_files/bismib.gif)
Bantahan
Arifin Ilham - Pengertian Bid'ah (3) Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin
Jamal Al Bugisi Bid'ah-Bid'ah, 13 - April - 2004,
04:26:34
Pengertian
Bid'ah
Secara bahasa: maknanya adalah sesuatu yang baru
yang tidak ada contoh sebelumnya, seperti firman
Allah: قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الْرُّسُلِ
“Katakanlah: aku bukanlah bid’ah dari kalangan para rasul”
Maknanya adalah: aku bukanlah yang pertama diutus, namun
telah diutus sebelumku sekian banyak rasul.
Imam Asy
Syathibi rahimahullahu Ta'ala mengatakan: "Bid'ah adalah suatu
metode (tatacara) yang diada-adakan dalam agama, menyerupai
syari'at yang tujuan mengamalkannya berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla."
Fairuz Abadi
dalam "Bashair Dzawit Tamyiiz" menyebutkan:"Bid'ah itu adalah
segala sesuatu yang baru dalam agama sesudah
penyempurnaan."
Ada pula yang mengatakan:"Segala
sesuatu yang diada-adakan sepeninggal Rasulullah shallallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, baik ucapan maupun
perbuatan."
Dikatakan pula:"Bid'ah adalah mengeluarkan
pendapat atau perbuatan, di mana pelaku atau yang
mengatakannya tidak mengambil tuntunan atau contoh dengan
pembuat syari'at, atau hal-hal yang pernah ada sebelumnya yang
serupa dengan pebuatan atau pendapat itu serta tidak bersandar
kepada ushul yang kokoh. (Lihat pula pembahasan yang
terperinci tentang makna bid’ah secara istilah dalam kitab
Mauqif Ahlus Sunnah: 1/90-92)
Pembagian Bid'ah menjadi
Bid'ah Haqiqah dan Idlafiyah 1. Bid'ah Haqiqiyah Adalah
bid'ah yang tidak ada dalil dari syari'at yang mendasarinya,
baik dari Al Quran, As Sunnah, Ijma' atau kias dan pendalilan
yang mu'tabar (diakui) di kalangan ahli ilmu, secara
keseluruhan atau terperinci.
2. Bid'ah
Idlafiyah Adapun bid'ah idlafiyah adalah bid'ah yang
mempunyai dua sisi terkait: a. Di mana pada satu sisi, dia
mempunyai dalil yang berkaitan dengan bid'ah itu, sehingga
dari arah ini tidak dikatakan bid'ah b. Tidak berkaitan
dengan satu dalilpun, seperti halnya bid'ah
haqiqiyah Yakni, dari sisi adanya dalil sebagai dasar, dia
adalah sunnah. Sementara dari sisi lain, merupakan bid'ah
karena bersandar kepada syubhat (kerancuan), bukan kepada
dalil atau sama sekali tidak bersandar kepada apapun.
(I'tisham 1/367-368).
Tidak semua yang asalnya
disyari'atkan, berlaku pula dalam segala hal
Dari
keterangan tentang pembagian bid'ah tadi, jelaslah bagi kita
bahwa tidak semua yang pada asalnya disyari'atkan maka dia
masyru' dari segala sisi, sama saja apakah berkaitan dengan
waktu, tempat atau yang lain, seperti yang dijelaskan oleh
Imam As Suyuthi rahimahullahu Ta'ala dalam Al Amru bil Ittiba'
ketika menyebutkan sebagian bid'ah yang disangka sebagian
besar kaum muslimin adalah ibadah, amalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, ketaatan atau sunnah.
Selanjutnya
beliau berkata:"Adapun yang kedua dari hal-hal yang dianggap
manusia sebagai ketaatan, dan amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, sesungguhnya adalah kebalikannya. Atau yang
meninggalkannya justeru lebih baik daripada mengerjakannya,
adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syari'at dalam
salah satu bentuk amalan, pada waktu atau tempat tertentu.
Misalnya puasa (hanya) siang hari, thawaf (hanya) di Ka'bah.
Atau hanya berlaku untuk satu orang seperti yang dikhususkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam
perkara mubah atau keringanan-keringanan. Kemudian datang si
jahil mengkiaskan dirinya dengan keadaan itu dan
melaksanakannya, padahal pekara itu terlarang baginya untuk
mengerjakannya. Atau misalnya dia mengkiaskan bentuk-bentuk
atau cara-cara pelaksanaan amalan tersebut satu dengan yang
lainnya tanpa menghiraukan perbedaan waktu dan
tempatnya."
Syaikh 'Amru bin 'Abdul Mun'im ketika
menerangkan tentang kaidah bagaimana mengenal suatu bid'ah,
mengatakan:"Semua bid'ah yang disebutkan secara mutlak oleh
syari'at dan dibatasi oleh sebagian manusia menurut tempat,
waktu, bentuknya ataupun jumlahnya, maka hal itu adalah
bid'ah." "Bisa jadi, suatu ibadah bersambung dengan ibadah
lain yang disyari'atkan, hanya saja hubungan tersebut secara
bersamaan termasuk bid'ah."
Beliau mengatakan
pula:"Ibadah adalah amalan tauqifiyah (dikerjakan berdasarkan
adanya perintah atau contoh–ed), bukan hanya dalam bentuk dan
tata caranya tetapi juga waktu pelaksanaannya, juga tempatnya
sehubungan dengan ibadah lainnya dan keberadaannya bersama
kebiasaan yang lain. Maka dari sini, tidak boleh menyambung
ibadah dengan ibadah lain kecuali apabila ada dalil syari'at
yang membolehkannya. Kalau tidak ada dalil yang mendasarinya
maka perbuatan itu adalah bid'ah."
Dan inilah, sekarang
saya hadirkan ke hadapan sidang pembaca –semoga Allah
merahmati anda- sekelumit contoh dalam permasalahan ini agar
kaidah ini mudah dipahami. 1. Membaca Al Quran. Ini jelas
ibadah. Keutamaannya banyak diungkapkan dalam Al Quran dan As
Sunnah, dan di sini kami hanya cantumkan sebagiannya karena
khawatir terlalu panjang. Imam Muslim meriwayatkan dalam
shahihnya dari Abu Umamah Shudai bin 'Ajlan Al Bahili
radliyallahu 'anhu, katanya:"Saya mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
bersabda: اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا
لأصحابه "Bacalah Al Quran, karena sesungguhnya dia akan
datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa'at." Meskipun
adanya keutamaan sebesar ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam telah melarang kita membacanya pada waktu
sujud, ruku' di dalam shalat sebagaimana juga diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma,
katanya:"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam bersabda: ألا إني نهيت أن أقرأ القرآن راكعا أو ساجدا
فأما الركوع فعظموا فيه الرب وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء
فقمن أن يستجاب لكم "Ketahuilah, sesungguhnya saya dilarang
membaca Al Quran dalam keadaan sedang ruku' atau sujud. Maka
agungkanlah Allah ketika ruku'. Adapun sujud, maka
bersungguh-sungguhlah berdo'a, maka pantaslah untuk dikabulkan
doa kalian." 2. Demikian pula shalat. Di mana shalat adalah
kebaikan yang telah ditetapkan. Seperti diriwayatkan oleh Ath
Thabrani (Mu'jamus Shaghir) dengan sanad hasan dari beberapa
jalannya dari hadits Abu Hurairah radliyallahu 'anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
bersabda: الصلاة خير موضوع "Shalat itu adalah kebaikan
yang ditetapkan." Namun demikian, kalau seseorang shalat
sesudah 'ashar atau sesudah fajar (shubuh) atau ketika
matahari tepat di atas (belum bergeser) tanpa alasan, maka
shalat itu terlarang sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu 'Abbas radliyallahu
'anhuma, katanya: شهد عندي رجال مرضيون و أرضاهم عندي عمر
أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن الصلاة بعد
الفجر حتى تطلع الشمش وبعد العصر حتى تغيب الشمش "Salah
seorang laki-laki yang diridlai dan yang paling mulianya
adalah 'Umar, dia bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa 'ala alihi wa sallam melarang shalat sesudah fajar
(Shubuh) sampai terbitnya matahari dan sesudah 'ashar sampai
terbenamnya matahari." Dan Imam Muslim meriwayatkan dalam
sahihnya dari hadits 'Uqbah bin 'Amir, ia berkata: ثلاث
ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن وأن
نقبر فيهن موتانا : حين تطلع الشمش بازغة حتى ترتفع وحين يقوم
قائم الظهيرة حتى تزول الشمش وحين تتضيف الشمش للغروب "Ada
tiga waktu yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi
wa sallam melarang kami shalat padanya, dan melarang
menguburkan jenazah pada waktu itu, yaitu ketika matahari
terbit sampai dia naik, dan ketika tepat berada di atas sampai
dia bergeser dan pada saat dia akan tenggelam." Begitupula
kalau dikhususkan shalat pada waktu yang ditentukan disertai
keyakinan adanya keutamaan apabila dikerjakan pada saat itu.
Sebagaimana keyakinan sebagian orang adanya keutamaan
memperbanyak shalat pada bulan Rajab atau Sya'ban. Oleh karena
itu pula Imam An Nawawi rahimahullahu Ta'ala menyatakan dalam
fatwanya bahwa Shalat Rajab dan Sya'ban adalah dua bid'ah yang
tercela." 3. Demikian pula ucapan shalawat dan salam untuk
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam. Maka
sesungguhnya keduanya adalah ibadah yang disyari'atkan. Bahkan
Allah Ta'ala memerintahkannya, sebagaimana dalam
firman-Nya: إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين
آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما "Sesungguhnya Allah dan para
malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang beriman,
bershalawatlah kamu untuknya dan ucapkanlah salam dengan
sebenar-benarnya.”(Al Ahzab 56). Dengan perintah Allah ini,
maka mengkhususkannya (dikerjakan) pada satu waktu atau tempat
tertentu, merupakan perbuatan bid'ah yang munkar. Sebagaimana
halnya bila seseorang menyambung ucapan shalawat ini setelah
dia bersin dan membaca Alhamdulillah. Imam At Tirmidzi, Al
Hakim dan yang lain meriwayatkan adari Nafi', bahwa ada
seorang laki-laki bersin di sebelah Ibnu 'Umar radliyallahu
'anhuma, kemudian dia berkata:" الحمد لله والصلاة والسلام على
رسوله " (Segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat serta
salam untuk Nabi-Nya). Ibnu 'Umar berkata:"Dan saya
mengatakan:" الحمد لله والسلام على رسول الله " (Segala puji
hanya bagi Allah, dan salam sejahtera bagi Rasulullah), bukan
begini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam
mengajari kami. Beliau ajarkan kami untuk mengucapkan:" الحمد
لله " dalam setiap keadaan."
Dari sini nampaklah
bagi kita perbedaan antara bid’ah secara lughawi dan bid’ah
secara istilahi, di mana pengertian bid’ah secara lughawi
lebih umum, sebab secara istilahi dikhususkan dengan apa yang
baru di dalam agama yang tidak ada penunjukannya dalam
nash-nash dan kaidah syariah.
Maka terkadang suatu
perbuatan tersebut termasuk bid’ah dalam bahasa namun tidak
termasuk bid’ah dalam syari’at. Seperti apabila ada nash yang
menganjurkan suatu amalan namun belum sempat diamalkan
melainkan setelah terputusnya syari’at, dan meninggalnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Apakah
karena belum diberikan kemudahan untuk mengumpul-kannya atau
karena adanya penghalang yang mencegah untuk melakukannya di
zaman turunnya syari’at.
Maka bagi orang yang pertama
melakukannya dikatakan bid’ah secara bahasa sebab merupakan
perbuatan yang tidak ada contohnya terdahulu, namun bukan
bid’ah dalam syari’at karena adanya dalil yang menunjukkan
disyari’atkannya.
Diantara contoh hal ini banyak dari
perbuatan para Shahabat, seperti pengumpulan Al-Qur’an di
zaman Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, shalat Tarawih di zaman
‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dan yang lainnya.(
Mauqif Ahlus Sunnah: 1/ 93)
(Disalin dari "Bid'ah
'Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap 'Arifin Ilham Al
Banjari", Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al
Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i, Yaman.
Dterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah
Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para
Pendukungnya" oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press,
Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP.
081316093831 Email:
darussalafpress@plasa.com)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=618
|