Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama’ah (3)
19 January, 2007– Tingkat pembahasan: Lanjutan
Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama’ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Pada edisi sebelumnya sudah dijelaskan mengenai makna As-Sunnah dan beberapa kesalahan dalam memahaminya. Sebelum kita memasuki pembahasan pokok mengenai bantahan terhadap buku “Zikir Berjamaah Sunnah Atau Bid’ah” Karya K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, tentu belumlah lengkap jika kita belum mengenal lawan dari As-Sunnah, yaitu Bid’ah. Kami mohon kepada ikhwah sekalian agar mencermati kata-perkata pada tulisan ini serta berusaha untuk memahaminya terlebih dahulu sebelum memberikan komentar atau mengajukan pertanyaan.
***
BID’AH
A. Definisi bid’ah
Pada pembahasan ini, setelah bapak Kyai menyebutkan definisi bid’ah ditinjau dari segi etimologi beliau menyebutkan definisi bid’ah ditinjau dari segi terminologi, yaitu dengan menyebutkan dua definisi yang beliau anggap tepat, definisi pertama: definisi Sulthanul ‘Ulama’ Izzuddin bin Abd Al Salam (w. 660 H) dan definisi kedua adalah: definisi Abu Sa’id Al Khadimi.
Yang menjadi kritikan saya ialah:
Kritikan pertama:
Bapak Kyai nampaknya terburu-buru, baik dalam menukil atau menyimpulkan, karena bila bapak Kyai sedikit jeli dan sabar, niscaya beliau akan mendapatkan bahwa pada kedua definisi yang beliau sebutkan ada pertentangan. Yang demikian itu karena Izzuddin bin Abd Al Salam mendefinisikan bid’ah dengan ucapannya:
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله
“Bid’ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.” (Qawa’id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, hal: 2/172).
Kemudian Izzuddin bin Abd Al Salam membagi bid’ah menjadi lima, yaitu bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, dan memberikan contoh bagi masing-masing bagian. Dan diantara yang beliau contohkan bagi bid’ah yang makruh ialah bid’ah menghiasi masjid, melebarkan lengan baju, dan diantara bid’ah yang mubah ialah bersenang-senang dengan berbagai macam makanan, minuman, yang lezat pakaian dan rumah yang indah, dst. Sehingga menurut definisi Izzuddin ini, bid’ah bisa berupa urusan adat istiadat.
Sedangkan Abu Sa’id Al Khadimi mendefinisikan bid’ah dengan perkataan nya:
وهو الزيادة في أعمال الدين أو النقصان منه الحادثان بعد الصحابة بغير إذن من الشارع، لا قولا ولا فعلا ولا صريحا ولا إشارة، فلا تتناول العادات أصلا، بل تقتصر على بعض الاعتقادات وبعض صور العبادات
“Bid’ah ialah tambahan atau pengurangan dalam amaliah agama yang keduanya terjadi sesudah masa sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dengan tidak ada izin dari Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) tidak dengan perkataan, tidak juga dengan perbuatan, tidak juga dengan cara terus terang juga tidak dengan isyarat. Maka bid’ah itu sama sekali tidak mencakup urusan adat, akan tetapi hanya mencakup sebagian urusan akidah dan sebagian bentuk amalan ibadah.” (Sebagaimana yang dinukilkan oleh K.H. Drs. Muhammad Dimyathi Badruzzaman dalam bukunya hal: 30).
Demikian, jelaslah bentuk pertentangan antara kedua definisi ini.
Dan demikianlah kenyataannya, para ulama’ memang berbeda pendapat, apakah bid’ah dapat berupa adat-istiadat, atau hanya dalam urusan aqidah dan ibadah saja.
Dan menurut hemat saya pendapat yang paling moderat dalam hal ini, dan lebih tepat ialah pendapat yang disampaikan oleh As Syathibi Al Maliki, setelah memaparkan kedua pendapat di atas beserta argumentasi masing-masing pendapat, beliau berkata:
ثبت في الأصول الشرعية أنه لا بد في كل عادي من شائبة التعبد، لأن ما لم يعقل معناه على التفصيل من المامور به أو المنهي عنه فهو المراد بالتعبدي وما عقل معناه وعرفت مصلحته أو مفسدته فهو المراد بالعادي، فالطهارات والصلوات والصيام والحج كلها تعبدي، والبيع والنكاح والشراء والطلاق والإجارات والجنايات كلها عادي؛ لأن أحكامها معقولة المعنى، ولا بد فيها من التعبد؛ إذ هي مقيدة بأمور شرعية لا خيرة للمكلف فيها، كانت اقتضاء أو تخييرا، فإن التخيير في التعبدات إلزام، كما ان الاقتضاء إلزام –حسبما تقرر برهانه في كتاب الموافقات-، وإذا كان كذلك، فقد ظهر اشتراك القسمين في معنى التعبد. فإن جاء الابتداع في الأمور العادية من ذلك الوجه صح دخوله في العاديات كالعبادات، وإلا فلا
“Telah tetap dalam prinsip-prinsip syari’at bahwa setiap urusan adat-istiadat pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena setiap hal yang tidak dipahami maknanya secara terperinci, baik hal yang diperintahkan atau yang dilarang, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan ta’abbudi (peribadatan). Dan setiap yang dapat dipahami maknanya, diketahui ke-maslahat-an dan mafsadah-nya, maka itulah yang dimaksud dengan sebutan adat-istiadat. Sehingga bersuci, sholat, puasa, dan haji, seluruhnya dikatakan ta’abbudi, dan transaksi jual, pernikahan, transaksi beli, perceraian, sewa menyewa, pidana, seluruhnya disebut adat istiadat, karena hukum-hukumnya dapat dipahamai maknanya, dan pasti ada kaitannya dengan peribadatan, karena semuanya dalam ajaran syari’at pasti dibatasi dengan beberapa hal, yang tidak ada pilihan (untuk meninggalkannya) bagi siapapun, baik berupa perintah, atau pilihan, dan pilihan dalam urusan peribadatan termasuk keharusan, sebagaimana halnya perintah, seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Al Muwafaqat. Dan bila demikian ini keadaannya, maka telah jelaslah bahwa kedua hal ini (peribadatan dan adat-istadat) sama-sama ada unsur ta’abbud (ibadah)nya. Sehingga bila bid’ah diada-adakan dari sisi pandang ini, maka dibenarkan bahwa bid’ah itu dapat mencakup urusan adat-istiadat, sebagaimna halnya dalam urusan peribadatan. Bila tidak dari sisi ini, maka bid’ah tidak mencakup urusan adat.” (Al I’itishom oleh As Syathibi 2/329).
Sehingga tatkala bapak Kyai menyimpulkan pada hal: 31 dengan berkata: “Dari uraian di atas yang saling melengkapi itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dinamakan bid’ah…… Namun bid’ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat istiadat (keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.”
Saya menjadi tidak tahu dan bingung sambil bertanya: Dari manakah kesimpulan ini bapak Kyai peroleh? Menurut hemat saya ini adalah kesimpulan mentah dan tidak ilmiah, karena tidak didasari oleh fakta dari data ilmiah yang beliau tulis sendiri. Subhanallah!
Kritikan kedua:
Yang dilakukan oleh bapak Kyai Dimyathi pada bab ini, ialah manipulasi terjemahan yang beliau lakukan terhadap perkataan Izzuddin bin Abd Al Salam. Tatkala mendefinisikan bid’ah Izzuddin berkata:
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله
“Bid’ah ialah suatu amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.”
Akan tetapi bapak Kyai menerjemahkannya (lihat buku beliau hal: 30) sebagai berikut: “Bid’ah itu adalah suatu amaliah keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam.”
Saya tidak tahu, apakah tambahan kata (keagamaan) beliau sengaja atau tidak, akan tetapi yang jelas bagi saya bahwa ini adalah tambahan yang tidak sesuai dengan aslinya, bahkan bertentangan dengan maksud Izzuddin bin Abd As Salam, yaitu –sebagaimana yang telah dijelaskan di atas- tidak adanya perbedaan antara amaliah ibadah dengan adat istiadat, bid’ah dapat mencakup keduanya. Semoga Allah merahmati “amanah ilmiah” (baca: obyektifitas), yang telah dikuburkan dalam-dalam oleh banyak orang.
B. Klasifikasi Bid’ah
Pada pembahasan ini, yaitu hal: 35, bapak Kyai menyebutkan bahwa banyak ulama’ kenamaan yang telah membagi bid’ah itu ke dalam dua bagian, yakni bid’ah hasanah/mahmudah (baik/terpuji) dan bid’ah sayyi’ah/dhalalah/madzmumah/qabihah (bid’ah buruk, sesat/tercela/jelek)”, kemudian beliau menyebutkan beberapa ulama’ yang seakan-akan mendukung pendapat beliau ini.
Sebelum saya meluruskan pemahaman terhadap perkataan ulama’-ulama’ yang telah dinukilkan oleh bapak Kyai, saya akan awali dengan menyebutkan hadits-hadits yang mencela bid’ah, agar menjadi pedoman dan tolok ukur dalam menilai suatu pendapat:
Hadits pertama:
عن جابر بن عبد الله أن رسول الله قال: أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
“Dari sahabat Jabir bin Abdillah rodhiallahu’anhu bahwasannya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Amma ba’du: sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, dan sejelek-jelek urusan ialah urusan yang diada-adakan, dan setiap bid’ah ialah sesat.” (Riwayat Muslim, 2/592, hadits no: 867)
Hadits kedua:
عن العرباض بن سارية قال: صلى بنا رسول الله ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا؛ فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Dari sahabat ‘Irbadh bin As Sariyyah rodhiallahu’anhu ia berkata: Pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam shalat berjamaah bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami, lalu beliau memberi kami nasehat dengan nasehat yang sangat mengesan, sehingga air mata berlinang, dan hati tergetar. Kemudian ada seorang sahabat yang berkata: Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah, maka apakah yang akan engkau wasiatkan (pesankan) kepada kami? Beliau menjawab: Aku berpesan kepada kalian agar senantiasa bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa setia mendengar dan taat ( pada pemimpin/penguasa , walaupun ia adalah seorang budak ethiopia, karena barang siapa yang berumur panjang setelah aku wafat, niscaya ia akan menemui banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.“ (Riwayat Ahmad 4/126, Abu Dawud, 4/200, hadits no: 4607, At Tirmizy 5/44, hadits no: 2676, Ibnu Majah 1/15, hadits no:42, Al Hakim 1/37, hadits no: 4, dll)
Pada kedua hadits ini dan juga hadits-hadits lain yang serupa, ada dalil nyata dan jelas nan tegas bahwa setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam hadits ini bersabda: كل بدعة ضلالة setiap bid’ah ialah sesat, dalam ilmu ushul fiqih, metode ungkapan ini dikatagorikan kedalam metode-metode yang menunjukkan akan keumuman, bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa metode ini adalah metode paling kuat guna menunjukkan akan keumuman, dan tidak ada kata lain yang lebih kuat dalam menunjukkan akan keumuman dibanding kata ini كل. (Baca Al Mustasyfa oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali 3/220, dan Irsyadul Fuhul oleh Muhammad Ali As Syaukani 1/430-432).
Dengan demikian dari kedua hadits ini, kita mendapatkan keyakinan bahwa setiap yang dinamakan bid’ah adalah sesat, demikianlah yang ditegaskan dan disabdakan oleh Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun di kemudian hari untuk mengatakan, bahwa ada bid’ah yang hasanah atau baik. Keumuman hadits ini didukung oleh sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam hadits lain:
عن عائشة قالت: قال رسول الله: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, niscaya akan ditolak.” (Riwayat Bukhori 2/959, hadits no: 2550, dan Muslim 3/1343, hadits no: 1718)
Sebagai seorang muslim yang bernar-benar beriman bahwa Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam adalah utusan Allah, dia akan senantiasa bersikap sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا.
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin dan tidak pula bagi seorang mukminah bila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, untuk mengambil pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al Ahzab: 36)
Ibnu Katsir berkata: “Ayat ini bersifat umum, sehingga mencakup segala urusan, yaitu bila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu urusan dengan suatu keputusan, maka tidak dibenarkan bagi siapapun untuk menyelisihinya atau memutuskan atau berpendapat atau berkata lain.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, oleh Ibnu Katsir 3/490).
Layak dan beradabkah setelah Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda bahwa setiap bid’ah ialah sesat, kemudian kita, atau yang lain walaupun itu Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ada bid’ah yang hasanah?
Terlebih-lebih orang semacam Imam Syafi’i, yang telah berkata:
من استحسن فقد شرع
“Barang siapa yang menganggap baik sesuatu, berarti ia telah membuat syari’at.” (Lihat Al Risalah oleh Imam As Syafi’i, 25, dan Al Mustasyfa oleh Al Ghozali 2/467).
Masuk akalkah orang yang berkata demikian, mengatakan dan menyelisihi Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam mendefinisikan bid’ah?
Bila demikian keadaannya, lalu bagaimana klarifikasi ucapan beliau?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati kembali perkataan Imam As Syafi’i:
البدعة بدعتان: محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua macam: yaitu yang mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela). Maka setiap bid’ah yang selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid’ah yang terpuji, dan yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Auliya’ oleh Abu Nu’aim 9/113, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 13/253).
Bila kita cermati dan pahami dengan seksama, maka akan jelas bagi kita bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dari kata “Bid’ah” ialah bid’ah secara etimologi (bahasa) yang berarti at thariqoh (jalan/metode) bukan secara terminologi (istilah dalam syari’at). Ini didukung dengan penjelasan beliau sendiri, tatkala beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah mahmudah ialah bid’ah yang selaras dengan As Sunnah. Sehingga mustahil dalam istilah syari’at Islam sesuatu yang selaras dengan As Sunnah disebut bid’ah, karena definisi bid’ah ialah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya/ tidak diizinkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, tidak juga secara langsung atau isyarat.
Bapak Kyai sendiri pada halaman: 31 telah menyimpulkan: “Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan tidak pula di zaman para sahabatnya, yang tidak bersumber dari syara’, baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al Qur’an dan Sunnah Rasulllah shollallahu’alaihiwasallam, maka hal itu menurut syari’at dinamakan dengan bid’ah.”
Sedangkan ucapan As Syafi’i: “Bid’ah yang tidak selaras dengan As Sunnah, maka itu adalah bid’ah madzmumah”, maka yang dimaksud dari kata bid’ah pada penggalan perkataan beliau ini ialah bid’ah secara istilah dalam syari’at, karena demikianlah kenyataannya, setiap bid’ah pasti tidak memiliki dasar dan landasan dalam syari’at, sehingga karena sebab ini, bid’ah itu dicela.
Dengan demikian sesuatu yang selaras dengan As Sunnah, tidak disebut bid’ah dalam istilah syari’at, akan tetapi mungkin disebut bid’ah secara bahasa.
Pemahaman seperti ini nyata sekali bila kita merujuk kepada perkataan As Syafi’i yang lain:
المحدثات ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يحالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
“Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama’ (ijma’), maka ini adalah bid’ah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal baru/diada-adakan) yang tidak tercela.” (Ibid, dan Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267).
Tentu menafsirkan perkataan Imam Syafi’i, dengan perkataan beliau sendiri lebih obyektif dan tepat, dari pada mereka-reka sendiri maksud perkataan beliau.
Dan pemahaman ini jugalah yang disimpulkan oleh para ulama’ yang menjabarkan perkataan beliau, diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, beliau berkata:
والمراد بها –أي المحدثات- ما أحدث وليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة. وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث لا على مثال يسمى بدعة، سواء كان محمودا أو مذموما
“Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan dalam istilah syari’at disebut bid’ah. Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syari’at, tidak disebut bid’ah. Dengan demikian bid’ah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, baik hal itu terpuji atau tercela.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 13/253, dan hendaknya dibaca pula penjelasan Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, 267].
Pemahaman terhadap perkataan Imam Syafi’i sangat jelas sekali, bagi orang yang hatinya bersih dan terhindar dari noda fanatik golongan atau bid’ah. Dan seandainya yang dimaksud dari kata bid’ah mahmudah ialah pengertian bid’ah secara istilah, bukan secara pengertian bahasa, maka perkataan beliau ini tidak dapat dijadikan dalil untuk menentang sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang jelas-jelas memvonis bahwa setiap bid’ah ialah sesat, Terlebih-lebih beliau telah berwasiat kepada setiap orang muslim agar mencampakkan pendapatnya, bila ternyata terbukti bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam.
Konfirmasi pemahaman terhadap ucapan Imam Syafi’i ini juga berlaku pada setiap ucapan ulama’ lain yang senada dengan ucapan beliau, seperti ucapan Imam An Nawawi, dan Abd Al Haqq Al Dahlawi dll yang telah dinukil oleh bapak Kyai Dimyathi. (Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab “Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, oleh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili 1/112-117).
Adapun kisah dan ucapan Umar bin Khatthab rodhiallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Bukhori dll, yaitu:
عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال: خرجت مع عمر بن الخطاب ليلة في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون، يصلي الرجل لنفسه، ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط. فقال عمر: إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم فجمعهم على أبي بن كعب، ثم خرجت معه ليلة أخرى، والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر: نعمت البدعة هذه، والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون يريد آخر الليل وكان الناس يقومون أوله
“Dari Abdurrahman bin Abd Al Qari, ia mengisahkan: Pada suatu malam hari di bulan Ramadhon, aku keluar rumah bersama Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu menuju ke masjid, didapatkan orang-orang sedang shalat tarawih dengan berpencar-pencar. Ada yang sholat sendirian, dan ada yang yang sholat berjamaah dengan beberapa orang. Maka Umar berkata: Saya rasa seandainya saya menyatukan mereka shalat dengan diimami oleh satu orang, niscaya lebih baik. Kemudian ia bertekad dan menyatukan mereka sholat dibelakang Ubai bin Ka’ab. Kemudian di lain malam aku keluar rumah bersamanya, (*) sedangkan orang-orang sedang shalat tarawih bersama imam mereka (yaitu Ubay bin Ka’ab). Maka Umar berkata: ‘Sebaik-baik bid’ah ialah ini, dan (sholat) yang mereka lakukan setelah tidur terlebih dahulu itu lebih baik dari yang mereka lakukan sekarang’, yang beliau maksud ialah sholat di akhir malam, dan kala itu orang-orang lebih memilih untuk sholat pada awal malam.” (Riwayat Bukhari 2/707, hadits no: 1906, Malik 1/114, hadits no: 250, Al Baihaqi 2/493)
(*) Ini mengisyaratkan bahwa sahabat Umar bin Al Khattab rodhiallahu’anhu tidak ikut shalat pada awal malam berjamaah bersama mereka, akan tetapi beliau lebih memilih untuk shalat pada akhir malam, sebagaimana yang beliau jelaskan bahwa shalat pada akhir malam itu lebih baik, dibanding shalat pada awal malam.
Untuk mendudukkan hukum sholat tarawih secara berjama’ah dan apakah relevan bila disebut sebagai amalan bid’ah secara istilah dalam syari’at, maka perlu diketahui bahwa:
Shalat tarawih, dan menjalankannya dengan berjamaah bukanlah hasil rekayasa Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu, sehingga dikatakan sebagai suatu amalan bid’ah hasanah, akan tetapi kedua hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam beserta sahabatnya. Marilah kita simak hadits berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى في المسجد ذات ليلة، فصلى بصلاته ناس، ثم صلى من القابلة فكثر الناس، ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله ، فلما أصبح قال: قد رأيت الذي صنعتم، فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم قال وذلك في رمضان
“Dari sahabat ‘Aisyah –radhiallahu ‘anha- bahwasannya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada suatu malam menjalankan sholat di masjid, maka ada beberapa orang yang mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam selanjutnya beliau shalat lagi, dan orang-orang yang mengikuti shalat beliau-pun bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, dan beliau shollallahu’alaihiwasallam tidak keluar menemui mereka, pada pagi harinya beliau bersabda: Sungguh aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan (yaitu berkumpul menanti shalat berjamaah) dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, melainkan karena aku khawatir bila (shalat tarawih) diwajibkan atas kalian.” (*) Dan itu terjadi pada bulan Ramadhan.” (Riwayat Al Bukhari 1/380, hadits no: 1077, dan Muslim 1/524, hadits no: 761)
(*) Alasan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ini membuktikan kepada kita betapa sayangnya beliau kepada umatnya, sampai-sampai beliau kawatir bila beliau terus menerus shalat tarawih dengan berjamaah, akan diturunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih. Semoga salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada beliau, keluarga dan seluruh sahabatnya, amiin.
As Syathibi berkata: “Perhatikanlah hadits ini dengan seksama! Pada hadits ini ada petunjuk bahwa shalat tarawih adalah sunnah, karena berjamaahnya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersama para sahabat pada beberapa hari merupakan dalil dibenarkannya shalat tarawih berjamaah di masjid. Adapun keengganan beliau setelah hari itu untuk keluar rumah, disebabkan oleh rasa khawatir akan diwajibkannya shalat tarawih, bukan berarti beliau tidak mau lagi untuk berjamaah shalat tarawih selama-lamanya. Hal ini karena masa itu ialah masa diturunkannya wahyu dan syari’at, sehingga sangat dimungkinkan bila banyak orang yang berjamaah shalat tarawih, akan diturunkan wahyu kepada Rasulullah yang mewajibkan shalat tarawih. Dan tatkala alasan ini telah tiada dengan wafatnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka permasalahan shalat tarawih berjamaah kembali kepada hukum asal, yaitu telah tetapnya syari’at dibolehkannya shalat tarawih berjama’ah.
Dan Abu Bakar rodhiallahu’anhu tidak menjalankan hal ini, karena adanya dua kemungkinan: Mungkin karena beliau berpendapat bahwa shalat pada akhir malam dan membiarkan orang-orang shalat sendiri-sendiri itu lebih utama dibanding menyatukan mereka shalat dibelakang seorang imam pada awal malam. Alasan ini diungkapkan oleh At Tharthusi. Atau karena pendeknya masa khilafah beliau rodhiallahu’anhu, sehingga tidak sempat memikirkan hal semacam ini, ditambah lagi beliau disibukkan oleh urusan orang-orang yang murtad dari agama Islam, dan urusan lainnya yang jauh lebih penting dibanding shalat tarawih.
Dan tatkala kaum muslimin telah tenang pada zaman khilafah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu, dan beliau mendapatkan orang-orang terpencar-pencar di dalam masjid –sebagaimana yang dikisahkan dalam riwayat di atas- beliau berkata: Seandainya saya satukan mereka shalat di belakang seorang imam, niscaya itu lebih baik. Dan tatkala keinginannya ini telah terlaksana, beliau mengingatkan bahwa bila mereka menjalan kan shalat tarawih pada akhir malam, itu lebih baik.” (Al I’itishom, oleh As Syathibi, 1/140).
Dengan demikian telah terbukti bahwa yang dimaksud dari kata “bid’ah” dalam ucapan sahabat Umar bin Al Khatthab ialah bid’ah dengan pengertian bahasa, yaitu yang bermaknakan: metode atau jalan, dan bukan bid’ah secara pengertian istilah syari’at. Sehingga ucapan sahabat Umar ini tidak dapat dijadikan dalil guna mengatakan bahwa bid’ah itu ada dua: bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Karena amalan shalat tarawih, dan pelaksanaan shalat tarawih berjamaah di masjid, telah dicontohkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam.
Adapun ucapan bapak Kyai Dimyathi pada hal: 40: “Dari hadits yang tidak diragukan kesahihannya ini, begitu jelas dan tegas bahwa shalat tarawih berjama’ah secara terus menerus sebulan penuh dalam bulan ramadhan itu adalah perbuatan bid’ah, karena tidak dikenal pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam”, adalah ucapan yang gegabah dan tidak berdasarkan realita dan data ilmiah. Untuk membuktikan ini, akan saya bahas satu demi satu ucapan bapak Kyai ini:
A.
Shalat tarawih berjama’ah secara terus menerus, adalah sunnah hukumnya, ini dikarenakan yang menjadikan Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak meneruskan shalat tarawih berjamaah pada hari ketiga dan keempat dan juga seterusnya ialah rasa khawatir beliau akan diturunkannya wahyu yang mewajibkan shalat tarawih, sehingga akan memberatkan umatnya. Bukan karena beliau tidak mau lagi atau tidak mengizinkan lagi hal itu. Oleh karena dalam teks hadits ini, Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak berwasiat kepada para sahabatnya agar tidak mengulang di kemudian hari perbuatan menjalankan shalat tarawih dengan berjamaah. Ini menunjukkan bahwa hukum disunnahkannya shalat tarawih dengan berjama’ah tidak dihapuskan. Ulama’ ushul fiqih menegaskan bahwa penghapusan (nasekh) suatu hukum harus dengan dalil yang tegas dan jelas, bukan dengan dalil yang tidak tegas dan jelas, apalagi hanya sekedar ucapan seorang ulama’ atau praduga. (lihat Al Mustashfa oleh Al Ghazali 2/89, Irsyadul Fuhul oleh As Syaukani 2/79). Tentu bapak Kyai memahami hal ini dengan baik, sehingga tidak perlu saya berpanjang lebar membahas masalah ini.
B.
Shalat tarawih berjama’ah telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dan pelaksanaannya secara terus menerus selama bulan Ramadhon telah di contohkan dan dilakukan semenjak kholifah rasyid Umar bin Al Khottab rodhiallahu’anhu, sehingga amalan ini tidak dapat dikatakan bid’ah, karena definisi bid’ah -sebagaimana yang bapak Kyai sebutkan sendiri- ialah suatu amalan agama yang tidak dikenal di zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan juga tidak pada zaman sahabatnya. Terlebih-lebih amalan ini yang memerintahkannya ialah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu, kemudian diamalkan oleh khulafa’ setelah beliau. Dan tidak lupa beliau ialah salah seorang Al Khulafa’ Ar Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk meneladani mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sahabat ‘Irbadh bin Sariyah rodhiallahu’anhu.
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang telah mendapat petunjuk lagi bijak. Berpegang eratlah kalian dengannya, dan gigitlah dengan geraham kalian. Jauhilah oleh kalian urusan-urusan yang diada-adakan, karena setiap urusan yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah ialah sesat.”
Dengan demikian bapak Kyai telah bertentangan dengan kesimpulannya sendiri tentang definisi bid’ah, dan yang lebih parah lagi ialah: beliau telah mengatakan bid’ah suatu amalan yang diajarkan dan dijalankan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan Khalifah Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu.
Dan pada kesempatan kali ini saya harap bapak Kyai: merenungkan kembali perkataan bapak bahwa amalan Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan Al Khulafa’ Ar Rasyidin adalah amalan bid’ah.
Sebagai saran saya kepada bapak Kyai, bacalah kembali tulisan bapak sendiri pada hal: 73-77, yaitu suatu pembahasan dengan judul: “KONSEKWENSI MEMVONIS BID’AH KEPADA AMALIAH YANG SEBENARNYA SUNNAH”.
Agar menjadi jelas sejauh mana kekeliruan bapak Kyai Dimyathi, baca kembali hadits di atas. Bila sudah, bukankah Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah menyatakan dengan jelas bahwa amalan-amalan Al Khulafa’ Al Rasyidin adalah sunnah?? Akan tetapi bapak Kyai malah mengatakan bahwa amalan mereka adalah bid’ah.
Tarawih berjamaah selama bulan Ramadhan adalah suatu amalan sunnah yang telah disepakati oleh seluruh sahabat semenjak zaman Umar bin Al Khatthab, dan tidak ada seorang ulama’ pun yang mengingkarinya, apalagi memvonisnya sebagai amalan bid’ah, (Diantara ulama’ yang telah menyebutkan kesepakatan tentang sunnahnya shalat tarawih dengan berjamaah selama satu bulan, ialah Imam Abu Al Abbas Ibnu Suraij As Syafi’i, Abu Ishaq Al Marwazy As Syafi’i, dan As Syathibi Al Maliki. Lihat Al Majmu’ Syarah Muhazzab oleh Imam An Nawawi 4/38 dan Al I’ithishom oleh As Syathibi 1/141), kecuali bapak Kyai Ahmad Dimyathi Badruzzaman sendiri.
Adapun hadits kedua yang dijadikan dalil oleh bapak Kyai guna meresmikan pembagian bid’ah kepada dua: bid’ah dhalalah dan bida’ah hasanah, yaitu:
عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني عن أبيه عن جده أن النبي قال لبلال بن الحارث: اعلم. قال: ما أعلم يا رسول الله؟ قال: اعلم يا بلال. قال: ما أعلم يا رسول الله؟ قال: أنه من أحيا سنة من سنتي قد أميتت بعدي فإن له من الأجر مثل من عمل بها أن ينقص من أجورهم شيئا، ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله، كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
“Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin ‘Auf Al Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda kepada Bilal bin Al Harits: Ketahuilah. Bilal pun menjawab: Apakah yang harus saya ketahui, wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda lagi: Ketahuilah, wahai Bilal! Bilal pun menjawab: Apa yang harus saya ketahui, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: (ketahuilah) Bahwa barang siapa yang menghidupkan salah satu sunnahku yang telah ditinggalkan (dilalaikan) setelah kematianku, maka baginya pahala seperti pahala seluruh orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang mengada-adakan bid’ah dhalalah (sesat), yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka baginya dosa seperti dosa seluruh orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sedikitpun dosa mereka.” (Riwayat At Tirmizy, 5/45, hadits no: 2677, Ibnu Majah 1/76, 209, Al Bazzar, 8/314, hadits no: 3385, At Thabrani dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir 17/16/ hadits no: 10, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitabnya As Sunnah 1/23, hadits no: 42)
Hadits ini dengan riwayat yang demikian ini, yaitu dengan lafadz :
من ابتدع بدعة ضلالة
“Dan barang siapa mengada-adakan suatu bid’ah.”
adalah hadits yang lemah sekali, karena hadits ini diriwayatkan oleh Katsir bin Abdillah Al Muzani, dia adalah seorang yang lemah riwayatnya, bahkan sebagian ulama’ mengatakan bahwa dia adalah pendusta, sehingga riwayatnya diindikasi sebagai hadits dhaif bahkan diduga sebagai hadits palsu. Diantara yang menjelaskan jati diri perawi ini: (Silahkan baca keterangan ulama’ ahl al hadits tentang orang ini di: Al Kamil fi Dhu’afa’ Al Rijal, oleh Ibnu ‘Adi 6/57, no: 1599, Al ‘Ilal Al Mutanahiyah, oleh Ibnu Al Jauzi 1/142, no: 206, Mizan Al I’itidal fi Naqd Al Rijal oleh Az Zahabi 5/492, no: 6949, Tahzib Al Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 8/377, no: 753).
- Imam As Syafi’i, berkata tentangnya: “Dia adalah salah seorang tonggak kedustaan.”
- Imam Ahmad bin Hambal, berkata tentangnya: “Hadits-hadits orang ini adalah mungkar, dan tidak ada artinya”, dan beliau (Ahmad bin Hambal) menghapus seluruh hadits riwayat Katsir Al Muzani dari kitabnya Al Musnad, dan tidak pernah meriwayatkannya lagi.”
- Imam Yahya bin Ma’in berkata: “Hadits-hadits Katsir bin Abdillah Al Muzani tidak ada artinya, dan tidak layak untuk ditulis.”
- Imam An Nasa’i berkata: “Ia adalah orang yang haditsnya harus ditinggalkan.”
- Imam Ibnu Hibban berkata: “Katsir bin Abdillah Al Muzani meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya satu buku yang berisi hadits-hadits palsu, sehingga tidak halal untuk mencantumkan riwayatnya dalam suatu kitab.” Dan masih banyak lagi kesaksian ulama’ ahl al hadits tetang perawi ini, yang semuanya menunjukkan bahwa hadits-hadits yang ia riwayatkan lemah dan tidak dapat dijadikan dasar suatu hukum.
Al Munziri setelah menyebutkan hadits ini dalam kitabnya At Targhib wa At Tarhib dan menyebutkan bahwa Imam At Tirmizy berkata: “Ini adalah hadits hasan,” beliau (Al Munziri) berkomentar: “Akan tetapi Katsir bin Abdillah adalah matruk (harus ditinggalkan riwayatnya), lagi lemah.” (At Targhib wa At Tarhib, oleh Al Munziri 1/47).
Imam Az Zahabi setelah menyebutkan berbagai komentar ulama’ ahl al hadits tentang Katsir bin Abdillah Al Muzani, beliau berkata: “Adapun At Tirmizi, maka ia meriwayatkan hadits orang ini, diantaranya hadits: ‘Perdamaian antara kaum muslimin itu dibenarkan’, kemudia ia (At Tirmizi) memvonis shahih hadits riwayatnya ini. Oleh sebab inilah para ulama’ tidak dapat menerima setiap vonis shahih yang At Tirmizi nyatakan.” (Mizan Al I’itidal fi Naqd Al Rijal, oleh Az Zhabai 5/493).
Diantara ulama’ ahl hadits yang memvonis dhaif (lemah) hadits ini ialah Al Mubarakfuri dalam kitabnya Tuhfah Al Ahwazi Bi Syarh Jami’ At Tirmizi, (Lihat Tuhfah Al Ahwazi 7/444) dan Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang pakar ilmu hadits abad 20 H, beliau berkata: “Sanad hadits ini lemah sekali, (karena) Katsir bin Abdillah, yaitu Ibnu Amer bin ‘Auf ialah orang yang matruk (harus ditinggalkan riwayatnya), sebagaimana yang ditegaskan oleh Al hafidz Al Munziri dalam kitabnya At Targhib.” (Dlilal Al Jannah Fi Takhrij Al Sunnah, oleh Muhammad Nashiruddin Al Albani 1/23).
Ringkas kata, hadits dengan riwayat ini, yaitu dengan lafadz من ابتدع بدعة ضلالة ialah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran atau dalil bagi suatu kesimpulan hukum syari’at.
Dan bilapun (baca: seandainya -ed) hadits ini kita anggap dianggap shahih, maka tidak juga dapat dijadikan dalil untuk membenarkan klaim bapak Drs. Dimyathi, ada bid’ah hasanah, hal ini dikarenakan beberapa hal berikut:
- Sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam ini ابتدع بدعة ضلالة “Membuat bid’ah dhalalah” merupakan kelanjutan dari sabda beliau من أحيا سنة من سنتي “barang siapa yang menghidupkan sunnahku”, sehingga dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dhalalah ialah amalan yang merupakan lawan dari sunnah.
- Apakah yang menjadi standar dalam menyatakan bahwa suatu amalan itu baik/ hasanah atau sesat/dhalalah? Apakah akal dan hawa nafsu setiap orang? Ataukah adat istiadat? Ataukah yang lainnya? Tentu kita tidak akan menemukan standar yang dapat disetujui oleh seluruh kaum muslimin, selain Al Qur’an dan As Sunnah. Sehingga dengan demikian klaim bapak ini bila ditinjau dari sisi ni, justru akan membuka pintu bid’ah bagi setiap orang. Dan bila hal ini telah terjadi, maka hancur dan runtuhlah syari’at islam. Padahal prinsip dan aqidah setiap muslim yang tidak boleh goyah dan bergeming barang sedikitpun ialah setiap yang selaras dengan Al Qur’an dan As Sunnah ialah baik, dan setiap yang menyelisihi keduanya ialah sesat. Ditambahlagi bila kita mencermati apa yang akan saya sebutkan berikut ini:
Kandungan makna hadits ini diriwayatkan oleh perawi lain dengan lafadz yang berbeda, seperti berikut :
عن المنذر بن جرير عن أبيه قال: كنا عند رسول الله في صدر النهار، قال: فجاءه قوم حفاة عراة مجتابي النمار أو العباء متقلدي السيوف عامتهم من مضر، بل كلهم من مضر، فتمعر وجه رسول الله لما رأى بهم من الفاقة فدخل ثم خرج، فأمر بلالا فأذن وأقام، فصلى ثم خطب، فقال:………. تصدق رجل من ديناره من درهمه من ثوبه من صاع بره من صاع تمره، حتى قال: ولو بشق تمرة. قال: فجاء رجل من الأنصار بصرة كادت كفه تعجز عنها، بل قد عجزت، قال: ثم تتابع الناس حتى رأيت كومين من طعام وثياب حتى رأيت وجه رسول الله يتهلل كأنه مذهبة. فقال رسول الله من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
“Dari Munzir bin Jarir dari ayahnya, ia berkata: Pada suatu pagi, kami berada di sisi Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam , kemudian datanglah segerombol orang yang tidak beralaskan kaki, telanjang dada, hanya mengenakan selembar kain wol atau baju yang mereka lubangi tengahnya (sebagai penutup aurat mereka) dan dengan menenteng sebilah pedang, kebanyakan mereka dari kabilah Mudhar, bahkan semuanya dari Mudhar. Melihat yang demikian itu, raut wajah Nabi shollallahu’alaihiwasallam berubah, karena beliau menyaksikan kemiskinan yang mereka alami. Kemudian beliau masuk rumah lalu keluar lagi, dan memerintahkan Bilal agar segera mengumandangkan Azan dan Iqamat, lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah dan berkata: ………Hendaknya kamu bersedekah dengan sebagian dinarnya, sebagian dirhamnya, sebagian bajunya, seberapa takar gandumnya, seberapa takar kurmanya, hingga beliau bersabda: Walau dengan setengah buah kurmanya. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa seikat korma, yang tangannya hampir-hampir tidak kuasa membawanya, bahkan benar-benar tidak kuasa membawanya, (karena keberatan). Kemudian para sahabat berbondong-bondong dengan sedekahnya, hingga akhirnya terkumpullah dua onggok makanan dan pakaian, sehingga saya melihat wajah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berseri-seri seakan-akan berkilau bak berlapiskan emas. Lalu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Barang siapa yang memulai mengamalkan suatu metode/amalan baik dalam agama Islam, maka baginya pahala amalannya itu, dan pahala seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa memulai mengajarkan/ mengamalkan amalan buruk dalam agama Islam, maka baginya dosa amalannya itu dan amalan seluruh orang yang menirunya, tanpa sedikitpun mengurangi dosa mereka.” (Riwayat Muslim, 2/704, hadits no: 1017)
Dalam hadits yang shahih ini, Nabi shollallahu’alaihiwasallam menggunakan ungkapan سن سنة yang artinya memulai mengamalkan suatu sunnah/ajaran. Berbeda dengan lafadz hadits yang disebutkan oleh bapak Kyai, walaupun makna dan maksudnya sama.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan saya: Mengapa bapak Kyai enggan menyebutkan lafdz hadits yang shahih ini, dan lebih mengutamakan lafadz hadits yang jelas-jelas lemah itu?
Mungkin jawabannya ialah: karena pada lafadz hadits yang lemah itu ada ungkapan yang ia duga akan mendukung kesimpulannya. Sedangkan pada hadits yang shahih ini, beliau sadari tidak ada ucapan yang dapat ia jadikan dalil. Karena kata سن dalam bahasa arab artinya ialah thariqah/metode/jalan.
Al Mubarakfuri, seorang ulama’ yang mensyarah kitab Sunan At Tirmizi menafsirkan kata sunnah hasanah dalam hadits ini dengan berkata: “Thariqah/metode/jalan yang selaras dengan prinsip-prinsip agama”, dan menafsirkan kata “Sunnah sayyi’ah” dengan berkata: “Suatu thariqah/metode/jalan yag tidak diridhoi, dan tidak selaras dengan prinsip-prinsip agama.” (Tuhfah Al Ahwazi bi Syarah Jami’ At Tirmizi, oleh Muhammad bin Abdurrahman Al Mubarokfuri 7/438).
Diantara yang menguatkan penafsiran Al Mubarakfuri ialah sabab wurud/sebab disabdakannya hadits ini, yaitu kisah seorang lelaki Anshar yang bersedekah dengan seikat kurma. Sehingga pada kisah ini tidak ada satu amalan yang tidak pernah diajarkan oleh syari’at, apalagi sampai dikatakan bahwa sahabat ini mengajarkan amalan baru atau sesuatu yang belum pernah diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yang ia lakukan pada kejadian itu hanyalah bersegera dalam bersedekah.
Bila permasalahan ini telah jelas, maka pembahasan selanjutnya ialah berkaitan dengan pembagian sebagian ulama’ terhadap bid’ah kepada lima bagian, sesuai dengan macam-macam hukum syar’i, yaitu bid’ah wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, sebagaimana yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, dan diikuti oleh An Nawawi, Al Qarafi, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, dan Jalaluddin Al Suyuthi, dll. (Lihat Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam, 2/172-174, Tahzib Al Asma’ wa Al Lughat, oleh An Nawawi, 3/22, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 13/254, dan Tanwir Al Hawalik Syarah Muwattha’ Imam Malik, Oleh As Suyuthi 1/105, Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa’ wa Al Bida’ oleh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili 1/106).
As Syathibi setelah menyebutkan pembagian ini, ia mengutarakan sangga hannya dengan berkata: “Pembagian bid’ah seperti ini adalah suatu hal yang diada-adakan, tidak ada dasarnya dari dalil-dalil syari’at. Bahkan pada pembagian ini terjadi kontradiksi, karena hakikat bid’ah ialah sesuatu yang tidak didukung oleh dalil syari’at, baik berupa dalil-dalil dari Al Qur’an dan Hadits, atau berupa qaidah-qaidah umum dalam syari’at. Sebab seandainya ada dalil dalam syari’at yang menunjukkan akan wajib, atau sunnah, atau mubahnya sesuatu, niscaya tidak akan disebut bid’ah, dan amalan itu akan dikatagorikan kedalam keumuman amalan-amalan yang diperintahkan atau diberikan pilihan antara melakukannya dan meninggalkannya. Sehingga menggabungkan antara vonis bid’ah terhadap amalan ini dengan adanya dalil-dalil yang menunjukkan akan wajib, atau sunnah atau mubahnya amalan itu ialah penggabungan antara dua hal yang saling bertentangan. Kesimpulan dari pembahasan di atas, telah jelas bahwa bid’ah tidak dapat dibagi seperti pembagian ini, akan tetapi bid’ah pasti termasuk kedalam hal-hal yang dilarang, baik hukumnya makruh atau haram.“ (Al I’ithishom oleh As Syathibi 1/138).
Dengan penjelasan dari As Syathibi ini, telah jelaslah bahwa pembagian bid’ah menjadi lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram adalah satu hal yang tidak berdasarkan dalil, bahkan bertentangan dengan dalil-dalil yang nyata-nyata memvonis bahwa setiap bid’ah ialah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka, dan juga bertentangan dengan definisi bid’ah ditinjau dari segi terminologi.
Bila ada yang bertanya: lalu apa sebenarnya yang menjadikan sebagian ulama’ seperti Izzuddin bin Abd Al Salam melakukan hal ini?
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, kita harus membaca dan merenungkan kembali ucapan dan contoh-contoh yang disebutkan oleh mereka. Dan bila kita cermati, ternyata contoh-contoh yang disebutkan oleh Izzuddin bin Abd Al Salam dalam bagian bid’ah wajib, sunnah dan mubah, niscaya kita dapatkan semuanya tercakup dalam keumuman kaidah-kaidah syari’at, walaupun tidak termaktub dalam ayat atau hadits tertentu.
Sebagai contoh: Izzuddin bin Abd Al Salam mencontohkan bid’ah yang wajib dengan: mempelajari ilmu nahwu, guna memahami firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kemudian beliau mengemukakan alasannya dengan berkata: “Karena memelihara keutuhan syari’at adalah wajib hukumnya, dan menjaga keutuhan syari’at tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui ilmu nahwu. Dan segala perkara yang suatu kewajiban tidak dapat terlaksana melainkan dengannya, maka perkara itu wajib hukumnya.” (Qawa’id Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 2/173).
Untuk lebih jelasnya mari kita simak dan renungkan bersama ucapan beliau berikut ini:
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله ، وهي منقسمة إلى بدعة واجبة وبدعة محرمة وبدعة مندوبة وبدعة مكروهة وبدعة مباحة. والطريق في معرفة ذلك: أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الايجاب فهي واجبة وان دخلت في قواعد التحريم فهي حرام وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة وان دخلت في قواعد المباح فهي مباحة
“Bid’ah ialah perbuatan/amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, dan bid’ah itu terbagi menjadi: bid’ah wajib, haram, sunnah, makruh, dan bid’ah mubah. Dan metode untuk membedakannya ialah dengan cara menimbang bid’ah itu dengan kaidah-kaidah syari’at, bila bid’ah itu selaras dengan kaidah-kaidah wajib, maka itu wajib hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan kaidah-kaidah haram, maka itu haram hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan kaidah-kaidah sunnah, maka itu sunnah hukumnya, bila bid’ah itu selaras dengan kaidah-kaidah mubah, maka itu mubah hukumnya.“ (Ibid).
Dengan demikian jelaslah kesalah pahaman banyak orang yang mengklaim bahwa bid’ah itu ada yang wajib, sunnah dan mubah.
Sehingga yang dimaksud dari kata bid’ah, dalam ucapan “bid’ah wajib, sunnah dan mubah” ialah bid’ah secara pengertiaan bahasa, bukan secara pengertian istilah dalam syari’at. (Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak, silahkan baca buku Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 266, Tuhfah Al Ahwazi oleh Al Mubarakfuri 7/439-441, dan ‘Aun Al Ma’bud oleh Syamsu Al Haq Al ‘Adzim ‘Abadi 12/235).
Berangkat dari kesimpulan ini, saya akan mengajak pembaca untuk melan jutkan diskusi ini, dengan berpindah kepada permasalahan lain, yaitu meninjau kesimpulan bapak Kyai Dimyathi yang lain, yang tertulis pada hal: 49:
Pada halaman ini beliau berkata:
“Oleh karena itulah, maka pengertian hadits: كل بدعة ضلالة (setiap bid’ah itu sesat), setelah ditakhshish (dikecualikan) menjadi: Setiap bid’ah itu sesat: kecuali dalam urusan dunia. Hal ini berdasarkan hadis sahih riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda:
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“Kalian yang lebih tahu (dari pada saya) tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim, 4.1846, hadits no: 2366)
Yang menjadi tanggapan saya:
Ternyata bapak Kyai benar-benar telah melalaikan definisi dan kesimpulannya tentang pengertian bid’ah. Pada hal: 31: “Namun bid’ah itu tidak ada korelasinya sama sekali dengan urusan adat istiadat (keduniaan), tetapi khusus hanya menyangkut urusan akidah dan ibadah.”
Bila bapak kyai telah berkesimpulan demikian, mengapa bapak merasa bahwa hadits sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu bertentangan dengan hadits “setiap bid’ah itu sesat”, sehingga bapak merasa perlu untuk mengecualikan urusan dunia dari keumuman hadits “setiap bid’ah itu sesat”??! Ini salah satu bukti bahwa bapak Kyai Dimyathi sering dalam karya tulisnya ini melakukan pertentangan dengan diri sendiri, Subhanallah.
Yang lebih mengherankan lagi ialah, setelah beliau mengecualikan hadits ini dari keumuman hadits “setiap bid’ah itu sesat”, pada halaman yang sama beliau berkata: “Memang tentang urusan dunia, contohnya membuat rumah yang baik, kendaraan yang bagus, pesawat yang canggih dan yang lainnya, itu semua tidak termasuk bid’ah, karena bersifat duniawi.” Ucapan beliau ini lebih ganjil, pada awal pembicaraan dikatakan bahwa: hadits Anas dianggap sebagai dalil pengecualian, kemudian pada akhir pembicaraan dikatakan bahwa: antara hadits Anas dan hadits bid’ah tidak ada pertentangan, sehingga tidak perlu diadakan pengecualian. Subhanallah!?
Untuk mengetahui sisi keganjilan ini, kita perlu untuk menyimak ayat berikut:
ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
Artinya:
“Kalau seandainya Al Qur’an itu datang dari sisi selain Allah, niscaya mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisa’: 82)
Para ulama’ berdasarkan ayat ini menyatakan bahwa syari’at-syari’at agama Islam, baik yang bersumber dari Al Qur’an atau dari As Sunnah, tidak ada pertentangannya, dan bila didapatkan dua dalil yang sekilas nampak saling bertentangan, pasti keduanya dapat diselaraskan, yaitu dengan cara pengecualian (takhshish), penggabungan, nasikh dan mansukh, atau tarjih dll.
Karena pada permasalahan ini bapak Kyai menyebutkan takhshish, maka akan saya sebutkan definisi takhshish, agar menjadi jelas pertentangan yang ada pada perkataan beliau:
Al Isnawi As Syafi’i berkata: “Takhshish ialah mengeluarkan/ mengecualikan sebagian hal yang sebelumnya tercakup dalam suatu ungkapan.” (Nihayah As Sul fi Syarhi Minhaj Al Ushul, oleh Abdur rahim Al Isnawi As Syafi’i, 2/374, dan Irsyadul Fuhul, oleh Muhammad bin Ali As Syaukani 1/507-510).
Dari definisi takhshish ini, kita memahami bahwa suatu hal yang tidak tercakup oleh suatu ungkapan tidak perlu di takhshish, sebagai contoh: urusan dunia, karena tidak tercakup oleh definisi bid’ah, maka tidak perlu di-takhshish/dikecualikan. Sehingga perkataan bapak Kyai ini sama halnya dengan perkataan saya: “Saya makan semua makanan yang ada di meja makan, kecuali sendok, garpu, dan piring.” Tentu orang yang mendengar perkataan saya ini akan mengatakan, Ya memang, karena sendok, garpu dan piring bukan makanan!
Oleh karena itu para ulama’ ahli Ushul Fiqih, telah menjabarkan dengan jelas definisi dan syarat-syarat pengecualian (takhshish), dan saya rasa bapak Kyai pernah mempelajari, membaca dan bahkan mengetahuinya dengan baik.
Kemudian pada hal: 50, bapak Kyai berkata: “Kecuali yang dilakukan oleh Khulafa’ Al Rasyidin. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين
Artinya:
“Maka wajib bagimu memegang sunnahku dan sunnah Khulafa’ Al Rasyidin yang diberi hidayah.” (HR. Abu Dawud)
Yang menjadi kritikan saya:
Betapa bapak Kyai benar-benar telah melupakan definisi bid’ah, sehingga segala hal yang dilakukan oleh sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahkan oleh Al Khulafa’ Al Rasyidin pun tak luput dari vonis bid’ah. Bahkan yang lebih mengherankan lagi, beliau berdalilkan dengan hadits ini, yang padanya Nabi shollallahu’alaihiwasallam jelas-jelas telah menyatakan bahwa ijtihad Al Khulafa’ Al Rasyidin adalah sunnah, dan bukan bid’ah. Akan tetapi kerancuan pemahaman bapak Kyai-lah yang menjadikannya memvonis bid’ah amalan mereka.
Mungkin ada yang berkata: bukankah bapak Kyai Dimyathi, walaupun memvonis bid’ah amalan mereka, beliau mengkatagorikannya ke dalam bid’ah hasanah?
Saya katakan: Benar, akan tetapi vonis ini nyata-nyata bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan juga bertentangan dengan definisi bid’ah, sehingga tidak dapat diterima.
Pendek kata: hadits Anas bin Malik ini tidak bertentangan dengan hadits “setiap bid’ah ialah sesat”, sehingga tidak perlu dikecualikan dari keumumannya. Sehingga saya katakan: bahwa pembukuan Al Qur’an yang dilakukan oleh Kholifah Abu Bakar rodhiallahu’anhu, kemudian oleh Khalifah Utsman bin Affan rodhiallahu’anhu, azan ke dua pada hari jum’at, shalat tarawih berturut-turut selama sebulan penuh ialah sunnah, bukan bid’ah.
Kemudian pada halaman yang sama, yaitu hal: 50, beliau mengatakan: “Kecuali bid’ah hasil ijtihad imam-imam mujtahid. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عن معاذ بن جبل أن رسول الله لما بعثه إلى اليمن قال: كيف قضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله، قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ ….إلخ
Artinya:
“Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ketika mengutusnya ke Yaman, bertanya kepadanya: Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang diajukan terhadapmu? Mu’adz menjawab: Saya akan memutuskannya sesuai dengan yang tertera dalam Kitabullah (al Qur’an). Rasulullah bertanya lagi: Kalau kamu tidak menemukannya dalam kitabullah? …dst.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidzi)
Bahkan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu Rasulullah telah bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد
Artinya:
“Apabila seorang ahli hukum memutuskan hukum dengan hasil ijtihadnya, dan ternyata tepat ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala. Dan apabila memutuskan hukum (dengan hasil ijtihadnya) ternyata keliru, maka baginya mendapat satu pahala.” (HR. Imam Tirmizi)
Yang menjadi koreksi saya dari penggalan perkataan bapak Kyai ini ialah sebagai berikut:
A.
Al Hafidz Ibnu hajar Al ‘Asqalani telah menjelaskan kedudukan hadits pertama menurut pandangan ulama’ ahli hadits, beliau berkata: Imam At Tirmizi berkata: “Hadits ini tidaklah kami ketahui melainkan dari jalur para perawi ini, dan sanadnya (rentetan perawinya) tidak berkesinambungan.”
Imam Al Bukhori berkata dalam kitabnya At Tarikh: “Al Harits bin Amr (salah seorang perowi yang meriwayatkan hadits ini) dari murid-murid Mu’adz, dan darinya (Al Harits bin Amr)lah Abu ‘Aun meriwayatkan, ialah hadits yang tidak shahih, dan tidak diketahui melainkan dengan sanad ini.”
Ad Daraquthni berkata dalam kitabnya Al ‘Ilal: “Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah, dari Abu ‘Aun, demikian ini. Dan diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dan banyak orang lagi, darinya (Abu ‘Aun) juga dengan cara mursal (tanpa menyebutkan perawi yang meriwayatkan dari sahabat Mu’adz), dan riwayat yang mursal lebih benar” ……
Ibnu Hazem berkata: “Hadits ini tidak shahih, karena Al Harits (bin Amer) tidak dikenal, dan guru-gurunya juga tidak dikenal. Sebagian orang beranggapan bahwa hadits ini mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi) dan ini adalah kedustaan, bahkan hadits ini lawannya dari hadits mutawatir (yaitu hadits ahad), karena ia tidak ada yang meriwayatkannya melainkan Abu ‘Aun dari Al Harits, maka mana mungkin hadits ini dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir?!”
Abdul Haq (Al Isybili) berkata: “Hadits ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang berkesinambungan, dan tidak didapatkan dengan sanad yang shahih.”
Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Al ‘Ilal Al Mutanahiyah: ”Hadits ini tidak shahih, walaupun para ahli fiqih mencantumkannya dalam karya-karya mereka dan menjadikannya sebagai dalil, dan kandungannya adalah benar.” (Talkhish Al Habir Fi Takhrij Ahadits Al Rafi’i Al Kabir, oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani 4/182, hadits no: 2075).
Bila telah jelas bahwa hadits ini lemah, maka tidak dapat dijadikan dalil untuk mengecualikan sebagian kandungan hadits “setiap bid’ah itu sesat”.
B.
Bila kita cermati lebih mendalam, ternyata kita dapatkan tidak ada sedikitpun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa kesalahan ijtihad ulama’ tidak dapat divonis bid’ah. Oleh sebab itu, saya merasa heran dari bagian hadits yang mana, bapak Kyai Dimtyathi pada hal: 52 berkesimpulan: “Hasil-hasil ijtihad para imam mujtahid itu tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, sekalipun hasil-hasil ijtihad mereka itu belum dikenal pada masa Nabi shollallahu’alaihiwasallam.”
C.
Kesimpulan ini bertentangan dengan kisah berikut:
هزيل بن شرحبيل قال : سئل أبو موسى عن ابنة وابنة بن وأخت، فقال: للابنة النصف وللأخت النصف، وأت بن مسعود فسيتابعني. فسئل ابن مسعود، وأخبر بقول أبي موسى فقال: لقد ضللت إذا وما أنا من المهتدين، أقضي فيها بما قضى النبي : للابنة النصف ولابنة الابن السدس تكملة الثلثين وما بقي فللأخت. فأتينا أبا موسى فأخبرناه بقول ابن مسعود، فقال: لا تسألوني ما دام هذا
Artinya:
“Hazil bin Syarahbil berkata: Abu Musa (Al ‘Asy’ari rodhiallahu’anhu) ditanya tentang (pembagian warisan seseorang yang mati meninggalkan) seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki (ibnatu ibn) dan saudara wanita, maka ia menjawab: Anak perempuan mendapatkan separuh (1/2) dari harta warisan, dan saudara perempuan mendapatkan separuh pula (sedangkan cucu perempuan tidak mendapat kan apa-apa), dan silahkan engkau mendatangi Ibnu Mas’ud, niscaya ia akan mengikuti pendapatku. Maka Ibnu Mas’ud ditanya, dan dikabari tentang pendapat Abu Musa (Al ‘Asy’ari) maka ia menjawab: Bila demikian, sungguh aku telah tersesat dan aku tidak termasuk orang yang mendapat petunjuk, aku akan putuskan permasalahan ini sesuai dengan keputusan Nabi shollallahu’alaihiwasallam: Anak perempuan mendapat separuh (1/2), dan cucu perempuan mendapat seperenam (1/6) sebagai penggenap bagian dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan. Kemudian kami mendatangi Abu Musa, dan kami kabarkan kepadanya pendapat Ibnu Mas’ud, maka ia berkata: Jangan lagi kalian bertanya kepadaku, selama orang ini (Ibnu Mas’ud) masih hidup.” (Riwayat Bukhori, 6/2477, hadits no: 6355)
Sahabat Ibnu Mas’ud rodhiallahu’anhu telah memvonis bahwa bila ia mengikuti pendapat Abu Musa Al ‘Asy’ari rodhiallahu’anhu, ia telah tersesat dan tidak mendapat petunjuk, karena pendapat Abu Musa ternyata berseberangan dengan keputusan Nabi shollallahu’alaihiwasallam.
Bukankah sahabat Ibnu Mas’ud telah menyebut bahwa pendapat Abu Musa dengan sebutan dhalal (sesat), sehingga ucapan beliau ini bertentangan dengan kesimpulan bapak Kyai Dimyathi.
D.
Kesimpulan bapak Kyai Dimyathi ini juga bertentangan dengan keterangan banyak ulama’, yang jelas-jelas berwasiat agar kita meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, sebagaimana yang bapak Kyai nukilkan sebagiannya pada hal: 16-22.
E.
Bila kita menuruti kesimpulan bapak Kyai ini, terlebih-lebih ucapannya pada hal: 52, yang bunyinya: “Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya harus diterima dan tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid’ah, itu namanya bid’ah hasanah.” Niscaya kita akan keluar dari agama Islam atau dengan kata lain akan meninggalkan seluruh ajaran agama Islam. Yang demikian ini karena tidaklah ada seorang ulama’pun, melainkan ia memiliki beberapa pendapat yang menyelisihi dalil.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan banyak dari para mujtahidin zaman dahulu dan sekarang mengatakan atau melakukan suatu bid’ah, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa itu adalah bid’ah, karena ia mengamalkan hadits-hadits lemah yang mereka anggap shahih, atau ayat-ayat yang mereka pahami lain dari maknanya, atau karena mereka berpendapat tertentu, padahal dalam masalah itu ada dalil-dalil yang belum ia ketahui.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 19/191).
Sebagai contoh:
Sahabat Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu tatkala mendengar berita wafatnya Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau tidak percaya, dan mengatakan: “Sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam belum wafat, akan tetapi Allah memanggilnya sebagaimana Dia telah memanggil Nabi Musa, kemudian ia meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari. Dan sungguh demi Allah, aku berharap agar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam hidup kembali dan memotong kaki dan lisan orang-orang munafiq yang menyangka bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah meninggal.” (Riwayat Abdurrazzaq Al Shan’ani dalam kitab: Al Mushannaf 5/433).
Sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu’anhu pernah berfatwa membolehkan nikah mut’ah, dan kemudian ia menarik kembali fatwa tersebut, setelah terbukti baginya dengan hadits-hadits yang shahih, bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan. (Lihat Kitab Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 10/48).
Sahabat Abu Dzar Al Ghifari rodhiallahu’anhu berpendapat bahwa setiap muslim harus mensedekahkan seluruh hartanya yang berlebih dari kebutuhannya, dan tidak boleh menabungnya. Bila ia tetap menabungnya, maka harta ini dianggap sebagai harta timbunan, dan niscaya ia akan diazab dengannya pada hari qiyamat, sebagaimana disebutkan dalam ayat 35 surat Al Baqarah. Tentu ini pendapat yang menyelisihi kebenaran, bahkan ditentang oleh sahabat-sahabat yang lain. (Lihat Tafsir At Thobary 10/121 dst).
Al Mujahid pernah menafsirkan ayat:
عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا
Artinya:
“Agar Tuhan-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS Al Isra’: 79)
Bahwa yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah: Nabi akan didudukkan di sebelah Allah Ta’ala di atas Arsy-Nya. (Lihat Tafsir At Thobary 15/145, dan At Tamhid oleh Ibnu Abdil Bar 7/157-158). Tentu ini adalah pendapat yang menyesilihi hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, karena yang dimaksud dengan Al Maqam Al Mahmud ialah syafa’at Nabi shollallahu’alaihiwasallam kepada seluruh umat di padang mahsyar. (Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitab Shahihnya, 4/1748, hadits no: 4441).
Imam Abu Hanifah –rahimahullah- menganut pendapat murji’ah.
Imam Malik bin Anas –rahimahullah- berfatwa bahwa dua penjual dan pembeli bila telah mengadakan transaksi jual beli, maka keduanya tidak ada hak untuk membatalkan transaksi, walau keduanya masih berada dalam satu majlis. Fatwa ini bertentangan dengan hadits yang ia riwayatkan sendiri sebagaimana berikut:
مالك عن نافع عن بن عمر أن رسول الله قال: البيعان كل واحد منهما بالخيار على صاحبه ما لم يتفرقا إلا بيع الخيار
“Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam: Penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (*) atas yang lainnya selama keduanya belum berpisah, kecuali transaksi jual beli yang disyaratkan untuk ditentukan masa pemilihannya (bai’ul khiyar).” (Bukhori 2/743, hadits no: 2005, dan Muslim 3/1163, hadits no: 1531)
(*) Yaitu wewenang untuk meneruskan/mensahkan transaksi jual-beli itu atau membatalkannya.
Tatkala Imam As Syafi’i, mengetahui pendapat gurunya ini, beliau berkata: “Aku tidak tahu, apakah Malik menuduh dirinya sendiri, atau Nafi’? Dan aku merasa segan untuk mengatakan bahwa ia menuduh Ibnu Umar.” (Lihat Al Mughni oleh Ibnu Qudamah Al Hambali 6/11).
Imam Syafi’i adalah salah satu murid Imam Malik, akan tetapi hal ini tidak menjadikannya menerima setiap hasil ijtihad gurunya, bahkan beliau menentang keras pendapat gurunya ini, sehingga beliau mengucapkan perkataannya di atas. Beda halnya dengan yang diajarkan oleh bapak Kyai Dimyathi dalam ucapannya: “Berijtihad bagi imam mujtahid sudah diberi izin oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Karena itu, hasil-hasil ijtihadnya harus diterima dan tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, kalaupun dikatakan bid’ah, itu namanya bid’ah hasanah.”
Abdur Razzaq As Shan’ani –rahimahullah- terpengaruh dengan pendapat syi’ah, dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa.
Bila kita mengikuti setiap pendapat atau ijtihad ulama’, tanpa mempedulikan apakah pendapat itu selaras dengan dalil atau tidak, niscaya kita akan tersesat.
Imam Az Zahabi berkata: “Orang yang mencari-cari keringanan pada setiap mazhab, dan kesalahan para ulama’ ijtihad, berarti agamanya telah menipis (hampir sirna), sebagaimanan dikatakan oleh Al Auza’i atau lainnya: “Barang siapa mengikuti pendapat ulama’ Mekkah dalam hal nikah mut’ah, pendapat ulama’ kota Kufah dalam hal nabiiz (Kurma atau lainnya yang direndam ke dalam air, kemudian didiamkan selama beberapa hingga terfermentasi, dan bila diminum dalam jumlah banyak akan memabukkan), pendapat ulama’ kota Madinah dalam hal lagu, dan pendapat ulama’ daerah Syam dalam hal ‘ishmah (terlindung dari kesalahan) para khalifah (pendapat syi’ah), niscaya ia telah menyatukan seluruh kejelekan.” Demikian orang yang dalam hal perdagangan dan transaksi riba mengikuti pendapat ulama’ yang membolehkan hiyal (rekayasa/akal-akalan), dalam hal perceraian dan (*) nikah tahlil mengikuti pendapat ulama’ yang membolehkannya, dan demikian seterusnya, maka ia telah terancam keluar dari agama.”
(*) Nikah tahlil ialah: bila wanita telah diceraikan oleh suaminya tiga kali, maka suaminya itu tidak boleh ruju’ kembali, kecuali bila wanita itu telah menikah dengan lelaki lain kemudian ia dicerai, dan telah berlalu masa ‘iddah-nya, maka suami pertama itu boleh menikahi lagi wanita ini. Bila suami kedua itu menikahinya hanya dengan tujuan agar wanita ini dapat dinikahi lagi oleh suami pertamanya, maka nikah ini dinamakan dengan nikah tahlil, dan lelaki kedua ini dijuluki domba sewaan.
Bahkan mengikuti kesalahan ulama’ ialah salah satu sebab terjadinya bid’ah dan perpecahan di tengah-tengah umat Islam. Agar fakta ini menjadi jelas, mari kita simak penuturan sahabat Abdullah bin Abbas rodhiallahu’anhu, kepada sahabat Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu:
عمر بن الخطاب ذات يوم يحدث نفسه، فأرسل إلى ابن عباس فقال: كيف تختلف هذه الأمة ونبيها واحد وكتابها واحد وقبلتها واحدة؟ فقال ابن عباس: يا أمير المؤمنين إنا أنزل علينا القرآن فقرأناه وعلمنا فيم أنزل، وإنه سيكون بعدنا أقوام يقرأون القرآن ولا يعرفون فيم نزل، فيكون لكل قوم فيه رأي، فإذا كان لكل قوم فيه رأي اختلفوا، فإذا اختلفوا اقتتلوا، فزبره عمر وانتهره، فانصرف ابن عباس ثم دعاه بعد فعرف الذي قال، ثم قال إيه أعد علي
“Pada suatu hari Umar bin Al Khatthab rodhiallahu’anhu sedang merenung, kemudian ia memanggil Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya: Bagaimana umat ini dapat berselisih, padahal nabinya satu, kitab sucinya satu dan qiblatnya juga satu? Maka Ibnu Abbas menjawab: Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Al Qur’an diturunkan kepada kita, kemudian kita membacanya, dan kita mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan. Dan sesungguhnya setelah zaman kita nanti, akan ada orang-orang yang membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui berkenaan dengan apa ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan, sehingga masing-masing kelompok akan memiliki penafsiran sendiri-sendiri tentangnya. Dan bila setiap kelompok telah memiliki penafsiran sendiri-sendiri, niscaya mereka akan berselisih. Dan bila mereka telah berselisih, niscaya mereka akan saling berperang. Maka Umar menariknya dengan kuat dan memarahinya, lalu Ibnu Abbas berpaling dan pergi. Kemudian selang beberapa saat, Umar memanggilnya lagi dan ia telah memahami (menyetujui) jawabannya, kemudian ia berkata: Ulangilah sekali lagi jawabanmu itu.” (Riwayat Sa’id bin manshur dalam kitabnya As Sunnan 1/176, no: 42)
Beliau juga berkata:
عن عمر أنه قال لزياد: هل تدري ما يهدم الإسلام؟ زلة عالم وجدال منافق بالقرآن وأئمة مضلون
“Umar berkata kepada Ziyad: Apa engkau tahu apakah yang meruntuhkan agama Islam? Yaitu kelalaian seorang ulama’, orang munafiq yang berdebat dengan Al Qur’an dan para pemimpin yang menyesatkan.” (Sunan Ad Darimi 1/166)
Abdullah bin Mubarak berkata:
وهل أفسد الدين إلا الملوك وأحبار سوء ورهبانها
“Apakah ada orang yang merusak ajaran agama selain para raja, ulama’ dan ahl ibadah yang jahat.” (Lihat Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 12/213).
Oleh karena itu setiap ulama’ senantiasa berwasiat kepada para pengikutnya untuk tidak mengikuti pendapatnya yang menyelisihi dalil. Walaupun kita meninggalkan dan menentang kesalahan ijtihad itu, bukan berarti kita memusuhi atau mencela mereka. Sikap kita kepada mereka ialah seperti yang dicontohkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliki setelah menyebutkan pendapat Mujahid di atas, ia berkata:
“Tidaklah ada seorang ulama’pun kecualli pendapatnya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dan Mujahid, walaupun dia adalah salah seorang ulama’ yang diakui akan kepandaiannya dalam hal ilmu tafsir Al Qur’an, akan tetapi ia memiliki dua pendapat yang ditinggalkan dan dijauhi oleh para ulama’, salah satunya adalah ini.” (Lihat At Tamhid, oleh Ibnu Abdil Bar 7/157).
Mungkin ada yang bertanya: Bukankah Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah menjanjikan satu pahala bagi seorang mujtahid (ulama’) yang ternyata ijtihadnya salah?
Maka jawabannya: Benar beliau shollallahu’alaihiwasallam menjanjikan itu baginya, akan tetapi Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak pernah menjanjikan pahala itu bagi orang yeng mengikuti kesalahan itu, padahal ia tahu bahwa ijtihad itu salah dan menyelisihi kebenaran. Dengan demikian seorang mujtahid tidak berdosa karena ternyata terbukti dikemudian hari bahwa ijtihadnya itu salah, akan tetapi yang berdoa ialah orang yang fanatis dengan ijtihad salah itu, dan tetap mengamalkannya walau telah terbukti baginya kesalahannya. Inilah sebabnya mengapa para ulama’ ahli ijtihad senantiasa berpesan kepada setiap orang agar meninggalkan hasil ijtihadnya, bila dikemudian hari terbukti bahwa ijtihadnya salah dan bertentangan dengan dalil.
F.
Adapun hadits kedua, yaitu hadits:
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد
Artinya:
“Apabila seorang ahli hukum menghakimi dengan hasil ijtihadnya, dan ternyata benar ijtihadnya itu, maka baginya dua pahala. Dan apabila ia menghakimi (dengan hasil ijtihadnya) dan ternyata salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Imam Tirmizi)”, maka hadits ini sebenarnya menghujat bapak Kyai sendiri, sebab dalam hadits ini Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan jelas menyatakan: “ternyata salah.” Sehingga sangat mengherankan bila bapak Kyai kemudian berdalil dengan hadits ini, dan kemudian menyimpulkan bahwa setiap hasil ijtihad seorang ulama’ harus di terima.
Saya ingin bertanya: Apakah masuk diakal, kalau Nabi shollallahu’alaihiwasallam memerintahkan ummatnya untuk mengikuti kesalahan seorang ulama’, padahal beliau shollallahu’alaihiwasallam sendiri telah memvonisnya sebagai kesalahan?? Bukankah kesalahan itu lebih layak untuk dikatagorikan ke dalam kesesatan dari pada kebaikan?
Bila hal ini telah terang dan gamblang bagi kita semua, mari kita melangkah maju dan mengoreksi perkataan bapak Kyai Dimyathi yang lainnya.
Pada halaman: 52, beliau berkata: “Adapun yang mengatakan hadits: ”Kullu bid’atin dhalalah” itu sudah di-takhshish (dikecualikan), bukanlah sembarangan orang, akan tetapi para pakar hadits kenamaan…dst.” Kemudian beliau menukilkan perkataan Imam An Nawawi, Ibnu ‘Allan As Shiddiqi, dan Al Shan’ani:
Yang ingin saya katakan di sini:
A.
Bahwa ulama’ yang mengatakan bahwa setiap bid’ah ialah sesat, jauh lebih pakar dan lebih alim dibanding ulama’ yang bapak sebutkan, diantaranya, sahabat Ibnu Umar rodhiallahu’anhu, beliau berkata:
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap bid’ah itu ialah sesat, walaupun orang-orang menganggapnya baik.” (Riwayat Al Lalaka’i, dalam kitabnya: Syarah Ushul I’itiqad Ahli As Sunnah 1/92).
قال معاذ بن جبل: إن من ورائكم فتنا يكثر فيها المال ويفتح فيها القرآن حتى يأخذه المؤمن والمنافق والرجل والمرأة والصغير والكبير والعبد والحر، فيوشك قائل أن يقول: ما للناس لا يتبعوني وقد قرأت القرآن ما هم بمتبعي حتى أبتدع لهم غيره، فإياكم وما ابتدع فإن ما ابتدع ضلالة
“Sahabat Mu’adz bin Jabal berkata: Sungguh setelah zaman kalian nanti, akan terjadi berbagai fitnah, harta benda akan melimpah, Al Qur’an akan banyak dibaca orang, hingga dihafal oleh orang mukmin, orang munafiq, laki, wanita, muda, tua, budak dan juga orang merdeka (non budak). Dan sebentar lagi akan ada orang yang berkata: Mengapa orang-orang (masyarakat) enggan mengikutiku, padahal aku telah membaca Al Qur’an?! Sungguh mereka tidak akan mengikutiku, hingga aku mencetuskan (mengadakan) untuk mereka hal baru selain Al Qur’an. Jauhilah oleh kalian hal yang ia ada-adakan, karena yang ia ada-adakan itu adalah dhalalah (kesesatan).” (Riwayat Abu Dawud 4/202, no: 4611)
Ayyub As Sukhtiyani berkata:
ما ازداد صاحب بدعة اجتهادا إلا ازدادا من الله بعدا
“Tidaklah seorang pelaku bid’ah semakin rajin menjalankan bid’ahnya, melainkan ia akan semakin jauh dari Allah.” (Riwayat Abu Nu’aim Al Asbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 3/9).
Mu’adz bin Jabal ataupun Ayyub tidak membedakan antara bid’ah hasanah dengan bid’ah dhalalah, semuanya dikecam dan dikatakan sesat dan menjauhkan pelakunya dari Allah.
Imam Malik bin Anas menjelaskan, alasan mengapa setiap bid’ah itu adalah sesat, beliau berkata:
من أحدث في هذه الأمة اليوم شيئا لم يكن عليه سلفها فقد زعم أن رسول الله خان الرسالة لأن الله تعالى يقول: )حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير لله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم وخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم( (المائدة 3) فما لم يكن يومئذ دينا لا يكون اليوم دينا
“Barang siapa pada zaman sekarang mengada-adakan pada ummat ini sesuatu yang tidak diajarkan oleh pendahulunya (Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya), berarti ia telah beranggapan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mengkhianati kerasulannya, karena Allah Ta’ala berfirman: ‘Diharamkan bagimu bangkai, darah ………pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. Maka barang siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.’ (Al Maidah: 3) sehingga segala yang tidak menjadi ajaran agama kala itu (zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya) maka hari ini juga tidak akan menjadi ajaran agama.” (Riwayat Ibnu Hazem dalam kitabnya Al Ihkam 6/225).
Inilah hakikat bid’ah. Pada hakikatnya bid’ah adalah sanggahan terhadap kesempurnaan agama Islam yang telah ditetapkan Allah pada surat Al Maidah ayat 3, dan merupakan tuduhan terhadap Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang mendapatkan amanat menyampaikan risalah ini telah berkhianat. Seorang yang melakukan bid’ah Seakan-akan ia berkata: Bahwa agama Islam ini belum sempurna, sehingga perlu ditambahkan amalan saya ini, atau Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah berkhianat, sehingga amalan baik yang saya amalkan tidak beliau ajarkan kepada umatnya. Na’uuzubillah min zalika.
B.
Kembali saya katakan bahwa bapak Kyai pada halaman ini agak terburu-buru, karena seandainya bapak Kyai mencermati ucapan An Nawawi, dan yang lainnya, niscaya bapak Kyai akan mendapatkan bahwa maksud mereka dengan عام مخصوص “bersifat umum dan sudah di-takhshish/dikecualikan”, ialah bahwa bid’ah itu ada yang bid’ah wajib, ada yang sunnah, dan ada yang mubah dst, sebagaimana pembagian yang dilakukan oleh Izzuddin bin Abdissalam. (Silahkan rujuk kembali ucapan An Nawawi dalam kitabnya: Syarah Shahih Muslim 6/154-155, dan Ucapan Al Shan’ani pada kitabnya: Subul Al Salam 2/49).
Bila demikian keadaannya, maka ini menunjukkan bahwa yang mereka maksud ialah bid’ah ditinjau dari sisi bahasa, bukan secara pengertian syari’at. Karena bila yang dimaksudkan dengan kata bid’ah di sini adalah pengertian secara syari’at, maka akan terjadi pertentangan, sebagaimana yang telah saya jelaskan, tatkala saya membahas perkataan Izzuddin bin Abd Al Salaam, orang pertama yang yang dikenal membagi bid’ah menjadi lima bagian, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
–bersambung–