بسم الله الرحمن الرحيم
SALAM DAN BERJABAT TANGAN
Syaikh Masyhur Hasan Salman
[SALAFY XIV/SYAWWAL/1417/1997/AHKAM]
Pengantar Redaksi :
Mengucapkan salam dan berjabat
tangan kepada sesama Muslim adalah perkara yang terpuji dan disukai dalam Islam.
Dengan perbuatan ini hati kaum Muslimin dapat saling bersatu
dan berkasih sayang di antara mereka. Namun apa
yang terjadi jika perbuatan terpuji ini dilakukan tidak pada tempat yang
semestinya? Tidak ada kebaikan yang didapat bahkan pelanggaran
syariatlah yang terjadi.
Untuk itu dalam edisi kali ini kami
nukilkan keterangan para ulama tentang masalah ini dari buku Al Qaulul Mubin fi
Akhth’ail Mushallin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman halaman 290-296.
Mudah-mudahan keterangan ini bisa bermanfaat bagi kita
semua.
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam beliau bersabda : “Apabila salah seorang dari
kalian bertemu dengan saudaranya maka ucapkanlah salam padanya. (Kemudian) jika pohon, tembok, atau batu menghalangi keduanya dan
kemudian bertemu lagi maka salamlah juga padanya.” (HR.
Abu Dawud dalam As Sunan nomor 5200 sanadnya shahih dan para perawinya
tsiqah. Lihat Silsilah Al Ahadits As Shahihah
nomor 186)
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan seorang Muslim mengucapkan salam
kepada saudaranya yang Muslim jika menjumpainya. Karena salam dapat menggalang persatuan, menghilangkan rasa benci,
dan mendatangkan cinta. Perintah di dalam hadits ini bersifat istihbaab yang
maknanya anjuran dan ajakan, bukan wajib (lihat dalil-dalil yang memalingkan
dari hukum wajib ke hukum istihbaab dalam kitab Aqdu Az
Zabarjad fi Tahiyyati Ummati Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam).
Tidak dibedakan dalam mengucapkan salam tersebut antara orang yang berada di dalam ataupun di
luar masjid. Bahkan sunnah yang shahihah menunjukkan
disyariatkannya mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam masjid baik
ketika shalat ataupun tidak.
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam keluar
menuju Quba dan shalat di
Ibnu Umar berkata : Bilal berkata :
“Begini, sambil membentangkan telapak tangannya.” Begitu pula
Ja’far bin ‘Aun membentangkan tangannya dan menjadikan telapak tangannya di
bawah sedangkan punggungnya di atas.” (HR. Abu Dawud
dalam As Sunan nomor 927 dan Ahmad dalam Al Musnad 2/30 dengan sanad shahih atas
syarat Bukhari dan Muslim. Lihat Silsilah Al Ahadits As Shahihah nomor 185).
Dua Imam, Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuwiyah berpegang
pada hadits ini. Al Marwazi berkata : [ Saya bertanya
kepada Ahmad : “Apakah salam diucapkan kepada kaum yang sedang shalat?” Dia
menjawab : “Ya.” Lalu beliau menyebutkan kisah Bilal
ketika ditanya oleh Ibnu Umar : “Bagaimana beliau
menjawab (salam)?” Dia berkata : “Dia memberi isyarat.”
Ishaq juga berkata sebagaimana yang dia katakan. ] (Masa’il Al Marwazi halaman 22).
Riwayat ini dipilih oleh Al Qadli Ibnul Arabi, dia berkata : “Isyarat dalam shalat bisa jadi untuk menjawab
salam atau karena suatu perkara yang tiba-tiba terjadi saat shalat juga karena
kebutuhan yang mendesak bagi orang shalat. Jika untuk menjawab salam maka dalam hal ini terdapat atsar-atsar shahih seperti
perbuatan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di Quba dan selainnya. (Lihat
‘Aridlah Al Ahwadzi 2/162)
Dalil tentang disyariatkannya mengucapkan salam setelah
shalat di masjid adalah hadits tentang orang yang jelek shalatnya, hadits yang
terkenal (masyhur) dari Abu Hurairah :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam masuk ke masjid. Lalu seseorang masuk dan
shalat. Kemudian dia datang lalu mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab salamnya seraya berkata : “Kembalilah shalat karena sesungguhnya kamu belum
shalat!” Maka orang itu kembali lalu shalat sebagaimana dia
telah shalat sebelumnya. Kemudian dia datang kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Hal itu dia
lakukan tiga kali. (HR. Bukhari, Muslim, dan selainnya)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata : “Dengan hadits ini, Shadiq Hasan Khan berdalil di
dalam kitabnya Nuzul Al Abrar halaman 350-351 bahwa : “Jika seseorang diucapkan
salam kepadanya kemudian dia mendatanginya dari dekat maka disunnahkan untuk
mengucapkan salam untuk kedua dan ketiga kali padanya.”
Beliau juga berkata : “Hadits ini
juga menjadi dalil disyariatkannya mengucapkan salam kepada orang di dalam
masjid sebagaimana juga hadits tentang ucapan salam orang-orang Anshar kepada
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di Masjid Quba sebagaimana yang telah
diterangkan sebelumnya. Akan tetapi kita temukan orang-orang tidak menghiraukan
sunnah ini. Salah seorang mereka masuk Masjid tanpa
mengucapkan salam pada orang yang berada di dalamnya
karena mereka mengira bahwa hal itu makruh. Semoga apa
yang kami tulis menjadi peringatan bagi mereka dan selainnya. Sedangkan peringatan itu bemanfaat bagi orang-orang yang
beriman. (Silsilah Al Ahadits As
Shahihah)
Jadi salam dan berjabat tangan dilakukan ketika datang atau hendak berpisah walaupun hanya sebentar. Sama saja apakah di dalam Masjid atau di luar masjid. Akan tetapi sayang sekali, tatkala Anda mengucapkan salam kepada seseorang saat berjumpa dengan Anda setelah shalat dengan ucapan assalamu’alaikum warahmatullahi maka dengan segera dia menjawab taqabbalallah. Dia mengira telah menegakkan apa yang telah Allah wajibkan atasnya berupa kewajiban membalas salam, seolah-olah dia tidak mendengar
firman Allah Ta’ala :
Apabila kamu diberi penghormatan dengan salam penghormatan maka balaslah dengan yang lebih baik atau
balaslah dengan yang sebanding. Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu. (QS. An Nisa’ :
86)
Dan sebagian mereka bersegera mengucapkan pada Anda sebagai
ganti dari salam dengan ucapan taqabbalallah (semoga Allah menerima amal kita)
padahal Allah telah berfirman :
Salam penghormatan mereka pada hari mereka menemui-Nya ialah : “Salam.” (QS. Al Ahzab :
44)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
Sebarkanlah salam di antara kalian.
(HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 54 dan Ahmad dalam Al Musnad 2/391, 441, dan
495 serta yang selainnya)
Beliau tidak menyatakan : “Katakanlah taqabbalallah !!” Kita tidak mengetahui dari salah seorang sahabat pun atau Shalafush Shalih radliyallahu 'anhum bahwa apabila mereka selesai dari shalat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menjabat tangan orang di sekitarnya agar diberkahi sesudah shalat.
Seandainya salah seorang dari mereka melakukan hal itu,
sungguh akan dinukilkan bagi kita meskipun dengan sanad
yang lemah dan ulama akan menyampaikan pada kita karena mereka terjun di semua
lautan ilmu lalu menyelam pada bagian yang terdalam dan mengeluarkan hukum-hukum
darinya. Mereka tidak mungkin menyepelekan sunnah
Qauliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah atau Sifat (sabda, perbuatan, persetujuan atau
sifat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam). [
Tamamu Al Kalam fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam halaman 24-25 dan
Al Masjid fi Al Islam halaman 225 ]
Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin berkata : “Mayoritas orang yang shalat mengulurkan tangan
mereka untuk berjabat tangan dengan orang di sampingnya setelah salam dari
shalat fardlu dan mereka berdoa dengan ucapan mereka ‘taqabbalallah’. Perkara ini adalah bid’ah yang tidak pernah dinukil dari
Salaf.” (Majalah Al Mujtama’ nomor
855).
Bagaimana mereka melakukan hal itu sedangkan para peneliti
dari kalangan ulama telah menukil bahwa jabat tangan dengan tata cara tersebut (setelah salam dari shalat) adalah
bid’ah?
Al ‘Izzu bin Abdussalam berkata : “Jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk bid’ah kecuali bagi yang baru datang dan bertemu dengan orang yang menjabat tangannya sebelum shalat. Maka sesungguhnya jabat tangan disyaratkan tatkala datang.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
berdzikir setelah shalat dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan dan beristighfar
tiga kali kemudian berpaling. Diriwayatkan bahwa beliau berdzikir :
“Wahai Rabbku, jagalah saya dari adzab-Mu pada hari Engkau
bangkitkan hamba-Mu.” (HR. Muslim 62, Tirmidzi 3398 dan 3399, dan Ahmad dalam
Musnad 4/290)
Kebaikan seluruhnya adalah dalam mengikuti
Rasul (Fatawa Al ‘Izzi bin Abdussalam halaman 46-47 dan lihat Al Majmu’
3/488). Apabila bid’ah ini di masa penulis terbatas
setelah shalat yang dua rakaat, maka sungguh di jaman kita ini hal itu telah
terjadi pada seluruh shalat. Laa haula wala quwwata
illa billah.
Al Luknawi berkata : [ Sungguh telah
tersebar dua perkara di masa kita ini pada mayoritas negeri, khususnya di
negeri-negeri yang menjadi lahan subur berbagai bid’ah dan fitnah, yaitu
:
1. Mereka tidak
mengucapkan salam ketika masuk masjid waktu shalat
Shubuh, bahkan mereka masuk dan shalat sunnah kemudian shalat fardlu. Lalu
sebagian mereka mengucapkan salam atas sebagian yang
lain setelah shalat dan seterusnya. Hal ini adalah perkara yang jelek karena
sesungguhnya salam hanya disunnahkan tatkala bertemu
sebagaimana telah ditetapkan dalam riwayat-riwayat yang shahih, bukan tatkala
telah duduk.
2. Mereka berjabat
tangan setelah selesai shalat Shubuh, Ashar, dan dua hari raya, serta shalat
Jum’at. Padahal pensyariatan jabat tangan juga hanya di saat
awal bersua. ] (As Sa’ayah fi Al Kasyfi Amma fi Syarh
Al Wiqayah halaman 264).
Dari perkataan beliau dapat dipahami bahwa
jabat tangan antara dua orang atau lebih yang belum bersua sebelumnya tidak ada
masalah. Syaikh Al Albani berkata di dalam As Silsilah As Shahihah
1/23 : “Adapun jabat tangan setelah shalat adalah
bid’ah yang tidak ada keraguan padanya, kecuali antara dua orang yang belum
bersua sebelumnya. Maka hal itu adalah sunnah.”
Al Luknawi berkata setelah menyebutkan silang pendapat
tentang jabat tangan setelah shalat : “Di antara yang
melarang perbuatan itu ialah Ibnu Hajar Al Haitami As Syafi’i, Quthbuddin bin
‘Ala’addin Al Makki Al Hanafi, dan Al Fadlil Ar Rumi dalam Majalis Abrar
menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek ketika beiau berkata :
“Berjabat tangan adalah baik saat bertemu. Adapun selain saat bertemu misalnya
keadaan setelah shalat Jum’at dan dua hari raya sebagaimana kebiasaan di jaman
kita adalah perbuatan tanpa landasan hadits dan dalil! Padahal
telah diuraikan pada tempatnya bahwa tidak ada dalil berarti tertolak dan tidak
boleh taklid padanya.” (Sumber yang sama dan Ad
Dienul Al Khalish 4/314, Al Madkhal 2/84, dan As Sunan wa Al Mubtada’at halaman
72 dan 87).
Beliau juga berkata : “Sesungguhnya
ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan
tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath : “Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah
shalat dalam segala hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah
shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidlah.” Ibnu
Hajar, seorang ulama Syafi’iyah berkata : “Apa yang
dikerjakan oleh manusia berupa jabat tangan setelah shalat
Dan alangkah fasihnya perkataan beliau Rahimahullah Ta’ala dari ijtihad dan ikhtiarnya. Beliau berkata : [ Pendapat saya, sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa jabat tangan (setelah shalat) ini tidak ada asalnya dari syariat. Kemudian mereka berselisih tentang makruh atau mubah. Suatu masalah yang berputar antara makruh dan mubah harus difatwakan untuk melarangnya, karena menolak mudlarat lebih utama daripada menarik maslahah. Lalu kenapa dilakukan padahal tidak ada keutamaan mengerjakan perkara yang mubah? Sementara orang-orang yang melakukannya di jaman kita menganggapnya sebagai perkara yang baik, menjelek-jelekkan dengan sangat orang yang melarangnya, dan mereka terus-menerus dalam perkara itu.
Padahal terus-menerus dalam perkara mandub (sunnah) jika berlebihan akan menghantarkan pada batas makruh.
Lalu bagaimana jika terus-menerus dalam bid’ah yang tidak ada
asalnya dalam syariat?!
Berdasarkan atas hal ini, maka tidak diragukan lagi makruhnya. Inilah maksud orang yang memfatwakan makruhnya. Di samping itu pemakruhan hanyalah dinukil oleh orang yang menukilnya dari pernyataan-pernyataan ulama terdahulu dan para ahli fatwa. Maka riwayat-riwayat penulis Jami’ul Barakat, Siraj Al Munir, dan Mathalib Al Mu’minin misalnya, tidaklah mampu menyamainya karena kelonggaran penulisnya dalam meneliti riwayat-riwayat telah terbukti. Dan telah diketahui oleh Jumhur Ulama bahwa mereka mengumpulkan segala yang basah dan kering (yang jelas dan yang samar).
Dan yang lebih mengherankan lagi ialah penulis Khazanah Ar Riwayah tatkala ia berkata : (Nabi) ‘Alaihis Salam berkata : “Jabat tanganlah kalian setelah shalat Shubuh niscaya Allah akan menetapkan bagi kalian sepuluh (kebaikan).” Dan berkata Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Berjabat tanganlah kalian setelah shalat Ashar niscaya kalian akan dibalas dengan rahmah dan pengampunan.” Sementara dia tidak memahami bahwa kedua hadits ini dan yang semisalnya adalah palsu yang dibuat-buat oleh orang-orang yang berjabat tangan itu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. ] (As Sa’aayah fi Al Kasyfi Amma fi Syarh Al Wiqayah halaman 265)
Akhirnya sebagai penutup harus diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim kecuali dengan sebab syar’i. Yang kami saksikan berupa gangguan terhadap kaum Muslimin ketika mereka melaksanakan dzikir-dzikir sunnah setelah shalat wajib kemudian dengan tiba-tiba mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan ke kanan dan ke kiri dan seterusnya yang memaksa mereka tidak tenang dan terganggu, bukan hanya karena jabat tangan, akan tetapi karena memutuskan tasbih dan mengganggu mereka dari dzikir kepada Allah karena jabat tangan ini, padahal tidak ada sebab-sebab perjumpaan dan semisalnya.
Jika permasalahannya demikian, maka bukanlah termasuk dari hikmah jika Anda menarik tangan Anda dari tangan orang di samping Anda dan menolak tangan yang terulur pada Anda. Karena sesungguhnya ini adalah sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia. Betapa banyak orang yang terpikat dengan nasihat dan dia orang yang pantas dinasihati. Hanya saja ketidaktahuan telah menjerumuskannya kepada perbuatan menyelisihi sunnah.
Maka wajib atas ulama dan penuntut ilmu menjelaskannya dengan baik. Bisa jadi seseorang atau penuntut ilmu bermaksud mengingkari kemungkaran tetapi tidak tepat memilih metode yang selamat. Maka dia terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar daripada yang diingkari sebelumnya. Maka lemah lembutlah wahai da’i-da’i Islam. Buatlah manusia mencintai kalian dengan akhlak yang baik niscaya kalian akan menguasai hati mereka dan kalian mendapati telinga yang mendengar dan hati yang penuh perhatian dari mereka. Karena tabiat manusia adalah lari dari kekasaran dan kekerasan.
(Tamam Al Kalam
fi Bid’ah Al Mushafahah Ba’da As Salam halaman
23)
Dikutip dari Kitab Al Qaulul Mubin fi
Akhtha’il Mushallin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman oleh Ma’mar Al
Marasi.