Allah Ta’ala berfirman :
”Dan janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang
telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik).
Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat :
12)
Al Hafidh Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dalam ayat ini ada larangan
berbuat ghibah. Dan Penetap Syariat telah menafsirkan ghibah
tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Daud[1] nomor 4874.”
Lalu Ibnu Katsir
membawakan sanadnya sampai kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia
berkata : “Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam apa yang dimaksud dengan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam menjawab :
[ “Engkau
menyebut tentang saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.” Lalu
ditanyakan lagi : “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, jika memang
perkara yang kukatakan itu ada pada saudaraku?” Beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Jika memang perkara yang kau katakan
itu ada padanya maka sungguh engkau telah meng-ghibahnya dan jika
perkara yang yang kau katakan itu tidak ada padanya maka sungguh
engkau telah berdusta.” (Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4 halaman 272.
Darul Faiha dan Darus Salam) ]
Ghibah
atau yang diistilahkan ngerumpi oleh kalangan awam merupakan
santapan lezat bagi para wanita secara khusus, walaupun pria juga
ada yang melakukannya. Namun wanita yang mendominasi dalam hal ini.
Di mana ada wanita berkumpul maka jarang sekali majelis itu selamat
dari membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya, temannya,
iparnya, atau bahkan suami dan orang tuanya sendiri tidak luput dari
pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir
merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan
Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.
Yang menyedihkan, perbuatan ghibah ini tidak hanya
menimpa orang yang buta atau tidak peduli dengan agamanya, bahkan
juga menimpa Muslimah yang telah mengerti tentang hukum-hukum agama
ini. Di tempat pengajian mereka mendapat wejangan untuk berhati-hati
dari membicarakan aib saudaranya sesama Muslim, mereka diberi
peringatan dan ancaman untuk menjaga lisan. Namun ketika keluar dari
tempat pengajian mereka tenggelam dalam perbuatan ini dengan sadar
ataupun tanpa sadar. Dan memang setan begitu bersemangat untuk
menyesatkan anak Adam, Wallahul Musta’an.
Ghibah ini haram hukumnya dan sangat dicerca. Ibnu Katsir
rahimahullah berkata : [ Karena itulah Allah Tabaraka Wa Ta’ala
menyerupakan perbuatan ghibah ini dengan memakan daging manusia yang
telah mati, sebagaimana Dia berfirman : “Sukakah salah seorang dari
kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya
kalian tidak menyukainya (merasa jijik).”
Yakni sebagaimana kalian tidak suka/jijik untuk memakan
bangkai manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian juga tidak suka
untuk melakukan ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan
ghibah ini lebih berat. Allah menyebutkan permisalan seperti ini
untuk menjauhkan manusia dari berbuat ghibah dan tahzir (peringatan)
terhadap perbuatan ini. ]
Demikian
Ibnu Katsir menerangkan. (Tafsir Ibnu Katsir
4/273)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam dalam khuthbah beliau di Mina ketika haji Wada’
mengingatkan akan tingginya kehormatan kaum Muslimin sehingga tidak
layak untuk direndahkan dengan perbuatan ghibah. Beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya darah kalian, harta
kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti
keharaman/kehormatan hari kalian ini (yakni hari Nahar tanggal 10
Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni bulan Dzulhijjah
sebagai salah satu bulan haram, -pent.).” (HR. Bukhari nomor 1739
dan Muslim nomor 1679 dari shahabat Abi Bakrah radhiallahu
'anhu)
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam juga bersabda : “Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia
merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim
yang lain haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” (HR. Muslim
dalam Shahih-nya nomor 2564 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu
'anhu)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
menceritakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
naik ke mimbar, lalu beliau berseru dengan suara yang lantang :
“Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun iman
itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya, janganlah kalian
menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan
mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya
siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim niscaya Allah
akan mencari-cari auratnya dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh
Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah
rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil
Al Wadi’i dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish
Shahihain 1/493. Darul Haramain)
Ibnu
Umar radhiallahu 'anhuma suatu hari memandang ke Ka’bah lalu ia
berkata : “Alangkah agungnya engkau dan alangkah besarnya
kehormatanmu, namun orang Mukmin memiliki kehormatan yang lebih
besar di sisi Allah dibanding dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir
4/274)
Ketika ‘Aisyah radhiallahu
'anha --istri yang paling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
cintai-- menjelekkan madunya, maka beliau bersegera mengingkari
perbuatan ‘Aisyah. Cinta beliau yang besar kepada sang istri tidak
menghalangi beliau untuk menasehati dan menyalahkan perbuatannya
yang menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan rasa cemburunya :
“Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah, dia begini dan begitu.”
Berkata salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan
adalah Shafiyah itu pendek.”
Maka
mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
: “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya kata
tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat mencemarinya.”
(HR. Abu Daid dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud nomor 4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034.
Al Misykat nomor 4853, 4857. Ghayatul Maram nomor
427)
Perkataan ghibah ini memang
ringan diucapkan lisan namun berat dalam timbangan kejelekan. Kenapa
tidak? Sementara ada siksa yang secara khusus diancamkan bagi pelaku
ghibah, seperti yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam : “Tatkala aku di-Mi’raj-kan (dibawa ke langit oleh
Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, pent.), aku melewati
suatu kaum (di neraka, pent.) yang mereka memiliki kuku-kuku dari
tembaga. Dengan kuku-kuku tersebut mereka mencakari wajah dan dada
mereka. Maka aku bertanya kepada Jibril : “Siapa mereka itu, wahai
Jibril?” Jibril menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang (ketika
di dunia, pent.) memakan daging manusia (berbuat ghibah, pent.) dan
melanggar kehormatan manusia.” (HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh
Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4082. As Shahihah nomor
533).
Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin
berkata : [ Dan di antara cabang ayat ini (surat Al
Hujurat ayat 12) adalah :
1) Ghibah
adalah penyebab aib seseorang ketika ia tidak hadir. Allah
menyamakan orang yang tidak hadir dengan mayat karena ia tidak mampu
untuk membela dirinya dan menolak pembicaraan tentang aibnya.
Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya dimakan
sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib
(tidak berada di tempat) tentang orang yang
mengghibahnya.
2) Dalam ayat ini ada
dalil tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah
:
Firman Allah Ta’ala : (Fa
karihtumuuhu), di dalamnya ada dua sisi/makna :
Yang pertama : Kalian tidak suka/jijik untuk memakan
bangkai. Maka hendaklah kalian tidak suka perbuatan
ghibah.
Yang kedua : Kalian tidak
suka manusia mengghibah kalian. Maka hendaklah kalian tidak suka
untuk mengghibah manusia.
3)
Sebagaimana tidak pantas bagi seorang hamba untuk menyebut seseorang
yang telah meninggal kecuali kebaikannya, maka demikian pula
sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari kalangan Muslimin
kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di
hadapannya.
(Lihat Bahjatun Nadhirin
Syarah Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar Ibnul
Jauzi)
Al Imam An Nawawi rahimahullah
berkata dalam Al Adzkar : “Adapun ghibah adalah engkau menyebut
seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah (ghibah
itu menyangkut) tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya,
akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya,
budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya,
senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang
menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut
tentang orang tersebut dengan lafadhmu (ucapan bibirmu) atau
tulisanmu, atau melalui tanda dan isyarat matamu, atau dengan
tanganmu, atau kepalamu atau yang semisalnya.
Adapun ghibah yang menyangkut badan seseorang misalnya
engkau mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang, picak, gundul,
pendek, tinggi, hitam, kuning, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan agama, misalnya engkau
berkata : Si Fulan itu fasik, atau pencuri, pengkhianat, dhalim,
meremehkan shalat, bermudah-mudah dalam perkara najis, tidak berbuat
baik pada orang tuanya, tidak memberikan zakat pada tempatnya, tidak
menjauhi ghibah, dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut urusan dunia seseorang, misalnya
engkau berkata : Si Fulan kurang adabnya, meremehkan manusia, tidak
memandang ada orang yang punya hak terhadapnya, banyak bicara,
banyak makan dan tidur, tidur bukan pada waktunya, duduk tidak pada
tempatnya, dan lain-lain.
Ghibah yang
bersangkutan dengan orang tuanya, misalnya engkau mengatakan : Si
Fulan itu ayahnya fasik. Atau mengatakan dengan nada merendahkan :
Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya penjual kain, anaknya tukang
kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong, dan
lain-lain.
Ghibah yang menyangkut
akhlak, misalnya engkau berkata : Si Fulan jelek akhlaknya, sombong,
ingin dilihat bila beramal (riya), sifatnya tergesa-gesa, lemah
hatinya, dan lain-lain.
Ghibah yang
berkaitan dengan pakaian seseorang, misalnya engkau berkata : Si
Fulan lebar kerah bajunya, bajunya kepanjangan, dan
lain-lain.
Yang jelas, batasan ghibah
adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai,
apakah dengan ucapan bibirmu atau yang lainnya. Dan setiap perkara
yang dapat dipahami oleh orang lain bahwa itu menyangkut kekurangan
seorang Muslim maka hal tersebut merupakan ghibah yang
diharamkan.
Dan termasuk ghibah
adalah meniru-nirukan tingkah laku seseorang untuk menunjukkan
kekurangan yang ada padanya, misalnya menirukan cara berjalannya
dengan membungkuk dan sebagainya.
Termasuk pula dalam ghibah ini apabila seorang penulis
kitab menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya, dengan
mengatakan : “Telah berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia
inginkan dengan tulisannya tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan
menjelekkannya.
Namun apabila tujuan
penulisan tersebut untuk menjelaskan kesalahan si Fulan agar orang
lain tidak mengikutinya, atau untuk menjelaskan kelemahannya dalam
bidang ilmu agar manusia tidak tertipu dengannya dan tidak menerima
pendapatnya, maka hal ini bukanlah termasuk ghibah. Bahkan ini
merupakan nasihat yang wajib dan diberi pahala bagi
pelakunya.
Demikian pula bila seorang
penulis atau yang lainnya berkata : “Telah berkata satu kaum atau
satu kelompok begini dan begitu, dan perkataan ini salah dan
menyimpang … .” Maka ini bukan termasuk ghibah karena tidak langsung
menyebut individu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah bila dikatakan kepada seseorang :
“Bagaimana keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya menjawab :
“Alhamdulillah, keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah
menjauhkan kita dari kejelekan dan kurangnya rasa malu … .” Atau
ucapan-ucapan lain yang dipahami maksud dibaliknya untuk menjelekkan
orang lain, walaupun si pengucap berlagak memanjatkan doa.
]
(Demikian kami ringkaskan dari
nukilan Asy Syaikh Salim Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin
3/25-27)
Yang Dikecualikan Dari
Ghibah Al Imam Nawawi rahimahullah dalam
kitabnya Riyadlus Shalihin menyebutkan beberapa perkara yang
dikecualikan dari ghibah :
Pertama :
Mengadukan kedhaliman seseorang kepada penguasa atau hakim atau
orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kedhaliman
tersebut.
Kedua : Meminta tolong
kepada orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran dan
mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.
Ketiga : Mengadukan seseorang dalam rangka meminta fatwa
kepada mufti, seperti perbuatan Hindun ketika mengadukan suaminya
Abu Sufyan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ia
berkata : “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia
tidak memberi nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku
mengambilnya tanpa sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?”
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Ambillah
sekedar dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR.
Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu
'anha)
Keempat : Dalam rangka
memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka.
Hal ini dari beberapa sisi, di antaranya :
a) Men-jarh (menyebutkan kejelekan) para perawi hadits,
misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta,
dlaif.
b) Ketika diminta pendapat
(diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya.
Maka wajib bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan
kejelekan yang diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana
hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
ketika dimintai pendapat oleh Fathimah bintu Qais radhiallahu 'anha
dalam menentukan pilihan antara menerima pinangan Muawiyyah atau Abu
Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam menasehatkan : “Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang
fakir, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah
meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul wanita,
pent.).” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1480)
c) Ketika melihat ada seseorang yang sering bertamu ke
rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan dikhawatirkan orang itu akan
terpengaruh/kena getahnya, maka wajib menasehatinya dengan
menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik
itu.
Kelima : Menyebutkan kejelekan
orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah seperti minum
khamar, merampas harta orang lain, dan
lain-lain.
Keenam : Menyebut
seseorang dengan gelaran/perkara yang dia terkenal/masyhur
dengannya, misalnya : Si buta, si pendek, si hitam, dan
lain-lain.
(Dinukil dengan ringkas
dari Riyadlus Shalihin halaman 450-451. Cetakan Maktabatul
Ma’arif)
Apakah Ghibah Termasuk Dosa
Besar?
Al Imam Ash Shan’ani
rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam berkata : “Ulama
berselisih apakah ghibah ini termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al
Imam Al Qurthubi menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa
ghibah termasuk dosa besar.”[2] (Lihat Subulus Salam 4/292. Cetakan
Maktabah Al Irsyad. Shan’a). Dan pendapat bahwasanya ghibah adalah
dosa besar inilah yang didukung oleh dalil sebagaimana diterangkan
Al Imam Ash Shan’ani.
