalam Sorotan Syariah |
Rabu, 23 Juli 2003 - 07:54:11
|
Jenis-Jenis
Tauhid - Pengenalan Tauhid
Rububiyyah | |
|
|
:: Ahlan Wa Sahlan
di Homepage Salafy Indonesia
:: |
Sabtu, 09 Agustus 2003 - 03:49:09, Penulis
: Berbagai Sumber |
Kategori
: Muammalah |
Bid'ah dan
Maksiatnya Jabat Tangan [Print
View] [kirim
ke Teman]
|
![]() Bid'ah
dalam Berjabat Tangan Mengucapkan salam dan berjabat
tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji
dan disukai dalam Islam. Dengan perbuatan ini hati kaum
Muslimin dapat saling bersatu dan berkasih sayang di
antara mereka. Namun apa yang terjadi jika perbuatan
terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang semestinya?
Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran
syariatlah yang terjadi.
Kita tidak mengetahui
dari salah seorang sahabat pun atau Salafush Shalih
Radhiyallahu Anhum bahwa apabila mereka selesai dari
shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat
tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah
shalat.
Seandainya salah seorang dari mereka
melakukan hal itu, sungguh akan dinukilkan bagi kita
meskipun dengan sanad yang lemah dan ulama akan
menyampaikan kepada kita karena mereka terjun di semua
lautan lalu menyelam ke bagian yang terdalam dan
menngeluarkan hukum-hukum darinya. Mereka tidak mungkin
menyepelekan sunnah Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah
atau sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau sifat
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam ) [ Tamam Al
Kalaam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salaam hal. 24 -
25 dan Al Masjid fi Al Islam, hal. 225 ]
Kebaikan
seluruhnya dalam mengikuti Rasul Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wa Sallam (Fatawa Al Izzi Bin Abdus Salam hal. 46
- 47 dan lihat Al Majmu’ 3/488)
Syaikh Al Albani
berkata dalam As Silsilah As Shahihah 1/23 : “Adapun
jabat tangan setelah shalat adalah bid’ah yang tidak ada
keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum
bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah
sunnah.”
Al Luknawi berkata setelah menyebutkan
silang pendapat tentang jabat tangan setelah shalat :
“Di antara yang melarang perbuatan itu adalah Ibnu Hajar
Al Haitami As Syafi’i, Quthbuddin Bin ‘Ala’ddin Al Makki
Al Hanafi dan Fadlil Ar Rumi dalam Majalis Al Abrar
menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek, ketika
beliau berkata : “Berjabat tangan adalah baik saat
brtemu. Adapun selain saat bertemu misalnya keadaan
setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana
kebiasaan di zaman kita adalah perbuataan tanpa landasan
hadits dan dalil !” Padahal telah diuraikan pada
tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan
tidak boleh taqlid padanya (sumber yang sama dan Ad
Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan
wa Al Mubtada’at hal. 72 dan 87)
Beliau juga
berkata : “Sesungguhnya ahli fikih dari kelompok
Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Malikiyyah menyatakan dengan
tegas tentang makruh dan bid’ahnya. Beliau berkata dalam
Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan
setelah shalat dalam segala hal karena Shahabat tidak
saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasannya
perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.
Ibnu Hajar, seorang ulama Syafi’iyyah berkata : “Apa
yang dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah
shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada
asalnya dalam syariat.”
Dan alangkah fasihnya
perkataan Beliau Rahimahullahu Ta’ala dari Ijtihad dan
Ikhtiarnya. Beliau berkata : Pendapat saya :
“Sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan
(setelah shalat ) ini tidak ada asalnya dari syariat”.
Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah.
Suatu masalah yang berputar antara makruh atau mubah,
harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak
mudharat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu
kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan
perkara yang mubah?
Sementara orang-orang yang
melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara
yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang
melarangnya dan mereka terus menerus dalam perkara itu.
Padahal terus menerus dalam perkara yang mandub (sunnah)
secara berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh.
Lalu bagaimana jika terus menerus dalam perkara yang
bid’ah yang tidak ada asalnya dalam
syariat?
Akhirnya sebagai penutup harus
diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim
memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim,
kecuali dengan sebab yang syar’i. Yang kami saksikan
berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka
melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib
kemudian mereka dengan tiba-tiba mengulurkan tangan
untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan
seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan
terganggu, bukan hanya karena jabatan tangan akan tetapi
karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari
dzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala karena jabat
tangan ini padahal tidak ada sebab-sebab berupa
perjumpaan atau semisalnya.
Jika permasalahannya
demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika anda
menarik tangan Anda dari tangan orang disamping Anda
yang terulur pada Anda. Karena ini sesungguhnya adalah
sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan
tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan
jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang
diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat
dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati.
Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumumskannya
kepada perbuatan menyelisihi sunnah. Maka wajib atas
ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa
jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari
kemungkaran, tetapi tidak tepat memilih metode yang
selamat. Maka dia terjerumus ke dalam kemungkaran yang
lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka
lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam. Buatlah manusia
mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian
akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga
yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari
mereka. Karena tabiat manusia lari dari kekasaran dan
kekerasan (Tamam Al kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da
As Salam hal. 23). [Dinukil dari SALAFY Edisi
XIV/Syawal/1417 H/1997 M]
Maksiat dalam Berjabat
Tangan Berjabat tangan dengan wanita yang bukan
mahram / wanita asing (ajnabi) merupakan bencana yang
banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat
darinya kecuali orang yang dirahmati Allah.
Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Seseorang
ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik
baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya" [Hadits Shahih, Lihat takhrijnya secara panjang
lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh
Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku].
Keharaman
perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat
Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala
Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah
Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603] [Disalin
dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah
Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama
Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid,
Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu
Ishaq Zulfa Husein] |
| |
|