DAKWAH
SALAFIYAH BUKAN MURJI’AH
(Bagian
3 : Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Khalid Al-Anbari Bebas dari Murji’ah)
Oleh
:
Al-Ustadz
Abdurrahman bin Thoyyib as-Salafy, Lc.
(Alumnus Islamic
Diantara sekian banyak
para masyayikh dakwah Salafiyah yang tidak selamat dari tuduhan Murji'ah yang
dilontarkan oleh para harokiyyin, sururiyin dan takfiriyin
adalah Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Kholid bin
Ali bin Muhammad Al-Ambari -hafidzahumallohu-.
Dan yang amat
disayangkan adalah adanya fatwa Lajnah Daimah yang juga ikut serta mendukung
orang-orang tersebut dengan menuduh bahwa di dalam beberapa kitab kedua Syaikh
tersebut terdapat pemikiran Murji'ah. Padahal kalau ditilik kembali kitab-kitab
mereka tersebut sangat jauh dari pemikiran Murji'ah. Mereka adalah masyayikh Ahlu
Sunnah yang jauh dari pemikiran Murji'ah, aqidah mereka aqidah Salaf Ashabul
Hadits khususnya
yang berkaitan dengan masalah iman. Oleh karenanya Syaikh Ali bin Hasan dan
Syaikh Kholid menulis jawaban terhadap fatwa Lajnah Daimah tersebut.
Mereka berdua meminta kepada Lajnah Daimah untuk membuktikan dengan jelas mana
pemikiran Murji’ah yang terdapat dalam kitab mereka.
Adapun Syaikh Ali
bin Hasan Al-Halabi -hafidzahullahu-, maka dalam menanggapi fatwa Lajnah Daimah
serta tuduhan Murji'ah ini beliau banyak menulis kitab yang menjelaskan kepada siapa
saja yang hatinya masih bersih, akan jauhnya beliau dari Aqidah Murji'ah. Maka
barangsiapa yang telah teracuni oleh syubhat bahwa Syaikh Ali Murji'ah
atau sebagian buku beliau ada pemikiran Murji'ah hendaklah membaca kitab-kitab
berikut ini agar dia tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan bukti yang nyata: Al-Ajwibah Al-Mutalaaimah 'Ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, At-Ta'rif Wat Tanbi`ah, At-Tanbihaat al-Mutawaa`imah, Al-Hujjah Al-Qo`imah
‘ala Fatwal Lajnah Ad-Daimah, Ar-Roddul Burhani, Kalimatun Sawaa' dan
lain-lain.
Diantara
yang beliau ucapkan dalam menanggapi fatwa Lajnah Da`imah adalah: "Oleh karena ucapan ulama meski tinggi derajat dan
kedudukannya, bisa diterima dan bisa
ditolak serta kemungkinan bisa salah
bisa benar, maka saya ingin menulis sebuah dialog ilmiah
yang ringkas untuk menjawab fatwa
lajnah yang terhormat. Semoga apa yang akan saya sampaikan ini dari hujjah-hujjah dan dalil-dalil menjadi penjelas bagi jalan kebenaran. Semoga rahmat Alloh bagi Imam Abdurrohman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab yang telah berkata :
"Wajib
bagi orang yang masih mengasihi dirinya, apabila
membaca kitab-kitab para ulama dan melihat isinya serta mengetahui ucapan mereka agar dia menimbangnya dengan Al-Qur'an dan sunnah. Karena setiap mujtahid dari kalangan para
ulama dan yang mengikuti mereka serta yang menisbatkan diri kepada mereka
haruslah menyebutkan dalilnya. Kebenaran hanya satu dalam setiap
permasalahan dan para imam-imam itu diberi pahala akan ijtihad mereka. Orang
yang bijak ketika membaca ucapan mereka dan mempelajarinya, dia menjadikannya sebagai jalan untuk
mengetahui permasalahan dan untuk mengetahui yang benar dan salah dengan melihat
dalil-dalilnya...” Dari sinilah saya ingin memulai jawaban saya dengan
penuh hormat terhadap para
masyayyikh yang mulia dan semoga ucapanku dan dialog
ini -insya Alloh- sesuai dengan apa
yang ada dalam hati kami dari penghormatan
terhadap mereka...”[1].
(Selesai ucapan beliau)
Terlebih
lagi fatwa tersebut tidak disepakati oleh seorang alim robbani faqiihul
ummah yang juga anggota kibarul ulama
serta anggota Lajnah Daimah yaitu
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullahu.
Inilah pendapat beliau tentang fatwa tersebut : "Ini adalah suatu kesalahan dari lajnah dan aku merasa terganggu dengan adanya fatwa ini. Fatwa
ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri
sampai-sampai mereka menghubungiku baik dari
Amerika maupun Eropa. Tidak ada yang
dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyun (tukang mengkafirkan)
dan tsauriyun (para pemberontak)." Beliau juga berkata :
"Saya tidak suka keluarnya fatwa
ini, karena membuat bingung manusia.
Dan nasehatku kepada para penuntut ilmu agar tidak terlalu
berpegang teguh dengan fatwa fulan atau fulan.”[2] (selesai
ucapan syaikh)
Dan
renungkanlah -wahai saudaraku ucapan emas dari seorang ahli ushul serta
imam dan khotib Masjidil Rasul; Fadhilatusy Syaikh Husein bin Abdul
Aziz Alu Syaikh -hafidzahullahu-. Beliau
pernah ditanya : "Fadhilatusy
Syaikh - jazakumullahu khoiron- : Apa pendapat Anda tentang fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da`imah seputar dua kitab Syaikh
Ali bin Hasan -hafidzahullahu- “At-Tahdzir” dan “Shoihatu Nadzir”,
bahwa kedua kitab tersebut menyeru kepada pemikiran Murji'ah, bahwasanya amal
bukan syarat sahnya iman, padahal
kedua kitab tersebut tidak membahas sama sekali tentang syarat sah atau syarat sempurnanya iman?!"
Beliau menjawab :
“Pertama-tama
: wahai saudaraku! Syaikh Ali dan Masyayikh di atas manhaj yang satu.
Dan Syaikh Ali, beliau adalah saudara besar seperti para masyayikh yang
mengeluarkan fatwa tersebut. Beliau mengenal baik mereka dan mereka juga
mengenal baik beliau. Mereka saling mencintai (karena Alloh -pent). Syaikh
Ali telah diberi oleh Alloh ilmu dan pengetahuan -wa lillahil hamdu- yang akan dapat mengobati perkara
ilmiah antara beliau dan Masyayikh. Dan perkara ini -alhamdulillah-
masih di tengah perjalanan menuju titik terang kebenaran.
Adapun
Syaikh Ali dan guru beliau Syaikh Al-Albani dan yang di atas
manhaj sunnah tidak diragukan lagi -walillahil hamdu- berada
diatas manhaj yang diridhoi.
Dan Syaikh Ali sendiri -walillahil Hamdu-termasuk yang membela manhaj
Ahli sunnah wal jama'ah.
Fatwa
Lajnah tidaklah memvonis Syaikh Ali sebagai Murji'ah dan ini tidak
mungkin dilakukan oleh Lajnah!! Lajnah hanya berbeda pendapat dan berdialog
dengan Syaikh Ali. Adapun orang lain yang menginginkan dari munculnya
fatwa ini untuk menvonis syaikh sebagai Murji’ah, maka aku tidak faham (apa
maksud mereka). Dan saya kira saudara-saudaraku tidak memahaminya seperti itu.
Mereka para Masyaikh sangat menghormati dan menghargai beliau.
