Senin, 15 September 2003 - 01:08:15, Penulis
: Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy
Kategori : Aqidah
Tawakkal kepada
ALLAH Ta'ala dan Keutamaannya (II)
[Print View] [kirim
ke Teman]
PERILAKU ORANG-ORANG YANG BERTAWAKAL
Sebagian manusia ada yang beranggapan
bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu
mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh
atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini
merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.
Syariat memuji orang-orang yang bertawakal.
Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai
tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat
seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti
menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti
menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah datang
seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran
berikut ini:
Gambaran pertama:
Mendatangkan manfaat. Adapun sebab-sebab
yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:
Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab
yang memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu
kaitan yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di
hadapanmu, sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau
mengulurkan tangan ke makan itu seraya berkata, "Aku orang yang bertawakal.
Syarat tawakal adalah meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan
adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya". Tentu saja ini merupakan
ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau
menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun,
atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia
menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti
engkau adalah orang yang tidak tahu Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar
Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat
melahirkan tanpa berjima', maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal
dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan
ilmu dan melihat keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui
bahwa Allahlah yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk
bergerak, dan Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan,
hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan
dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak
bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu.
Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.
Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi
biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi.
Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir
melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa
membawa bekal yang memadai. Orang seperti ini sama dengan orang yang hendak
mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk membawa bekal.
Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bepergian, maka beliau membawa
bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala hijrah ke Madinah.
Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan
menyeret kepada penyebab, tanpa disertai keyakinan yang riel, seperti orang yang
membuat pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi
tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini tidak
mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang
ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun
meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini
merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan
dengan sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu berkata, "Orang yang bertawakal
ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah."
Gambaran kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang. Siapa yang
mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan
yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak
mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang
yang harus diberi nafkah.
Di dalam Ash-Shahihain
disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu menyimpan hasil
penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.
Jika ada yang bertanya, "Bagaimana dengan
tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk
menyimpan harta?".
Jawabnya: Orang-orang fakir
dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tak
ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak akan lapar?
Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang semacam
dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan) memang tidak
selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju
pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah
menyimpan harta yang halal.
Gambaran ketiga:
Mencari sebab langsung untuk
menyingkirkan mudharat. Bukan termasuk syarat tawakal jika meninggalkan
sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di
sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh.
Semua ini dilarang.
Tawakal juga tidak berkurang
karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan
mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,
"Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan
menyandang senjata". (An-Nisa':102)
Ada seorang
laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai
Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku
melepasnya dan bertawakal?" Beliau menjawab, "Ikatlah dan bertawakallah".
(Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Bertawakal dalam hal-hal
ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada sebab serta ridha
terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri orang,
padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun
mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.
Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika
ada makanan yang datang, maka dia gembira dan berkata, "Kalau bukan karena
takdir itu tahu bahwa makanan adalah bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan
datang." Kalau pun makanan itu pun tidak ada, maka dia tetap gembira dan
berkata, "Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku
tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku."
Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan
orang sakit terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar.
Jika barang-barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha' dan menghalalkan
barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap
orang lain, yang boleh jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu
kepada seorang ulama, karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya
dirampas. Maka ulama itu berkata, "Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu
yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan
orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada
orang-orang Muslim?"
Gambaran keempat:
Usaha menyingkirkan mudharat, seperti
mengobati penyakit yang berjangkit dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa
menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi tiga macam:
Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang
menghilangkan lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.
Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam,
minum urus-urus dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk
berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara
mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, tatkala dia ditanya,
"Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?" Dia menjawab, "Tabib
sudah melihatku.", "Apa katanya?", tanya orang itu. Abu Bakar menjawab,
"Katanya, 'Aku dapat berbuat apa pun yang kukehendaki'." Al-Mushannif
Rahimahullah berkata, "Yang perlu kami tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik.
Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan
tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau
mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari
tanda-tanda tertentu." Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah
dihamparkan Allah di bumi ini.
Sebabnya hanya
sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang
keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensifati
orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan
api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam
sabda beliau, "Tidak menyundut dengan api", ialah cara yang biasa dilakukan
semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca
lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali
setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As'ad
bin Zararah Radhiyallahu Anhu. Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang
mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang salaf sangat membenci rintihan orang yang
sakit, karena rintihan itu menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, "Aku suka
sakit jika tidak ada yang menjengukku." Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam
Ahmad, "Bagaiman keadaanmu?" Al-Iman Ahmad berjawab, "Baik-baik." "Apakah
semalam engkau demam?" tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, "Jika sudah
kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku
kepada sesuatu yang kubenci." Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan
kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga
melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, "Aku hanya sekedar mensifati
kekuasaan Allah pada diriku." Jadi dia menyebutkan penyakitnya seperti
menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu bukan
merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda, "Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit
demam". (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
(Dinukil dari "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad
bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin
Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk".