Pandangan Tajam Terhadap Zikir Berjama’ah (6)
19 January, 2007– Tingkat pembahasan: Lanjutan
Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama’ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Alhamdulillah, edisi ini adalah bagian terakhir dari bantahan ilmiah terhadap buku “Zikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah”, karya K.H. Dimyathi Badruzzaman. Semoga tulisan dapat bermanfa’at bagi saudara-saudara kami yang membacanya. Kami menghimbau kepada saudara-saudara kami yang membaca tulisan ini agar dapat menyebarluaskan tulisan ini kepada saudara-saudara kita kaum muslimin semuanya, agar saudara-saudara kita yang lainnya dapat mengambil manfa’at dari tulisan ini.
***
C. Hukum mengusap wajah setelah berdo’a.
Pada pembahasan ini, bapak Kyai menyatakan bahwa mengusapkan kedua telapak tangan seusai berdo’a ialah sunnah dan termasuk salah satu etika yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau berdalil dengan hadits riwayat Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu berikut ini:
كان رسول الله إذا مد يديه في الدعاء لم يردهما حتى يمسح بهما وجهه
“Dahulu Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bila mengangkat kedua tangannya tatkala berdo’a, tidaklah menurunkannya hingga mengusapkannya ke wajah beliau.” (Riwayat At Tirmizi 5/463, hadits no: 3386, ‘Abd bin Humaid 1/44, hadits no: 39, Al Bazzar 1/243, hadits no: 129, At Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath 7/124, hadits no: 7053, dan Al Hakim 1/719, hadits no: 1967, semuanya melalui jalur perawi yanng bernama Hammad bin ‘Isa Al Juhani)
Seluruh sanad hadits ini bertemu pada seorang perowi yang bernama Hammad bin ‘Isa Al Juhani, dan karenanya lah seluruh ulama’ memvonis dhaif/lemah hadits ini. Diantara ulama’ ahli hadits yang telah memvonis dhaif ialah:
- Abu Zur’ah Al Razi, ia berkata: “Ini adalah hadits mungkar, dan saya khawatir jangan-jangan hadits ini tidak ada asal usulnya (palsu).” (’Ilal Ibnu Abi Hatim, oleh Abdurrahman bin Muhammad Ar Razi 2/205).
- Yahya bin Ma’in, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyah oleh Ibnu Jauzi 2/840).
- Al Bazzar, ia berkata: “Hadits ini yang meriwayatkannya dari Handholah hanyalah Hammad bin ‘Isa, dan dia ini lemah haditsnya… dan saya tidak ada pilihan lain, sehingga saya cantumkan hadits ini, karena (mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdo’a) tidaklah diriwayatkan dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam melainkan dalam riwayat lemah semacam ini, atau bahkan lebih lemah lagi.” (Al Musnad, oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Amer Al Bazzar 1/243).
- Az Zahabi. (Siyar A’alam An Nubala’, oleh Az Zahabi 16/67).
- An Nawawi. (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, oleh An Nawawi 3/463, dan Al Adzkar 355).
Adapun ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berikut ini:
وله شواهد منها حديث ابن عباس رضي الله عنهما عند أبي داود وغيره ومجموعها يقضي بأنه حديث حسن
“Hadits ini memiliki beberapa pendukung, diantaranya riwayat Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhuma- yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dan paduan seluruh riwayat ini menjadikan hadits ini meningkat menjadi hadits hasan (hasan lighairihi),” maka perlu diketahui bahwa ucapan beliau ini oleh banyak ulama’ dinyatakan tidak dapat diterima, karena beberapa hal berikut:
- Hadits hasan lighairihi menurut istilah Ibnu hajar ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang belum diketahui statusnya (mastur) bila diriwayatkan dari beberapa jalur sanad (rentetan perawi) yang berbeda. (Lihat keterangan beliau tentang hadits Hasan Lighairihi pada kitab beliau NuzhatunnNnadhar fi Taudlih Nukhbatil Fikar, 139-140).
- Ibnu Hajar telah berkata tentang perawi di atas, yaitu Hammad bin ‘Isa Al Juhani, bahwa ia adalah perawi yang dhaif, berikut ini ucapan beliau tentangnya:
حماد بن عيسى بن عبيدة بن الطفيل الجهني الواسطي نزيل البصرة ضعيف من التاسعة غرق بالجحفة سنة ثمان ومائتين
“Hammad bin ‘Isa bin ‘Ubaidah bin Al Thufai Al Juhani Al Wasithi, penduduk Bashrah, dhaif, tergolong kedalam generasi ke sembilan, ia mati tenggelam di daerah Juhfah, pada tahun 208.″ (Taqrib At Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani: 81).
Padahal menurut istilah Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, orang yang ia vonis dhaif, ia kategorikan ke dalam tingkatan ke delapan, yaitu: tingkatan orang-orang yang tidak ada satu ulama’pun yang menganggapnya kuat dalam periwayatan hadits, akan tetapi ada ulama’ ahli hadits yang memvonisnya dhaif atau lemah, walaupun vonis ini tidak dijelaskan sebabnya. (Baca Muqaddimah kitab Taqrib At Tahzib oleh Ibnu hajar Al ‘Asqalani).
Dan bila kita merujuk kepada pembagian Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib Al Tahzib, maka kita dapatkan bahwa tingkatan dhaif adalah tingkatan kedelapan, berarti tingkatan ini lebih rendah bila dibanding dengan tingkatan mastur, yang beliau posisikan pada tingkatan ketujuh.
Ditambah lagi, bila kita mengkaji ulang biografi perawi ini, kita akan dapatkan bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan alasan mengapa orang ini divonis lemah, yaitu karena diragukan ‘adalah-nya (kredibilitasnya).
Ibnu Hibban berkata:
حماد بن عيسى الجهني شيخ يروي عن بن جريج وعبد العزيز بن عمر بن عبد العزيز أشياء مقلوبة تتخايل إلى من هذا الشأن صناعته أنها معلولة لا يجوز الاحتجاج به
“Hammad bin ‘Isa Al Juhani, seorang syeikh, ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dan Abdul ‘Aziz bin Umar bin Abdil Aziz, beberapa riwayat yang terbolak-balik. Sehingga orang yang perlakuannya semacam ini, dapat diduga cacat riwayatnya, dan tidak boleh dijadikan hujjah/dalil.”
Sedangkan Az Zahabi berkata:
حماد الجهني غريق الجحفة عن جعفر الصادق وابن جريج بطامات
“Hammad Al Juhani, ialah seorang yang mati tenggelam di Juhfah, ia meriwayatkan dari Ja’far As Shaadiq dan Ibnu Juraij beberapa riwayat yang sangat jelek.” (Mizan Al I’itidal, oleh Az Zahabi 2/369).
Sehingga seharusnya perawi ini dikatagorikan oleh Ibnu Hajar ke dalam tinggkatan yang lebih rendah dari tingkatan kedelapan.
Dengan penjelasan ini, kita dapat simpulkan bahwa hadits sahabat ‘Umar bin Khatthab ini bila diteliti lebih mendalam dengan menggunakan penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits hasan lighairihi tidak dapat dianggap sebagai hadits hasan lighairihi. Sehingga ucapan Ibnu Hajar di atas tidak sesuai dengan penjabaran beliau sendiri, sehingga tidak dapat diterima. (Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan dan takhrij lengkap tentang hadits ini, silahkan baca buku Juz’un fi mash Al Wajhi bi Al yadain Ba’da Raf’ihima li Ad Du’a, oleh Baker bin Abdillah Abu Zaid).
Kemudian yang menurut hemat saya perlu untuk dikritikkan kepada bapak Kyai Dimyathi pada pembahasan ini ialah sikap beliau yang kurang obyektif dalam membahas masalah ini. Beliau tahu bahwa para ulama’ berbeda pendapat tentang hal ini, akan tetapi beliau hanya menukilkan satu pendapat saja, sehingga terkesan bahwa seluruh ulama’ sependapat dengan mereka. Terlebih-lebih beliau pada hal: 133 berkata: “berdasarkan hadis-hadis di atas itulah, para ulama berfatwa bahwa mengusap wajah setelah berdo’a itu hukumnya sunat.” Padahal tidak demikian itu halnya, yang berfatwa demikian hanyalah sebagian ulama’ bukan seluruhnya.
Salah satu buktinya adalah Imam An Nawawi sendiri, beliau memiliki dua pendapat yang saling bertentangan: Pada kitab Al Majmu’ beliau menyatakan yang benar ialah tidak mengusap wajah, sedangkan dalam kitab Al Adzkar beliau menyatakan disunnahkannya mengusap wajah seusai berdo’a. (Lihat Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 3/463, dan Al Adzkar 355].
Bahkan Sulthan Al Ulama’ Izzuddin bin Abd Al Salam berkata:
ولا يمسح وجهه بيديه عقب الدعاء إلا جاهل
“Dan tidaklah ada orang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya seusai berdo’a melainkan orang bodoh.” (Al Fatawa Al Mushiliyyah, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 34).
Kemudian pada pembahasan ini bapak Kyai menukilkan perkataan Imam An Nawawi tentang hukum beramal dengan hadits dhaif, beliau berkata:
قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف، ما لم يكن موضوعا، وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياط في شيء من ذلك
“Ulama’ ahli hadits dan fiqih dan yang lainnya menyatakan: boleh dan dianjurkan dalam hal fadla’il (keutamaan suatu amalan, At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) untuk menggunakan hadits dhaif, selama tidak termasuk hadits maudlu’ (palsu). Adapun berkenaan dengan hukum-hukum, seperti halal, haram, jual-beli, pernikahan, perceraian, dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali hadits shahih, atau hasan, kecuali dalam rangkan kehati-hatian dalam hal-hal tersebut.” (Al Azkar, oleh Imam An nawawi, 7-8).
Ucapan An Nawawi ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Agar maksud beliau ini menjadi jelas, saya akan nukilkan penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani tentang hukum beramal dengan hadits dhaif dalam Fadla’ilul A’amal:
قال السَّخاوي: وقد سمعت شيخنا رحمه الله –يعني الحافظ ابن حجر العسقلاني- يقول، وكتب لي بخطِّه: إنَّ شرائط العمل بالضَّعيف ثلاثة:
الأوَّل: متَّفق عليه أن يكون الضَّعف غير شديد، فيخرج من انفرد من الكذَّابين والمتَّهمين بالكذب ومن فحش غلطه.
الثَّاني: أن يكون مندرجاً تحت أصل عام، فيخرج ما يخترع، بحيث لا يكون له أصل أصلاً.
الثَّالث: أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته؛ لئلاَّ يُنسَبَ إلى النَّبيِّ , ما لم يقله
“As Sakhawi berkata: Saya pernah mendengar dari guruku rahimahullah– yaitu Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani- berkata dan kemudian beliau menuliskannya untukku dengan tulisan tangannya sendiri: “Sesungguhnya syarat beramal dengan hadits dhaif ada tiga:
- Syarat yang disepakati oleh seluruh ulama’: Hendaknya hadits itu tidak terlalu lemah, dengan demikian hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh para pendusta/pemalsu, orang-orang yang dituduh berdusta/memalsukan hadits, dan orang yang banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadits tidak dimaksudkan dalam hal ini.
- Hendaknya amalan itu tercakup oleh suatu dasar/dalil yang bersifat umum, sehingga amalan yang diada-adakan, dan tidak memiliki dasar hukum (dalil) sama sekali tidak dimaksudkan di sini.
- Hendaknya ketika mengamalkannya, tidak diyakini akan keabsahan hal tersebut, agar tidak dinisbatkan kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam suatu hal yang tidak pernah beliau sabdakan.
Kemudian yang perlu di tekankan lagi, bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama’ dari kata فضائل الأعمال Fadla’ilul A’amal ialah: Keutamaan atau pahala atau ganjaran amalan-amalan yang benar-benar telah diajarkan dan ada dalilnya dalam syari’at, bukan mengadakan amalan-amalan yang dianggap utama atau baik, walau tidak ada dalilnya. Oleh karenanya para ulama’ mengungkapkannya dengan sebutan فضائل الأعمال Fada’ilul A’amal, bukan الأعمال الفاضلة A’amal Al Faadlilah. Saya rasa orang yang mengerti bahasa arab, walau sedikit, ia dapat membedakatan antara dua ungkapan ini.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
العمل به بمعنى أن النفس ترجو ذلك الثواب أو تخاف ذلك العقاب كرجل يعلم أن التجارة تربح لكن بلغه أنها تربح ربحا كثيرا فهذا إن صدق نفعه وإن كذب لم يضره ومثال ذلك الترغيب والترهيب بالإسرائيليات والمنامات وكلمات السلف والعلماء ووقائع العلماء ونحو ذلك مما لا يجوز بمجرده إثبات حكم شرعى لا إستحباب ولا غيره ولكن يجوز أن يذكر فى الترغيب والترهيب والترجية والتخويف
“Beramal dengan hadits dhaif maksudnya ialah: Hati kita mengharapkan pahala itu atau takut tertimpa hukuman itu, layaknya seorang pedagang mengetahui bahwa perdagangan akan mendatangkan keuntungan, akan tetapi ia mendengar kabar bahwa perdagangan kali ini akan mendatangkan keuntungan besar. Maka kabar ini seandainya benar adanya, niscaya ia diuntungkan, dan bila tidak benar, ia tidak dirugikan. Demikian inilah halnya At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) dengan kisah-kisah Bani Israel, mimpi-mimpi, ucapan ulama’ terdahulu, berbagai kejadian yang dialami oleh ulama’ dan lainnya yang tidak boleh dijadikan dasar/dalil untuk menetapkan suatu hukum syari’at –bila hanya berdasarkan hal-hal itu-, baik itu hukum sunnah atau lainnya. Akan tetapi boleh disebutkan tatkala menyampaikan At Targhib wa At Tarhib, membangkitan harapan, dan menumbuhkan rasa takut.” (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 18/66).
Inilah maksud para ulama’ dengan ucapan: Boleh beramal dengan hadits-hadits dhaif dalam فضائل الأعمال Fadla’ilul A’amal.
Bila kaidah ini telah jelas, mari kita terapkan pada permasalahan ini, yaitu mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah, seusai berdo’a:
Setelah ditelusuri, dan dikaji dengan mendalam, kita dapatkan bahwa para ulama’ sepakat menyatakan bahwa seluruh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini lemah, sehingga tidak ada dasar/dalil yang kuat untuk menetapkan hukum sunnah bagi amalan ini. Dan amalan ini juga tidak tercakup oleh dalil-dalil lain yang bersifat umum, sebab dalil-dalil yang menganjurkan kita untuk berdo’a tidak menyinggung/mencakup metode berdo’a dengan cara mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, sehingga amalan ini tidak disunnahkan. Dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini tidak dapat dikategorikan ke dalam hadits-hadits Fadla’ilul A’amal, karena hadits-hadits itu tidaklah menyebutkan keutamaan suatu amalan, akan tetapi mensyari’atkan suatu amalan, sehingga dikategorikan ke dalam hadits-hadits Al A’amal Al fadlilah.
Semoga dengan penjelasan ini, kesalahpahaman semacam ini tidak terulang lagi, dan bapak Kyai lebih berhati-hati dalam berfatwa.
Yang lebih tidak dapat diterima dari ucapan bapak Kyai pada pembahasan ini ialah ucapan beliau pada hal: 134, yaitu: “dari fatwa para ulama’ tadi, dapat dipahami bahwa mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo’a itu adalah sunat, dan dinilai sebagai orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Logikanya, orang yang tidak mau mengusap wajahnya setelah berdo’a adalah orang yang melakukan bid’ah, tidak sesuai dengan sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam.”
Pada penggalan ucapan bapak Kyai ini ada beberapa hal yang perlu diluruskan:
Pertama: Memastikan bahwa ini adalah sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, padahal para ulama’ sendiri berbeda pendapat dalam hal ini, bahkan Imam An Nawawi As Syafi’i dalam kitabnya Al Majmu’ menyebutkan bahwa ulama’ mazhab Syafi’i memiliki tiga pendapat yang berbeda dalam permasalahan ini. Dengan demikian saya anjurkan agar bapak Kyai menjadikan hal ini sebagai pertimbangan, agar dapat bersikap obyektif.
Kedua: Vonis bid’ah terhadap orang yang tidak mengusap wajahnya seusai berdo’a adalah vonis sepihak, dan tanpa didasari oleh etika keilmuan, sebab betapa banyak hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan juga para sahabatnya berdo’a, akan tetapi tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat shahih itu, bahwa mereka mengusap wajahnya. (Saya rasa bahwa bapak Kyai Dimyathi mengetahui hadits-hadits yang saya maksudkan, karena beliau adalah seorang yang dikenal sebagai pakar hadits di bumi Pasundan).
Oleh karena itu, mari kita simak bagaimana etika seorang ulama’ tatkala mengomentari permasalahan ini, agar bisa dibandingan dengan sikap bapak Kyai Dimyathi:
Imam Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan Al Kubra berkata:
فأما مسح الوجه باليدين عند الفراغ من الدعاء فلست أحفظه عن أحد من السلف في دعاء القنوت، وإن كان يروي عن بعضهم في الدعاء خارج الصلاة، وقد روي فيه عن النبي , حديث فيه ضعف، وهو مستعمل عند بعضهم خارج الصلاة. وأما في الصلاة فهو عمل لم يثبت بخبر صحيح ولا أثر ثابت ولا قياس، فالأولى أن لا يفعله ويقتصر على ما فعله السلف رضي الله عنهم من رفع اليدين دون مسحهما بالوجه في الصلاة
“Adapun masalah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan seusai berdo’a, maka saya tidak ingat dari seorang ulama’ salaf pun (ulama’ terdahulu) bahwa ia melakukannya dalam do’a qunut, walaupun itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo’a di luar shalat. Dan telah diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentangnya, akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka di luar shalat. Adapun mengusap wajah di dalam shalat (seusai berdo’a dalam shalat), maka itu adalah amalan yang tidak ada dalilnya yang shahih, tidak ada riwayat dari ulama’ salaf (atsar), juga tidak ada dalil berupa qiyas, maka yang utama ialah kita tidak melakukannya, dan mencukupkan diri dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama’ salaf –semoga Allah meridhai mereka- yaitu seusai berdo’a dalam shalat cukup mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke wajah.” (As Sunan Al Kubra Oleh Imam Al Baihaqi 2/212).
Betapa tinggi kesopanan dan etika keilmuan beliau dalam membahas suatu permasalahan, walaupun beliau tidak sependapat dengan orang yang mengusapkan tangannya ke wajah, akan tetapi beliau berkata dengan penuh penghargaan: walaupun itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo’a di luar shalat, dan telah diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentangnya, akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka diluar shalat.”
Ketiga: Vonis bid’ah yang dilakukan oleh bapak Kyai ini bertentangan dengan definisi kata Sunnah, karena kata Sunnah disini yang dimaksud ialah sunnah menurut definisi ulama’ fiqih bukan sunnah yang berarti metode yang berarti lawan dari bid’ah, dengan demikian makna As Sunnah disini ialah: “Suatu pekerjaan yang pelakunya terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela”, sebagaimana yang telah disebutkan pada awal buku ini.
Bila pencampur adukan antara penggunaan kata Sunnah menurut istilah ulama’ fiqih dan kata Sunnah yang berarti lawan dari bid’ah, tidak diluruskan, maka saya jamin bahwa seluruh umat Islam telah melakukan bid’ah, karena pasti mereka tidak akan mampu menjalankan semua amalan-amalan sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam, misalnya puasa Dawud (yaitu satu hari berpuasa dan satu hari selanjutnya tidak berpuasa, demikian ini seterusnya), shalat malam terus menerus, menikahi lebih dari satu wanita, dan amalan-amalan sunnah lainnya. Oleh karena itu hendaknya pencampur adukan semacam ini tidak terjadi lagi di masa mendatang, agar tidak muncul vonis-vonis miring semacam ini.
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya ini, mungkin ada satu pertanyaan yang mungkin terngiang-ngiang di benak banyak orang. Pertanyaan itu ialah:
Mengapa tasawuf akhir-akhir ini tumbuh subur, bak jamur di musim penghujan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harapkan para pembaca tidak bosan bila saya kembali menukil kisah berikut ini:
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tatkala dikatakan kepada At Tilmisani: Sesungguhnya Al Qur’an bertentangan dengan kitab kalian Al Fushus. Ia menjawab: Seluruh isi Al Qur’an ialah kesyirikan, sesungguhnya tauhid hanya ada pada ucapan kami. Maka dikatakakan lagi kepadanya: Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada adalah hanya satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram? Maka ia menjawab: Menurut kami semuanya halal (untuk disetubuhi), akan tetapi mereka orang-orang yang telah terhalangi dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan: Saudara wanita itu haram, maka kamipun ikut-ikut mengatakan haram.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 13/186).
Inilah salah satu sebab maraknya tasawuf belakangan ini, yaitu sebagai kedok bagi berbagai penyelewengan terhadap ajaran agama dan norma-norma masyarakat, semuanya dengan alasan wali, telah mencapai tingkatan ma’rifat, di dadanya ada malaikat dst.
Ibnu Timiyyah berkata:
هؤلاء العباد الزهاد الذين عبدوا الله بآرائهم وذوقهم ووجدهم، لا بالأمر والنهي، منتهاهم اتباع أهوائهم ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله …. فيكون المعروف ما يهوونه ويحبونه ويجدونه ويذوقونه، ويكون المنكر ما يهوون بغضه وتنفر عنه قلوبهم
“Para ahli ibadah yang zuhud itu, yang beribadah kepada Allah dengan dasar akal pikiran, perasaan dan bayangan mereka sendiri, bukan dengan dasar perintah dan larangan ilahi, akhir perjalanan mereka ialah pengumbaran hawa nafsu mereka, Allah berfirman:
‘Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.’ (QS Al Qashash: 50) ……Sehingga yang ma’ruf (baik) ialah yang sesuai dengan hawa nafsu, kesukaan, bayangan dan perasaan mereka. Sedangkan kemungkaran ialah sesuatu yang mereka benci dan dijauhi oleh hati mereka.” (Ibid 13/223-224).
