Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak
Kategori Ath-Thiflu = Anak Muslim
Kamis, 22 September 2005
08:08:04 WIB
HUKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN ANAK
Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun
anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang
kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan
keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah,
atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu
termasuk bid’ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid’ah dan
penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda:
“Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid’ah adalah
sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka”.
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua
sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari
raya (‘Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan
RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai ‘Ied (hari raya) dalam Islam,
padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati dua
hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan
menganggapnya sebagai hari ‘Ied, maka beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih
baik dari keduanya, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha”
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan
merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka”
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau
dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang
adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang
paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang
secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan
umurmu” kecuali dengan keterangan ‘ Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan”
atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang
bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk –semoga
Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta
menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan
menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang
tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya
rencana amat teguh” [Al-A’raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian
tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami
memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan
bagi mereka adzab yang menghinakan” [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar
Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit
Griya Ilmu]
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1584&bagian=0