![]()
Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah
atas ahli bid'ah (I) Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar
Ruhaili Manhaj, 29 - Desember - 2003,
10:35:24
Banyak
ditemukan dalam beberapa karya para ulama dan pernyataan
mereka baik dahulu baik sekarang ungkapan yang berbunyi, tidak
ada ghibah buat ahli bid’ah. Namun setelah dirinci, maksudnya
adalah landasan dalam menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan
keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi
keburukannya.
Dalam mendudukan sikap ahli sunnah
terhadap ahli bid’ah, hendaknya berangkat dari dalil-dalil
yang shahih dan pernyatan ulama salaf, juga sikap itu bisa
dibenarkan oleh kaidah dasar syariat. Apalagi sikap di atas
termasuk lanjutan dari sikap kebencian terhadap ahli bid’ah
yang tampak secara lahiriyah
Masalah ini akan di bahas
dalam dua bahasan di bawah ini: Masalah pertama : Maksud
dari ungkapan di atas adalah penjelasan tentang hukum
menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah,
agar umat tidak terpengaruhi keburukannya. Setelah merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-sunnah serta pernyataan para ulama,
ditemukan keputusan secara jelas bahwa, ”Bahwa boleh menghujat
dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk
menasihati umat, agar mereka tidak terpengaruhi mereka“.
Dalil-dalil yang mendukung ketetapan itu banyak sekali, namun
saya batasi menjadi dua bagian : Pertama : Dalil secara
umum tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, seperti dalam
firman Allah Ta’ala, وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ artinya : Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
(Al Quran Surat Ali Imran 104). Ibnu Katsir Rahimahullah
menafsirkan, ”Allah Ta’ala menghendaki agar dari segolongan
umat ada yang peduli masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Meskipun demikian, setiap umat tetap memiliki tanggung jawab
masalah tersebut, sesuai kadar kemampuan masing-masing,
berdasarkan hadist dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melihat
kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya (Tafsir Ibnu
Katsir 1/290).
Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa
baik tidaknya umat tergantung pada penegakan amar ma’ruf nahi
mungkar sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut : كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ
آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ
الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ artinya : Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
(Al Quran Surat Ali Imran 110). Menurut Mujahid, ”Umat
Islam akan tetap bisa menyabet predikat umat terbaik asal
memenuhi syarat di atas.”
Sedangkan menurut Imam
Asy-Syaukani, “Ayat di atas berstatus hal yang berarti
predikat umat terbaik sangat terkait dengan kemauan dalam
beramar ma’ruf dan nahi mungkar. “(Tafsir Fath Al Qadir, Asy
Syaukani 1/371).
Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu
meriwayatkan, saya mendengar Rasalullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda: ”Barangsiapa yang melihat kemungkaran
hendaklah mengubah dengan tangannya, bila tidak mampu maka
dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya.
Demikian itu selemah-lemah iman.”(HR Muslim).
Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh beramar ma’ruf dan nahi
mungkar dengan tiga tingkatan sesuai kadar kemampuan
masing-masing.
Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu
‘anhu, nabi bersabda : “Tiada seorang nabi yang diutus Allah
kepada umatnya sebelumku, melainkan ada diantara umatnya yang
menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil
sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah
mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka
kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan.
Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang
mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia
seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan
hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki
keimanan sebiji sawipun. (HR Muslim).
Ijma’ juga
menyatakan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang
dikatakan Imam an Nawawi, “Antara Al Quran, As Sunnah dan Ijma
telah selaras dalam membuat pernyataan wajibnya amar ma’ruf
dan anhi munkar. Sebab hal itu, bagian dari nasihat dalam
agama dan tidak ada yang menyangkal manhaj tersebut, kecuali
sebagian Rafidhah. (Syarh Shahih Muslim, 1/22)
Jika
kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar telah menjadi ketetapan
baku, sementara bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar adalah
mengajak orang kembali kepada As-Sunnah, memperingatkan mereka
dari bahaya bid’ah, membongkar keburukan ahli bid’ah menghujat
mereka karena penyelewengan dari manhaj yang benar dan
mengikuti hawa nafsu sehingga terjerumus dalam kerusakan,
kebid’ahan, kesesatan dan penyelewengan dalam agama, agar
semua manusia tahu dan menjauhi mereka.
Syaikhul Islam
menjelaskan bahwa tahdzir merupakan bagian amar ma’ruf dan
nahi mungkar terhadap ahli bid’ah. Ia berkata, “Orang yang
mengajak kepada bid’ah, berhak mendapat sanksi berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman
mati seperti hukuman mati yang telah diterapkan pada Jahm bin
Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari dan yang lainnya.
Andaikata (pelakunya, red) tidak mungkin dijatuhi sanksi,
namun kebid’ahan harus tetap dijelaskan kepada umat. Sebab hal
itu, bagian dari dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang
diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (Majmu’ Fatawa,
35/414).
Dengan demikian, mengungkap kebid’ahan dan
menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada semua orang, merupakan
bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan
dalil yang shahih.
Kedua : Dalil secara khusus yang
menganjurkan untuk membongkar dan memjelaskan bahaya ahli
bid’ah kepada semua umat, antara lain: Allah Ta’ala
Subhanahu wa Ta’ala berfirman : لاَّ يُحِبُّ اللّهُ
الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ
اللّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا (yang artinya) : “Allah tidak
menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.“ (An Nisa’:148)
Ibnu Katsir
meriwayatkan penafsiran Mujahid, “Ada salah seseorang bertamu
lalu tidak mendapat hak tamu secara layak. Setelah keluar dari
rumah orang tersebut, dia berkata kepada orang-orang, ‘Saya
bertamu ke rumah si Fulan, tapi bsaya tidak mendapat hak tamu
secara layak.’Beliau berkata, “Ini adalah ucapan buruk yang
disampaikan dengan terus terang kecuali oleh orang yang
teraniaya hingga yang lain memberikan hak tamu kepadanya
(Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, hal. 571)”. Bahkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah menyatakan secara tegas, bahwa peristiwa itu
menjadi sebab turunnya ayat di atas (Majmu’ Fatawa, vol. 28,
hal 230). Apabila terus terang mengucapkan ucapan buruk untuk
membela diri diperbolehkan, maka untuk membela agama Allah
Ta’ala dari perusak dan pengacau agama, lebih utama dan sangat
dianjurkan, agar mereka tidak menebar fitnah bid’ah di
kalangan umat.
Dalil dari Sunnah antara lain hadits
dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Ada orang yang meminta izin
untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan
beliau bersabda, “Izinkanlah dia, sungguh dia adalah
seburuk–buruk saudara atau teman bergaul. Ketika orang
tersebut masuk, beliau bertutur kata manis. Lalu saya
bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ucapan
seperti itu, kemudian tiba-tiba engkau bertutur kata manis di
depannya, ‘Beliau menjawab, ‘Hai Aisyah, sejelek-jelek orang
adalah orang yang dijauhi karena takut kejahatannya (HR.
AL-Bukhari dalam kitab Al-Adab dan Muslim dalam kitab
Al-Birr).
Imam An-Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi,
“Orang yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah
Al-Fazari atau Abu Malik. Ketika itu, ia belum masuk Islam,
walaupun telah menampakkan keislaman. Nabi ingin menjelaskan
perangainya agar semua orang mengerti dan tidak terkecoh, juga
sebagai bukti perangai buruk pada masa Nabi masih hidup.
Setelah beliau wafat, dia murtad bersama kelompok orang-orang
murtad, yang kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, sehingga
pernyataan beliau di atas sebagai tanda kenabian. Adapun
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap bersikap lemah
lembut dan bertutur kata manis, dalam rangka membujuk hatinya
agar tertarik dengan Islam. Hadits di atas menjadi dalil
diperbolehkan basi-basi untuk menghindar dari kejahatannya dan
menggunjing orang fasik yang menampakkan kefasikannya (Syarh
Shahih Muslim, vol.16 hal. 144).
Aisyah berkata bahwa
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya tidak
menyangka kalau dua orang itu mengerti sedikit pun tentang
agama itu ?” Laits salah seorang perawi hadits berkata, “Dua
orang tersebut termasuk orang munafik” (HR.
Al-Bukhari).
Sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
tersebut sebagai bentuk tahdzir. Dan hukum itu bisa berlaku
kepada siapa saja yang semisal dengan orang
tersebut.
Menurut Ibnu Hajar, prasangka seperti itu
bukan suatu yang dilarang, karena dalam rangka memberi tahdzir
kepada kedua orang tersebut dan yang semisal dengan mereka
(Fath Al-Bari, vol. 10, hal. 486).
Begitu juga kisah
Fatimah bin Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm
melamarnya, ia minta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasululllah Shalallahu
‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan
miskin tidak punya harta” (HR. Muslim, kitab
Ath-Thalaq).
Jika diperbolehkan mengungkap aib dua
sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah
lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama umat
secara umum.
Syaikhul Islam berkomentar tentang makna
hadits di atas, “Demikian bagian dari nasihat buat wanita
tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini
bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan
orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi
saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih
utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas
lebih lebih utama untuk diperbolehkan (Majmu’ Fatawa, vol. 28,
hal. 230).
Menurut hemat saya, lebih utama lagi ketika
berkaitan dengan kepentingan keagamaan umat seperti
memperingatkan bahaya ahli bid’ah, bahkan lebih utama darui
semua perkara di atas.
Membuka aib ahli bid’ah
dikuatkan ulama salaf, al-Lalika’i meriwayatkan dari Ashim Al
Ahwal, “Saya duduk di sampung Qatadah. Dalam obrolan dia
menyebut-nyebut Amr bin Ubaid dalam majlisnya maka saya
berkata, “Wahai Abu Khaththab, saya tidak ingin melihat ulama
satu sama lain saling berselisih.“ Ia berkata, “Wahai Ahwal,
bukanlah kamu tidak tahu bila seseorang membuat suatu bid’ah
harus disebut-sebut agar diketahui orang” (Syarh Ushul I’tiqad
Ahli Sunnah, vol.2, hal.738).
Dalam kitab As-Sunnah
karya Al-Khalaal, Zaidah mengisahkan, aku berkata kepada
Manshur,”Wahai Abu Ithab ketika diantara kita berpuasa, boleh
tidak mencela orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar?”
Beliau berkata, “Jelaskan pemikirannya kepada semua orang dan
mintalah sehat wal afiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(lihat As Sunnah, Al- Khallal, vol.1, hal.495, Al-Ibanah
Ash-Shughra, hal. 163 dan Talbis Al- Iblis,
hal.17).
Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan
kepada Asad bin Furaat berbunyi,”Wahai saudaraku, yang menjadi
pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah
karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan
sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah, dan menampakan aib
ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat
mereka, semoga Allah Ta’ala menghancurkan mereka lantaran
kamu,dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala
memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli
bid’ah. Dan semoga Allah Ta’ala menghinakan mereka, sehingga
tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi.
Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik, dan semoga
masuk dalam amal kebaikan paling utama dari shalat, puasa,
haji dan jihad manakah yang lebih baik daripada menegakkan
Kitabullah dan Sunnah Rasul .(Lihat Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha,
Ibnu Wadhdhah,hal 6)
Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah
menghujat Asy’ari :
”Aku akan potong-potong kehormatan
kalian, selagi nyawaku masih di kandung badan.
Aku
akan menyerang hizbi kalian dengan syairku, hingga badanku di
bungkus kain kafan.
Aku akan robek penutup aibmu,
hingga sampai titik darah penghabisan.
Aku akan menulis
kepada penduduk negri ini yang berisi hujatan kepada kalian,
hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta
keletihan.
Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian
dengan hujjah –hujjahku, hingga kebodohan kalian tertutupi
dengan pengetahuanku “ (lihat Nuniyah Al-Qathani, hal.
52).
