![]()
Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah
atas ahli bid'ah (II) Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar
Ruhaili Manhaj, 29 - Desember - 2003,
10:39:27
Masalah
kedua : Menggunjing ahli bid’ah atau semua bentuk tahdzir
(peringatan), sejajar dengan menghujat.
Dalam
menjelaskan masalah ini ada dua poin : Poin pertama : Sudah
menjadi ketetapan ulama salaf, bahwa menggunjing sejajar
dengan menghujat. Poin kedua : Penggunaan lafadz ghibah
sejajar dengan menghujat, tidak bertentangan dengan dalil
haramnya ghibah.
Adapun point pertama, bahwa para ulama
menggunakan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat ahli bid’ah
sebagai berikut : - Hasan al Bahsri berkata, “Tidak
dianggap ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah”. Belai
menambahkan,”Tiga orang yang menggunjing tidak diharamkan
diantara mereka, karena ahli bid’ah yang berlebihan dalam
kebid’ahannya.” Dalam riwayat lain, “Tidak ada ghibah bagi
ahli bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kesesatan
mereka.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140). - Hani
bin Ayyub bertanya kepada Muharib bin Datsaar tentang hukum
menggunjing Rafidhah ? Beliau menjawab,”Kalau begitu apakah
mereka suatu kaum yang jujur ?” Husain bin Ali salah seorang
perawi atsar ini berkata, ”Beliau membolehkan menggunjing ahli
bid’ah.” (As Sunnah, Al Khallal 5/49). - Ibrahim An Nakhai
berkata,”Tidak ada ghibah (tidak disebut ghibah yang
terlarang, red) bagi ahli bid’ah”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlu
Sunnah, 1/140, Sunan Ad Darimi 1/120). - Sufyan bin
‘Uyainah berkata,”Membicarakan ahli bid’ah bukan termasuk
perbuatan ghibah.” (Mukhtasar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal
538).
Beberapa atsar diatas membolehkan penggunaan
lafadz ghibah sejajar dengan menghujat dan mentahdzir ahli
bid’ah. Oleh karena itu, pernyataan mereka bahwa tidak ada
ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah, sebagai bentuk
penyamaan menggunjing dengan menghujat dan semua itu dalam
rangka mentahdzir ahli bid’ah. Diantara pernyataan Ulama
yang menyamakan antara ghibah dengan menghujat ahli bid’ah dan
menyebutkan aib mereka adalah : Imam Bukhari, ketika
memaparkan sebuah hadits tentang laki-laki yang datang ingin
menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda,
”Izinkanlah, dia adalah seburuk-buruk teman bergaul.” Al
Bukhari membuat bab (Boleh Menggunjing Ahli Maksiat dan
Kesesatan). Sebab pencelaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
kepada orang tersebut bermaksud untuk mentahdzir, sehingga
termasuk ghibah yang diperbolehkan.
Abu Hamid
menjelaskan tentang alasan diperbolehkan ghibah, ”Ketahuilah
bahwa alasan yang membolehkan menyebutkan keburukan orang lain
hanya sebatas untuk mewujudkan tujuan syar’i yang tidak
mungkin tercapai kecuali dengan jalan ghibah, sehingga bisa
menggugurkan dosa ghibah, yang demikian itu ada enam perkara :
Dan yang keempat adalah, memperingatkan ummat Islam dari
keburukan ketika ada seorang fakih (pandai, red) sering
mendatangi ahli bid’ah atau fasik dan anda khawatir orang
tersebut terjangkiti kefasikan atau kebid’ahan. Boleh bagi
anda membongkar kebid’ahan dan kefasikan mereka, selagi tujuan
utama untuk menghambat penularan kebid’ahan dan kefasikan.