Faktor selanjutnya ialah seperti yang tersirat dalam ucapan dua orang tokoh mereka berikut ini:
Ibnu ‘Arabi berkata:
والعارف المكمل من رأى كل معبود مجلى للحق يعبد فيه، ولذلك سموه كلهم إلها مع اسمه الخاص بحجر أو شجر أو حيوان أو إنسان أوكوكب أوملك
“Dan seorang yang telah berhasil mencapai kesempurnaan tingkatan ma’rifah, niscaya ia akan dapat melihat bahwa setiap yang disembah itu adalah tempat penampakan Al Haq (Allah) yang disanalah Ia disembah. Oleh karenanya mereka menyebutnya Tuhan (Ilah), bersama sebutannya yang khusus, yaitu: bebatuan, pepohonan, binatang, manusia, bintang atau malaikat.” (Fushush Al Hikam Oleh Ibnu Arabi 195, melalui perantaraan kitab Taqdis Al Asykhash fi Al Fikr Al Sufi, oleh Muhammad Ahmad Lauh, 1/563).
Abu Yazid Al Busthami berkata:
غبت عن الله ثلاثين سنة، وكانت غيبتي عنه ذكري إياه، فلما خنست عنه وجدته في كل حال حتى كأنه أنا
“Aku pernah terjauh dari Allah selama tiga puluh tahun, dan kejauhanku dari-Nya itu terjadi pada saat saya mengingat-Nya, dan tatkala aku meninggalkan-Nya, justru aku mendapatkan-Nya kapanpun aku berada, seakan-akan Dia adalah aku.“ (Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/35).
Musuh-musuh Islam tidak merasa tentram bila umat Islam di mana saja mulai menyadari akan sumber kelemahan mereka, yaitu terjauhnya mereka dari iman dan amal shaleh, sehingga tatkala mereka melihat kaum muslimin mulai ditumbuhi kesadaran beragama dan keinginan untuk kembali kepada ajaran agama Islam, dan mulai terdengar tuntutan penerapan syariat Islam, maka senjata ampuh yang dapat mereka gunakan ialah dengan mendukung berbagai gerakan dan praktek tasawuf. Karena mereka tahu bahwa puncak tasawuf ialah idiologi wihdatul wujud, yang merupakan saudara kembar wihdatul adyan. Mari kita bersama merenungkan ucapan tokoh mereka:
Oleh karena itu salah seorang tokoh orientalis yang beragamakan Nasrani, yang bernama Nicholson, berkata: “Sebagaimana telah diketahui dengan baik, bahwa aliran-aliran tasawuf orang-orang Islam dengan berbagai gagasannya, telah menumbuhkan dampak yang cukup kuat, dan mereka telah membukakan ladang yang cukup subur bagi sebuah masyarakat dari berbagai agama yang berbeda-beda, dengan tetap menjalankan simbol-simbol keagamaannya masing-masing, mereka saling bersatu dengan jiwa saling toleransi dan saling berimbal balik pengertian.” (Mausu’ah Al Mustasyriqin, hal: 416, melalui perantaraan kitab: Taqdis Al Asykhash fi Al Fikr Al Sufi, oleh Muhammad Ahmad Lauh 1/570).
Dan sebagai salah satu bukti nyata yang terjadi di bumi Nusantara, ialah ucapan seorang penceramah kondang Aa Gym, yang dinukilkan oleh saudara Abdurrahman Al Mukaffi dalam bukunya “RAPOT MERAH AA GYM” hal: 5: Aa Gym berkata di hadapan 500 jemaat nasrani: “Saudara-saudara, kita memang berbeda agama. Tapi kita mempunyai kesamaan, sama-sama mempunyai hati.”
Dan sebagai contoh kedua: Do’a bersama antar agama yang dilaksanakan di Senayan Jakarta pada bulan Agustus 2000. Bukankah yang mempelopori kegiatan ini ialah sebuah organisasi yang meresmikan tariqat tasawuf dengan memberikan julukan tariqat mu’tabarah?! Waallahul Musta’an, Walaa Haula Walaa Quwwata Illa Billah.
Dan mungkin juga musuh-musuh islam ingin mengulang kembali kesuksesan mereka dalam menindas dan menyengsarakan umat islam di Indonesia, yaitu takala mereka berhasil memperalat sebagian kaum muslimin untuk menjadi budak para penjajah Koloni Belanda (baca: Misionaris Nasrani Belanda), sehingga terjadilah perang saudara di tengah-tengah kaum muslimin. Sebagai contoh dari ucapan saya adalah: kisah pilu Perang Padri, yaitu peperangan antara kaum muslimin yang menentang penjajah dan gerakan kristenisasi, dan mereka dipimpin oleh Imam Bonjol melawan budak-budak Belanda yang dikenal dengan sebutan kaum adat.
Dan contoh lain dari keberhasilan mereka adalah suara kongres pertama Nahdhatul Ulama’ (NU), yang menjunjung tinggi pemerintah Belanda, dan menyebutnya sebagai pemerintah adil, selaras dengan islam, dan patut dijunjung sepuluh jari, dan setiap tokoh yang menentang pemerintah Belanda, patut untuk diasingkan. (Baca buku: Bila Kyai Dipertuhankan, oleh Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha 265).
KHATIMAH
Dari berbagai uraian dan penjelasan di atas telah jelaslah beberapa hal berikut:
- Kata As Sunnah memiliki tiga penggunaan, dan memahami perbedaan antara masing-masing penggunaan akan menjaga kita dari terjerumus kedalam kesalahpahaman terhadap dalil-dalil dan ucapan para ulama’.
- Setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap kesesatan diancam dengan neraka. Dan tidak ada dalam ajaran agama Islam sesuatu yang disebut bid’ah hasanah.
- Meruju’ kepada pemahaman para ulama’ dalam memahami ayat atau hadits sangat penting, agar pemahaman kita terhadap dalil tidak setengah-setengah, karena mereka telah meneliti seluruh dalil yang berkaitan dengan setiap permasalahan, dan kemudian menggabungkan seluruh pemahaman terhadap dalil itu, sehingga kesimpulan mereka lebih dekat kepada kebenaran, daripada kesimpulan kita sendiri.
- Zikir adalah salah satu ibadah kepada Allah, sebagaiman halnya ibadah shalat harus sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, demikian juga halnya dengan zikir kepada Allah Azza wa Jalla.
- Dalil-dalil yang berkenaan dengan keutamaan dan anjuran berzikir kepada Allah, bukan hanya diperoleh oleh orang yang membaca takbir, tasbih, tahlil, dan tahmid saja, akan tetapi diperoleh pula oleh setiap orang yang beramal shaleh dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Karena arti zikir adalah mengingat, dan setiap orang yang menjalankan keta’atan kepada Allah, berarti ia telah mengingat Allah Azza wa Jalla.
- Tidak ada dalil satupun yang menganjurkan atau membolehkan berzikir berjama’ah, sebagaimana yang sekarang sedang marak digalakkan di negeri kita tercinta Indonesia, dengan satu suara, satu bacaan, dan dikomando oleh satu orang. Adapun zikir dengan pemahaman yang lebih luas, yang mencakup segala amal kebaikan, -misalnya pengajian- maka boleh dan bahkan dianjurkan untuk dilakukan dengan berjama’ah.
- Zikir yang dianjurkan dalam syari’at Islam ialah zikir yang dilakukan dengan cara merendahkan suara, atau kalaupun mengeraskannya, maka suaranya tidak boleh sampai mengganggu orang lain yang sedang beribadah pula.
- Menangis ketika berzikir adalah salah satu sifat terpuji, asalkan menangisnya benar-benar karena Allah, oleh karena itu dalam banyak dalil disebutkan bahwa yang terpuji ialah orang yang berzikir lalu menangis, sedangkan ia dalam kesunyian, bukan di keramaian orang.
- Mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah seusai berdo’a, adalah suatu permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama’, sehingga tidak benar bila orang yang tidak melakukannya divonis telah melakukan bid’ah.
- Para ulama’ membedakan antara Fadla’ilul A’amal (keutamaan/pahala amalan-amalan) dengan Al A’amal Al Fadlilah (amalan-amalan yang utama). Mereka membolehkan beramal dengan hadits dhaif dalam hal Fadla’ilul A’amal, dan melarang mengamalkannya dalam hal Al A’amal Al Fadlilah.
Pada akhirnya sebagai penutup, saya akan menukilkan ucapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, semoga menjadi peringatan bagi kaum muslimin di Indonesia, beliau berkata: “Tatkala kemunafikan, amaliah bid’ah, kemaksiatan -yang semua itu bertentangan dengan ajaran Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam- telah merajalela di masyarakat mereka (dinasti Umawiyyah dan Abbasiyah), maka musuh dapat menguasai mereka, sehingga orang-orang Romawi yang beragamakan Nasrani berani berkali-kali menyerang daerah Syam, dan Al Jazirah, dan akhirnya mereka berhasil menguasai benteng-bentang pertahanan Syam satu demi satu, hingga pada akhir abad keempat mereka berhasil menguasai Baitul Maqdis. Kemudian selang tak berapa lama setelah itu, mereka mengepung kota Damasqus. Dan penduduk Syam kala itu dalam situasi yang sangat buruk, kebanyakan mereka satu dua alternatif berikut: orang kafir Nasrani atau orang munafik lagi musyrik. Hingga akhirnya tampillah Nuruddin As Syahid sebagai pemimpin, kemudian ia mengajarkan dan menegakkan ajaran Islam, dan memerangi musuh-musuhnya…… Dan demikian juga halnya kaum muslimin di belahan bumi bagian timur, tatkala mereka menegakkan syari’at Islam, mereka mendapatkan pertolongan dari Allah dalam melawan musuh-musuh mereka dari kalangan orang-orang Turki, India, Cina dan lainnya. Dan tatkala mereka telah melakukan berbagai perlakuannya, berupa amaliah bid’ah, kesyirikan, dan berbagai kemaksiatan, maka orang-orang kafir berhasil menguasai mereka. …… Dan diantara penyebab keberhasilan pasukan tar-tar masuk ke negeri kaum muslimin ialah merajalalanya berbagai amaliah kesyirikan, kemunafikan, dan bid’ah, sampai-sampai Fakhrurrazi menulis bukunya yang mengajarkan peribadatan kepada bintang, berhala, dan metode-metode ilmu sihir, buku itu ia beri nama: “Al Sirr Al Maktum fi Al Sihr wa Mukhothabah Al Nujum.” (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 13/178-182).
Ucapan beliau ini adalah hasil studi sejarah perjalanan umat Islam, semenjak zaman dahulu hingga zaman beliau, dan ini merupakan fakta yang idealnya dijadikan pelajaran dan peringatan bagi kaum muslimin yang mendambakan tegaknya agama Islam dan kejayaan bagi kaum muslimin. Waallahu A’alam Bisshawab.
(Kritik atau saran, dapat disampaikan melalui alamat email berikut: ibnubadri @ plasa.com)
–selesai–
DAFTAR PUSTAKA
- Abu Dawud, Sulaiman bin Al Asy’ats, As Sunan: Beirut, Dar Al fikir.
- Abu Syamah, Abdurrahman bin Ismail, Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits: Kairo, Dar Al Huda, 1978 M.
- Abu Zaid, Baker bin Abdillah, Juz’un fi Mash Al Wajhi Bi Al Yadain Ba’da Raf’ihima li Ad Du’a: Riyadh, Dar Al Shumai’i, 1995 M.
- Ad Darimi, Abdullah bin Abdurrahman, As Sunan: Dar Al Kitab Al ‘Arabi, 1407 H.
- Al ‘Adzim ‘Abadi, Syamsu Al Haq, ‘Aun Al Ma’bud: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.
- Al Albani, Muhammad Nashiruddin, Dlilal Al Jannah fi Takhrij Al Sunnah: Beirut, Al Maktab Al Islami, 1993 M.
- Al Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazem, Al Fishol fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa An Nihal: Kairo, Dar Al Khanji.
- Al ‘Asy’ari, Ali bin Ismail, Al Ibanah ‘An Ushul Al Diyana: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1998 H.
- Al Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah, Hilyah Al Auliya’: Dal Al Kitab Al Arabi, 1405 H.
- Al Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath Al Bari: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1379 H.
- Al ‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Taqrib At Tahzib: Riyadh, Dar Al ‘Ashimah, 1416 H.
- Al ‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, At Talkhis Al Habir: Cet. Abdullah Al Yamani, Al Madani, 1384 H.
- Al ‘Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Bulugh Al Maram min Adillatil Ahkam: Dar Ibnu Khuzaimah, 1992 M.
- Al Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Tahzib Al Tahzib: Beirut, Dar Al Fikir, 1984 M.
- Al ‘Awaji, DR. Gholib bin Ali, Firoq Mu’ashiroh: Damanhur, Dar Al Linah, 1998 M.
- Al Baghdadi, Ahmad bin Ali Al Khathib, Tarikh baghdad: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyah.
- Al Baihaqi, Ahmad bin Husain, Syu’ab Al Iman: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1410H.
- Al Baihaqi, Ahmad bin Husain, As Sunan Al Kubra: Mekkah, Dar Al Baz, 1414 H.
- Al Bazzar, Abu Bakar Ahmad bin ‘Amer, Al Musnad: Muassasah Ulum Al Qur’an, 1409H
- Al Bukhori, Muhammad bin Ismail, Shahih Al Bukhori: Beirut, Dar Ibnu Katsir 1987 M.
- Al Bukhori, Muhammad bin Ismail, Kholqu Af’aal Al Ibad: Riyadh, Dar Al Ma’arif, 1978H.
- Al Busti, Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban: Beirut, Muassasah Al Risalah, 1414 H.
- Al Fairuz Abady, Muhammad bin Ya’qub, Al Qamus Al Muhith: Beirut, Dar Ihya’ At Turats Al Arabi, 1417 H.
- Al Ghozali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulum Ad Dien: Kairo, Dar Ihya’ Al Kutub Al Arabiyah.
- Al Ghozaly, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al Mustasyfa: Cet. DR. Hamzah Zuhair Hafidz.
- Al Haitsami, Ali bin Abi Baker, Majma’ Al Zawaa’id: Dar Al Rayyan, 1407 H.
- Al Hakim, Muhammad bin Abdillah, Al Mustadrak: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1411 H.
- Al ‘Imrani, Yahya bin Abil Khair, Al Bayan: Dar Al Minhaj.
- Al Isnawy, Jamaluddin Abdurrahin bin Hasan, Nihayat As Sul: Dar ‘Alam Al Kutub.
- Al Jurjani, Abdullah bin Adi, Al Kamil fi Ad Dhu’afa’ Al Rijal: Beirut, Dar Al Fikir, 1988 M.
- Al Khurasani, Sa’id bin Manshur, As Sunan: Riyadh, Dar Al ‘Ushaimi, 1414 H.
- Al Khumais, Muhammad bin Abdurrahman, Al Dzikr Al Jama’i Bain Al Ittiba’ wa Al Ibtida’: Al Manshurah, Dar Al Huda An Nabawi, 2004 M.
- Al Kissy, Abd bin Humaid, Al Musnad: Maktabah Al Sunnah, 1988 M.
- Al Lalika’i, Hibatullah bin Hasan, Syarh Ushul I’itiqad Ahl As Sunnah, Riyadh, Dar At Thaibah, 1402 M.
- Al Maqdisy, Al Kamal Ibnu Abi Syarif, Al Musamarah bi Syarhi Al Musayarah: Mesir, Al Maktabah At Tijariyyah Al Kubra.
- Al Maqdisi, Ibnu Qudamah, Raudhot An Nadlir wa Junnah Al Munadzir: beirut, Dal Al hadits, 1991 M.
- Al Marwazy, Muhammad bin Nasher, As Sunnah: Muassasah Al Kutub As Tsaqafiyyah, 1408 H.
- Al Munziri, Abdul ‘Adzim bin Abdil Qawi, At Targhib wa At Tarhib: bairut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1417 H.
- Al Mubarakfuri, Muhammad bin Abdurrahman, Tuhfah Al Ahwazi bi Syarh Jami’ At Tirmizi: Kairo, Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1993 M.
- Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an: Kairo, Dar Al Sya’b, 1372 H
- Al Razi , Muhammad bin Abi Baker, Mukhtar Al Shihah: Beirut, Maktabah Lubnan Nasyirun, 1415 H.
- Al Shan’ani, Abdurrazzaq bin Hammam, Al Mushannaf: Beirut, Al Maktab Al Islami, 1403 H.
- Al Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subul Al Salam: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah 1408 H.
- Al Sulami, Izzuddin bin Abd Al Salam, Qawa’id Al Ahkam fi Mashalih Al Anam: Beirut, Dal Al Kutub Al Ilmiyyah.
- Al Sulamy, Izzuddin Abdul Aziz bin Abd Al Salam, Al Fatawa Al Mushiliyyah: Beirut, Dar Al Fikir, 1999 M.
- An Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib, As Sunan: Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyyah, 1406 H.
- An Nawawi, yahya bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1997 M.
- An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab: Bairut, Dar Al Fikir, 1996 M.
- An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Tahzib Al Asma’ wa Al Lughat: kairo, Idarah At Thiba’ah Al Muniriyyah.
- An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Adzkar: Beirut, Al maktabah Al ‘Ilmiyyah, 1979 M.
- An Nawawi, yahya bin Syaraf, Syarah Shahih Muslim: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1997 M.
- An Nawawi, Yahya bin Syaraf, At Tahqiq: Beirut, Dal Al Jil, 1992 M.
- An Nisaburi, Muslim bin Al Hajjaj, Shohih Muslim: Bairut, Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi.
- Ar Razi, Abdurrahman bin Muhammad, ‘Ilal Ibnu Abi Hatim: Dar Al Ma’rifah, 1405 H.
- Ar Ruhaily, DR. Ibrahim bin ‘Amir, Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa’ wa Al Bida’: Al Madinah Al Munawwarah, Maktabah Al ghuraba’, 1997 M.
- As Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Baker, Tanwir Al Hawalik Syarah Muwattha’ Imam Malik: Al Maktabah At Tijariyyah, 1969 M.
- As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al Umm: Beirut, Dar Al Ma’rifah, 1393 H.
- As Syafi’i, Muhammad bin Idris, Ar Risalah: Beirut, Al Maktabah Al Islamiyah.
- As Syaibani, Amer bin Abi ‘Ashim, As Sunnah: Beirut, Al Maktab Al Islami, 1400 H.
- As Syathiby, Ibrahim bin Musa, Al I’itishom: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah. 1995 H.
- As Syathiby, Ibrahim bin Musa, Al Muwafaqoot: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah.
- As Syaukani, Muhammad bin ‘Ali, Irsyad Al Fuhul: Kairo, Dar Al Katbi, 1992 M.
- At Thabari, Muhammad Ibnu Jarir, Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Aay Al Qur’an: Beirut, Dar Al Fikir, 1405 H.
- At Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Ausath: Dar Al Haramain, 1415 H.
- At Thabrani, Sulaiman bin Ahmad, Al Mu’jam Al Kabir: Maktabah Al Ulum wa Al Hikam, 1983 M.
- At Tirmizi, Muhammad bin Isa, Al Jami’ Al Shahih: Beirut, Dar Ihya’ At Turats Al Arabi.
- Al Qaulul badi’ fis Shalat ‘Alal Habibis Syafi’, oleh Syamsuddin As Sakhawi.
- Al ‘Uqaili, Muhammad bin Umar, Ad Dhu’afa’: Al Maktab Al Ilmiyah 1984 M.
- Az Zahabi, Muhammad bin Ahmad, Mizan Al I’itidal: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1995 M.
- Az Zahabi, Muhammad bin Ahmad, Siyar A’alam An Nubala’: Beirut, Muassasah Al Risalah, 2001 M.
- Badruzzaman, K.H. Drs. Muhammad Dimyathi, Dzikir Berjama’ah Sunnah atau Bid’ah, Jakarta, Republika.
- Dzahir, DR. Ihsan Ilahi, Dirasaat fi Al Tasawwuf: Lahor, Idarat Turjuman Al Qur’an, 1988 M.
- Ibnu Abil ‘Izz, Ali bin Ali, Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah: Riyadh, Wizarah Syu’un Al Auqaf, Saudi Arabia.
- Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr Abdullah bin Muhammad, Al Mushannaf: Riyadh, Maktabah Ibnu Al Rusyd, 1409 H.
- Ibnu Al Qayyim, Muhammad bin Abi Baker, As Showa’iq Al Munazzalah ‘Ala At Tho’ifah Al Jahmiyah Al Mu’atthilah: Al Madinah Al Munawwarah, Al Jami’ah Al Islamiyyan, 1406.
- Ibnu ‘Asakir, Ali bin Al Hasan, Hibatullah, Tarikh Ad Dimasyq.
- Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali, Al ‘Ilal Al Mutanahiyah: Beirut, Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1403 H.
- Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali, Talbis Iblis: Beirut, dar Al Kitab Al Arabi, 1405 H.
- Ibnu Katsir, Abu Al Fida’ Ismail, Tafsirul Qur’an Al ‘Adlim: Kairo, Dar At Turats.
- Ibnu Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq, Shahih Ibnu Khuzaimah: Beirut, Al Maktab Al Islami, 1970 M.
- Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid, As Sunan: Beirut, Dar Al Fikir.
- Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin Abdil Halim, Majmu’ Fatawa: Al Madinah Al Munawwarah, Mujamma’ Malik Fahed, 1995.
- Ibnu Rajab, Abdurrahman bin Ahmad, Jami’ Al Ulum wa Al Hikam: Beirut, Dar Al Ma’rifah 1408 H.
- Jaiz, Hartono Ahmad, Bila Kyai Dipertuhankan: Jakarta Timur, Pustaka Al Kautsar, 2001 M.
- Lauh, Muhammad Ahmad, Taqdis Al Asykhash fi Al Fikr Al Sufi: Kairo, Dar Ibn ‘Affan, 2002 M.