Diambil dari mailing list assunnah@yahoogroups.com
Message: 10
Date: Fri, 18 Mar 2005 14:18:33 -0800 (PST)
From: Zahroh <dynamars@yahoo.com>
Subject: BERKATA YANG BAIK ATAU DIAM
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuhu,
SYARAH ARBA’IN AN NAWAWI
Judul Asli : Syarhul arba'iina Hadiitsan An Nawawiyah
Penulis : Ibnu Daqiqil 'Ied
Terjemah : Muhammad Thalib (Media Hidayah Yogyakarta)
BERKATA YANG BAIK ATAU DIAM
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan
tamunya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan :
Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya
adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya
itu) menyelamatkannya dari adzab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah,
“maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada
Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan
pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik
seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas
perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan
dimintai tanggung jawabnya”. (QS. Al Isra’ : 36)
dan firman-Nya:
“Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS. Qaff :
18)
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga
bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan
lidahnya”.
Beliau juga bersabda :
“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang
sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan
berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits,
antara lain adalah Hadits “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan
Hadits ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang
ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia
mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik
perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan
yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena
takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah
yang banyak terjadi pada manusia.
Allah berfirman :
“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”. (QS.Qaaf :
18)
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat
oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan
yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti
pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus,
yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang
tersebut mendapat pembalasan.
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan
tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik
kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah
menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku
beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih.
Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka
berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadits ini mengandung hukum, hendaklah
kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh
dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga
anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun
sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan
wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia
segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”.
Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
Selanjutnya ia berkata : Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “maka
hendaklah ia berkata baik atau diam” , menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu
lebih utama daripada diam, dan diam itu lebih utama daripada berkata buruk.
Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya
menggunakan kata-kata “hendaklah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan
“diam”. Berkata baik dalam Hadits ini mencakup menyampaikan ajaran Allah dan
rasul-Nya dan memberikan pengajaran kepada kaum muslim, amar ma’ruf dan nahi
mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, berkata yang baik
kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan
perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan
pemberiannya
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuhu,
--- Zahroh ---