Dan Syaikh
Ali telah menjawab dengan jawaban ilmiah dalam kitab "Al-Ajwibah AI-Mutalaaimah ‘ala fatwal Lajnah Daimah" sebagaimana
yang dilakukan oleh salafush sholeh. Tidaklah ada diantara kita seorang pun
melainkan bisa diambil ucapannya atau ditolak kecuali Rasul Shallallahu ‘alaihi
wa Salam seperti yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullahu
:
كُلُّ
كَلاَمٍ
مِنْهُ ذُوْ
قَبُوْلٍ وَمِنْهُ
مَرْدُوْدٌ
سِوَى
الرَّسُوْلِ
Semua ucapan kadang bisa diterima
dan terkadang bisa ditolak kecuali
Rasul
Demikianlah
keadaan umat ini, terkadang ditolak dan terkadang diterima ucapannya. Akan
tetapi manusia secara tabiatnya terkadang saat pembicaraan atau dialog terdapat
sedikit nada keras sampai para sahabat radhiyallahu ‘anhum
juga demikian, seperti yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dan
selain mereka dari kalangan para sahabat.
Kesimpulannya
bahwa fatwa ini menurutku tidak memvonis dan tidak menghukumi Syaikh Ali Murji'ah,
akan tetapi fatwa tersebut hanyalah suatu dialog seputar buku beliau. Dan Syaikh
Ali –semoga Alloh selalu memberinya taufiq- ketika menulis “Al-Ajwibah
al-Mutala`imah” setelah munculnya fatwa tersebut bukan untuk membantah,
namun hanya sekedar menjelaskan manhaj beliau dan guru beliau Syaikh
Al-Albani rahimahullahu. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Syaikh
Ali dan guru beliau Syaikh Albani rahimahullahu amat jauh
sekali dari pemikiran Murji'ah seperti yang telah aku katakan dahulu.
Syaikh
Ali misalnya kalau aku tanya tentang apa itu iman?
demikian juga dengan Syaikh Al-Albani, maka tidaklah kami dapatkan
sedikitpun dari ucapan mereka yang berbau Murji'ah yaitu bahwasanya amal bukan
termasuk bagian dari iman. Bahkan ucapan-ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullahu
jelas-jelas menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam
lisan dan perbuatan anggota badan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kemaksiatan.
Saya
kira Syaikh Ali menyetujuiku dalam hal ini yaitu bahwasanya fatwa lajnah
bukan seperti yang didangungkan oleh sebagian orang bahwa Syaikh Ali itu
Murji'ah. Sekali-kali tidak, mereka para Masyayikh tidak mengucapkan seperti
ini. Mereka hanya berdialog seputar kitab tersebut. Dan tidaklah para salaf
dahulu berdialog kecuali karena rasa kasih sayang dan kecintaan mereka terhadap
sunnah dan untuk membela sunnah. Terlebih lagi dialog tersebut bukan tentang
keseluruhan kitab akan tetapi bagian kecilnya saja.
Samahatusy
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mufti Kerajaan
Beliau
juga amat menghormati dan mencintai Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dan dahulu kala. Aku mengetahui hal ini semenjak Samahatus Syaikh mengajar di
kuliah Syariah tahun 1406 H, beliau selalu menyebut nama Syaikh dengan pujian
dan doa.
Syaikh
Al-Albani dan para masyayikh di Saudi Arabiah dipersatukan
oleh satu hal yaitu manhaj salafush sholeh. Seandainya kita bersatu diatas hawa
nafsu maka sungguh kita akan berpecah-belah. Akan tetapi inilah perwujudan
kasih sayang yang benar dan jujur.
Adapun
kalau ada orang ketiga yang mengambil fatwa Lajnah Daimah ini dan bergembira
ria karena sesuai dengan hawa nafsu mereka, tapi mereka meninggalkan yang
tidak sesuai dengan mereka maka inilah jalannya ahli bid'ah.”
