Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Berjama’ah (2)
19 January, 2007– Tingkat pembahasan: Lanjutan
Judul Asli: Sunnahkah Zikir Berjama’ah?
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Edisi kedua ini khusus membahas mengenai pengertian As Sunnah dengan penjelasannya, serta menyinggung beberapa kesalahan (baca: salah kaprah) dalam memahami makna As Sunnah. Walaupun tulisan ini khusus ditujukan untuk membantah buku “Zikir Berjamaah Sunnah Atau Bid’ah” Karya K.H. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, akan tetapi juga memuat pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Bagi ikhwah yang belum membaca seri pertama tulisan ini, kami sarankan agar membacanya terlebih dahulu.
***
AS SUNNAH
A. Definisi As Sunnah
Setelah saya mengkaji ulang bab ini, saya merasa ada beberapa permasalahan yang perlu ditinjau kembali, berikut ini penjelasannya:
Permasalahan pertama:
Penulis (yaitu K.H. Ahmad Dimyathi -ed) pada bab ini telah melakukan kerancuan dalam mendefinisikan kata As Sunnah, sehingga mencampur adukkan antara definisi As sunnah ditinjau dari segi etimologi (bahasa) dengan makna As Sunnah ditinjau dari segi terminologi (istilah). Agar duduk permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua, berikut akan saya sebutkan makna As Sunnah dengan ringkas:
Ditinjau dari segi etimologi, kata As Sunnah bermakna: At Thoriqoh, atau As Siroh, yang artinya: jalan/ metode atau sejarah hidup/ perilaku, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ar Razy dan lainnya. (Mukhtar Al Shihah, oleh Muhammad bin Abi Baker Al Razi hal: 133, Al Qamus Al Muhith, oleh Al Fairuz Abady, 2: 1586).
Sedangkan bila ditinjau dari segi terminologi, maka kata As Sunnah memiliki tiga arti dan penggunaan. (Lihat Irsyad Al Fuhul, oleh Muhammad bin Ali As Syaukany, 1/155-156, dan Mauqif Ahl As Sunnah Min Ahl Al Ahwa’ wa Al Bida’, oleh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaily 1/33-35).
1. As Sunnah dengan makna: mandub, atau mustahab, yang artinya, sebagaimana yang disebutkan oleh penulis:
ما يحمد فاعله ولا يذم تاركه، أو المطلوب فعله طلبا غير جازم.
“Suatu pekerjaan yang pelakunya terpuji dan orang yang meninggalkannya tidak tercela” atau “Sesuatu yang diperintahkan secara tidak tegas untuk dikerjakan.” (Lihat: Al Mustasyfa oleh Al Ghozaly, 1/215, Raudhot An Nadlir, oleh Ibnu Qudamah 1/94, dan Nihayat As Sul, oleh Al Isnawy, 1/77).
Dan yang biasa menggunakan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ialah ulama’ fiqih dan ushul fiqih, sehingga sering kita mendengar atau membaca ungkapan: “hukum permasalahan ini ialah sunnah” atau “permasalahan ini hukumnya sunnah”.
2. As Sunnah dengan pengertian: segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, baik ucapan, perbuatan, penetapan atau lainnya. Dengan pengertian ini, kata As Sunnah semakna dengan kata Al Hadits. Sebagai contoh penggunaan kata As Sunnah dengan makna ini, ucapan para ulama’: Dalil haramnya khamer ialah: Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan ulama’).
3. As Sunnah dengan pengertian: lawan dari kata bid’ah, sehingga sering kita mendengar ucapan ulama’: amalan ini sesuai dengan As Sunnah, bahkan penulis sendiri telah menggunakan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini, yaitu tatkala ia memberikan judul bukunya: “ZIKIR BERJAMA’AH, SUNNAH ATAU BID’AH”. Sehingga kata As Sunnah dengan pengertian ini mencakup seluruh ajaran Nabi shollallahu’alaihiwasallam, atau dengan kata lain, As Sunnah ialah sinonim dari kata Islam. Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini selaras dengan hadits berikut:
عن أنس بن مالك يقول: جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي يسألون عن عبادة النبي , فلما أخبروا كأنهم تقالوها، فقالوا: وأين نحن من النبي قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر، قال أحدهم: أما أنا، فإني أصلي الليل أبدا، وقال آخر: أنا أصوم الدهر ولا أفطر، وقال آخر: أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا، فجاء رسول الله فقال: أنتم الذين قلتم كذا وكذا؟ أما والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له، لكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني
“Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, ia berkata: ada tiga orang yang menemui istri-istri Nabi shollallahu’alaihiwasallam, mereka bertanya tentang amalan ibadah Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Dan tatkala mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit, kemudian mereka balik berkata: Siapakah kita bila dibanding dengan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah lampau atau yang akan datang. Salah seorang dari mereka berkata: Kalau saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya. Yang lain berkata: Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka (berhenti berpuasa). Yang lain lagi berkata: Saya akan meninggalkan wanita, dan tidak akan menikah selama-lamanya. Kemudian Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam datang, lantas bersabda: kaliankah yang berkata demikian-demikian? Ketahuilah, sungguh demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya diantara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, sholat (malam) dan juga tidur, dan saya juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku (ajaranku), maka ia tidak termasuk golonganku.” (Riwayat Al Bukhari, 5/1949, hadits no: 4776, dan Muslim, 2/1020, hadits no: 1401)
As Syathiby Al Maliki (w. 790 H) -rahimahullah- berkata: “Dan kata As Sunnah juga digunakan sebagai lawan kata dari bid’ah, sehingga dikatakan: Orang itu beramal sesuai dengan As Sunnah, bila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, baik amalan itu disebutkan dalam Al Qur’an atau tidak. Dan juga dikatakan: Orang itu mengamalkan bid’ah, bila ia melakukan sebaliknya.” (Al Muwafaqoot oleh As Syathiby 4/3).
Ibnu Hazm -rahimahullah- (w. 456 H) berkata: “Ahlus Sunnah yang akan kami sebutkan ialah Ahlul Haq (penganut kebenaran), sedangkan selain mereka ialah Ahlul Bid’ah, karena mereka (Ahlus Sunnah) ialah para sahabat -radliallahu ‘anhum-, dan setiap orang yang menempuh metode mereka, dari para tabi’in, kemudian Ashabul Hadits (penganut hadits), dan setiap orang yang meneladani mereka dari kalangan ahli fiqih pada setiap zaman hingga hari ini, dan juga seluruh orang awam yang mencontoh mereka dibelahan bumi bagian timur dan barat, semoga Allah senantiasa merahmati mereka.” (Al Fishol fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa An Nihal, oleh Ibnu Hazem 2/90).
Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ada semenjak bermunculan dan menebarnya berbagai macam bid’ah, yaitu setelah berlalunya tiga genersi pertama dari umat Islam.
Sebagai bukti bahwa Ustadz KH. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, M.A. telah mencampur adukkan antara pengertian As Sunnah ditinjau dari segi bahasa dan ditinjau dari segi istilah, adalah hal-hal berikut:
1. Pada halaman 5, setelah menyebutkan makna As Sunnah secara kebahasaan, yang berarti: perilaku seseorang, baik atau buruk, beliau mengatakan: “Di kalangan ulama ahli fiqih (fuqaha’) ada suatu ungkapan yang populer dengan istilah: “ini hukumnya sunah/sunat” atau “ini hukumnya makruh”. Tentu saja sunah/sunat dalam istilah mereka bukan berarti perilaku, akan tetapi sinonim (mutaradif) dengan istilah yang lain, yaitu mandub, mustahab dan tathawu’, ……”
Ini adalah kerancuan pemahaman, sebab kata As Sunnah dengan makna/definisi semacam ini, ialah salah satu dari definisi As Sunnah secara terminologi, bukan secara etimologi (bahasa), sehingga seharusnya beliau mencantumkan makna dan penggunaan semacam ini pada pembahasan As Sunnah ditinjau dari segi terminologi, agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman pada pembaca, dan kesan bahwa penggunaan kata As Sunnah semacam ini termasuk penggunaan secara bahasa.
2. Kemudian pada halaman yang sama, beliau berkata: “Dan pada akhir-akhir ini muncul ungkapan “Sunnah” sebagai lawan dari “Syi’ah”. Misalnya tentang adanya imbauan perlunya dialog Sunnah-Syi’ah. Bahkan ada sebuah buku yang diberi judul “Dialog Sunnah-Syi’ah……”
Inipun kerancuan perkataan dari beliau tentang kata “As Sunnah”, sebab yang dimaksudkan dari kata As Sunnah disini ialah makna ketiga, dengan demikian penggunaan semacam ini bukanlah hal baru, sebagaimana terkesan dalam ucapan beliau ini. Bahkan beliau sendiri pada kelanjutan perkataannya, yaitu pada hal: 6 mengakui -baik beliau sadari atau tidak- akan hal ini, yaitu pada ucapan beliau: “Kata ‘Sunnah’ dalam ungkapan terakhir ini sebenarnya merupakan kependekan dari Ahlus Sunnah atau lengkapnya, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir dan sejarah dalam bukunya: Al Bidayah wan Nihayah, menyebutkan berbagai peperangan yang terjadi antara Ahlus Sunnah melawan Syi’ah. Sebagai contoh, peperangan yang terjadi pada tahun: 420, 421, 422, 425, 439 H. Bahkan jatuhnya ibu kota Khilafah Abbasiyah ke tangan orang-orang Tartar pada thn: 656 H, disebabkan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Syi’ah, yang bernama: Muhammad bin Al ‘Alqamy, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya ini 13/213-215.
Bahkan pada halaman yang sama, beliau mengatakan bahwa Ahl as Sunnah wa al Jama’ah adalah mazhab yang didirikan oleh Abu Hasan Al Asy’ari (w. 324) dan Abu Manshur Al Maturidi (w. 333), dengan demikian penggunaan kata As Sunnah sebagai lawan dari Syi’ah sudah ada semenjak dahulu kala, dan menurut beliau, ada semenjak abad ke-4 hijriah, yaitu semenjak didirikannya mazhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, karena kedua mazhab ini tentu tidak sama dengan mazhab Syi’ah. Hal ini membuktikan bahwa ucapan beliau: “Dan pada akhir-akhir ini muncul ungkapan ‘Sunnah’ sebagai lawan dari ‘Syi’ah’, salah atau tidak sesuai dengan realita.”
Permasalahan kedua:
Kesalahan yang ada pada bab ini, yang saya rasa lebih fatal ialah penafsiran terhadap sebutan “Ahl as Sunnah wa al Jama’ah”, dimana beliau pada hal: 6 berkata: “Ahl as Sunnah wa al Jama’ah, yaitu faham/fatwa-fatwa yang diajarkan oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari (w.324 H) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333), dimana kedua tokoh ini dipandang sebagai pendiri Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Kemudian beliau menukil perkataan Sayyid Murtadha al Zabidi al Yamani, yang menafsirkan Ahl as Sunnah wa al Jama’ah dengan kedua golongan ini.
Ini adalah kesalahan besar dan fatal yang ada pada buku ini. Dan sebelum membuktikan kesalahan ini, saya ingin bertanya kepada bapak Kyai sebagai berikut:
Menurut hemat bapak Kyai, apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum kedua orang ini (al Asy’ari dan al Maturidi), bermazhabkan dengan mazhab Ahl as Sunnah wa al Jama’ah, yang menurut penafsiran bapak ialah mazhab Asy’ari atau maturidi? Dengan kata lain, apakah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan sahabatnya ialah orang Asy’ari atau Maturidi?
Untuk membuktikan kesalahan ini, saya akan sebutkan beberapa hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yang menjelaskan realita perkembangan perjalanan umat Islam:
Hadits pertama:
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله: لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في حجر ضب لاتبعتموهم. قلنا: يا رسول الله: آليهود والنصارى؟ قال: فمن؟!
Artinya:
“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri rodhiallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Sunguh-sungguh kamu akan mengikuti/mencontoh tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal sama sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk kedalam lubang dhob (Dhob ialah binatang yang hidup di negeri arab, bentuknya serupa dengan biawak, akan tetapi dlob hanya memakan rerumputan, tidak pernah minum air, ia hanya minum air embun.-pen), niscaya kamu akan meniru/mencontoh mereka. Kami pun bertanya: Apakah (yang engkau maksud adalah) kaum Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: Siapa lagi?” (Muttafaqun ‘Alaih)
Hadits kedua:
عن عبد الله بن عمرو قال: قال رسول الله: ليأتين على أمتي ما أتى على بني إسرائيل حذو النعل بالنعل، حتى إن كان منهم من أتى أمه علانية، لكان في أمتي من يصنع ذلك. وإن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة. قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
Artinya:
“Dari sahabat Abdillah bin ‘Amr rodhiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Niscaya umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, layaknya terompah dibanding dengan terompah (sama persis), hingga seandainya ada dari mereka orang yang menzinai ibunya di hadapan khalayak ramai, niscaya akan ada di umatku orang yang melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Seluruh golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabatpun bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah satu golongan itu? Beliau menjawab: (golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.“ (Riwayat At Tirmizy, 5/26, hadits no: 2641, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 444)
Inilah karakteristik golongan selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dengan ajaran agama Islam yang diajarkan, didakwahkan dan diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam beserta sahabatnya.
Tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam ditanya tentang siapakah golongan yang selamat dari neraka, beliau menjawab dengan menyebutkan kriteria (sifat)nya, bukan dengan menyebutkan nama orang. Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi ukuran dan barometer dalam menilai suatu golongan ialah: dengan melihat karakteristik, dan perilakunya, yaitu, sejauh manakah golongan tersebut menjalankan dan mencontoh ajaran dan amalan yang diterapkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, bukan dengan tokoh tertentu dari golongan itu, siapapun orangnya. Apalagi bila orang tersebut hidup jauh dari masa kenabian, semacam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Manshur Al Maturidi, yang keduanya hidup pada abad keempat hijriah.
As Syathiby Al Maliky berkata: “Singkat kata, bahwa sahabat-sahabat beliau shollallahu’alaihiwasallam senantiasa meneladaninya dan menjalankan petunjuknya, dan sungguh mereka telah mendapatkan sanjungan dalam Al Qur’an Al Karim, sebagaimana suritauladan mereka yaitu Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam telah mendapatkan sanjungan. Dan sesungguhnya perangai beliau shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an (Beliau mengisyaratkan kepada perkataan ‘Aisyah -radliallahu ‘Anha-: “Adalah akhlaq Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ialah Al Qur’an.” (Riwayat Ahmad 6/91, dan Al Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibad hal: 87)
Allah Ta’ala berfirman:
وإنك لعلى خلق عظيم
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung.” (QS. Al Qalam 4)
Dengan demikian Al Qur’anlah yang sebenarnya menjadi pedoman, sedangkan As Sunnah berfungsi menjabarkannya, sehingga orang yang menjalankan As Sunnah, berarti ia telah menjalankan Al Qur’an. Dan para sahabat ialah orang yang paling banyak menjalankannya, sehingga setiap orang yang meneladani mereka, niscaya ia tergolong ke dalam golongan selamat, yang akan masuk surga, -atas kemurahan Allah- inilah makna sabda Nabi shollallahu’alaihiwasallam:
ما أنا عليه وأصحابي
“(golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.”
Al Qur’an dan As Sunnah merupakan jalan lurus, sedangkan (dalil-dalil) yang lain berupa ijma’ (kesepakatan ulama’) dan lainnya adalah cabang dari keduanya. Inilah kriteria ajaran yang diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya, dan ini pulalah makna hadits ini dalam riwayat lain:
وهي الجماعة
“Mereka itu ialah Al Jama’ah.”
Dikarenakan tatkala Nabi shollallahu’alaihiwasallam menyabdakan hadits ini, (kabar terjadinya perpecahan umat Islam) Al Jama’ah memiliki kriteria ini.” (Al I’itishom, oleh As Syathiby 2/443).
Oleh karenanya, agama Islam hanya memiliki dua sumber hukum, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Sedangkan selain kedua sumber hukum ini, bila bertentangan dengannya ditinggalkan. Inilah sebabnya mengapa para ulama’ dan imam senantiasa berwasiat kepada murid-murid dan pengikutnya agar senantiasa meninggal kan pendapatnya, bila dikemudian hari terbukti bertentangan dengan hadits, sebagai contoh:
Imam Malik bin Anas -pendiri mazhab maliki- berkata:
كل أحد يؤخذ من قوله ويترك، إلا صاحب هذا القبر
“Setiap manusia dapat diikuti perkataan (pendapat)nya, dan juga dapat ditinggalkan, kecuali penghuni kuburan ini shollallahu’alaihiwasallam (yaitu Nabi shollallahu’alaihiwasallam).” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahaby 8/93).
Imam As Syafi’i, berkata:
إذا صح الحديث فاضربوا بقولي الحائط
“Bila ada hadits yang shahih, maka campakkanlah pendapatku ke dinding/pagar.” (Ibid 10/35).
Inilah karakteristik utama golongan selamat, yang dalam hadits lain disebut dengan Al Jama’ah:
Hadits ketiga:
عن معاوية بن أبي سفيان عن النبي قال: وإن هذه الملة ستفترق على ثلاث وسبعين ثنتان وسبعون في النار وواحدة في الجنة وهي الجماعة
Artinya:
“Dari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda: Dan (pemeluk) agama ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, dan (hanya) satu golongan yang masuk surga, yaitu Al Jama’ah.” (HRS Ahmad 4/102, Abu Dawud 4/198, hadits no: 4597, Ibnu Abi ‘Ashim 1/7, hadits no: 2, dan Al Hakim 1/218, hadits no: 443, dan dishohihkan oleh Al Albani)
Dan yang dimaksud dengan Al Jama’ah ialah, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Syamah As Syafi’i (w. 665 H): “Acapkali datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama’ah, maka yang dimaksudkan ialah: senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan para pengikutnya, walaupun orang yang berpegang teguh dengan kebenaran sedikit jumlahnya, dan orang yang menyelisihinya berjumlah banyak. Hal ini karena kebenaran ialah ajaran yang diamalkan oleh Al Jama’ah generasi pertama semenjak Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya -radliallahu ‘anhum-, dan tidak dipertimbangkan banyaknya jumlah penganut kebatilan yang ada setelah mereka.” (Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits, oleh Abu Syamah As Syafi’i, hal: 34).
Pernyataan beliau ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh As Syathiby pada ucapannya yang telah saya sebutkan di atas.
Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi (w. 792 H) berkata: “Dan Al Jama’ah ialah jama’ah kaum muslimin, dan mereka itu ialah para sahabat, dan seluruh orang yang meneladani mereka hingga hari qiyamat.” (Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah, oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi hal: 374).
Subhanallah! Tiga orang ulama’ yang saling berjauhan, tidak pernah saling bertemu, dan berbeda mazhab (*) sepakat dalam menafsirkan Al Jama’ah, bahwa mereka ialah para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan seluruh orang yang meneladani mereka, terlepas dari perbedaan mazhab fiqih atau daerah, atau organisasi dan guru.
(*) Abu Syamah bertempat tinggal di Baitul Maqdis Palestina, wafat pada thn: 665 H, dan bermazhabkan Syafi’i, As Syathiby bertempat tinggal di Andalus, wafat thn: 790 H, dan bermazhabkan Maliki, sedangkan Ibnu Abil ‘Izzi hidup di Damasqus, kemudian pindah ke Mesir, wafat pada thn: 792 H, dan bermazhabkan Hanafi. Kesepakatan pendapat ini bukan karena faktor kebetulan, akan tetapi karena ketiganya berbicara atas dasar ilmu yang bersumberkan dari sumber yang murni, yaitu Al Qur’an dan Hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Perbedaan mazhab ketiganya tidak menjadikan masing-masing dari mereka mengklaim bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah mazhabnya sendiri, hendaknya hal ini menjadi peringatan dan pelajaran bagi orang yang menginginkan keselamatan bagi dirinya, baik di dunia ataupun di akhirat.
Al Jama’ah ini dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang artinya para penganut as sunnah dan persatuan. Dikatakan Ahlus Sunnah karena mereka benar-benar menerapkan As Sunnah dengan pemahaman ketiga, yang mencakup seluruh ajaran agama Islam yang murni. Dan Ahlul Jama’ah, karena mereka senantiasa menjaga persatuan yang dibangun di atas kebenaran.
Setelah jelas bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah ialah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, para sahabatnya dan seluruh orang yang meneladani mereka, maka menjadi jelaslah bahwa siapa saja yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah dengan golongan tertentu atau mazhab tertentu, penafsirannya tidak sesuai dengan fakta dan bertentangan dengan dalil. Bagaimana tidak, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sendiri tatkala dikonfirmasikan tentang maksud beliau dengan Al Jama’ah, beliau menjawab: “(mereka ialah golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan.”
Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi siapapun untuk menafsirkan Al Jama’ah dengan penafsiran yang lain, baik dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi, sebagaimana yang dilakukan oleh Al Murtadha Az Zabidi, dan diikuti oleh Bapak K.H. Drs. Ahmad Dinyathi Badruzzaman M.A. atau dengan mazhab lain.
Agar menjadi lebih jelas kesalahan orang yang menafsirkan Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi, saya akan menukilkan sebagian aqidah (ideologi) mazhab Asy’ari:
1. Dalam aqidah Asy’ari, dinyatakan, bahwa Al Qur’an yang ada di hadapan kita ini, bukanlah kalamullah, akan tetapi berupa tulisan, dan huruf yang mengungkapkan akan makna kalamullah, tulisan dan huruf itu Allah ciptakan pada diri malaikat Jibril, atau Rasululahl atau Al Lauhul Mahfuz, sedangkan kalamullah yang sebenarnya ialah suatu makna yang ada pada diri Allah. Dan makna ini tidak berubah-ubah, dan tidak berbeda-beda, yang beda hanyalah obyek, waktu dan bahasanya, sehingga bila obyeknya ialah perbuatan buruk, maka ia dikatakan larangan, dan bila berupa perbuatan baik, maka ia disebut perintah, dan bila berupa kisah, ia disebut berita dst. Sehingga konsekwensinya seluruh Al Qur’an dari surat Al Fatihah s/d surat An Nas sama semua, arti atau maknanya tidak berbeda, yang beda hanyalah sisi pandang manusia, bila dikaitkan dengan perbuatan zina, maka ayat itu menjadi larangan dari perbuatan zina, dan bila dikaitkan dengan ibadah sholat, maka ayat itu pula menjadi perintah mendirikan sholat. Dan bila diwaktu Nabi Musa ‘alaihissalam dinamakan At Taurat, dan bila di zaman nabi ‘Isa ‘alaihissalam dinamakan Injil, dan bila di zaman Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dinamakan Al Qur’an, yang beda hanyalah waktu dan bahasanya. (Lihat kitab: Al Musamarah bi Syarhil Musayarah, oleh Al Kamal Ibnu Abi Syarif Al Maqdisy (W 906 H), hal: 74-77. Kitab ini ialah kitab yang menerangkan aqidah-aqidah mazhab Asy’ari, jadi nukilan ini ialah nukilan langsung dari kitab mereka, dan bukan melalui perantaraan orang lain).
Tentu ini adalah aqidah yang membingungkan, menyesatkan, membodohi umat serta bertentangan dengan realita dan akal sehat.
2. Contoh kedua dari aqidah Asy’ari: Akal manusia adalah sumber utama bagi syari’at Islam, sehingga setiap dalil, baik Al Qur’an atau Al hadits yang dianggap bertentangan dengan akal, harus diselaraskan dengan akal pikiran manusia, bila tidak mungkin, maka harus ditolak. (Ibid hal: 33).
Ibnu Al Qayyim Al Hambali (w. 751 H) setelah menyebutkan empat prinsip mazhab ahlul bid’ah yang diantaranya ialah mendahulukan akal dibanding dalil: “Inilah keempat taghut yang dijadikan oleh ahlul bid’ah sebagai prinsip bagi mazhab mereka, dan telah menjajah agama Islam. Inilah yang menghapuskan batasan-batasan agama Islam, menyirnakan rambu-rambunya, menumbangkan pondasinya, menggugurkan kehormatan dalil dari dalam kalbu, dan membukakan pintu bagi setiap orang munafiq dan musyrik untuk melecehkannya. Sehingga tidaklah ada orang yang menghujatnya dengan dalil dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, melainkan ia akan segera berkilah dan berlindung dengan salah satu dari thoghut-thoghut ini, dan menjadikannya sebagai perisai guna merintangi jalan Allah.” (As Showa’iq Al Munazzalah ‘Ala At Tho’ifah Al Jahmiyah Al Mu’atthilah, oleh Ibnu Al Qayyim Al jauziyah Al Hambali 2/379-380).
Apakah setelah in semua, kita masih akan bersikukuh mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah relevan dengan mazhab Asy’ari dan Maturidi?
Mungkin ada dari pembaca yang bertanya: Mengapa ulama’ semacam Sayid Murtadha Az Zabidi, mengklaim bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah ialah Al Asy’ariyah dan Al Maturidiyah?
Untuk mengetahui jawabannya, mari kita simak dan renungkan bersama ucapan sahabat Abdullah bin Mas’ud berikut ini:
قال بن مسعود: عليكم بالعلم قبل أن يقبض، وقبضه أن يذهب بأصحابه، عليكم بالعلم فإن أحدكم لا يدري متى يفتقر إليه أو يفتقر إلى ما عنده، إنكم ستجدون أقواما يزعمون أنهم يدعونكم إلى كتاب الله، وقد نبذوه وراء ظهورهم، فعليكم بالعلم وإياكم والتبدع وإياكم والتنطع وإياكم والتعمق وعليكم بالعتيق
Artinya:
“Hendaknya kamu menuntut ilmu sebelum ilmu itu diangkat, dan diangkatnya ilmu dengan matinya para ulama’. Hendaknya kamu menuntut ilmu, karena kamu tidak tahu kapan ia dibutuhkan, atau dibutuhkan pendapatnya. Sesungguhnya kalian akan menemui beberapa kaum yang mengaku-aku bahwa mereka menyeru kamu kepada kitab Allah (Al Qur’an) padahal ia telah mencampakkannya dibalik punggungnya. Maka hendaknya kamu menuntut ilmu, dan hati-hatilah kamu dari amalan bid’ah, berlebih-lebihan, dan sikap ekstrim, dan hendaknya pula kamu senantiasa mengikuti ajaran yama lama.” (Riwayat Ad Darimi 1/66, no: 143, As Sunnah oleh Muhammad bin Nasher Al Marwazy As Syafi’i hal 29, no: 185, dan Mujmal Ushul I’itiqad Ahlus Sunnah oleh Al Lalaka’i As Syafi’i 1/87, no: 108).
Sayid Murtadha Az Zabidi ialah orang yang bermazhabkan Asy’ari, sehingga ia merasa perlu untuk mengklaim bahwa Ahlus Sunnah ialah kelompoknya atau golongannya saja. Hal ini menjadikannya lalai bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang hidup sebelum masa Abu Hasan Al Asy’ari tidak bermazhabkan dengan mazhab ini. Fanatik golonganlah yang menjadikannya lalai atau menutup mata dari fakta sejarah ini, dan hal inipulalah -menurut hemat saya- yang menimpa bapak Kyai K.H. Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari kesesatan setelah kita mendapat petunjuk, dan kehinaan setelah mendapat kemuliaan.
Sebagai bantahan terbesar terhadap klaim bapak Dimyathi, ialah ucapan Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari berikut ini:
فإن قال لنا قائل: قد أنكرتم قول المعتزلة والقدرية والجهمية والحرورية والرافضة والمرجئة فعرفونا قولكم الذي به تقولون وديانتكم التي بها تدينون؟
قيل له : قولنا الذي نقول به وديانتنا التي ندين بها: التمسك بكتاب ربنا عز وجل وبسنة نبينا محمد وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، و بما كان يقول به أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل -نضر الله وجهه ورفع درجته وأجزل مثوبته- قائلون، ولما خالف قوله مخالفون، لأنه الإمام الفاضل والرئيس الكامل الذي أبان الله به الحق ورفع به الضلال وأوضح به المنهاج وقمع به بدع المبتدعين وزيع الزائغين وشك الشاكين فرحمة الله عليه من إمام مقدم وخليل معظم مفخم
“Bila ada yang berkata kepada saya: Engkau telah mengingkari keyakinan orang Mu’tazilah, Al Qadariyyah, Al Jahmiyyah, Al Haruriyyah (khowarij) Al Rafidhah (Syi’ah), Al Murji’ah, maka katakanlah kepada kami apa aqidah yang engkau anut dan keyakinan yang engkau yakini? Maka jawabannya ialah: aqidah yang saya yakini ialah: senantiasa komitmen dengan kitab Tuhan-ku Azza wa Jalla, dan dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, dan yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam ahlil hadits, dan saya dengan aqidah ini senantiasa berpegang teguh, dan dengan menganut setiap aqidah yang diyakini oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal -semoga Allah membahagiakannya, meninggikan derajatnya, dan membalas jasanya dengan yang lebih besar- dan menentang setiap yang menyelisihinya. Karena beliau (Ahmad bin Hambal) ialah seorang imam yang agung, pemimpin yang sempurna, yang dengannya Allah menjelaskan kebenaran, menyingkap kesesatan, menerangi jalan, dan memadamkan bid’ah setiap ahli bid’ah, penyelewengan setiap orang yang menyeleweng, dan keraguan setiap orang yang dilanda keraguan. Semoga Allah senantiasa merahmatinya, dialah seorang imam yang terkemuka, dan sahabat yang agung nan mulia.” (Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah. Oleh Abu Hasan Al ‘Asy’ari 14-15).
Inilah aqidah Abu Al Hasan Al Asy’ari yang beliau anut dan ajarkan pada akhir hayatnya, yaitu aqidah yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Beliau memang pernah menganut aqidah kullabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan aqidah asy’ariyyah. Namun setelah jelas bagi beliau sisi kesalahan aqidah ini, beliau pun meninggalkannya, dan kembali ke aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebagaimanan yang beliau jelaskan dalam kitabnya “Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah” dan “Maqalaatul Islamiyyin”.
BENARKAH ULAMA’ TASAWUF BERPEDOMAN KEPADA SUNNAH ?
Pada pembahasan ini, hal: 16 bapak Kyai Dimyathi berkata: “Sementara ini ada orang yang berkata bahwa ulama’ fiqih dan ulama’ tasawuf itu dalam menetapkan suatu hukum dan ibadahnya hanyalah hasil ijtihad (rekayasa) mereka tanpa didasari sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Perkataan semacam itu, menurut hemat kami, jelas tidak bisa dipertanggung jawabkan validitasnya.”
Kalau yang bapak Kyai maksudkan ialah ulama’ fiqih, maka saya mendukung ucapan bapak Kyai, akan tetapi bila yang bapak maksud ialah ulama’ tasawuf juga, apalagi ulama’ tasawuf mutaakhirin (sufi dengan pemahaman yang sekarang ada dimasyarakat), maka saya balik berkata: menurut keyakinan saya, jelas ucapan bapak Kyai ini tidak dapat dipertanggung jawabkan validitasnya, dan bahkan bertentangan dengan realita.
Pada pembahasan ini, bapak Kyai hanya menukilkan perkataan-perkataan para tokoh tasawuf yang ada pada masa dahulu, yang pemahaman tasawuf kala itu hanya sebatas zuhud dalam urusan dunia, dan tekun beribadah. Beliau hanya menyebutkan ucapan Al Junaid (w. 297 H), Dzun Nun (w. 245 H), Ibrahim bin Adham (w. 161 H) Abu Sa’id Al Kharraz (w. 277 H), Abu Yazid Al Busthomi (w. 261 H), Al Muhasibi (w. 243), Al Sirri Al Saqathi (w. 257 H).
Adapun tokoh-tokoh sufi pada zaman ini, -saya rasa bapak Kyai lebih banyak tahu dibanding saya tentang mereka- kebanyakannya ialah orang-orang kaya, rumahnya megah, kendaraannya bagus, hartanya melimpah dst.
Yang menjadi pertanyaan saya: apakah bapak Kyai tidak mengenal tokoh sufi kecuali mereka? atau, Apakah sufi tidak memiliki tokoh selain mereka? Ataukah ada batu di balik udang dari dilupakannya tokoh-tokoh sufi selain mereka?
Bukankah bapak kenal bahwa diantara tokoh sufi besar yang diagung-agungkan oleh banyak orang ialah : Ibnu Arabi, Al Hallaj, At Tijani? Mengapa bapak Kyai tidak berani menukil dari mereka? Apakah benar ada batu di balik udang?
DR. Gholib Al Awaji -seorang pakar dalam ilmu firoq (sekte-sekte) yang ada di umat Islam- setelah menyebutkan perbedaan ulama’ dalam menentukan awal munculnya tasawuf, ia berkesimpulan: “Dari perbedaan pendapat ini, saya berkesimpulan bahwa tasawuf pertama kali muncul setelah diturunkannya agama Islam dalam bentuk zuhud, semangat tinggi dalam berusaha meraih kehidupan akhirat, dan mengekang jiwa sedapat mungkin dari mencintai kehidupan dunia, dan berjalanlah segalanya sesuai dengan pemahaman ini. Pada kemudian hari -sebagaimana layaknya prinsip dan gagasan lain- tasawuf mengalami pengembangan, dan disusupi oleh berbagai gagasan, dengan tujuan pematangan ide dan kemudian menyajikannya kepada masyarakat dalam bentuknya yang telah sempurna, tanpa memperdulikan apakah pengembangan itu selaras dengan kebenaran atau sebaliknya malah menjauh darinya.” (Firoq Mu’ashiroh, oleh DR Gholib bin Ali Al ‘Awaji 2/734).
Dari kesimpulan DR. Gholib Al Awaji di atas kita mengetahui bahwa tasawuf yang ada pada zaman ini tidak lagi sejalan dengan tasawuf yang ada pada zaman dahulu awal kali muncul. Oleh karena itu kita dapatkan sebagian ulama’ menyebut bahwa tasawuf yang ada pada zaman orang-orang yang dinukil perkataannya oleh bapak Kyai Dimyathi dengan sebutan sufiyah al haqo’iq. (Lihat Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 11/19).
Walau demikian, ternyata didapatkan beberapa penyelewengan pada ucapan dan perilaku kebanyakan mereka, sebagai contoh:
Bisyr Al Hafi berkata:
لا يفلح من ألف أفخاذ النساء
Artinya:
“Tidak akan pernah berbahagia orang yang terbiasa dengan paha-paha wanita (istri-istrinya).” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/472).
Bandingkanlah ucapan Bisyr ini dengan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu tentang kisah ketiga orang yang mendatangi rumah istri-istri Nabi shollallahu’alaihiwasallam, dan telah saya sebutkan pada bab I.
Malik bin Dinar berkata:
لا يبلغ الرجل منزلة الصديقين حتى يترك زوجته كأنها أرملة ويأوي إلى مزابل الكلاب
Artinya:
“Seseorang tidak akan dapat mencapai kedudukan ash shiddiqin hingga ia meninggalkan istrinya, seakan-akan ia seorang janda, dan menyendiri di tempat-tempat persembunyian anjing.” (Lihat Hilyah Al Ulama’ oleh Abu Nu’aim 2/359).
Bandingkan ucapan Malik bin Dinar ini dengan hadits berikut:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله: دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك
Artinya:
“Dari sahabat Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: Dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah (untuk membiayai jihad), dinar yang engkau nafkahkan guna memerdekakan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya ialah dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu.” (Riwayat Muslim 2/692, hadits no: 995)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata:
عن أبي سليمان الداراني أنه قال: اذا طلب الرجل الحديث أو سافر في طلب المعاش أو تزوج، فقد ركن إلى الدنيا
Artinya:
“Dari Abu Sulaiman Ad Darani berkata: Apabila seseorang menuntut hadits (Nabi shollallahu’alaihiwasallam), atau bepergian guna mengais rezeki, atau menikah, berarti ia telah condong kepada kehidupan dunia.” (Talbis Iblis oleh Ibnu Jauzi 359).
As Sya’rani mengkisahkan dari Al Junaid, bahwa ia berkata: Seorang murid yang benar-benar tulus, ia tidak butuh kepada ilmu para ulama’, bila Allah menghendaki kebaikan padanya, niscaya ia akan dipertemukan dengan orang-oang sufi dan dijauhkan dari para qurra’ (ahli qira’at yaitu para ulama’). (Thabaqat Al Kubra oleh As Sya’rani 1/84, dengan perantaraan kitab: Dirasaat fi Al Tasawwuf oleh DR. Ihsan Ilahi Dzahir 122).
Inilah salah satu penyebab kenapa sufi zaman sekarang tersesat dari kebenaran dan menyeleweng dari syariat Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, mereka menjauhi ilmu dan para ahlinya, bahkan menganggap belajar menuntut ilmu hadits sebagai perbuatan dosa, oleh karenanya dahulu Bisyr Al Hafi merasa perlu untuk beristighfar kepada Allah, karena ia pernah melangkahkan kakinya dalam perjalanan menuntut hadits-hadits Nabi shollallahu’alaihiwasallam. (Lihat Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 10/470, 472).
Adapun sufi yang ada setelah generasi sufiyatul haqa’iq berlalu, dan digantikan oleh sufi jenis baru, yaitu yang sekarang ada di masyarakat, dan diantara tariqatnya telah diakui secara resmi oleh sebagian ormas Islam di Indonesia dan diberi julukan sebagai thariqah mu’tabarah, telah jauh menyimpang dari ajaran dan prinsip sufiyatul haqa’iq. Tidak lagi seperti yang disebutkan dalam ucapan-ucapan para tokoh yang disebut namanya oleh bapak Kyai Dimyathi. Untuk sekedar membuktikan kepada para pembaca, saya akan menukilkan sebagian ucapan beberapa tokoh mereka:
Ibnu Arabi (seorang tokoh sufi sesat -ed) dalam bukunya Al Futuhat Al Makkiyah berkata:
العبد رب والرب عبد يا ليت شعري من المكلف
إن قلت عبد فذاك رب أو قلت رب فأنى يكلف
“Hamba adalah tuhan, dan tuhan adalah hamba
duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas?
Bila kau katakan hamba, maka ia adalah tuhan
atau kau katakan: tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas!?”
(Lihat Firoq Mu’ashiroh, oleh DR. Gholib bin Ali Al ‘Awaji 2/745).
Di bukunya: Al Fushus, Ibnu Arabi berkata: “Segala sesuatu yang kita temui, maka itulah keberadaan Al Haq (Allah) yang berwujud pada makhluq. Bila dilihat dari hakikatnya maka ia adalah perwujudan Allah, dan bila dilihat dari perbedaan bentuk, maka itu adalah perwujudan makhluq-makhluq, sebagaimana tidak akan berubah nama bayangan hanya karena perbedaan bentuk, demikian juga tidak akan sirna sebutan Al Haq (Allah) hanya karena keaneka ragaman bentuk alam semesta. Bila dilihat dari keesaan bayangan, maka dia adalah Al Haq (Allah), karena Dia adalah Yang Maha Esa, dan bila dilihat dari segi perbedaan bentuk, maka itu adalah alam semesta, renungkanlah apa yang telah aku jelaskan kepadamu ini.” (Fushus Al Hikam oleh Muhammad bin Ali bin Muhammad ibnu Arabi Al Andalusi, hal: 77-79, dengan perantaraan dari kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikri Al Shufi oleh DR. Muhammad Ahmad Lauh 1/532).
Abu Hamid Al Ghazali, tokoh tasawuf kelas satu di mata pengikut tariqat masa kini berkata dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin: “Bagian tauhid keempat ialah: bila ia tidak menyaksikan di alam semesta ini selain satu dzat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang sufi dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan)… Bila anda bertanya: bagaimana mungkin seseorang tidak melihat melainkan hanya satu saja, sedangkan ia melihat langit, bumi, dan segala benda yang ia rasakan, dan itu banyak sekali?, dan bagaimana suatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu mukasyafat, dan rahasia ilmu ini tidak boleh untuk dituliskan dalam suatu kitab, karena orang-orang yang telah sampai pada tingkatan ma’rifah berkata: membocorkan rahasia ketuhanan itu adalah kufur. Ditambah lagi ilmu ini tidak ada hubungannya dengan ilmu mu’amalah (interaksi). Benar, menyebutkan satu hal yang dapat mengusir rasa keherananmu boleh-boleh saja, yaitu: bahwa sesuatu dapat saja berjumlah banyak dengan satu pertimbangan, dan menjadi satu dengan pertimbangan lain. Yang demikian ini sebagaimana manusia dikatakan banyak bila dilihat dari segi roh, jasad, kaki, tangan, urat-urat, tulang belulang, dan perutnya, dan pada saat yang sama dengan pertimbangan lain kita katakan: dia adalah satu manusia…
Demikilah halnya segala sesuatu yang ada di alam semesta, yang berupa Al Kholiq (Pencipta) dan Makhluq, memiliki pertimbangan dan sisi pandang yang beraneka ragam dan berbeda-beda. Dipandang dari satu sisi semuanya ialah satu/esa, dan dari sisi pandang lain berjumlah banyak… Penyaksian yang tidak nampak melainkan Yang Maha Esa dan Benar kadang kala bersifat kontinyu, dan kadang kala hanya sepintas, bak kilat yang menyambar, dan inilah yang sering terjadi, sedangkan yang bersifat kontinyu itu jarang didapatkan.” (Ihya’ Ulum Ad Dien, oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali As Syafi’i, bab: Haqiqah At Tauhid Allazi Huwa Aslu At Tauhid, 4/241-242).
Pada halaman lain, Al Ghozali membagi pandangan terhadap At Tauhid kepada dua bagian, dan ia berkata tentang bagian pertama: “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, anda pasti akan dikenalkan bahwa ialah yang bersyukur dan disyukuri, dan dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Ia (Allah).” (Ibid, bab: Bayan Thariq Kasyf Al Ghitha’ ‘An Al Syukr Fi haqqi Allah Ta’ala, 4/83).
Demikianlah data yang kita dapatkan dengan jelas dan gamblang pada karya-karya Al Ghazali, namun sebagian ulama’ menyebutkan bahwa beliau pada akhir hayatnya menyatakan bertaubat dari segala penyelewengan aqidah ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Syeikh Abdul Qadir As Sindy dalam kitabnya At Tasawwuf Fi Mizanil Bahts Wat Tahqiq 325-326.
Abu Yazid Al Busthami (tokoh sufi sesat -ed) berkata:
إني جمعت عبادات أهل السموات والأرضين السبع فجعلتها في مخدة ووضعتها تحت خدي
Artinya:
“Aku telah menggulung amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam satu bantal, dan aku jadikan di bawah pipiku.” (Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/36).
Bukankah bapak Kyai Haji Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman yang terhormat mengakui dan mengetahui bahwa kedua orang ini adalah tokoh tasawuf, dan bahkan suritauladan ahl al tariqot? Bukankah bapak Kyai memiliki kitab Ihya’ Ulumuddin?! Silahkan baca sendiri, dan buktikan sendiri, agar bapak Kyai yakin dan tidak ragu lagi bahwa ucapan bapak Kyai di atas bertentangan dengan realita dan fakta.
Apakah sekarang masih ada keraguan bahwa tasawuf ala mutakhirin, yaitu tasawuf yang ada pada zaman ini, adalah kelompok yang telah menyeleweng dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah, dan mengatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia?! Yang menurut bahasa jawa, sering disebut: manunggaling Gusti ing kawulo (menyatunya Tuhan dengan manusia).
Sebagai hasil dari keyakinan wihdatul wujud semacam ini, mari kita simak beberapa kisah berikut:
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tatkala dikatakan kepada At Tilmisani: Sesungguhnya Al Qur’an bertentangan dengan kitab kalian Al Fushus. Ia menjawab: Seluruh isi Al Qur’an ialah kesyirikan, sesungguhnya tauhid hanya ada pada ucapan kami. Maka dikatakakan lagi kepadanya: Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada adalah hanya satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram? Maka ia menjawab: Menurut kami semuanya halal (untuk disetubuhi), akan tetapi mereka orang-orang yang telah terhalangi dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan: Saudara wanita itu haram, maka kamipun ikut-ikut mengatakan haram.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 13/186).
Abu Yazid Al Busthami berkata:
عجبت لمن عرف الله كيف يعبده؟
Artinya:
“Aku heran kepada orang yang telah mengenal Allah, mengapa ia tetap beribadah kepada-Nya?!” (Hilyah Al Auliya’, oleh Abu Nu’aim 10/37).
Salah seorang sufi besar, yaitu As Sya’roni, tatkala menyebutkan biografi Syamsuddin Al Hanafi, berkata: “Suatu saat ada seorang istri seorang pangeran yang masuk ke rumah syeikh ini, maka ia mendapatkan syeikh sedang dipijit oleh beberapa wanita, maka istri pangeran inipun merasa keheranan, kemudian syeikh ini memandanginya dan berkata: Sekarang pandanglah! Maka Istri pangeran itupun memandang dan menyaksikan bahwa wanita-wanita tukang pijet itu ternyata wajahnya berupa tulang belulang, dari mulut mereka mengalir nanah, seakan-akan mayat hidup yang baru keluar dari kuburan. Kemudian Syeikh Syamsuddin berkata: Sesungguhnya aku bila memandang wanita lain, maka seperti inilah yang nampak olehku, kemudian ia melanjutkan perkataannya: Sesungguhnya pada tubuhmu ada tiga tanda (tompel/toh): satu di bawah ketiak, satu di pangkal pahamu, dan satu lagi di dadamu. Istri pangeran itupun menjawab: Benar, bahkan demi Allah suamiku saja hingga saat ini tidak mengetahui ketiga tanda ini.” (At Thobaqot Al Kubro, oleh Asy Sya’roni 2/85, dengan perantaraan kitab: Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr As Sufi oleh Muhammad Ahmad Lauh 2/304).
Menyimak kisah ini, saya menjadi teringat dengan skandal seks seorang tokoh sufi besar, dan seorang yang telah dinobatkan menjadi seorang wali oleh banyak kyai dan ahl thariqat di negri kita tercinta Indonesia, yaitu skandal Abdurrahman Wahid, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Gus Dur. Bukankah umat Islam di seluruh indonesia telah membaca dan mendengar skandal ini? Akan tetapi apakah komentar sebagian kyai dan masyarakat tentangnya? Ada dari mereka yang mengatakan, bahwa Gus Dur ialah seorang wali, ada lagi yang mengatakan dia itu dijaga oleh malaikat, dst. (Baca berbagai komentar beberapa tokoh masyarakat tentang skandal ini, di buku: “Bila Kyai Dipertuhankan” oleh bapak Hartono Ahmad Jaiz & Abduh Zulfidar Akaha, hal: 262 dst). Saya rasa bapak Kyai Dimyathi dan para pembaca yang budiman lebih tahu tentang insiden ini dibanding saya, sehingga tidak perlu saya berpanjang lebar menuturkannya.
Dan di halaman lain As Sya’roni menuturkan kisah wali lain, yaitu Syeikh Ibrahim Al ‘Uryan, bahwa orang ini bila naik mimbar dan berceramah ia senantiasa dalam keadaan telanjang bulat. (At Thobaqot Al Kubro, oleh Asy Sya’roni 2/124).
Berhubungan dengan kisah ini, saya pernah mendengar penuturan salah seorang kawan saya sendiri, dan kisah ini ialah kisah yang ia alami secara langsung: Kawan saya ini berasal dari salah satu pondok pesantren di kota Jombang Jawa Timur. Pada suatu hari ia diajak oleh bibiknya untuk berkunjung ke daerah Nganjuk-Jawa Timur), guna mengunjungi seorang wali. Setibanya di rumah wali itu, ia dipersilahkan masuk ke ruang tamu laki-laki, sedangkan bibinya dipersilakan masuk ke ruang tamu wanita. Sepulang dari rumah wali itu, bibinya berkata: Wah, tadi di ruang wanita, saya menyaksikan beberapa wali, diantaranya: ada wali laki-laki yang keluar menemui kita dengan telanjang bulat dan tidak sehelai benang pun menempel di badannya. Setelah berada di tengah-tengah ruangan wali telanjang itu disodori sebatang rokok oleh sebagian pelayannya, maka iapun mulai mengisap rokok, dan baru beberapa isapan, rokoknya itu dicampakkan ke lantai. Melihat puntung rokok wali telanjang yang telah tergeletak di lantai itu, ibu-ibu yang sedang berada di ruangan tamu itu berebut memungutnya, dan setelah seorang ibu berhasil mendapatkannya ia buru-buru memerintahkan anaknya yang masih ingusan, yang kala itu bersamanya untuk ganti mengisap puntung rokok itu, dengan alasan: agar mendapatkan keberkahan sang wali, dan menjadi anak yang pandai.
Tatkala kawan saya mendengar kisah ini langsung dari penuturan bibiknya, ia bertekad untuk tidak ikut-ikut lagi dalam acara-acara yang diadakan oleh orang-orang sufi. Dan semenjak itu pulalah ia mulai menyadari kesesatan tariqat sufi, dan alhamdulillah yang telah mengaruniai sahabat saya ini hidayah, sehingga dapat dengan mudah mencampakkan belenggu tariqat sufi dari lehernya.
Dan pada halaman lain As Sya’roni mengkisahkan kisah Syeikh Ali Wuhaisy, bahwa orang ini bertempat tinggal di rumah bordil, dan setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan lokasi itu, ia berkata kepadanya: Tunggu sejenak hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini. Dan diantara yang ia kisahkan tentang orang sufi ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, ia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: “Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya.” (Ibid 2/129-130).
Kisah-kisah kotor dan menjijikkan, justru dianggap oleh As Sya’roni sebagai tanda kewalian, dan kebanggaan seseorang. Kalau bukan karena terpaksa ingin membuktikan siapa sebenarnya orang-orang sufi, niscaya saya tidak sampai hati untuk mencantumkannya dalam tulisan ini, na’uzubillah minal khuzlan.
Dan diantara hasil ideologi wihdatul wujud yang dianut oleh kaum sufi (ahl tariqat) ialah terjalinnya keserasian dan obral akidah antar umat beragama, sehingga tidak ada lagi orang yang dijuluki kafir dan muslim, semuanya adalah saudara, hasil najis ini sering disebut dengan kata ”wihdatul adyan” (persatuan umat beragama).
Sebagai buktinya simaklah penuturan salah seorang dedengkot sufi, yaitu Ibnu Arabi:
والعارف المكمل من رأى كل معبود مجلى للحق يعبد فيه، ولذلك سموه كلهم إلها مع اسمه الخاص بحجر أو شجر أو حيوان أو إنسان أوكوكب أوملك
Artinya:
“Dan seorang yang telah berhasil mencapai kesempurnaan tingkatan ma’rifah, niscaya ia akan dapat melihat bahwa setiap yang disembah itu adalah tempat penampakan Al Haq (Allah) yang disanalah Ia disembah. Oleh karenanya mereka menyebutnya Tuhan (Ilah), bersama sebutannya yang khusus, yaitu: bebatuan, pepohonan, binatang, manusia, bintang atau malaikat.” (Fushush Al Hikam Oleh Ibnu Arabi 195, melalui perantaraan kitab Taqdis Al Asykhash Fi Al Fikr As Sufi, oleh Muhammad Ahmad Lauh, 1/563).
Oleh karena itu, janganlah heran bila orang-orang yang mengakui dan menganut at thariqah al mu’tabarah dengan ringan hati untuk masuk keluar gereja, dan mengadakan doa bersama, dan bahkan dibaptis oleh pastur. (Bagi anda yang ingin membaca sebagian bukti hal ini, silahkan baca buku: “Bila Kyai Dipertuhankan”, oleh bapak Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha: 159).
Setelah menyimak beberapi kisah yang dituliskan oleh As Sya’roni ini, apakah bapak Kyai masih bersikukuh mengatakan bahwa tokoh-tokoh sufi berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah?!
Apakah bapak Kyai juga mengatakan bahwa ucapan Ibnu Arabi, Al Ghozali, dan As Sya’roni tidak valid dan bernuansa su’uzhan kepada ulama yang mulia?
–Bersambung–