Dalam kitab Al Furuq karya Syihabuddin Al Qarafi terdapat bab
Al Farqu Baina Qaidah Muharram dengan Qaidah Ghibah Allati la
Tuharram, beliau menyebut enam perkara seperti Abu Hamid dan
yang keempat,”Ahli bid’ah dan tulisan yang menyesatkan harus
ditampakkan aibnya dan diekspos kesesatan mereka kepada semua
orang, agar orang awam dan lemah tidak terjerat dengan
kesesatan tersebut dan sebisa mungkin menjauhkan ummat dari
mereka. Tapi dengan syarat, tidak dengan cara melampaui batas
dan tidak mengada-ada suatu tuduhan dan kebohongan berupa
kefasikan dan kekejian, tetapi hanya menyebutkan yang ada. (Al
Furuq 4/205 dan 4/207-208)
Imam An-Nawawi berkata,
“Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i yang tidak mungkin
dicapai kecuali dengan cara ghibah dan ada enam faktor. Faktor
kelima yaitu seorang yang menampakkan secara terang-terangan
kefasikan atau kebid’ahan seperti orang yang terang-terangan
minum khamr, memusuhi orang, mengambil pajak, mengambil harta
orang secara zhalim dan mengurusi perkara batil untuk mereka,
boleh menyebutkan keburukan yang mereka lakukan secara
terang-terangan dan diharamkan menyebutkan selain itu kecuali
ada sebab syar’i lain. (Riyadh Ash Sholihin 529)
Imam
An-Nawawi menyebutkan enam faktor tersebut dalam Kitab Syarh
Shahih Muslim, Riyadh Ash-Shalihin dan Al-Adzkar. Sedang Imam
Asy-Syaukani membahasnya dalam Kitab Raf’u Ar-Ribah Amma
Yajuzu Wama la Yajuzu min Al-Ghibah, dan beliau menerima
sebagian dan menolak yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim,
16/143 dan Al-Adzkar /304)
Diantara ulama menganggap
ghibah ahli bid’ah sama dengan menghujat dalam rangka
mentahdzir adalah, Ibnu Shalah. Beliau berkata, ”Boleh
menggunjing ahli bid’ah bahkan menyebutkan kesesatan mereka,
baik di hadapan atau di belakang mereka, dengan syarat maksud
utama adalah untuk menjelaskan kepada khalayak kebid’ahan
mereka. Itulah yang telah dilakukan ulama salaf, baik ghibah
tersebut untuk menjawab pertanyaan atau
tidak”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dua
perkara dimana ghibah dibolehkan, pertama: Orang yang
terang-terangan menampakkan kejahatannya seperti kezhaliman,
zina dan kedua adalah kebid’ahan. Bila mereka menampakkan
kemungkaran wajib dibasmi sebatas kemampuan yang ada.
Barangsiapa yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi berarti
dia menutupi harga diri dan masih mempunyai rasa malu,
sehingga wajib menasihati secara sembunyi-sembunyi atau
didiamkan hingga bertaubat.” (Ad-Durar As-Sunniyah
4/501-504)
Di tempat lain beliau berkata, “Apabila
seseorang menampakkan kemungkaran wajib dinasihati secara
terang-terangan, dan bukan merupakan suatu ghibah, sebab orang
yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan wajib
dibasmi secara terang-terangan agar berhenti darinya.” (Tanbih
Ulil Abshar, 198-210)
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
menjelaskan hadits, “Dia seburuk-buruk teman bergaul”, beliau
berkata, “Bisa diambil kesimpulan hukum bahwa bukan merupakan
suatu ghibah membicarakan orang yang menampakkan kefasikan dan
keburukan, maka para ulama menyatakan dibolehkan menggunjing
untuk tujuan syar’i, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan
cara tersebut.”
Diantara ulama yang menganggap ghibah
terhadap ahli bid’ah sama dengan menghujat adalah Syaikh
Abdullah Babathin, Syaikh Said bin Hija dalam Kitab Ad-Durar
As-Sunniyah dan Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi dalam Kitab Tanbih
Ulil Abshar.
Jadi hukum menggunjing ahli bid’ah sama
dengan menghujat dan menyebarkan aib mereka menurut para ulama
salaf dan ulama sunnah, semua itu boleh.
Adapun poin
kedua: Penjelasan bahwa ghibah terhadap ahli bid’ah tidak
bertentangan dengan dalil yang mengharamkan ghibah.
Jika ghibah terhadap ahli bid’ah berfungsi sebagai
bentuk tahdzir, maka ghibah berhukum mubah. Namun untuk
menepis anggapan bahwa pembolehan ghibah terhadap ahli bid’ah
kontradiksi dengan hadits yang mengharamkan ghibah, bisa
dijelaskan dengan dua alasan :
Pertama : Ghibah
terhadap ahli bid’ah dalam rangka tahdzir hanya sebatas makna
bahasa bukan makna syar’i, seperti yang dimaksud dalil-dalil
yang mengharamkan ghibah.
Hal itu seperti penjelasan
Ibnu Hajar tentang hadits, Sebaik-baik kampung adalah kampung
Banu Najjar.” Imam Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam
penjelasan ghibah di bawah Bab (Qoulun Nabi Khairud Dar
Al-Anshar), Ibnu Hajar berkata, “Bila itu bukan termasuk
ghibah. Kecuali bila kelompok yang tersisih dari keutamaan
tidak terima, sehingga perlu dikecualikan. Dan hadits Nabi
Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Menyebut sesuatu yang dibenci
saudaramu“, hal itu dilarang bila tidak ada tujuan syar’i.
Namun bila ada tujuan syar’i maka tidak termasuk ghibah
meskipun orang yang dibicarakan tidak senang. (Fath Al-Bari
10/471-472)
Beliau menjelaskan hadits Aisyah, “Dia
seburuk-buruk teman bergaul, “ yang dibuat bab oleh Al-Bukhari
(bab Ma Yajuzu min Ightiyabi Ahli Ar-Raib Wa Al-Fasad) , masih
diperselisihkan sebagai bentuk ghibah. Bahkan hanya sebagai
bentuk nasihat agar para pendengar berhati-hati, hanya ucapan
itu tidak dilontarkan di hadapan orang tersebut karena
kebaikan akhlak beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika
langsung disampaikan juga baik, namun tujuan utama sudah
tercapai tanpa disampaikan secara berhadapan.
Jawab :
Maksud ghibah di atas hanya menurut makna bahasa. Sebab ghibah
ada dua macam, ghibah menurut arti bahasa yaitu menyebut
sesuatu yang dibenci oleh orang lain, baik karena faktor
syar`i atau bukan, termasuk ghibah yang mubah karena ada
maksud syar`i. Dan bila tidak, maka ghibah berhukum haram
sehingga ulama salaf menjadikan sikap menghujat ahli bid`ah
sama halnya dengan ghibah. Atau ghibah menurut pengertian
syar`i yaitu membicarakan seorang muslim dengan sesuatu yang
dibenci tanpa ada alasan syar`i, dan inilah ghibah yang
dihaaramkan oleh nash. (Fath Al Bari 10/471)
Dengan
demikian, ghibah dalam masalah ini tidak ubahnya seperti
lafazh bid`ah. Bisa digunakan dalam arti bahasa, yang
berkonotasi terpuji atau tercela, tergantung ada tidaknya
landasan syar’i, seperti ucapan Umar bin Khattahab dalam
masalah shalat tarawih, ”Ini adalah sebaik-baik bid’ah,” dan
ucapan Imam Asy-Syafi’i bahwa bid’ah ada dua macam, bid’ah
terpuji dan bid’ah tercela. Akan tetapi bila yang dimaksud
bid’ah menurut istlah syar’i, maka artinya adalah mengada-ada
suatu ajaran dalam agama yang tidak ada petunjuk dari syariat,
maka semuanya tercela. Begitu juga ghibah, bila yang dimaksud
makna bahasa, bisa mubah dan bisa diharamkan. Dan termasuk
ghibah yang mubah adalah ghibah terhadap ahli bid’ah untuk
tujuan tahdzir. Namun bila yang dimaksud ghibah dalam isstilah
syar’i, jelas diharamkan secara mutlak.
Kedua : Ghibah
terhadap ahli bid’ah untuk mentahdzir orang, menghujat dan
menjelaskan beragai mereka bila bila dilihat dari istilah
syar’i yang diharamkan. Namun keharaman itu hilang karena ada
maslahat yang lebih besar, yaitu menjelaskan kesesatan ahli
bid’ah dan dosa tersebut gugur karena maslahat tersebut. Oleh
sebab itu, ulama tetap membolehkan, dengan tetap meletakkan
istilah syar’i tersebut pada tempatnya semula. Suatu contoh,
agama memberi kemudahan untuk menggunakan hal-hal yang haram,
seperti khamer, bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan
darurat, sehingga boleh meminum khamer sekedar pembasah
tenggorokan atau makan daging bangkai untuk mancegah lapar,
namun seteguk khamer atau secuil daging bangkai tidak berubah
menjadi halal karena darurat tersebut.
Begitu juga
ghibah diperbolehkan untuk suatu maslahat, seperti menggunjing
ahli bid’ah dalam rangka untuk tahdzir. Tidak tertutup
kemungkinan istilah syar’i ghibah masih tetap
ada.
Dengan demikian syubhat di atas bisa terjawab
secara tuntas. Dan sudah menjadi ketetapan ulama salaf dan
ulama sunnah, bahwa menggunjing bisa berfungsi sebagai
pengganti menghujat dan mencela ahli ahli bid’ah dalam rangka
mentahdzir mereka, agar fitnah bid’ah tidak menjalar kepada
orang lain. Bila demikian, tidak kontradiksi dengan larangan
ghibah.
Namun kita harus tetap waspada terhadap
ungkapan “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah atau semakna
dengan itu, agar tidak dipahami secara keliru oleh sebagian
orang awam. Untuk itu perlu dijelaskan makna sebenarnya agar
orang yang mendengarkan tidak tidak mengira boleh berghibah,
meskipun hanya karena hawa nafsu atau permusuhan tidak syar’i
terhadap ahli bid’ah.Terlebih zaman sekarang ini, sangat
sedikit pemahaman dalam mencerna sikap ulama salaf terhadap
ahli bid’ah. Sebagian orang mengira bahwa pernyataan dan atsar
ulama Salaf tersebut masih bias dan terkesan kontradiksi
dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan diantara
mereka mencela ulama Salaf dan aqidah Salafiyah, karena
mendengar pernyataan sebagian penceramah baik lewat mimbar
jum’at, kuliah umum atau majelis ta’lim yang menukil sebagian
ungkapan ulama salaf yang dipahami secara keliru, seperti
ungkapan, “Allah Ta’ala tidak menerima amalan ahli bid’ah “dan
ungkapan, “Allah Ta’ala menolak menerima taubat ahli bid’ah,“
dan lainnya.
Seharusnya seorang ahli ilmu menjelaskan
secara shahih kepada manusia ungkapan seperti itu, dan
mendudukkan pada makna dan maksud yang benar sesuai dengan
kaidah agama. Jika dianggap ada ungkapan yang menimbulkan
salah paham bagi pendengar, hendaknya mengganti dengan
ungkapan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran
lain. Sebab ulama Salaf menggunakan ungkapan singkat padat
tersebut, untuk para penuntut ilmu yang mampu memahami secara
baik. Sehingga tidak logis dan kurang bijak, bila pernyataan
ulama salaf tersebut disampaikan kepada orang awam zaman
sekarang dengan ungkapan apa adanya, tanpa penjelasan dan
rincian yang gamblang tentang maksud ungkapan ulama salaf
tersebut.
Setelah kita mengetahui bolehnya menggunjing
ahli bid’ah, bahkan bisa berhukum wajib bila tidak munghkin
membasmi kemungkaran kecuali dengan cara itu, namun bolehnya
menggunjing ahli bid’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut : Pertama : Ikhlas dalam menggunjing semata-mata
untuk membongkar kesesatan ahli bid’ah, dan untuk menasihati
kaum muslimin agar menjauhi mereka, bukan untuk maslahat tidak
syar’i seperti permusuhan pribadi, cemburu, hasad dan
semisalnya. Maka dalam kondisi seperti itu, ghibah tidak boleh
meskipun ahli bid’ah sangat rusak. Karena motivasi ghibah
untuk kepentingan pribadi, bukan ikhlas kepada Allah Ta’ala
dan menasihati kaum muslimin.
Syaikul Islam Ibnu
Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah
Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya
berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk
popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk
membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah
Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan
penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta
bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut
saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” (Majmu’ Fatawa,
28/35).
Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah
secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila
mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh
digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah
dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin
hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang
terang-terangan menampakkan kebid’ahan.
Imam Al- Auza’i
berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka
dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam
rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan
bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama
Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi,
karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat.
Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan
kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah
semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan
dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar
menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad
(menyimpang, red) di hari kelak” (Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah,
hal. 45).
Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang
dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak
boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan
bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah
meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang
sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas
yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).
Poin ketiga
dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada
setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann
penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli
bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela
kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik
menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh
membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam
rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan
pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada,
yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya
mempengaruhi orang lain.
Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika
ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang
mengkultuskan, atau karya tulis yang membahayakan, atau tidak
ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah
mati harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta
urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” (Al-Furuq, vol. 4,
hal. 208).
Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika
menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan
kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali
keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada
orang lain. Sebab Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ
تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ
اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang akamu kerjakan. ” (Al-Maidah : 8)
Jika
melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu
kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan
termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan
apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu
tuduhan.” (HR. Muslim)
Membuat tuduhan bohong dilarang
oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena
termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala.
Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha
Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan
murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan.
Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang
lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, tidak lebih
dari itu.
(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal
Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al
Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar
Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah
Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi
Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap
Ahli Sunah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah Agar Umat Selamat
Dari Pengaruh
Mereka)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=417
|