DAKWAH
SALAFIYAH BUKAN MURJI’AH
(Bagian
2 : Syaikh Al-Albani Bukan Murji’ah)
Oleh
:
Al-Ustadz
Abdurrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc.
(Alumnus
Islamic
Syaikh Al-Albani Sangat Jauh Dari Murji’ah
Sudah
tidak asing lagi bagi para penuntut Ilmu syar'i akan biografi beliau rahimahullahu. Kitab-kitab
beliau yang amat sangat banyak sekali merupakan saksi hidup akan jihad beliau
dalam membela kalimat tauhid dan aqidah shohihah serta dalam
menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Namun merupakan sunnatullah
adanya orang-orang yang memusuhi wali-wali Alloh, sebagaimana yang telah
Dia firmankan :
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An'am : 112)
Dan
sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
“Senantiasa akan ada dari umatku sekelompok orang yang tegak di atas agama
Alloh. Tidak memadharatkan mereka orang-orang yang menghina maupun yang
menyelisihi mereka hingga datangnya perkara Alloh sedang mereka dalam keadaan
demikian.” (HR. Bukhori) Imam Bukhori rahimahullahu menjelaskan
bahwa sekelompok orang tersebut adalah para ahlu ilmi (ulama).[1]
Diantara
hal yang membuktikan bahwa beliau amat sangat jauh dari Murji'ah terlebih
Jahmiyah adalah sebagai berikut
1.
Aqidah beliau dalam masalah Iman[2]
Beliau
rahimahullahu berkata dalam ta'liq Aqidah
Thohawiyah ketika mengomentari ucapan Imam Thohawi rahimahullahu “Iman
adalah ucapan dilisan dan keyakinan dalam hati”, Syaikh Al-Albani rahimahullahu
berkata :
“Ini
adalah aqidah Hanafiyah Maturidiyah yang berseberangan dengan
salaf serta jumhur ulama seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Al-Auza'i dan
selainnya. Mereka semuanya menambahkan amal perbuatan diatas ucapan dan
keyakinan. Bukanlah perselisihan antara kedua madzhab hanya perselisihan yang
abstrak (tidak ada wujudnya) seperti yang dikatakan oleh (Ibnu Abil 'Izzi
Al-Hanafi) dengan alasan mereka semua sepakat bahwa pelaku dosa besar tidak
keluar dari keimanan dan bahwasanya semua di bawah kehendak Alloh, jika Alloh
menghendaki maka Alloh akan mengadzabnya dan jika Alloh menghendaki maka Alloh
akan mengampuninya.
Sesungguhnya
kesepakatan ini meskipun benar, namun seandainya madzab Hanafi tidak
menyelisihi jumhur dengan sebenar-benarnya penyelisihan dalam pengingkaran
mereka bahwa amal bukan termasuk Iman maka sungguh mereka akan menyepakati
bersama jumhur bahwa iman itu bisa bertambah (dan bisa berkurang, bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan sesuai dengan dalil dari
Al-Qur'an dan sunnah serta atsar para salaf. Sebagian dalil-dalil tersebut
telah disebutkan oleh Imam Ibnu Abil 'Izzi (hal.384-387) [344-342], akan
tetapi madzhab Hanafi bersikeras untuk menyelisihi dalil-dalil yang
jelas tersebut dalam hal bertambah dan berkurangnya iman. Mereka berusaha untuk
menta'wilkan dalil-dalil tersebut dengan ta'wil yang
dipaksakan bahkan ta'wil yang batil.
Imam
Ibnu Abil 'Izzi menyebutkan pada hal.(385) [342] sebagian dari
ucapan mereka. Bahkan diriwayatkan dari Abi Mu'in
An-Nasafi bahwa dia mencela keabsahan hadits “iman
memiliki 70 lebih cabang..." meskipun
para imam-imam hadits berhujjah dengan hadits tersebut diantaranya Imam
Bukhori dan Imam Muslim di dalam
kedua kitab shohih mereka. Hadits
tersebut tercantum dalam Silsilah Shohihah
no.1769.
Tidaklah
hadits ini ditolak melainkan karena menyelisihi
madzhab mereka! Kemudian bagaimana mungkin perselisihan ini hanyalah
perselisihan yang abstrak, sedangkan mereka membolehkan bagi orang yang sangat
fajir/fasik diantara mereka untuk mengatakan : Imanku seperti imannya Abu
Bakar bahkan seperti imannya para nabi dan rasul, Jibril dan Mikail
-alaihimush sholatu was Salam!
Bagaimana
hal tersebut bisa dibenarkan sedangkan menurut madzhab mereka tidak boleh bagi
seorangpun meskipun dia fasik/fajir untuk mengatakan : saya
mukmin insya Alloh Ta’ala. Bahkan mereka
mengharuskan untuk mengatakan : Saya mukmin dengan sebenar-benarnya!
Alloh
Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Alloh
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi
Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia.” (QS.Al-Anfal :
2-4)
“Dan
siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Alloh?” (QS. An-Nisa' : 122)
Berdasarkan
hal ini semua mereka tenggelam dalam kefanatikan mereka. Mereka menyebutkan
bahwa barangsiapa yang mengatakan saya mukmin insya Alloh maka dia telah kafir.
Tidak cukup di sini saja, bahkan mereka
menyatakan bahwa tidak boleh bagi seorang yang bermadzhab Hanafi
untuk menikah dengan perempuan dari madzhab Syafi’i! Tapi sebagian
mereka membolehkan dengan alasan seperti ahli kitab (yang dibolehkan bagi
seorang muslim mengawini perempuan-perempuan mereka).
Dan
saya pernah kenal seorang dari syaikh madzhab Hanafi yang putrinya
dilamar oleh salah seorang syaikh madzhab Syafi’i namun lamarannya
ditolak dengan mengatakan: Seandainya anda bukan dari madzab Syafi’i!
Apakah setelah penjelasan seperti ini masih ada keraguan bahwa perselisihan ini
bukan sembarangan? Barangsiapa yang ingin perincian dalam masalah ini silahkan
lihat kembali kitab Al-Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu karena kitab ini merupakan
kitab terbaik dalam pembahasan tentang iman.”[3] (selesai
penukilan ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu)
Beliau
rahimahullahu juga berkata ketika membantah salah
seorang yang mencela Musnad Ahmad rahimahullahu :
“Sesungguhnya
orang ini[4]
bermadzhab Hanafi dan beraqidah Maturidi. Telah diketahui bersama bahwa
mereka tidak mengatakan seperti apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah serta
atsar para sahabat bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan
bahwasanya amal termasuk bagian dari keimanan. Ini adalah aqidah jumhur ulama
salaf dan kholaf selain madzhab Hanafi. Mereka (orang madzhab Hanafi)
bersikeras untuk menyelisihi salaf dalam masalah ini bahkan sebagian mereka
menyatakan bahwa aqidah seperti di atas adalah aqidah kufur dan murtad -wal
'iyadzu billah-.
Disebutkan
dalam kitab Al-Bahru Ar-Roo`iq bab Al-Karohiyah (VIII/205) oleh Ibnu Najim
Al-Hanafi bahwasanya “iman tidak bisa bertambah dan
tidak bisa berkurang karena iman menurut kami bukan bagian dari amal.” Ini
jelas-jelas menyelisihi hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah ditanya : “Amalan
apa yang paling utama?” Beliau menjawab : “Iman kepada Alloh dan
Rasul-Nya...” (HR. Bukhori dan selainnya. Bisa dilihat dalam
At-Targhib II/107).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah telah memperinci masalah
keberadaan iman merupakan bagian dari amal dan bahwasanya iman itu bertambah
dan berkurang dalam kitab beliau Al-Iman. Silahkan lihat.
Aku
(Syaikh Al-Albani) katakan "Inilah yang selalu aku katakan sejak
lebih dari 20 tahun yang lalu untuk menguatkan madzhab salaf dan aqidah Ahlu
Sunnah -walillahi al-hamdu- tentang masalah iman. Tapi sekarang
tiba-tiba muncul sebagian orang yang bodoh lagi ingusan yang menuduh kami
sebagal Murji'ah !! Kepada Allohlah kami mengadukan kebodohan, kesesatan dan
kejahatan mereka.”[5] (selesai
sampai di sini ucapan Syaikh Al-Albani)
Inilah
aqidah Syaikh Al-Albani rahimahullahu yang menyatakan bahwa iman
itu bisa bertambah dan bisa berkurang dan bahwasanya iman itu bercabang. Beliau
juga membolehkan istitsna' dan bahwasanya amal termasuk bagian dari
keimanan. Dari sini beliau telah mendapat rekomendasi (secara logis
konsekuensi) dari para imam-imam salaf seperti Abdullah bin Mubarok, Ahmad
bin Hanbal, dan Imam Al-Barbahari – rahimahumullahu jami’an- bahwasanya
beliau telah terlepas dan selamat dari Murji'ah mulai awal sampai akhir. Bahkan
beliau adalah bumerang bagi Murji'ah. Oleh karenanya beliau mentahqiq
kitab-kitab yang menguatkan aqidah salaf ini seperti Kitabul Iman karya Ibnu
Abi Syaibah, Kitabul Iman karya Abu Ubeid dan Kitabul
Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – rahimahumulahu
jami’an-.
Di
dalam majelis ta'lim pernah dibacakan kepada
beliau fatwa Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu tentang pengkafiran
orang yang mencela dan memperolok
(Alloh, Rasul dan agama-Nya –pent.) lalu beliaupun menguatkannya dan bahwasanya inilah
yang juga beliau yakini.[6]
Dan
didalam majlis ta'lim yang sudah dikenal antara Syaikh rahimahullahu
dengan penulis ini (i.e. Syaikh Kholid Al-Anbari -hafizhahullahu-),
beliau dengan jelas, menyatakan bahwa kekufuran itu bisa
dengan perbuatan seperti sujud kepada berhala, membuang mushaf di tempat kotor,
dan bisa juga dengan ucapan seperti memperolok dan
mencela Alloh dan Rasul.
Beliau
juga menyatakan bahwa kekufuran itu ada enam macam, yaitu :
Beliau
menyatakan bahwa Murji’ah adalah orang-orang yang menyatakan bahwa kufur itu
hanyalah takdzib saja. Murji'ah mengatakan bahwa setiap orang
yang dikafirkan Alloh adalah yang tidak ada pembenaran dalam hatinya tentang
Alloh Ta'ala.[7]
Adapun
masalah apakah kafir atau tidakkah orang yang meninggalkan jinsul (jenis)
amal atau aahadul (individu) amal?[8] maka Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin berkata "Siapakah yang mengatakan
kaidah seperti ini?! Apakah Alloh dan Rasul-Nya?! ini adalah ucapan yang
tidak bermakna! Kita katakan : Barangsiapa yang dikafirkan Alloh dan
Rasul-Nya maka dia yang disebut orang kafir dan barangsiapa yang tidak
dikafirkan oleh Alloh dan Rasul-Nya maka dia bukan orang kafir. Inilah yang
benar. Adapun masalah jinsul amal atau na'ul (macam) amal
serta aahadul amal maka ini hanyalah filsafat yang tidak ada manfaatnya.”[9] Kalau
ada yang mengatakan bahwa kafir orang yang meninggalkan jinsul amal maka
bagaimana pendapatnya tentang hadits syafaat Alloh bagi orangorang yang tidak
beramal kebaikan sama sekali?”[10]
Demikian pula dengan
masalah apakah amal termasuk syarthul kamal (syarat kesempurnaan)
ataukah syarthus shihah (syarat sahnya iman), maka ini juga termasuk
masalah yang muhdats (baru) yang tidak pernah dikatakan oleh para
ulama salaf, yang ada dari mereka -para salaf- adalah amal termasuk
bagian dari iman.[11]
Adapun
kalau ada yang membawa ucapan salaf (Iman adalah ucapan, perbuatan dan
niat. Salah satu dari ketiganya tidak sah (mencukupi) kecuali dengan adanya
yang lain) untuk menyatakan bahwa amal adalah syarat sahnya iman dan kafir
orang yang meninggalkan jinsul amal,[12] maka
apakah orang yang tidak berniat dalam berucap atau berbuat itu kafir?! dan
kafirkah orang yang beramal, dan berucap serta berniat namun tidak sesuai
dengan sunnah seperti ungkapan sebagian salaf tentang iman?!
Apakah
Syaikh Al-Albani rahimahullahu hanya menyempitkan kekufuran
pada juhud atau takdzib saja? Inilah jawaban
murid beliau Syaikh Ali bin Hasan –hafidzahullahu- akan syubhat ini[13] : “Terkadang ada didalam ucapan Syaikh Al-Albani bahwa kekufuran itu dengan juhud dan takdzib! Maka sebagian orang[14]
memahami bahwa Syaikh rahimahullahu
menyempitkan kekufuran hanya pada juhud atau takdzib saja dan meniadakan macam-macam kekafiran yang lainnya seperti kufur iba'/istikbar
(sombong), imtina' (menolak), syak, nifak dan selainnya.”
Pemahaman
mereka terhadap ucapan Syaikh rahimahullahu
ini batil karena penyebutan sesuatu tanpa selainnya bukan berarti meniadakan akan
selainnya tersebut. Bahkan mungkin bisa jadi penyebutan tersebut berlandaskan
kebanyakan atau mayoritas. Penyebutan seperti ini juga pernah diucapkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu 'Fatawa (III/354) : "Asal kekufuran itu ada pada pengingkaran kepada Alloh." Apakah
dengan ini kita mengatakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada
pengingkaran semata ?!
Demikian
pula Ibnul Qoyyim rahimahullahu mengatakan dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (III/1156)
: “Kekufuran itu ada pada juhud.” Apakah
akan kita katakan bahwa beliau menyempitkan kekufuran hanya pada juhud
saja ?! Beliau juga mengatakan dalam Qosidah Nuniyah (II/453) dengan syarah Syaikh Kholil Harros rahimahullahu
:
الكُفْرُ
لَيْسَ سِوَى
اْلعِنَادِ
وَرَدِّ مَا جَاءَ
الرَّسُوْلُ
بِهِ
لِقَوْلِ
فُلاَنِ
Kekufuran itu tidak lain melainkan dengan 'inad/penentangan dan menolak
apa yang dibawa oleh Rasul karena ucapan seseorang
Ucapan
yang senada dengan yang di atas juga dikatakan oleh Syaikh Abdurrohman
As-Sa’di rahimahullahu dalam Minhajus Salikin (hal.112) : “Telah
disebutkan oleh para ulama -rohimahumullahu- perincian hal-hal yang bisa mengeluarkan seorang hamba dari Islam. Dan
semua itu kembalinya kepada juhud (pengingkaran) terhadap apa yang dibawa Rasul
baik secara keseluruhan atau sebahagiannya.”
Apakah kita akan mengatakan bahwa beliau telah menyempitkan kekufuran hanya
pada juhud saja ?!
Lihatlah
ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu yang akan
menjelaskan semua ini dalam Majmu' Fatawa (XX/98) tentang orang yang meninggalkan sholat : "Barangsiapa dari kalangan fuqoha' yang memutlakkan/menyatakan bahwa tidak kafir kecuali yang juhudl menentang kewajibannya maka yang dia maksud dengan juhud tersebut telah mencakup takdzib
akan kewajibannya dan imtina’ ketika mengucapkannya…”
Lantas,
apakah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dan Syaikh
Abdurrohman As-Sa’di –rohimahumullahu jami’an- adalah Murji'ah karena ucapan mereka itu?!
أَفَلاَ
تَعْقِلُوْنَ
“Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS. Al-Baqoroh : 44)
2.
Rekomendasi ulama Ahlu Sunnah akan aqidah Syaikh
Al-Albani
Al-'Allamah
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu pernah
ditanya sebagai berikut : “Sebagian orang menebarkan syubuhat tentang aqidah
al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani hafizhahullahu
dan mereka menisbatkan kepada beliau sebagai kelompok sesat seperti Murji’ah.
Apa ucapan (nasehat) Anda terhadap mereka?”
Beliau
rahimahullahu menjawab : “Syaikh Nashiruddin Al-Albani termasuk saudara-saudara kita ahli hadits yang terkenal dari kalangan
ahli sunnah wal jama'ah. Kita mohon kepada Alloh semoga Dia selalu memberikan
kepada kita dan beliau taufiq serta pertolongan di atas kebaikan. Yang wajib
bagi setiap Muslim adalah selalu bertakwa kepada Alloh dan merasa takut kepada Alloh
(dari menuduh) para ulama dan janganlah dia berbicara
kecuali diatas ilmu.”[15]
Al-‘Allamah
Faqiihuz Zaman Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullahu
pernah ditanya : “Berkata sebagian orang :
Sesungguhnya Syaikh Al-Albani rahimahullahu ucapannya dalam masalah iman adalah ucapan Murji'ah. Bagaimana menurut pendapat
anda ?”
Beliau
rahimahullahu menjawab : “Aku katakan kepada kalian sebagaimana yang
dikatakan oleh orang terdahulu :
أَقِلُّوْا
عَلَيْهِمْ
لاَ أَبَا
لِأَبِيْكُمْ مِنَ
اللَّوْمِ
أَوْ سَدُّ
المَكَانَ
الَّذِيْ
سَدُّ
Tinggalkan segala celaan terhadap mereka
atau berbuatlah (kebaikan) sebagaimana mereka telah berbuat
Syaikh
Al-Albani rahimahullahu adalah seorang
alim ahli hadits dan faqih, meskipun lebih kuat ahli haditsnya dari faqih. Saya
tidak pernah selamanya mendapatkan beliau memiliki ucapan yang menunjukkan
bahwa beliau Murji'ah. Akan tetapi orang-orang yang ingin mengkafirkan manusia
(kaum muslimin) menuduh beliau dan yang semisal beliau dengan tuduhan murji'ah! Ini semuanya
hanyalah pemberian gelar yang buruk. Dan saya bersaksi akan keistiqomahan Syaikh
Al-Albani rahimahullahu serta kebaikan aqidah dan keikhlasan
beliau. Meskipun demikian kita tidak mengatakan bahwa beliau tidak pernah
bersalah karena tidak ada seorang pun yang tidak bersalah melainkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
Salam.”[16]
Beliau rahimahullahu juga berkata : “Barangsiapa
yang menuduh Syaikh Al-Albani dengan Murji'ah maka dia telah keliru. Mungkin
orang itu tidak tahu siapa Syaikh Al-Albani atau mungkin dia tidak tahu
tentang siapa Murji'ah!! Syaikh Al-Albani adalah ahli sunnah rahimahullahu, pembela sunnah, imam
dalam ilmu hadits, kita tidak mengetahui seorangpun yang menandingi beliau pada
zaman ini. Akan tetapi sebagian orang -kita mohon kepada Alloh keselamatan- ada
di dalam hatinya rasa hasad, jika melihat ada orang yang diterima oleh manusia
diapun bersegera mengolok-oloknya seperti perbuatan orang-orang munafik
“(orang-orang munafik)
yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan
sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya” (QS. At-Taubah:79)
Beliau rahimahullahu telah kita kenal
lewat buku-buku beliau dan aku juga mengenal terkadang lewat majlis-majlis
beliau. Beliau adalah salafi dalam aqidah dan selamat manhajnya. Akan tetapi
sebagian orang yang ingin mengkafirkan hamba-hamba Alloh dengan hal-hal yang
tidak Alloh kafirkan mereka dengannya menuduh dengan kedustaan dan kebohongan
bahwa orang yang menyelisihi mereka dalam pengkafiran adalah Murji'ah. Oleh
karena itu janganlah kalian mendengarkan tuduhan ini dari siapapun juga.”[17]
(Selesai ucapan beliau)
Al-'Allamah Ahli
Hadits Madinah Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad -hafidzahullahu- berkata : “Syaikh
Al-Albani seorang alim besar, ahli hadits terkenal, pembela sunnah,
aqidah beliau benar dan beliau memiliki perjuangan dalam aqidah. Kitab-kitab
beliau tentang aqidah semuanya selamat dan tidak ada seorang penuntut ilmu pun
yang bisa lepas dari ilmu dan kitab-kitab beliau.”[18]
Al-‘Allamah asy-Syaikh
At-Tuweijiri rahimahullahu
berkata “Syaikh Al-Albani adalah pembela sunnah, mencela Syaikh
Al-Albani berarti mencela sunnah.”[19]
Sungguh indah dan
benar apa yang dikatakan oleh Abu Mu'awiyah Ali bin Ahmad bin Suuf –hafidzahullahu-
: “Cukuplah Alloh sebagai pelindung dan penolong kami, Bagaimana bisa orang
yang selama hidupnya memerangi bid'ah (Murji'ah-pent) dan para pelakunya
dituduh sebagai Murji'ah?! Dan bagaimana bisa dikatakan orang itu berada di
atas bid'ah sedang seluruh hidupnya selalu bersama sunnah?! Setiap orang yang
melihat Imam (Al-Albani) dengan kedua matanya dia pasti akan melihat sendiri
sunnah berjalan di atas bumi ini di dalam ucapan, pakaian dan gerak-gerik
beliau. Akan tetapi orang-orang bodoh tidak bisa diam.Tidaklah karya-karya
besar yang menghabiskan usia beliau dalam meneliti keshohihan hadits dari
kelemahannya seperti Silsilah Shohihah dan Dho'ifah dan selainnya melainkan
bukti yang paling konkret bahwa beliau tidaklah menyelisihi manhaj salaf dalam
prinsip yang agung ini (masalah iman-pent).”[20]
(selesai di sini ucapan beliau)
Orang yang menuduh Syaikh
Al-Albani dengan Murji’ah atau tuduhan yang lainnya[21]
ibaratnya seperti yang dikatakan seorang penyair :
لاَ يَضُرُّ
الْبَحْرَ
أَمْسَى
زَاخِرًا أَنَّ
رَمَى فِيْهِ
غُلاَمٌ
بِحَجَرِ
Tidaklah memadharatkan samudera yang luas
Jika seorang
anak kecil melemparinya dengan batu kerikil
كَنَاطِحِ
صَخْرَةٍ يَوْمًا
لِيُوْهِنَهَا فَلَمْ
يَضُرُّهَا
وَأَوْهَا
قَرْنَهُ الْوَعِلُ
Seperti kambing hutan yang menanduk batu besar untuk meruntuhkannya
Tapi dia tidak bisa memadharatkannya dan kambing itu
merusak tanduknya sendiri
(Bersambung
Bagian 3)
(Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah; Edisi 21; Rajab
1427-Agustus 2006; Dinukil dengan sedikit perubahan dan pembenahan)
-OOO-OOO-
[1] Lihat Shohih
Bukhori dalam
kitab AI-I'tishom bil kitab was sunnah bab kesepuluh. Dari sini
juga kita ketahui kesalahan sebagian orang-orang harakah yang
menafsirkan sekelompok orang tersebut adalah para “mujahidin?” (dan yang mereka
maksud adalah Usamah bin Laden CS) bukan para ulama yang darah
dan daging mereka telah bersatu dengan ilmu agama ini. Maka sungguh benar apa
yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam
: “Akan datang sebelum
hari kiamat tahun-tahun yang menipu. Di dalamnya dibenarkan orang yang
berdusta den didustakan orang yang benar/jujur dan akan dipercaya orang yang
berkhianat tapi orang yang amanat tidak dipercaya. Dan akan muncul Ar-Ruwaibidhoh.”
Syaikh
al-Albani adalah seorang ahli hadits dan ulama terkemuka namun
dicela, sedangkan Usamah bin Ladin adalah seorang insinyur/kontraktor yang
bukan seorang alim namun dianggap sebagai ulama sekaligus sebagai pahlawan
Islam?!!! Wa ilallohi musytaka (Hanya kepada Alloh kami mengadu). (Lihat
pembahasan ulama tentang ath-Tho`ifah
al-Manshuroh dalam kitab ath-Tho`ifah al-Manshuroh karya Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkholi
hafizhahullahu.)
[2] Kami nukil dari Murji’atul
Ashr (hal. 65-69).
[3] Syarh wa Ta’liq Aqidah
ath-Thohawiyah (hal. 63).
[4] Yang dimaksud adalah Muhammad
Zahid al-Kautsari ghofarollahu lahu
[5] Adz-Dzabbul Ahmad ‘an
Musnadil Imam Ahmad (hal. 32-33).
[6] Kaset Silsilah Huda wa
Nur (no. 743) dan silahkan baca juga Silsilah ash-Shahihah
(VII/143).
[7] Dengar kaset ceramah
beliau yang berjudul at-Tahrir li Masa`ilit Takfir.
[8] Ini adalah istilah baru
yang tidak dikenal oleh para ulama salaf. Istilah ini dikenalkan oleh Safar
Hawali. Lihat footnote ar-Rod al-Burhani (hal. 146).
[9] Ar-Roddul Burhani
(hal. 146).
[10] Lihat hadits ini dalam Silsilah
ash-Shahihah (VII/129) dan Hukmu Tariki ash-Sholah (hal. 27-28)
karya Syaikh al-Albani rahimahullahu.
[11] Lihat ucapan Syaikh
al-Albani dalam ad-Duror al-Mutalali`ah (hal. 113) dan Syaikh Ali
Hasan dalam al-Ajwibah
al-Mutala`imah (hal. 5,8). Untuk mendapatkan lebih terperinci lagi tentang
apakah amal termasuk syarat sahnya iman atau syarat sempurnanya iman lihat
kitab Tafshiilul Ijmal fi Syarthis Shihah wa Syarthil Kamal dan at-Ta’rif
wa Tanbi’ah karya Syaikh Ali Hasan.
[12] Seperti yang dinyatakan
oleh Majalah an-Najah dalam artikel yang berjudul “Aqidah Jama’ah Salafiyah”
(hal. 2).
[13] Lihat at-Ta’rif wat
Tanbi’ah (hal. 75-97).
[14] Sebagaimana penulis
artikel “Aqidah Jama’ah Salafiyah” dalam majalah an-Najah (hal. 4). Keadaannya
dan apa yang tercantum di dalam makalah mereka ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh penyair :
وَمَا
لَِأقْوَالِهِمْ
إِذَا
كُشِفَتْ حَقَائِقًُ
بَلْ
جَمِيْعُهَا
شُبَهُ
Tidaklah
ucapan-ucapan mereka jika disingkap
Merupakan
suatu kebenaran, akan tetapi semua ucapan mereka adalah syubuhat/kerancuan.
[15] Ar-Roddul Burhani
(hal. 73-74).
[16] Ibid, (hal.71- 72).
[17] Ibid (hal. 72).
[18] Footnote ar-Roddul
Burhani (hal. 75).
[19] Murji’atul Ashr
(hal. 64).
[20] Lihat kitab at-Tibyaan
li ‘alaqootil ‘amal bi musamma al-Iman (hal. 12) karya Abu Mu’awiyah Ali
bin Ahmad bin Suuf dengan taqrizh DR,.Gholib bin ‘Ali al-‘Awaaji,
DR. Abdullah bin Ibrahim az-Zahim (keduanya adalah dosen di Universitas
Islam Madinah) dan DR. Abdullah bin Muhammad al-Qorni (dosen Ummul Quro’
di Makkah).
[21] Seperti yang dilakukan oleh
buletin “Sunni” (lebih tepat dibaca “Bid’i”) yang menuduh Syaikh al-Albani tanpa
dalil dan bukti yang nyata sebagai pendusta umat. Alangkah miripnya mereka
dengan kaum musyrikin Quraisy yang menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
sebagai pendusta. “Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi
peringatan (rasul) dari kalangan mereka. Dan orang-orang kafir berkata : Ini
adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.” (QS Shaad : 4).
-OOO-OOO-