Senin, 15 September 2003 - 01:12:59, Penulis : Syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy
Kategori : Aqidah
Tawakkal
kepada ALLAH Ta'ala dan Keutamaannya (I)
[Print View] [kirim ke Teman]
Allah berfirman, yang artinya :
"Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin
bertawakal". (Ali Imran: 122)
"Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya". (Ath-Thalaq: 33)
Di dalam hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menyebutkan bahwa di antara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga
tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,
"Yaitu mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan
yang buruk-buruk dan kepada Rabb mereka bertawakal". (Diriwayatkan
Al-Bukhary dan Muslim)
Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Andaikan kalian
bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan
menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki
kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada
sore hari dalam keadaan kenyang." *)
Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu
daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu". (Hadits
mursal, diriwayatkan Abu Nu'aim)
Tawakal harus didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa
tingkatan. Diantaranya:
Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata
la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa
'ala kulli syai'in qadir. Jika dia membenarkan lafazh ini, namun tidak
mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan keyakinan orang awam.
Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal
dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarab.
Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah
dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan
kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakekatnya Allahlah
satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya semua tunduk
kepada-Nya.
Dia tidak mengandalkan hujan agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan
kepada mendung agar hujan turun, tidak mengandalkan kepada angin untuk
menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap
hakekat segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan
mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya. Angin itu harus ada yang
mengerakkannya. Seseorang yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan
orang yang ditangkap untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada
raja, ternyata raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan
kesalahannya. Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu,
bukan melihat kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu.
Tentu saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai
kekuasaan hukum, tentu dia kan berterimakasih kepada orang-orang yang telah
menggunakan pulpen itu, bukan kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam
kekuasaan Khaliq, lebih nyata daripada sekedar pulpen di tangan orang yang
menggunakannya. Allahlah yang menciptakan segala sebab dan berkuasa untuk berbuat
apa pun menurut kehendak-Nya.
BEBERAPA GAMBARAN KEADAAN TAWAKAL
Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan,
"Wakkala Fulan amruhu ila Fulan", artinya Fulan yang pertama
menyerahkan urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam
urusan ini.
Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan.
Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah dia
bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati, kekuatan
dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka bandingkanlah dengan
tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa
berbuat kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan
rahmat-Nya sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di
belakang ilmu-Nya tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat
lain, berarti hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak
menengok kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti
ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah karena lemahnya
keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati yang disebabkan
kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu
karena adanya kebimbangan, sekalipun masih tetap ada keyakinan. Siapa yang
menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia
akan menolak untuk menerimanya.
Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di
tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu,
sekalipun dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan
mati. Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya.
Yang demikian ini karena adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis
kelemahan dan jarang sekali oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang
ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut
berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.
Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan
kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan
engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah
bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan
kelemahan:
Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan
pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk
sebagai wakilnya.
Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan
anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak
akan mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali
kepada ibunya sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama
kali terlintas di dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya
adalah ucapan, "Ibu..!" Siapa yang pasrah kepada Allah, memandang dan
bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya.
Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan tingkatan ini dengan
tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal,
yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang
ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang
pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak
murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain.
Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat
satu-satunya yang mesti ditawakali.
Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di
tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah
melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil
yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang
kepada ujung baju ibunya.
Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang
yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.
Footnote:
*) Hadits tersebut di takhrij oleh Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55),
Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih: "Telah bercerita kepadaku Bakar
bin 'Amer, bahwa dia mendengar Abdullah bin Hubairah, yang mengatakan bahwa
Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani memberitahukan bahwa ia mendengar
Umar bin Al-Khatab ra yang mengatakan: "Sesungguhnya dia telah mendengar
Nabi saw bersabda: (lalu menyebutkan hadits di atas). Selanjutnya Imam
At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini ber-sanad shahih dan hasan."
Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : "Hadits tersebut shahih dipandang
dari segi sanad-nya." Pernyataan senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi.
Al-Albani berkomentar: Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat
Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh
Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini
adalah perawi Iman Muslim. Hadits di atas juga memiliki hadits mutabi' riwayat
Ibnu Luhai'ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad
(1/52) dan Ibnu Majah (hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat
hadits tersebut dari riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih.
(Syaikh Muhammad Nashiruddin A-Albani, "Silsilah Hadits Shahih")
(Dinukil dari "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin
Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan
Orang-orang yang Mendapat Petunjuk".