Pemberontakan Terhadap Penguasa Dan Batasan-Batasan Syar'inya
Kategori Al-Irhab = Terorisme
Kamis, 15 September 2005
06:49:54 WIB
PEMBERONTAKAN TERHADAP PENGUASA DAN BATASAN-BATASAN SYAR'INYA
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Diantara permasalahan yang
sedang ramai dibicarakan ialah masalah hubungan antara rakyat dengan penguasa
serta batasan-batasan syar'i, berkenaan dengan hubungan ini. Syaikh yang mulia,
ada sekelompok orang yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar
yang dilakukan oleh para penguasa merupakan alasan dibolehkannya melakukan
pemberontakan terhadap mereka. Dan merupakan alasan wajibnya mengubah keadaan
meskipun menimbulkan mudharat atas kaum muslimin di negeri itu.
Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh beberapa negeri Islam sangat banyak,
bagaimana pendapat Anda mengenai masalah ini ?
Jawaban.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji hanyalah bagi Allah semata. Shalawat dan
salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
keluarga dan sahabat-sahabat beliau serta orang-orang yang mengikuti petunjuk
beliau. Amma ba'du.
Sesungguhnya Allah telah berfirman dalam kitabNya
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah RasulNya,
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu
adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" [An-Nisa : 59]
Ayat diatas menegaskan wajibnya mentaati waliyul amri, yaitu umara' dan ulama.
Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak dijelaskan bahwa
mentaati waliyul amri dalam perkara ma'ruf merupakan kewajiban.
Nash-nash hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri adalah ketaatan dalam perkara ma'ruf
bukan dalam perkara maksiat. Mereka tidak boleh mentaati penguasa jika mereka
diperintahkan berbuat maksiat. Akan tetapi mereka tidak boleh memberontak
penguasa karenanya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri-diri pemimpinnya,
maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia
membangkang pemimpinnnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama'ah lalu
mati, maka ia mati secara jahiliyah"
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara') dalam saat lapang
maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak
diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh
patuh dan taat".
Sorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika beliau menyebutkan bahwa akan ada penguasa yang didapati padanya perkara
ma'ruf dan kemungkaran :"Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada
kami ?" Beliau menjawab : "Tunaikanlah hak-hak mereka dan mintalah kepada Allah
hak-hak kamu".
Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu menuturkan : "Kami memba'iat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya"
Beliau melanjutkan : "Kecuali kalian lihat pada diri penguasa itu kekufuran yang
nyata dan kamu memiliki hujjah atas kekufurannya dari Allah [Al-Qur'an dan As-Sunnah]"
Hal itu menunjukkan larangan merampas kekuasaan waliyul amri dan larangan
memberontak mereka kecuali terlihat pada diri penguasa itu kekufuran yang nyata
dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Karena pemberontakan terhadap penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih
parah dan kejahatan yang lebih besar. Sehingga stabilitas keamanan akan
terguncang, hak-hak akan tersia-siakan, pelaku kejahatan tidak dapat ditindak,
orang-orang terzhalimi tidak dapat tertolong dan jalur-jalur transportasi akan
kacau. Jelaslah bahwa memberontak penguasa akan menimbulkan kerusakan yang lebih
besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata pada diri
penguasa tersebut dan terdapat hujjah atas kekufurannya dari Allah (Al-Qur'an
dan As-Sunnah), mereka dibolehkan memberontak penguasa tersebut dan
menggantikannya jika mereka mempunyai kemampuan. Akan tetapi, jika mereka tidak
memiki kemampuan, mereka tidak boleh mengadakan pemberontakan. Atau jika
pemberontakan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, mereka tidak boleh
melakukannya demi menjaga kemaslahatan umum. Kaidah syar'i yang disepakati
bersama menyebutkan : Tidak boleh menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang
lebih besar dari sebelumnya, akan tetapi wajib menolak kejahatan dengan cara
yang dapat menghilangkannya atau meminimalkannya. Adapun menolak kejahatan
dengan mendatangkan kejahatan yang lebih parah lagi tentu saja dilarang
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Apabila kelompok yang ingin menurunkan penguasa yang telah melakukan kekufuran
itu memiliki kemampuan dan mampu menggantikannya dengan pemimpin yang shalih dan
baik tanpa menimbulkan kerusakan yang lebih besar terhadap kaum muslimin akibat
kemarahan penguasa itu, maka mereka boleh melakukannya.
Adapun jika pemberontakan tersebut malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar,
keamanan menjadi tidak menentu, rakyat banyak teraniaya, terbunuhnya orang-orang
yang tidak berhak dibunuh dan kerusakan-kerusakan lainnya, sudah barang tentu
pemberontakan terhadap penguasa hukumnya dilarang.
Dalam kondisi demikian rakyat dituntut banyak bersabar, patuh dan taat dalam
perkara ma'ruf serta senantiasa menasihati penguasa dan mendo'akan kebaikan bagi
mereka. Serta sungguh-sungguh menekan tingkat kejahatan dan menyebar nilai-nilai
kebaikan. Itulah sikap yang benar yang wajib ditempuh. Karena cara seperti
itulah yang dapat mendatangkan maslahat bagi segenap kaum muslimin. Dan cara
seperti itu juga dapat menekan tingkat kejahatan dan meningkatkan kuantitas
kebaikan. Dan dengan cara seperti itu jugalah keamanan dapat terpelihara,
keselamatan kaum muslimin dapat terjaga dari kejahatan yang lebih besar lagi.
Kita memohon taufiq dan hidayah kepada Allah bagi segenap kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Muraja'att fi fiqhil waqi' as-siyasi wal fikri 'ala dhauil
kitabi wa sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran
Dalam Perspektif Al-Qur'an & As-Sunnah, hal 24-29 Terbitan Darul Haq, penerjemah
Abu Ihsan Al-Atsari]
Sumber :
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1575&bagian=0