Termasuk dalil
yang menunjukkan besarnya dosa ghibah adalah hadits yang
diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya dari Said bin Zaid, ia berkata
bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
:
“Sesungguhnya termasuk perbuatan
riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim
tanpa haq.” (Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan 1871 dan
dishahihkan pula oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash
Shahihul Musnad)
Haramnya
Mendengarkan Ghibah
Al Imam An Nawawi
dalam Al Adzkar : “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu diharamkan bagi
pelakunya, diharamkan pula bagi pendengar untuk mendengarkannya.
Maka wajib bagi orang yang mendengar seseorang ingin berbuat ghibah
untuk melarangnya apabila ia tidak mengkhawatirkan terjadinya
mudlarat.
Apabila ia khawatir terjadi
mudlarat maka hendaknya ia mengingkarinya dengan hatinya dan
meninggalkan majelis itu bila memungkinkan.
Apabila ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau
memotong pembicaraan ghibah dengan membelokkan pada pembicaraan
lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Bila tidak ia lakukan
maka sungguh ia telah bermaksiat.
Apabila ia berkata dengan lisannya : ‘Diam’ (berhentilah
dari ghibah) sementara hatinya menginginkan ghibah itu diteruskan,
maka yang demikian itu adalah nifak dan pelakunya berdosa.
Seharusnya ketika lisan melarang, hati pun turut
mengingkari.
Dan kapan seseorang
terpaksa berada di majelis yang diucapkan ghibah padanya sementara
ia tidak mampu untuk mengingkarinya atau ia mengingkari namun
ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan untuk meninggalkan majelis
tersebut, maka haram baginya untuk bersengaja mencurahkan
pendengaran dan perhatian pada ghibah yang diucapkan. Namun
hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya, atau
dengan hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia
tersibukkan dari mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila
ia menemukan jalan untuk keluar dari majelis itu sementara mereka
yang hadir terus tenggelam dalam ghibah, maka wajib baginya untuk
meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari Bahjatun Nadhirin
3/29-30)
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan apabila mereka (Mukminin) mendengar ucapan laghwi, mereka
berpaling darinya. (Al Qashshash : 55)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Isra’ :
36)
Cara Bertaubat Dari
Ghibah
Ada dua pendapat ulama dalam
masalah ini dan keduanya merupakan riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu
:
1) Apakah cukup bertaubat dari
ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang
dighibah?
2) Ataukah harus
memberitahukannya dan meminta kehalalannya?
Yang benar adalah tidak perlu memberitahukan ghibah itu
kepada yang dighibahi, tapi cukup memintakan ampun untuknya dan
menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah saudaranya
tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah
rahimahullah dan selainnya. (Nashihati lin Nisa’ halaman 31. Cetakan
Darul Haramain)
Demikian kami tutup
pembahasan ghibah ini dengan mengajak kepada diri kami dan pembaca
untuk selalu bertakwa kepada Allah dengan menjauhi perbuatan ghibah
dan menyibukkan diri dengan aib/kekurangan yang ada pada diri
sendiri. Dan barangsiapa sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak
mengorek aib orang lain bahkan ia menjunjung kehormatan orang lain,
maka sungguh ia telah mengenakan salah satu dari perhiasan akhlak
yang mulia. Wallahu A’lam Bis Shawwab.
Daftar Pustaka
1. Bahjatun
Nadhirin. Asy Syaikh Salim Al Hilali
2. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar
3. Nashihati lin Nisa’. Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah bintu
Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i
4.
Riyadlus Shalihin. Al Imam An Nawawi
5. Subulus Salam. Al Imam Ash
Shan’ani
------------------------------------------------------ [1] Ta’rif tentang ghibah ini disebutkan oleh Imam Muslim
dalam hadits yang ia keluarkan pada kitab Shahih-nya (nomor 2589)
dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tahukah kalian apakah
ghibah itu?” Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang
lebih tahu.” Lalu beliau menyebutkan sebagaimana tertera dalam
riwayat Abu Daud yang dibawakan oleh Ibnu Katsir di
atas.
[2] Namun ijma’ yang disebutkan
ini tidaklah benar karena Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah
menyebutkan bahwa penulis kitab Ar Raudlah dan Al Imam Ar Rafi’i
berpendapat bahwa ghibah termasuk dosa kecil. (Fathul Bari 10/480.
Al Maktabah As Salafiyyah)
Dinukil
dari [Majalah Salafy - Muslimah Edisi 39/1422 H/2001] Penulis Ummu
Ishaq Al Atsariyyah, Judul asli Menjaga Kehormatan Muslimin Dengan
Menjauhi Ghibah.
|