
6 Prinsip
Ahlus Sunnah wal Jamaah Penulis: Ustadz Agus Suaidi, Gresik Manhaj,
27 - Juli - 2003, 23:09:21
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari
manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal
keyakinan, amalan maupun ucapan.
Ada enam prinsip utama
yang membedakan antara Ahlus Sunnah al Jamaah dan golongan
lain.
Pinsip Ahlusunnah yang pertama: Ikhlas dalam
Beribadah
Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan
atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut
istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan
ibadah dari segala jenis kotoran syirik.
Setelah
diketahui pengertian ikhlas menurut pengertian syar’i, dapat
diambil kesimpulan bahwa orang dikatakan ikhlas dalam
beribadah apabila ia bertauhid dan meninggalkan segala jenis
syirik.
Perlu diketahui, bahwa seseorang itu dikatakan
bertauhid apabila meyakini dengan mantap tiga jenis tauhid dan
meninggalkan dua jenis syirik. Lalu apa saja tiga jenis tauhid
yang harus diyakini?
Tauhid yang pertama: Tauhid
Rububiyyah, maksudnya kita harus yakin bahwa yang mencipta,
yang memberi rezeki dan yang mengatur alam semesta hanya Allah
Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid yang kedua:
Tauhid Uluhiyyah, maksudnya yakin bahwa yang berhak disembah
dan diberikan segala bentuk peribadatan hanyalah Allah Ta’ala
tidak ada sekutu bagi-Nya.
Tauhid yang ketiga: Tauhid
Asma’ wa Sifat, maksudnya kita harus yakin bahwa Allah Ta’ala
memiliki Nama dan Sifat yang Mulia dan tidak sama dengan
makhluk-Nya. Kita harus meyakini seluruh Nama dan Sifat Allah
yang ada di dalam Alquran dan Assunnah apa adanya.
Setelah meyakini ketiga jenis tauhid ini, maka wajib
meninggalkan dua jenis syirik yang menjadi musuh bagi
orang-orang yang bertauhid.
Syirik yang pertama
disebut Syirik Akbar, yaitu syirik yang menyebabkan pelakunya
keluar dari Islam. Syirik jenis ini amat banyak jumlah dan
macamnya, di antaranya adalah: meyakini ada yang mencipta dan
yang mengatur alam ini selain Allah Ta’ala, meminta rejeki
atau jodoh kepada orang yang telah mati atau kepada jin,
menolak sebagian atau seluruh Nama dan Sifat Allah Ta’ala dan
masih banyak bentuk lainnya.
Syirik yang kedua disebut
Syirik Asyghar, yaitu syirik kecil yang tidak menyebabkan
pelakunya dikeluarkan dari Islam. Namun dosanya lebih besar
daripada dosa zina, dosa mencuri atau kemaksiatan lainnya. Di
antara amalan yang termasuk jenis syirik ini adalah riya’
(ingin dilihat oleh orang ketika beribadah), sum’ah (ingin
didengar ibadahnya oleh orang lain), bersumpah dengan nama
selain Allah, memakai jimat dengan keyakinan bahwa kekuatannya
bersumber dari Allah. Untuk yang satu ini bila diyakini bahwa
sumber kekuatan itu dari jimatnya, maka sudah termasuk Syirik
Akbar. Dan masih banyak lagi macamnya.
Siapa saja yang
telah meyakini tiga jenis tauhid dan meninggalkan dua jenis
syirik ini, maka dia telah ikhlas dalam beribadah kepada Allah
Ta’ala. Inilah prinsip utama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
terus diperjuangkan. Anda bisa melihat, mereka terus berdakwah
menegakkan tauhid dan memberantas segala penyakit syirik
walaupun banyak kalangan yang menentangnya, mereka memiliki
dasar Alquran Surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Dan
tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada
Allah dengan cara ikhlas dalam melaksanakan agama-Nya dan
Hanif (meninggalkan segala jenis syirik) ...”
Pinsip
Ahlusunnah yang kedua: Bersatu di atas Alquran dan Assunnah
dengan pemahaman salaful ummah
Banyak aktivis Islam
yang saat ini menyerukan persatuan umat. Ada yang menggunakan
partai sebagai alat pemersatu, ada juga yang menggunakan suku
bangsa bahkan ada juga yang menyatukan umat dengan slogan
“yang penting muslim”, walaupun keyakinan dan prinsip hidupnya
berbeda-beda. Akibatnya terjadi banyak perpecahan di kalangan
mereka karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.
Kalaupun secara dhohir mereka bersatu, banyak prinsip Alquran
dan Assunnah yang dikorbankan dalam rangka menjaga persatuan
antara mereka.
Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki prinsip
persatuan yang mantap dan akan terus diperjuangkan. Apa itu?
Yaitu bersatu di atas Al Quran dan Assunnah dengan pemahaman
salaful ummah.
Mengapa harus bersatu diatas Alquran
dan Assunnah? Karena ini memang perintah dari Allah dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman
dalam surat Ali Imran ayat 103: “Dan berpegang teguhlah dengan
tali Allah seluruhnya dan jangan kalian berpecah belah
...”
Ibnu Mas’ud radliyallahu ’anhu berkata: “Tali
Allah artinya Kitabullah”. (Tafsir Ibnu Jarir dan
lainnya)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Aku tinggalkan sesuatu untuk kalian. Bila kalian
berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat
selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Imam Malik,
Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no:
186)
Bila ada yang berkomentar, “Banyak kelompok yang
mengklaim dirinya di atas Alquran dan Assunnah, namun kenapa
terjadi perbedaan prinsip dan cara pandang yang menyebabkan
mereka terpecah belah?” Untuk menjawab pertanyaan ini cukup
mudah, “Karena mereka memahami Alquran dan Assunnah dengan
kemampuan akal yang disesuaikan dengan keinginan dan
kepentingan kelompoknya”.
Lalu bagaimana seharusnya?
Dalam memahami Alquran dan Assunnah wajib merujuk kepada
pemahaman dan penjelasan dari Salaful Ummah. Siapa sebenarnya
Salaful Ummah itu? Mereka adalah para shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam yang betul-betul paham maksud Al
Quran dan Assunnah karena merekalah yang langsung mendengar
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengapa
harus sesuai dengan pemahaman mereka, bukankah mereka juga
manusia seperti kita? Karena mereka dan orang-orang yang
mengikuti pemahaman mereka telah diridlai oleh Allah Ta’ala.
Di dalam surat At-Taubah ayat 100 disebutkan yang artinya:
“Generasi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Ashor
serta orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka dengan
baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla
kepada-Nya”.
Di samping itu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam juga memerintahkan kita untuk mengikuti
pemahaman para shahabat. “Sesungguhnya barang siapa yang masih
hidup sepeninggalku nanti,ia akan melihat perbedaan prinsip
yang banyak sekali, untuk itu wajib bagi kalian mengikuti
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk,
peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi geraham dan
jauhilah perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru
dalam agama itu bid’ah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih
Sunan Abu Dawud no: 4607). Inilah prinsip persatuan umat yang
harus dijadikan sebagai pegangan.
Barang siapa yang
menggunakan cara lain untuk menyatukan umat maka ia akan
menuai kegagalan atau mungkin berhasil tetapi bersatu diatas
kebatilan. Wallahu A’lam.
Prinsip Ahlusunah yang
ketiga: Larangan Memberontak dan Kewajiban Mentaati
Penguasa Muslim yang Sah dalam hal yang ma’ruf (benar)
Menggulingkan kekuasaan pemerintah pada saat ini
seolah-olah menjadi tujuan kebanyakan orang. Mereka ingin
tokoh idolanya menjadi pemegang tampuk kekuasaan, lebih-lebih
bila sang penguasa memiliki banyak kelemahan walaupun masih
sah dan beragama Islam, mereka berusaha mati-matian untuk
menggulingkan dengan mengatasnamakan rakyat dan keadilan. Ada
juga yang memanfaatkan keadaan untuk merebut pangkat dan
jabatan dengan cara membela sang penguasa habis-habisan bahkan
membenarkan seluruh ucapan dan keputusan walaupun menyimpang
jauh dari syari’at Islam. Lalu bagaimana prinsip Al Quran dan
Assunnah menurut pemahaman salaful ummah dalam menyikapi sang
penguasa ?
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rosul dan Ulil Amri (pemimpin/penguasa
muslim)...”
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam
tafsirnya menjelaskan maksud ayat ini sebagai
berikut:
“Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil
Amri, mereka adalah pemimpin negara, hakim atau mufti (ahli
fatwa). Karena urusan agama dan dunia tidak akan berjalan
dengan baik melainkan dengan cara taat dan tunduk kepada Ulil
Amri sebagai wujud taat kepada perintah Allah dan dalam rangka
mengharap pahala dari-Nya. Akan tetapi dengan syarat penguasa
tidak memerintah kita untuk berbuat maksiat. Bila diperintah
untuk maksiat maka tidak ada ketaatan sedikitpun kepada
makhluk untuk bermaksiat kepada Al-Khaliq. Barangkali inilah
rahasia tidak disebutkannya fi’il amr (kata perintah) ketika
Allah memerintahkan untuk taat kepada Ulil Amri dan sebaliknya
disebutkan fi’il amr ketika memerintah untuk taat kepada
Rasul-Nya. Karena beliau hanya memerintah untuk mentaati
Allah, sehingga barang siapa yang mentaati beliau sama saja
dengan mentaati Allah Ta’ala. Adapun Ulil Amri baru ditaati
bila tidak memerintah untuk bermaksiat.”
Dalam hadits
shahih disebutkan, dari Ubadah bin Shomit, Radiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mengambil janji setia kepada kami, agar kami mendengar
dan taat (kepada penguasa) baik dalam keadaan bersemangat atau
lesu, dalam keadaan sulit atau mapan meskipun kami dizalimi,
dan agar kami tidak menggulingkan kekuasaan lalu beliau
bersabda: “Kecuali kalian melihat ada kekufuran yang nyata
(pada penguasa) dan kalian memiliki dalil dari Allah dalam
masalah tersebut.” (HR. Muslim/1709, Nasa’i dan
lainnya)
Dari keterangan Al Quran dan Assunnah inilah,
Ahlus Sunnah wal Jamaah berprinsip bahwa: Wajib bagi kita
mentaati penguasa muslim yang sah dalam hal yang ma’ruf (bukan
maksiat) dan haram menggulingkan kekuasaannya dengan alasan
apapun kecuali memenuhi dua syarat yang telah dijelaskan oleh
Syaikh Bin Baz rahimahullah setelah membawakan hadits di atas.
Apa dua syarat tersebut?
Syarat pertama: Adanya
kekufuran yang nyata pada diri sang penguasa dan kita
menemukan dalil syar’i dalam masalah kekufuran
tersebut.
Syarat kedua: Adanya kemampuan untuk
menyingkirkan penguasa tersebut dengan cara yang tidak
menimbulkan madlarat yang lebih besar.
Tanpa kedua
syarat ini, maka tidak boleh! (Al-Ma’lum min Wajibil ‘Alaqoh
Bainal Hakim wal Mahkum hal. 19)
Wahai kaum muslimin,
kembalilah kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Wallahul
musta’an.
Prinsip Ahlusunah yang
keempat: Menggapai Kemuliaan dengan Ilmu Syar’i
Kita
semua sepakat bahwa tujuan hidup manusia di dunia ini adalah
untuk beribadah kepada Allah Ta’ala sebagaimana yang telah
ditegaskan di dalam Al Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56. Oleh
sebab itu, merupakan keharusan bagi kita untuk mengerti, apa
yang dimaksud ibadah itu? Apakah ibadah hanya sebatas shalat,
puasa, haji atau yang lainnya? Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya
Al-’Ubudiyyah halaman 38 menjelaskan bahwa ibadah itu mencakup
segala perkara yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala baik
berupa ucapan merupakan perbuatan, baik yang nampak maupun
yang tersembunyi.
Setelah kita mengerti makna ibadah,
kita wajib mengerti macam-macam ibadah secara terperinci agar
kita bisa menunaikan tugas dengan baik dan benar. Dari sini
timbul pertanyaan, dari mana kita bisa mengetahui secara rinci
macam-macam ibadah yang dicintai dan diridlai Allah Ta’ala?
Mampukah akal kita menyimpulkan sendiri perincian tugas ibadah
itu?
Untuk mengetahui secara rinci ibadah yang dicintai
dan diridlai Allah Ta’ala tidak bisa disimpulkan dengan akal
kita, tetapi harus ada petunjuk langsung dari Allah Ta’ala
yang menugaskan kita untuk beribadah kepada-Nya. Petunjuk itu
bernama Al Quran dan Assunnah yang telah dijelaskan secara
rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para
shahabatnya radliyallahu ‘anhu. Singkat kata, wajib bagi kita
mempelajari Al Quran dan Assunnah agar kita bisa menunaikan
tugas ibadah dengan baik dan benar. Perlu diketahui, bahwa Al
Quran dan Assunnah itulah yang disebut Ilmu Syar’i sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma dan
lainnya. Lihat “Al-Ilmu Asy-Syar’i” halaman 8-10 karya
Abdurrahman Abul Hasan Al-’Aizuri.
Oleh sebab itu,
siapa saja yang mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya
berarti ia telah menjalankan tugas ibadah dengan baik dan
benar, barang siapa yang telah menunaikan tugas ibadah dengan
baik, ia layak mendapat kemuliaan dan kehormatan dari Allah
Ta’ala. Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11
disebutkan:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu diantara kalian.”
As-Sa’di
rahimahullah dalam tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam
ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i, dan buah dari ilmu
itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu
tersebut.”
Dalam hadits shahih juga
ditegaskan:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah
mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama
ini.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah
dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits
ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama
dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan
sedikitpun”.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami
hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk
mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan
benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni
Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai
kemuliaan. Wallahul musta’an.
Prinsip Ahlusunnah yang
kelima: Meyakini bahwa Wali Allah Adalah Orang yang Beriman
dan Bertakwa
Bila kita amati sejenak keadaan umat, kita
akan dapati satu masalah yang sangat memasyarakat di tengah
mereka. Adegan-adegan luar biasa yang membuat sebagian orang
merasa kagum, ada yang tidak mempan ditusuk senjata tajam, ada
yang bisa makan beling seperti makan kerupuk, ada yang tidak
penyet digilas mobil, ada yang kepalanya dipenggal lalu bisa
langsung sambung dan yang sejenisnya.
Anehnya para
penonton yang kebanyakan umat Islam banyak yang memberi gelar
kehormatan “WALI ALLAH” kepada para pendekar kebanggaan
mereka. Benarkah orang-orang sakti seperti itu disebut Wali
Allah? Apa sebenarnya pengertian dan ciri-ciri Wali Allah
menurut Al Quran dan As-Sunnah?
Allah Ta’ala telah
berfirman yang artinya :
“Ingatlah, sesungguhnya Wali
Allah itu tidak akan takut dan bersedih hati, mereka adalah
orang-orang yang beriman dan bertaqwa.” (QS. Yunus:
62)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya (2/422)
menjelaskan: “Allah Ta’ala menyatakan bahwa wali-Nya adalah
orang beriman dan bertaqwa, maka siapa saja yang benar-benar
bertaqwa maka ia layak disebut wali Allah Ta’ala”.
Di
dalam Al Quran banyak disebutkan ciri-ciri Wali Allah,
diantaranya adalah :
Ciri pertama: Beriman dan bertaqwa
(QS. Yunus : 62)
Ciri kedua: Mengikuti Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (QS. Ali Imran :
31)
Ciri ketiga: Mencintai dan dicintai Allah Ta’ala
karena mereka sayang kepada kaum muslimin dan tegas dihadapan
orang kafir, mereka berjihad fii sabilillah dan tidak takut
celaan apapun. (QS. Al-Maidah : 54)
Di dalam As-Sunnah
As-Shohihah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab
Ar-Riqoq Bab At-Tawadlu’ (7/190) dari Abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menjelaskan ciri wali Allah, yaitu mereka
rajin mengamalkan amalan-amalan sunnah setelah menunaikan
amalan wajib.
Lalu, apakah hal-hal yang luar biasa yang
terjadi pada diri seseorang itu termasuk ciri utama Wali
Allah?
Perlu diketahui bahwa hal-hal yang luar biasa
yang terjadi pada diri seseorang itu ada beberapa
jenis:
1. Mu’jizat, terjadi pada nabi dan
rasul.
2. Irhash, terjadi pada calon nabi dan
rasul.
3. Karamah, terjadi pada wali Allah selain nabi
dan rasul.
4. Istidroj atau sihir, terjadi pada wali
syaithon.
Dari sini dapat diketahui bahwa Wali Allah
itu kadang-kadang diberi hal-hal yang luar biasa dan ini
disebut karamah, namun perlu diingat bahwa karamah ini bukan
ciri utama Wali Allah dan tidak bisa dipelajari. Adapun
adegan-adegan luar biasa yang saat ini semarak di masyarakat
lebih condong kepada istidroj atau sihir dengan beberapa
alasan :
Alasan pertama, pelakunya tidak memiliki
ciri-ciri Wali Allah Ta’ala.
Alasan kedua, hal-hal yang
luar biasa yang mereka tampilkan bisa dipelajari, terbukti
mereka punya perguruan-perguruan yang mengajarkan seperti
itu.
Singkat kata, Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berkeyakinan bahwa Wali Allah itu adalah orang yang berimana
dan bertaqwa baik mendapat karamah maupun tidak, Wallahu
A’lam.
Prinsip Ahlusunnah keenam : Mensukseskan
Gerakan Tashfiyah (pemurnian) & Tarbiyah (pendidikan)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi dalam
kitabnya Fadhlullah As-Shomad (1/17) menyatakan, ada tiga
penyebab perpecahan dan kelemahan kaum muslimin saat ini.
Pertama: tidak bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni
dengan ajaran yang disusupkan ke dalam Islam. Kedua: kurang
yakin dengan kebenaran Islam. Ketiga: tidak mengamalkan Islam
secara utuh.
Benarlah apa yang pernah disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para
shahabatnya. Dari Abu Najih Al-’Irbadl bin Sariyah
radliyallahu ‘anhu ia bercerita: “Suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kita,
nasehat itu membuat hati bergetar: “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertinya nasehat ini adalah
nasehat perpisahan, untuk itu berilah kami wasiat!” Maka
beliaupun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap
bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan tetap mendengar dan
taat (dalam hal yang baik - pent) walaupun kalian diperintah
oleh penguasa dari budak Habsyi. Sesungguhnya, siapa saja di
antara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, pasti
melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk
tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaurrosyidin yang mendapat petunjuk, peganglah sunnah itu
dan gigitlah dengan gigi geraham (jangan sampai lepas) dan
jauhilah perkara-perkara baru yang disusupkan ke dalam agama
karena sesungguhnya setiap perkara baru yang disusupkan ke
dalam agama itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Abu
Dawud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam Shahihul Jami’ nomor: 2546)
Dalam
hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
jelas menyatakan bahwa penyebab perpecahan umat dan
kelemahannya adalah tidak bisa membedakan antara sunnah beliau
dan bid’ah yang disusupkan ke dalam ajaran agama. Disamping
itu beliau juga memberikan solusinya dengan cara berpegang
teguh dan mengamalkan sunnah beliau, yakni ajaran Islam yang
murni.
Berangkat dari sinilah, Ahlus Sunnah wal Jamaah
berusaha sekuat tenaga untuk mensukseskan gerakan Tashfiyah
dan Tarbiyah. Lalu apa yang dimaksud dengan Tashfiyah dan
Tarbiyah itu?
Tashfiyah adalah gerakan pemurnian ajaran
Islam dengan cara menyingkirkan segala keyakinan, ucapan
maupun amalan yang bukan berasal dari Islam. Sedangkan
Tarbiyah adalah usaha mendidik generasi muslim dengan ajaran
Islam yang murni, yang berdasarkan Al Quran dan Assunnah
dengan pemahaman para Shahabat Radliyallahu ‘anhum
ajma’in.
Dalam rangka mensukseskan gerakan ini, Ahlus
Sunnah wal Jamaah terus menerus memperingatkan umat dari
segala bentuk penyimpangan baik berupa kekufuran, kesyirikan,
kebid’ahan maupun kemaksiatan, di samping itu juga meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik yang ada di
kitab-kitab yang tersebar di kalangan umat maupun
pernyataan-pernyataan sesat dari para penyesat. Dan yang
termasuk program ini adalah memisahkan antara hadits shahih
dengan hadits dha’if, ini semua dinilai sebagai amar ma’ruf
nahi munkar yang menjadi kewajiban kita semua.
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: Menyuruh umat untuk mengikuti
sunnah dan melarang mereka dari kebid’ahan termasuk amar
ma’ruf nahi munkar dan termasuk amal shaleh yang paling
utama”. (Minhajus Sunnah: 5/253)
Semoga dengan gerakan
Tashfiyah dan Tarbiyah ini, kaum muslimin sadar dan mau
kembali ke agama Islam yang murni sehingga pertolongan Allah
turun kepada kita. Wallahul
musta’an.
Rujukan:
1. Syarh Al-Ushul
As-Sittah, Asy-Syaikh Utsaimin.
2. Tanbih Dzamil Uqul
As-Salimah, Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri
3. Sittu Durar
min Ushuli Ahlil Atsar, Asy-Syaikh Abdul Malik
Ramdloni.
4. At-Tashfiyyah Wat-Tarbiyyah, Asy-Syaikh
Ali Hasan
5. Tafsir Al-Karimir Rahman, Asy-Syaikh
As-Sa’di.
6. Qowaid wa Fawaid, Asy-Syaikh Nadlim
Muhammad Sulthon.
7. Karamatu Auliya’illah, Al-Imam
Al-Lalikai.
8. Al-Furqon Baina Auliya ‘ir rahman wa
Auliya’ is syaithan, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=164
|