Tauhid Dan
Tawakal
Ibnu Qudamah
Halaman
satu dari empat
tulisan
KEUTAMAAN
TAWAKAL
Allah berfirman,
"Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-oang Mukmin bertawakal". (Ali Imran: 122)
"Dan, barangsiapa
yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 33)
Di dalam
hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menyebutkan bahwa di antara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga
tanpa hisab. Kemudian
beliau bersabda,
"Yaitu mereka yang tidak membual, tidak
mencuri, tidak membuat ramalan yang buruk-buruk dan kepada Rabb mereka
bertawakal".
(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)
Dari Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
"Andaikan kalian bertawakal kepada Allah
dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan menganugerahkan rezki kepada
kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi
hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan
kenyang." *)
Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ialah:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan
baik sangka kepada-Mu". (Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu'aim)
Tawakal harus
didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada
beberapa tingkatan. Diantaranya:
Hati
harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata la
ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa
lahul-hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir. Jika dia
membenarkan lafazh ini, namun tidak mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan
keyakinan orang awam.
Hamba melihat berbagai macam benda yang
berbeda-beda, lalu melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan
orang-orang yang taqarab.
Hamba melihat dari mata hatinya bahwa
tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain
Allah. Kepada-Nya dia takut dan kepada-Nya pula dia berharap serta
bertawakal. Karena pada hakekatnya Allahlah
satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya
semua tunduk kepada-Nya. Dia tidak mengandalkan hujan
agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan turun,
tidak mengandalkan kepada angin untuk menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat
segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan
sendirinya. Angin itu harus ada yang mengerakkannya.
Seseorang yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan orang yang
ditangkap untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada raja,
ternyata raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya.
Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat
kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen
tidak mempunyai kekuasaan hukum, tentu dia
Footnote:
*) Hadits tersebut di takhrij oleh
Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55), Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih:
"Telah bercerita kepadaku Bakar bin 'Amer, bahwa dia mendengar Abdullah bin
Hubairah, yang mengatakan bahwa Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani
memberitahukan bahwa ia mendengar Umar bin Al-Khatab ra yang mengatakan:
"Sesungguhnya dia telah mendengar Nabi saw bersabda: (lalu menyebutkan hadits di
atas). Selanjutnya Imam At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini ber-sanad shahih dan
hasan." Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : "Hadits
tersebut shahih dipandang dari segi sanad-nya." Pernyataan
senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi. Al-Albani berkomentar:
Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh
Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini
adalah perawi Iman Muslim. Hadits di atas juga memiliki
hadits mutabi' riwayat Ibnu Luhai'ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad (1/52) dan Ibnu Majah
(hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat hadits tersebut dari
riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih. (Syaikh Muhammad
Nashiruddin A-Albani, "Silsilah Hadits Shahih" jilid 2, Pustaka Mantiq, 1996,
Hal: 132-133)
Dikutip dari: Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman
bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi