Message: 1
Date: Sun, 27 Jun 2004 07:27:58
-0700 (PDT)
From: fsms sunnah <fsms_sunnah@yahoo.com>
Subject:
Bahaya Tabdi', Tafsiq, dan Takfir (Syaikh Sholih Fauzan
al-Fauzan)
NASEHAT SYAIKH SHOLIH FAUZAN AL-FAUZAN
DALAM
DHOHIRATU TABDI' WA TAFSIQ WA TAKFIR WA DLOWABITUHA
Syaikh
menjelaskan ciri-ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam risalahnya Dhahiratu Tabdi'
wa Tafsiq wa Takfir wa Dlowabituha (Bahaya tafsiq, takfir dan tabdi', Pustaka
Imam Bukhori) hal 11 sebagai berikut :
"Ciri-ciri ahlus sunnah wal
Jama'ah, bahwa mereka satu tangan (ikatan, karena mereka bersaudara. Maka, tidak
pernah saling mengkafirkan, memfasikkan dan saling membid'ahkan satu dengan
lainnyam karena sikap-sikap itu merupakan ciri khas firqoh-firqoh yang sesat.
Mereka selalu melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
"Barang siapa diantara kalian masih hidup sesudahku, akan melihat perselisihan
yang banyak. Maka wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnahnya para khlaifah yang lurus dan mendapatkan petunjuk. Berpegangteguhlah
dengannya dan gigitlah sunnah itu dengan gigi gerahammu, serta jauhilah
perkara-perkara yang baru" ((HR Abu Dawud IV/200, Turmudzi VII/318,319, Ibnu
Majah I/15-16 dan VII/157 semuanya dari 'Irbadh bin Sariyah Radhiallahu
'anhu).
Maka mereka selalu di atas manhaj Rabbani ini. berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khalifah yang lurus, serta manhaj salafus shaloh.
Dan mereka tetap di atas demikian itu -Alhamdulillah- meskipun jumlah mereka
sedikit, namun barakh dan penuh kebaikan.
Mereka selalu mengikuti
manhajnya Muhajirin dan Anshar dengan baik dan berpegang teguh dengannya,
sebagai pengamalan firman Allah Ta'ala, "Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman;
Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS
al-Hasyr : 10)
Pada halaman 15, Syaikh menjelaskan Dasar-Dasar Madzhab
Ahlus Sunnah wal jama'ah sebagai berikut :
"Dasar-dasar madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama'ah adalah, selamatnya hati dan lisan mereka terhapad para
sahabat dan saudara muslim mereka dimana saja dan kapan saja. Mereka selalu
berdo'a, "dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi
Maha Penyayang."
Mereka mengamalkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
Sallam, "Salah dari kamu tidak akan beriman (dengan sempurna)hingga mencintai
saudaranya seperti halnya mencintai dirinya sendiri." (HR BUkhari I/9 dari Anas
bin Malik).
Dan ini merupakan sifat Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Kelompok
yang selamat), bahwa mereka selalu berada di manhaj ini, saling melindungi,
lemah lembut, saling sayang menyayangi satu tubuh, satu bangunan, satu ummat,
yang merupakan ciri Ahlus Sunnah wal Jama'ah."
Kemudian
pada halaman 21, Syaikh menjelasakan tentang Munculnya sikap Tabdi', Tafsiq dan
Takfir sebagai berikut :
"Sungguh telah muncul pada zaman ini di kalangan
para pemuda dan orang-orang Islam yang jahil terhadap hakikat Islam dikarenakan
semangat yang meluap dan tidak pada tempatnya, sikap tabdi', tafsiq dan takfir.
Hingga kesibukan mereka dalam segala urusan hidup dipenuhi oleh sifat-sifat
tercela ini. Membahas aib-aib dan menyebarkannya hingga tersebar luas. Ini
merupakan tanda fitnah dan kehancuran. Kita memohon kepada Allah Ta'ala agar
menjaga kaum Muslimin dari kejelekannya dan mengarahkan para pemuda muslim pada
jalan yang benar dan menganugerahkan amal di atas manhaj salafus sholih, meniti
di atasnya serta menjauhkan mereka dari da'i-da'i
jahat."
Pada halaman 51, Syaikh menjelaskan kesimpulan
beliau sebagai berikut :
"Sesungguhnya perkataan tafsiq, tabdi' dan
takfir adalah kalimat kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata
itu dilontarkan kepada manusia, maka akan mempunyai dampak.
"Bila
seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh akan kembali
ucapan itu kepada salah satu dari keduanya" (HR Bukhari VII/97 dari Abi
Hurairah)
"Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti
membunuhnya dan barangi siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran,
maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin
Dhihah).
Maka jika seseorang berkata kepada saudaranya: Hai si Fasiq, hai
si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang itu tidak demikian, maka akan kembali
ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: Demi Allah, Allah
tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda
bahwa Allah berfirman :
"Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan
mengampuni fulan, sungguh aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu." (HR
Muslim IV/2023 dari Jundab)
Padahal ini satu kalimat, maka bagaimana bila
lebih daripada itu?
"Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu
perkataan yang bisa menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan
barat." (HR Bukhari VII/184 dari Abi Hurairah)
kalau begitu meskipun satu
kalimat, maka itu sangat berbahaya.
Maka sesunguguhnya orang-orang yang
melontarkan ucapan-ucapan kepada para ulama dengan tuduhan tafsiq, tabdi' dan
takfir tidak akan membahayakan para ulama tersebut, tetapi justru membahayakan
diri mereka sendiri. Karena para ulama memiliki kedudukan, ilmu dan kehormatan,
dan Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka yang telah mereka lakukan untuk
Islam dan Muslimin. Adapun tuduhan itu akan kembali kepada orang-orang yang
menuduh.
Maka wajib bertakwa kepada Allah orang-orang yang suka
melontarkan tuduhan kepada para ulama baik yang sudah wafat maupun yang masih
hidup. Karena Allah Sunhanahu wa Ta'ala telah memperingatkan ummat untuk tidak
ikut-ikutan pada orang tersebut.
"Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (Al-Hujurat :
6)
Makna kata fatabayyanu adalah mencari kejelasan dari ucapan mereka dan
tidak langsung menerima ucapan mereka.
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim." (al-Hujurat : 11)
"Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka
itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang" (al-Hujurat : 12)
Allah melarang su'udhan kepada orang-orang
muslim secara umum, maka bagaimana bila itu ditujukan kepada ulama? Oleh karena
itu, su'udhan kepada ulama merupakan dosa besar. Karena mereka pewaris para
nabi. Dan bila ummat ini tidak percaya pada ulamanya, maka kepada siapa mereka
hendak percaya.
Kata-kata 'wa laa tajassasuu yakni jangan
membicarakan aib muslimin yang seharusnya ditutupi. Yakni, bahwa makan daging
bangkai itu tidak lebih hina daripada melontarkan tuduhan (ghibah) kepada para
ulama, karena mereka sebaik-baik ummat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
"Ghibah itu kamu menyebut saudaramu tentang apa-apa yang dia
tidak suka. Mereka bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika yang ada
pada saudaraku itu seperti yang aku katakan?, Rasulullah menjawab, JIka padanya
seperti yang kamu sebutkan, itulah yang dinamakan ghibah. Dan jika tidak ada
padanya maka berarti kamu telah menuduhnya." (HR Muslim IV/200 dari Abi
Hurairoh).
Jika orang yang mengatakan itu tidak terlepas dari dua hal,
baik sebagai penggibah ibarat memakan bangkai atau penuduh yang
dusta."
Pada halaman 57, Syaikh menyatakan wajibnya memberikan nasihat
sebagai berikut :
"Dari sini wajib bagi Muslimin untuk memberikan nasehat
kepada orang-orang yang panjang lidah, dan mengingkari mereka dengan
sekeras-keras pengingkaran serta mencegah upaya-upaya mereka. Sehingga mereka
kembali kepada kebenaran dan Jama'ah kaum muslimin selamat dari dosa dan adzab.
Maka nasihatilah mereka, karena agama itu nasehat. Karena ucapan mereka itu
mengandung bahaya terhadap ummat Islam yang bisa memecah belah keutuhan dan
melemahkan jama'ah mereka, membangkitkan permusuhan dan menghapuskan kepercayaan
dari ulama kaum muslimin. sedangkan hilangnya kepercayaan antara ummat da para
ulama itu adalah musuh yang etrbesar hingga akan menghilangkan manfaat yang
besar dari ilmu agama ini. Oleh karena itu wajib bagi orang-orang yang mengikuti
jejak para ulama untuk bertaubat kepada Allah dan menghentikan langkah ini,
karena itu merupakan langkah setan.