(Selesai jawaban beliau sampai di sini)[3]
Demikian
pula dengan Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari -hafizhahullahu-
yang juga tertimpa musibah dengan datangnya fatwa lajnah yang mencekal buku
beliau “Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu”. Padahal
beliau termasuk masyayikh Dakwah Salafiyah yang gigih memperjuangkan aqidah
ahli sunnah sekaligus memerangi bid’ah serta hizbiyah dan amat jauh dari
Murji'ah. Terlebih kitab beliau tersebut telah mendapat pujian dari para ulama
semisal Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al-Utsaimin rahimahullahu dan Syaikh DR. Sholeh bin Ghonim
Sadlan hafizhahullahu, Dosen pasca sarjana di Universitas Islam Imam
Muhammad bin Su'ud.
Adapun
pujian Syaikh Al-Albani rahimahullahu maka beliau mengatakan : “Saudara
Kholid bin Ali Al-Anbari telah
menghadiahkan kepadaku kitab karangannya "Al-Hukmu
Bighoiri Maa Anzalallohu” dan aku meodapati
kitab tersebut telah memenuhi temanya yang tidak butuh lagi tambahan
penjelasan.” [4]
Syaikh
Sholeh bin Ghonim as-Sadlan hafizhahullahu berkata
: “Aku mendapatkan kitab Syaikh Kholid bin Ali bin Muhammad Al-Anbari yang
berjudul “al-Hukmu bighoyri ma anzalallahu”… telah menepati judulnya
dalam berpegang teguh dengan metode kenabian serta jalannya salafush shalih
dalam segala permasalahannya. Semoga Alloh menganugerahkan kepada beliau pahala
akan apa yang telah beliau bahas dan teliti. Dan semoga Alloh memberikan
manfaat lewat kitab beliau ini, kaum muslimin baik para ulama, cendekiawan,
masyaikh, penuntut ilmu, para dai maupun masyarakat umum.
Beliau
memulai kitabnya ini dengan menjelaskan macam-macam kufur akbar yang
mengeluarkan dari Islam, berupa kufur takdzib, juhud, ‘inad,
i'rodh, syak dan nifaq. Dan bahwasanya kekufuran itu bisa dengan
keyakinan, ucapan maupun amal perbuatan. Beliau juga menyinggung tentang
kekufuran menurut Murji’ah yang menyempitkan hanya pada kufur takdzib di dalam
hati saja.
Beliau
juga berkata, bahwa kitab ini ditulis dengan metode ilmiah yang kokoh, tidak
ada caci maki maupun celaan yang buruk. Kitab ini amat spesial di dalam
pembahasannya. Dan penulis di dalam masalah perincian hukum orang yang tidak
berhukum dengan hukum Alloh telah sesuai pendapatnya dengan pendapat Samahatul
Walid Mufti Kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz[5],
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani.” (selesai ucapan beliau)
Fatwa
lajnah ini pun juga ditentang dan disalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al-Utsaimin seperti yang telah berlalu diatas dan bahwasanya tidak
ada yang dapat mengambil manfaat dari fatwa ini melainkan takfiriyin dan
tsauriyin (revolusionis). Begitu juga dengan Syaikh Sholeh As-Sadlan
yang tidak bisa menerima fatwa tersebut.[6]
Syaikh
Kholid pun menanggapi fatwa ini dengan menulis sebuah makalah
yang berjudul “Al-Maqoolaat Al-Anbariyah fi Tahkiimil Qowaaniin
Al-Wadh'iyah”, diantaranya beliau mengatakan : "Tidak
tersembunyi lagi bagi anda sekalian bahwa mewajibkan, mengharamkan hanyalah hak
Alloh dan Rasul-Nya sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Oleh karenanya, saya memohon
kepada anda sekalian untuk menjelaskan hujjah-hujjah syar'i mengenai keputusan
Lajnah yang terhormat yang melarang dicetaknya kembali kitab (Al-Hukmu..) yang
telah terbit sejak
Maka di sini penulis
menasehatkan kepada siapa saja yang telah termakan isu atau syubhat bahwa buku Syaikh
Kholid ini berada diatas manhaj Murji'ah agar dia membaca sendiri buku tersebu
dan meneliti manakah pemikiran Murji'ah yang dituduhkan itu!!! Demikian pula
yang menuduh Syaikh Kholid Murji'ah agar dia membaca karangan Syaikh
Kholid yang berjudul Murjiatul Ashr (Murji’ah
abad ini). Buktikan apakah beliau Murji'ah atau malah sebaliknya membantah
Murji'ah!!!
Jika
demikian ini keadaannya, masihkah kita berani menuduh Dakwah Salafiyah sebagai
Murji'ah atau Jahmiyah?I
“Dan
peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu
semua dikembalikan kepada Alloh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan
yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun
tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. AI-Bagarah : 281)
إِنَّ
رَبَّكَ
لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (QS. AI-Fajr : 14)
Begitu
jelasnya bukti-bukti akan jauhnya Syaikh Al-Albani, Syaikh Ali
Al-Halabi dan Syaikh Kholid Al-Anbari dari Murji'ah, namun masih ada
saja orang yang buta akan hal ini.
الْحَقُّ
شَمْسٌ
وَالْعُيُوْنُ
نَوَاظِرُ لَكِنَّهَا
تَخْفَى
عَلَى
الْعَمْيَانِ
Kebenaran bak
matahari dan mata-mata ini yang melihatnya
Akan tetapi matahari itu tersembunyi bagi si buta
أَصَمَّكَ
سُوْءُ
فَهْمِكَ
عَنْ
خِطَابِيْ وَأَعْمَاكَ
الضَّلاَلُ
عَنْ
اهْتِدَاءِ
Kejelekan pemahamanmu
membuatmu tuli dari ucapanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari petunjukku
Sebagai
penutup, simak dan renungkan ucapan berharga dari seorang doktor spesialis
kelompok-kelompok sempalan, Syaikh DR. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql -hafizhahullahu- :
"Tidak semua
orang yang dituduh Murji'ah dia benar Murji'ah. Terlebih
di zaman ini, karena tukang-tukang
pengkafiran dan orang-orang ekstrim dari kalangan Khowarij atau yang seperti
mereka yang bodoh akan kaidah-kaidah salaf tentang vonis, menuduh orang yang
menyelisihi mereka dari kalangan ulama maupun penuntut ilmu dengan Murji'ah.
Dan kebanyakan yang digembar-gemborkan mereka adalah masalah berhukum dengan
selain hukum Alloh dan masalah wala' serta baro'.
Dan terkadang sebagian yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan sunnah
ikut andil dalam menuduh tanpa adanya kehati-hatian. Bahkan sebagian penuntut
ilmu yang sudah tinggi keilmuaannya ketika menulis masalah takfir pada zaman
ini menuduh orang yang menyelisihinya dalam masalah yang juga diperselisihkan
oleh salaf dengan tuduhan Murji'ah. Padahal permasalahannya jika diteliti
kembali tidak termasuk prinsip Murji'ah.”[7]
(Selesai)
(Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah; Edisi 21; Rajab
1427-Agustus 2006; Dinukil dengan sedikit perubahan dan pembenahan)
-OOO-OOO-
[1] Al-Ajwibah al-Mutala`imah ‘alal Fatwa Lajnah Da`imah (hal. 4)
[2] at-Ta’rif wat Tanbi’ah (hal. 15)
[3] Ar-Roddul Burhani
(hal. 256-259).
[4] Muqoddimah Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzalallohu
(hal. 9)
[5] Syaikh Khalid al-Anbari
berkata : “Menceritakan kepadaku orang yang terpercaya bahwa para takfiriyun
mencoba untuk membujuk Syaikh Bin Baz agar mencekal kitab ini dan mereka
berusaha untuk menjelek-jelekkannya akan tetapi syaikh membantah mereka hingga
mereka pun gagal. Akan tetapi sepeninggal Syaikh mereka berhasil (menjalankan
makarnya).”
[6] Lihat al-Hukmu (hal. 16)