Halaman
dua dari empat
tulisan
BEBERAPA GAMBARAN KEADAAN
TAWAKAL
Ketahuilah
bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan, "Wakkala Fulan amruhu
ila Fulan", artinya Fulan yang pertama menyerahkan
urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.
Tawakal
merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang
diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah
dia bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati,
kekuatan dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal
ini, maka bandingkanlah dengan tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa
berbuat kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan
rahmat-Nya sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di
belakang ilmu-Nya tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat
lain, berarti hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok
kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan
yang seperti ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah
karena lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati yang
disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan,
sekalipun masih tetap ada keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia
akan menolak untuk menerimanya.
Jika seseorang dipaksa untuk
tidur di samping mayat di liang kuburan atau di tempat
tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun
dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati.
Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda
mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya ketakutan
di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang
sekali oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang
ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut
berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup
rapat-rapat.
Jadi, tawakal
tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan kekuatan
keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan
engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah
bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan
kelemahan:
Keadaan benar-benar yakin terhadap
penyerahannya kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin
terhadap orang yang dia tunjuk sebagai wakilnya.
Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu
keadaannya bersama Allah seperti keadaan anak kecil bersama
ibunya. Anak itu
tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan mau
bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya
sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di
dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan,
"Ibu..!" Siapa yang pasrah kepada Allah, memandang dan
bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan
ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya.
Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama,
tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal, yang tawakalnya murni
dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang ditawakali dan di
hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang pertama adalah
orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni dalam
tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat
satu-satunya yang mesti ditawakali.
Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa
dia di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang-orang yang
memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya
seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak dipisahkan
dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang
kepada ujung baju ibunya.
Keadaan-keadaan seperti ini memang ada
pada diri manusia.
Hanya saja jarang yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan
yang ketiga.
Dikutip dari: Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman
bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi