Hukum Menyiapkan Makanan Pada Tanggal Dua Puluh Tujuh Rajab
Kategori Ahkam
Senin, 29 Agustus 2005
06:38:51 WIB
HUKUM MENYIAPKAN MAKANAN PADA TANGGAL DUA PULUH TUJUH RAJAB
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami memiliki banyak kebiasaan
yang kami warisi (dari orang tua kami) dalam hal perayaan pada waktu-waktu
tertentu, seperti : membuat kue-kue dan biscuit ketika hari raya Idul Fithri,
menyiapkan makanan dan buah-buahan pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab atau
pada malam pertengahan Sya’ban, serta beberapa jenis makanan pada hari raya
Asy-Syura. Apa hukumnya menurut syaria’t ?
Jawaban
Menunjukkan kebahagian dan kesenangan pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha
tidak apa-apa bila masih dalam batas-batas syari’at. Misalnya kedatangan
orang-orang untuk makan-makan dan minum-minum atau yang sejenisnya, berdasarkan
dalil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.
“Artinya : Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum dan dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala”
Yaitu pada tiga hari setelah hari raya Idul Adha, yang pada saat itu manusia
menyembelih binatang dan memakan dagingnya serta menikmati rizki yang diberikan
oleh Allah. Demikian pula pada hari raya Idul Fithri, tidak dilarang untuk
menunjukkan kegembiraan dan kesenangan selama tidak melewati batas yang
ditetapka syari’at.
Adapun merayakan hari kedua puluh tujuh bulan Rajab atau malam pertengahan bulan
Sya’ban atau hari Asyura, perbuatan itu tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan
terlarang. Bagi setiap muslim tidak wajib hukumnya untuk menghadiri perayaan
semacam itu apabila diundang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda.
“Artinya : Hendaklah kalian menghindari perkara baru dalam agama, karena setiap
perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
Malam kedua puluh tujuh bulan Sya’ban dikira banyak orang sebagai malam di mana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mi’rajkan oleh Allah. Ini semua
tidak ada dasarnya menurut sejarah. Setiap yang tidak berdasar adalah bathil,
dan semua yang didasarkan kepada kebathilan adalah bathil. Meski misalnya
peristiwa itu terjadi pada malam dua puluh tujuh, maka tetap saja tidak boleh
bagi kita untuk menjadikannya sebagai perayaan atau bentuk ibadah, karena hal
itu tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para
sahabatnya, padahal mereka adalah manusia yang paling gemar mengikuti sunnahnya
dan melaksanakan syari’atnya. Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi kita untuk
menetapkan apa yang tidak pernah ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maupun pada zaman sahabat ?
Demikian juga malam nisfu Sya’ban, tidak ada ketetapan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk merayakan atau mengagungkannya. Akan tetapi yang ada
adalah menghidupkannya dengan dzikir dan shalat, tidak dengan makan-makan,
bersuka cita atau merayakannya.
Sedangkan pada hari Asyura, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang
puasa pada hari itu, beliau mengatakan bahwa puasa pada hari itu menghapus
dosa-dosa setahun yang lalu. Tidak diperbolehkan pada hari tersebut untuk
mengadakan semacam perayaan atau menunjukkan kesedihan, karena bersenang-senang
maupun menunjukkan kesedihan pada hari ini bertentangan dengan sunnah. Tidak ada
riwayat dari Nabi selain untuk mengerjakan puasa pada hari itu, juga
diperintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya untuk menyelisihi
apa yang dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.
[Fatawa Mar’ah 1/11]
[Disalin dari kitab Al-fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq]
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1555&bagian=0