Diambil dari mailing list salafiyyin@yahoogroups.com
Message: 5
Date: Sat, 19 Feb 2005 01:55:18 -0800 (PST)
From: La Adri <tilmidzi@yahoo.com>
Subject: sahabat, maukah engkau...menjadi sahabatku..??
Nasehat dan adab dalam bergaul dan.bersahabat
Yahya bin Mu'adz berkata :
[ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh mengatakan :
"Ingatlah saya dalam doamu ... ."
Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling mengenal jarang ada yang
berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan persahabatan. Ini adalah sesuatu
yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu mengharapkannya. Saya tidak tahu
ada seseorang yang murni bersahabat dengannya saudaranya senasab (keturunan)
juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah keinginan untuk mencari persahabatan
yang murni dan tulus. Jadilah orang yang asing dan bergaullah sebagaimana
bergaulnya Al Ghuraba'. Dan berhati-hatilah kamu (jangan) tertipu oleh orang
yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena sesungguhnya seiring perjalanan
waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang ditunjukkannya.
Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
"Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah maka jika
kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari'at maka bertemanlah dengannya."
Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu membuatnya marah maka ia akan
menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab hilangnya persahabatan yang murni
adalah kecintaan terhadap dunia yang menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih,
perhatian mereka senantiasa hanya tertuju kepada akhirat maka mereka pun
memurnikan niat dalam mencari saudara dan mereka bergaul dengan sesamanya karena
agama bukan karena dunia. Maka jika kamu lihat berkaitan dengan masalah agama
maka ujilah ketika ia marah. ] (Adabus Syari'ah 3/581)
Al Qadii Abu Ya'la berkata :
[Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena pelakunya dapat dikatakan
sebagai orang yang tolol.
Syaikh Abdul Qadir berkata : "Bersiul dan bertepuk tangan adalah dua hal yang
dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar dari posisi duduknya
sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina teman duduk kecuali
karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet karena ini adalah
perbuatan yang rendah. Juga dibenci tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara
tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu berjalan dengan
sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru sehingga menabrak
orang lain dan menyusahkan diri sendiri. Jangan pula berjalan selangkah demi
selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Dan termasuk
pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap dan menyanyikan
lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah Ta'ala dan
menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa amal) yang juga merupakan
perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di tengah-tengah manusia
dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya tertutup." ] (Adabus
Syari'ah 3/375)
Al Fudlail berkata :
"Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman maka
saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri
(dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan mereka tidak menyembunyikan
kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan hak teman duduknya juga
tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka sebab itu (ketika) saya
perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu iri (dengki) dengan
kenikmatan orang lain. Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha Suci sangat cemburu
kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan sesuatu (selain Allah)
maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangi-Nya (jinak
kepada Allah).
Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai kenalan dan jangan
kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap sahabat orang yang
tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zhahir. Jangan
bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat dan itupun sejenak saja
kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah
diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat
mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan
kecuali Dia." (Al I'tisham 1/158)
Ia juga berkata :
"Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka berhati-hatilah
kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya
sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu sedangkan
kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka
merupakan keharusan. Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu
terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan
jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata
dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu
kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai (suka
bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al Bayan)
tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan
berwibawa. Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya
yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik
kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang
yang dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan
sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu
harus." (Al Hujjah 1/304)
Asy Syathibi berkata :
"Asal kerusakan ini --yaitu mencerca Salafus Shalih-- datang dari Khawarij
merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan mengkafirkan shahabat --radliyallahu
anhum ajmaiin-- dan perbuatan yang seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan
dan kebencian." (Al I'tisham 1/158)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
"Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu sebagai panutan lalu
mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan memusuhi di atas
jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula ada
yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan (pedoman) untuk bersikap
loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya dan apa yang telah
disepakati oleh ummat (shahabat). Sebab hal itu tidak lain merupakan perbuatan
ahli bid'ah yang senang mengangkat orang tertentu dan melontarkan suatu
perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat. Mereka menyerahkan
loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka nisbatkan (sandarkan) diri
mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi membela pendapat dan penisbatan
tersebut." (Majmu' Fatawa 20/164)
Umar bin Abdul Aziz berkata :
"Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan tanpa diikuti (diketahui)
oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan kesesatan." (Ad Darimy 1/103
nomor 307)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
"Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya karena
perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang lebih kuat lalu ia
kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat kepada apa yang
dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap yang demikian
akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau mengikuti
siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah jelas baginya
ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan
ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas ketaatan kepada
siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun." (Fatawa Al Kubra 5/96)
Umar bin Al Khaththab berkata :
"Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena
urusan dunia dan tidak pula akhirat." (Adabus Syariah 3/588)
Ibnu Mas'ud berkata :
"Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak beramal untuk dunia
dan tidak pula untuk akhirat." (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 38)
Ibnul Atsir berkata :
"Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid'ah terus berlangsung seiring
perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan kembali kepada yang
haq." (An Nihayah 5/245)
Ibnu Umar berkata :
"Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang menurutku lebih
utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka berselisih ini." (Al
Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)
Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :
"Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam ini yang menurutku
lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap fanatik golongan yang
sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan pemuda dan sebagian para
dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah mengotori pikiran mereka dan
menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih."
Ayyub bin Al Qariyyah berkata :
"Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga yaitu ulama, saudara
(sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang meremehkan ulama berarti ia
merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan penguasa berarti ia merusak
dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan meremehkan siapapun, adapun yang
disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang menjadikan agama itu
sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah wataknya sedangkan logika yang
baik adalah pembawaannya." (Jami' Bayanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 231)
Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :
[ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu penuhi adalah jika kamu
mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk seluruhnya kemudian
duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan tanganmu dan jangan
memandangnya dengan remeh dan jangan berkata : "Si Fulan mengatakan pendapat
yang berbeda dengan pendapat Anda!" Dan jangan menarik pakaiannya, jangan
mendesak dalam bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang
masih basah yang akan selalu jatuh kepadamu. ]
Imam An Nawawi berkata :
"Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan shahabatnya yang
menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah disampaikannya sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam] terdapat pelajaran tentang bolehnya
meninggalkan ahli bid'ah dan kefasikan serta orang-orang yang menolak As Sunnah
padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya
selama-lamanya." (Syarh Shahih Muslim 13/106)
Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : "Si Fulan membencimu!"
Ia menjawab : "Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh darinya bukanlah
sesuatu yang menakutkan." (Adabus Syari'ah 3/575)
Al Ashma'i berkata, Abu Amru bin Al Ala' berkata kepadaku :
"Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang mulia jika kamu
menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya, serta waspadalah
terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga terhadap orang yang
tolol jika kamu bergurau dengannya. Dan berhati-hatilah kamu terhadap orang yang
jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah termasuk adab (akhlak yang baik,
ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau kamu bertanya pada orang yang
tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan orang yang tidak mau diam
memperhatikan (ucapan)mu."
Umar bin Abdul Aziz berkata :
"Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas
dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan
mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya." (Bayan
Fadlli Ilmis Salaf 38)
Ibnu Rajab berkata :
"Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak terfitnah dalam perkara
ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak ucapannya, debatnya ataupun
bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang paling berilmu dibanding orang
yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya benar-benar kebodohan yang murni,
coba perhatikan para pembesar shahabat dan ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar,
Aly, Mu'adz, Ibnu Mas'ud, dan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana
keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan
mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu Abbas. Begitu pula dengan para tabi'in,
ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para shahabat sedangkan para shahabat
lebih alim dibandingkan mereka juga para tabi'ut tabi'in, ucapan mereka lebih
banyak daripada ucapan para tabi'in namun para tabi'in lebih alim (berilmu) dari
mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya periwayatan
apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang
diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat mengenal yang
haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu menerangkan yang haq itu
dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas dan tepat menurut tujuannya."
Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz, Al
Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Ucapan mereka lebih ringkas
dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri sendiri sebagai dai padahal
mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan berbagai ungkapan yang panjang
lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada
mereka.
Ibnu Rajab berkata :
[ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas pembahasan dan
perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak demikian
keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian manusia yang
meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang belakangan menunjukkan
mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang terdahulu. [Seperti ungkapan
mereka : "Perkataan Khalaf (orang-orang yang datang belakangan itu lebih
berhikmah (ahkam), berilmu (a'lam) dan lebih selamat (aslam). Tidakkah mereka
tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang di bawah (tahta) ats tsara??
Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf, pent.] ]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan madzhab Salafus Shalih,
menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut)
kesepakatan para ulama karena sesungguhnya madzhab Salafus Shalih itu tidak lain
hanyalah kebenaran." (Al Fatawa 4/149)
(Sumber : kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu
Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Edisi Indonesia Kilauan Mutiara Hikmah
Dari Nasihat Salaful Ummah, Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar
Ustadz Muhammad Umar As Sewwed)