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan" (an-Nur : 21)
Maka,
kita dan kaum muslimin wajib bertaubat kepada Allah dan menumbuhkan rasa cinta
di antara ummat Islam, serta menjauhkan segala yang menyebabkan kedengkian dan
perpecahan serta kebencian diantara mereka.
Dan aku minta ampun kepada
Allah untuk diriku dan dirimu, serta seluruh ummat Islam. Aku memohon kepada-Nya
agar memberikan petunjuk kepada kita dalam beramal sholih dan menjadikan amal
kita ikhlash karenanya. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
kita Muhammad Shallallahu 'alahi wa Sallam, keluarganya dan seluruh
sahabatnya.
TANYA JAWAB BERSAMA SYAIKH FAUZAN SEPUTAR
MASALAH INI
Pertanyaan : Bagaimanakah batasan bid'ah dan kapan seseorang
disebut sebagai mubtadi'?
Jawab : Bid'ah adalah seperti yang disabdakan
Nabi : barangsiapa mengada-adakan pada urusan kami yang tidak ada padanya maka
tertolak (HR Bukhari III/167 dari Aisyah). segala yang diada-adakan adalah
bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat. Sedangkan bid'ah itu adalah setiap
sesuatu yang tidak ada dasarnya dari al-Kitab maupun as-Sunnah, baik dalam
masalah ibadah atau fikiran dan sebagainya, baik dalam ucapan, amalan atau
keyakinan dan lain-lain.
Pertanyaan : Bila memperingatkan kebid'ahan akan
menimbulkan fitnah, maka apakah berarti diam berarti lebih utama? atau tetap
memperingatkannya meskipun terjadi apa yang akan terjadi?
Jawab : Cukup
cerdik (penanya ini penting). Bila diperkirakan lebih besar madharatnya daripada
mashlahatnya, maka di sana melakukan kemudharatan yang lebih ringan dalam rangka
menolak madharat yang lebih besar adalah lebih tepat. Akan tetapi tidak boleh
diam dalam menjelaskan dan berdakwah kepada Allah dengan nasehat yang baik dan
mengajari manusia sedikit demi sedikit. "Bertakwalah kepda Allah sekemampuanmu"
(at-Taghabun : 16). Maka jia menampakkan keingkaran akan terjadi mafsadah
(fitnah) yang lebih besar, maka kita jelaskan dan kita terangkan kepada manusia
itu hingga mau meninggalkan kebid'ahan dari pribadi-pribadi. "Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik" (an-Nahl : 125). Orang jahil harus dimulai dengan hikmah
dan lunak. Bila kita lihat dirinya berpaling maka dinasehati dan ditakut-takuti
dengan ancaman Allah. Bila kita lihat dia tidak menerima kebenaran dan malah
membantah serta menolaknya dengan
alasan-alasan, maka dipatahkan dan
dibantah dengan alasan-alasan itu dengan cara yang lebih baik. Walhasil bahwa
kaidah secara syar'i memperbolehkan melakukan kemudharatan yang lebih ringan
untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar. Karena mencegah timbulnya
kemadharatan itu lebih didahulukan daripada menjalankan kemaslahatan. Akan
tetapi ini bertahap. Maka kita bermuamalah dengan mereka orang-orang yang
melakukan kebid'ahan itu. Kita bermasyarakat dengan mereka secara baik dan
lunak, kita jelaskan kepada mereka bahwa ini salah dan tidak boleh dilakukan,
sering-sering kita ingatkan, maka Allah akan memberikan hidayah kepada orang
yang Dia kehendaki. Maka mereka akan bisa membekas dengan nasehat dan
peringatan. Mereka akan tinggalkan kebid'ahan itu dari diri mereka sendiri. Kita
berikan jaminan kepada mereka demi keberhasilan dakwah. Kita tempatkan hikmah
pada tempatnya, nasehat pada tempatnya dan kita tempatkan ketegasan pada
tempatnya. Demikianlah seharusnya yang ada pada
da'iyah ilallah di
setiap tempat dan kesempatan.
