Halaman
tiga dari empat
tulisan
TINDAKAN ORANG-ORANG YANG
BERTAWAKAL
Sebagian
manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha
dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke
tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan
pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam
syariat.
Syariat memuji
orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai
tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat
seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga apa yang
sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk
mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga
menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit.
Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:
Gambaran
pertama:
Mendatangkan
manfaat. Adapun
sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:
Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab
yang berkaitan dengan penyebab yang memang sudah ditakdirkan Allah dan
berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin ditolak dan
disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkau pun dalam
keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makan itu seraya
berkata, "Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal
adalah meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan
ke makan adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya". Tentu saja
ini merupakan ketololan yang nyata dan sama sekali
bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa kenyang
tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat
bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan
memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu
Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau
menanam, lalu engkau berharap agar Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai
benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa berjima', maka semua itu adalah
harapan yang konyol.
Tawakal dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal,
tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah
yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan
Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud
mengetahui keadaan, hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah,
bukan kepada tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi
lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan
orang lain merebut makananmu. Jadi
mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.
Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi
biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi.
Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi
sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati
manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang
memadai. Orang seperti ini sama dengan orang
yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia
diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk
jalan tatkala hijrah ke Madinah.
Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan
akan menyeret kepada penyebab, tanpa disertai keyakinan
yang riel, seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan teliti
dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar
dari batasan syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal.
Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang ambisius jika
maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun meninggalkan
perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi
ini merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan
dengan sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu berkata,
"Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada
Allah."
Gambaran
kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan
barang. Siapa yang
mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan
yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan
pokok itu tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai
tanggungan orang yang harus diberi nafkah.
Di dalam Ash-Shahihain
disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir,
lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu
tahun.
Jika ada yang
bertanya, "Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?".
Jawabnya: Orang-orang fakir dari
kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tak
ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika
dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan
orang-orang yang semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di
emperan) memang tidak selayaknya untuk menyimpan harta. Jika
mereka tidak terima, maka celaan tertuju pada sikap mereka yang mendustakan
keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah menyimpan harta yang halal.
(Bersambung)
Dikutip dari: Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad bin Abdurrahman
bin Qudamah Al-Maqdisy, "Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi