Kesalahan (bid'ah-bid'ah) dalam majelis, di antaranya
:
Membuka majelis dengan senantiasa melazimkan tilawah Al-Qur’an, yakni
dengan
cara menyuruh seseorang membaca ayat dari Al-Qur’an.[1] Mengenai hal
ini, dalam kitab Al-Bida’[2], Syaikh Muhammad bin Shalih 'Utsaimin rahimahullah,
ditanya sebagai berikut :
Pertanyaan : Pembukaan muhadharah (ceramah) dan
nadwah (pertemuan) dengan
membaca sesuatu dari Al-Qur’an, apakah termasuk
perkara yang disyari'atkan?
Jawab : Saya tak mengetahui sunnah yang
demikian dari Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam, padahal Nabi ‘alaihi
sholatu wa salam pernah mengumpulkan para sahabatnya ketika hendak perang atau
ketika hendak membahas perkara penting kaum muslimin, tidaklah aku ketahui,
bahwa Nabi membuka pertemuan tersebut dengan sesuatu dari Al-Qur’an. Akan tetapi
jika pertemuan atau muhadharah tersebut
mengambil suatu tema/bahasan tertentu
dan ada seseorang yang ingin membaca
sesuatu dari Al-Qur’an yang ada
hubungannya dari bahasan tema tersebut untuk
dijadikannya sebagai pembuka,
maka tidaklah mengapa. Dan adapun menjadikan
pembukaan suatu pertemuan atau
muhadharah dengan ayat Al-Qur’an secara terus
menerus seolah-olah sunnah yang
dituntunkan, maka yang demikian ini adalah tidak layak diamalkan.[3]
[1]
Bid’ah tilawah ini ditinjau dari segi :
- Menyenantiasakan membaca Al-Qur’an
pada pembukaan majelis atau muhadharah (pengajian,ceramah), maka hal ini
termasuk memuqoyyadkan ibadah qiro’ah Al-Qur’an dengan waktu khusus, yakni pada
saat akan bermajlis, padahal tak ada satu pun sunnah yang menunjukkan hal
demikian. Apalagi jika timbul perasaan ataupun pikiran, jika tidak tilawah, ada
yang kurang dalam majelis tersebut , maka ini adalah bid’ah yang nyata.
-
Menyuruh seseorang membaca Al-Qur’an, padahal biasanya ra'isul majelis yang
membuka majelis telah membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada muqoddimahnya, maka yang
demikian pada hakikatnya telah mencukupi.
- Terkadang, ayat yang dibaca
berlainan dengan bahasan atau tema majelis/muhadhoroh. Misalnya, dalam
muhadhoroh yang membahas mengenai
pernikahan, dibacakan ayat-ayat tentang
qishahs atau jihad. Ini adalah kurang sesuai atau tidak pada tempatnya.
[2]
Al-Bida’ wal Muhdatsat wa ma la ashla lahu hal. 539-540, kitab ini merupakan
kitab kumpulan dari fatwa-fatwa Kibaril Ulama’ dan Lajnah Da’imah seputar
permasalahan bid’ah.
[3] Dari penjelasan Syaikh 'Utsaimin rahimahullah
tersebut, tampak bahwa :
- Jika sekiranya tilawah Al-Qur’an disenantiasakan
secara terus menerus, seakan-akan sunnah yang dituntunkan, maka dikhawatirkan
terjerumus kepada bid’ah.
- Jika sekiranya dilakukan pada sesekali waktu, dan
mengambil tema yang ada hubungannya dengan bahasan, maka yang demikian adalah
diperbolehkan selama tidak dilaksanakan terus menerus.
Sumber:
ADABUL
MAJELIS DAN KESALAHAN-KESALAHANNYA (BID'AH-BID'AHNYA)
Penyusun : Ibnu Burhan
At-Tirnatiy