Pertanyaan : Kami menginginkan penjelasan
darimu ya syaikh tentang prinsip-prinsip salaf dalam menyikapi ahli
bid'ah, jazzakumullahu.
Jawab : Orang-orang salaf tidak membid'ahkan
setiap orang dan tidak melemparkan kata bid'ah kepada setiap orang yang
melemparkan kata bid'ah kepada setiap orang yang menyelisihi sunnah. Mereka
mensifati bid'ah hanya pada orang yang melakukan amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah tanpa dalil. Tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya
berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, "Barang siapa yang
beramal tanpa ada perintah dari kami, maka tertolak." Bid'ah adalah melakukan
sesuatu yang baru dalam agama yang tidak ada dalil dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam, inilah bid'ah. Bila seseorang telah nyata
melakukan bid'ah dalam agama dan tidak mau kembali, maka sesungguhnya manhaj
salaf menghajrnya, menjauhkan diri darinya dan tidak bermajelis dengannya.
Inilah manhaj mereka. Akan tetapi seperti yang aku sebutkan yaitu sesudah ada
kejelasan bahwa dia mubtadi'., sesudah dinasehati dan tidak mau kembali dari
kebid'ahannya. Maka, saat itulah dia
dihajr supaya bahayanya tidak
menimpa pada orang yang duduk atau berhubungan dengannya, karena manusia sudah
diperingatkan dari ahli bid'ah dan bid'ah-bid'ahnya. Adapun berlebihan dalam
menilai bid'ah pada setiap orang yang menyelisihi pendapat, kemudian dikatakan
'orang ini mubtadi'!. Setiap orang menilai lainnya mubtadi', padahal dia
tidak mengada-ada dalam agama sedikipun, kecuali sekedar menyelisihi pendapat
seseorang atau menyelisihi jama'ah yang lain, maka bukanlah orang ini mubtadi'.
Orang yang melakukan perkara yang haram atau maksiat disebut ahli maksiat dan
tidak setiap ahli maksiat disebut dengan mubtadi'. Tidak setiap orang yang salah
mubtadi' karena mubtadi' itu orang yang mengada-adakan dalam agama yang tidak
ada dalilnya. Inilah mubtadi'. Adapun berlebihan menjuluki bid'ah secara umum
kepada setiap orang yang menyelisihi pendapat orang lain, maka ini tidak benar,
dan bukan dari manhaj salaf. (Lihat kitab Hijrul Mubtadi' oleh Syaikh Bahan bin
Abdullah).
Dalam Sahab li fatawa Islamiyyah no
335
(dialihbahasakan oleh Abu Salma dari sahab.net)
Syaikh Sholih
Fauzan ditanya tentang dakwah khowarij dan mu'tazilah yang menyebarkan kekerasan
dan takfir kepada kaum Muslimin, syaikh menasehatkan sebagai berikut
:
Hal ini adalah Manhaj yang khothi', karena Islam melarang dari
kekerasan dalam dakwah. Allah Ta'ala berfirman : "Serulah mereka ke jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan mau'idhah hasanah dan bantahlah mereka dengan cara
yang lebih baik." (an-Nahl : 125). Dan Allah berfirman pula pada Musa dan Harun
'alaihimas salam yang akan berhadapan dengan Fir'aun, "Dan katakanlah (wahai
kamu berdua) kepadanya (Fir'aun)perkataan yang lembut semoga dia ingat dan
takut" (Thoha : 44).
(Ingatlah) kekerasan hanya menemui kekerasan, dan
tidaklah akan menghasilkan sesuatu melainkan lawan dari yang diinginkan,
sehingga akan membekas pada kaum muslimin keburukannya. Yang diinginkan adalah
da'wah dengan hikmah dan dengan cara yang baik, dengan menggunakan ar-Rifru
(kelemahlembutan) terhadap mad'u. Adapun menggunakan kekerasan terhadap mad'u
dan tasyaddud serta bengis, maka cara ini bukanlah cara Islam!!! Wajib bagi
setiap Muslim untuk menempuh da'wahnya dengan manhaj Rasul Shallallahu 'alaihi
wa Sallam dan dengan tuntunan al-Qur'an dan
as-Sunnah...!!!