Diambil dari mailing list salafiyyin@yahoogroups.com
Message: 20
Date: Wed, 23 Mar 2005 09:51:29 +0700
From: ummu haidar <ummu_haidar@linuxmail.org>
Subject: Muhasabah..
Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah
beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari keinginan
dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat hingga jelas baginya
bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang
berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya)
karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia
mengurungkannya.”
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa
tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukannya,
maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam
kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya maka tidak dilakukan,
tapi kalau mampu maka ia berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih
baik daripada meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau yang
pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah pendorongnya
adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pahalanya atau
sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang kedua maka ia tidak
melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar supaya jiwa
tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain
Allah Subhanahu wa Ta'ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah
Subhanahu wa Ta'ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka
ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang-orang
yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau
tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang membantu, hendaknya ia menahan dari
amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menahan diri
untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yang membantunya
dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah,
niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang
yang melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka dengan
terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya sebelum
beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu
dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti melakukannya lebih
baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap yang demikian itu ia lakukan
karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak pula setiap yang dilakukan karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala, ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia bermuhasabah pada
dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan apa yang akan ditinggalkan.
Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:
Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah padanya,
di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta'ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam
beramal, niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, berbuat baik padanya, mengakui nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala padanya,
menyaksikan adanya kekurangan pada dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka
ia memuhasabah dirinya, apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia
melakukannya ketika melakukan ketaatan itu?
Kedua: muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada
dikerjakan.
Ketiga: muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa. Mengapa ia
melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri akhirat, sehingga ia
beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan balasannya yang cepat sehingga
ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut serta
memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan dirinya kepada
kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan dua matanya
untuk melihat akibat amalannya, membiarkan berlalu keadaannya dan hanya
bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak bermuhasabah dan tidak melihat akibat
amalnya. Kalau ia lakukan itu maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang
dengannya, dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari
tentu akan tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada
menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan
wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka segera menutupinya,
mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada
amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia (telah) melakukan sebuah
perbuatan terlarang, segera ia susul dengan taubat, istighfar, dan melakukan
amalan yang menghapusnya. Lalu memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau
ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan
dzikrullah dan menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur
katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada apa yang
dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang didengar oleh kedua
telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini? Demi siapa engkau melakukannya?
Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk setiap
gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan bagaimana kamu
melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua
adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ.
فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul
kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami).
Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka
perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak
jauh (dari mereka).” (Al-A’raf: 6-7)
لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
أَلِيمًا
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan
Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka bagaimana dengan
orang-orang yang berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya
orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi? Dengan apa
kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya dan tentang
ibadahnya.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti
Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian mendapatkannya di
dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai
kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yang kalian perbuat padanya?”
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya kepada
setiap hamba tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan berupa
nikmat-Nya dan hak-Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan pada
haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan dibelanjakan bukan
pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya sampai pada
pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya dalam hisab/
perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat
amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih yang
menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat
sehingga menjadikannya seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan muhasabah
jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan karya Penulis : Al-Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullah, hal. 90-93 dengan sedikit ringkasan oleh Qomar
Suaidi, Lc)