Demikian itu pernyataan salaf yang terkenal taat
beragam, bertaqwa zuhud dan wara. Mereka secara
terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli
bid’ah. Bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu
juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang
sama.
Imam al Qarafi berkata, “Aib ahli bid’ah dan
kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua
orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak
terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan
kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik
dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh
menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang
nyata. (Al Faruq 4/207-208).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan
ahli bid’ah, beliau berkata, ”Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah
yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al Quran dan
As Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As
Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib
menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad
ditanya : “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang
berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara
tentang keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, “Jika
seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi
orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab,
”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk
seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berari
berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari
jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau
tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan
rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah
hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak
hati lebih dahulu. (Majmu’ Fatawa 28/231-232).
Beliau
menambahkan, ”Bila ahli bid’ah memiliki keyakinan atau cara
ibadah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, serta
dikhawatirkan mereka menyesatkan orang. Maka boleh dijelaskan
kesesatan mereka dan semua itu dilakukan penuh dengan
keikhlasan dan mencari ridha Allah Ta’ala, bukan karena unsur
permusuhan pribadi yang berkaitan dengan dunia seperti dengki,
hasad atau berebut popularitas. Atau berbicara tentang
keburukan mereka seakan-akan ikhlas, ternyata di dalam hati
tersimpan kebencian pribadi, jelas ini adalah perbuatan setan.
(Majmu’ Fatawa 28/221)
Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaad Al
Ma’ad menyebutkan beberapa faidah perang Tabuk antara lain :
Seorang muslim boleh menilai buruk kepada ahli bid’ah, bila
dalam rangka membela Allah Ta’ala dan RasulNya. Seperti ahli
hadits menilai buruk kepada para perawi hadits yang lemah atau
ahli sunnah menilai buruk kepada ahli bid’ah, namun bukan
untuk sekedar melampiaskan kepuasan pribadi. (Zaad Al Ma’ad
3/18).
Imam Asy-Syatibi menjelaskan masalah hukum
membicarakan keburukan ahli bid’ah - Boleh menyebut-nyebut
keburkan ahli bid’ah dan menjelaskan kebid’ahan mereka agar
semua orang terhindar fitnah ucapan bid’ah dan bahayanya,
sebagaimana yang dilakukan ulama salaf. (Al I’tisham
1/176).
Beliau menambahkan, ”Tidak boleh membicarakan
ahli bid’ah secara khusus kecuali dalam dua keadaan, dan saya
cukup menyebutkan kedua saja yaitu : Jika firqah tersebut
mengajak kepada kesesatan dan membuat orang awam dan orang
yang tidak berilmu menjadi tergiur dan terpedaya dengan
kebid’ahan mereka. Bahaya mereka terhadap umat seperti
bahayanya iblis, mereka termasuk setan dari kalangan manusia.
Oleh karena itu, harus disampaikan secara tegas, bahwa mereka
ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka
kepada ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan
mereka kepada firqah bid’ah, asal didukung bukti kuat.
Sebagaimana kisah ‘Ashim Ahwal dengan Qatadah di atas. Mereka
perlu secara khusus menjelaskan bahaya mereka kepada
masyarakat luas, mengingat bahaya mendiamkan mereka (tidak
mencelanya, red) lebih besar, daripada membicarakan mereka.
Kendatipun dikhawatirkan menciptakan permusuhan dan
perpecahan. (Al I’tisham 2/228-229).
Dengan dalil-dalil
dan pernyataan ulama salaf di atas, menjadi jelas bolehnya
menghujat dan menjelaskan perangai ahli bid’ah secara khusus,
agar semua orang selamat dari fitnah mereka. Bahkan suatu
kewajiban yang paling wajib dan termasuk bagian dari jihad di
jalan Allah yang lebih utama dari berjihad melawan musuh
dengan pedang dan tombak. Ini ditinjau dari beberapa sisi
: Pertama : Sebagaimana penuturan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah bahwa bahaya bid’ah langsung meracuni dan merusak
hati umat Islam, sementara bahaya musuh perang hanya merusak
perkampungan kaum muslimin. Maka berjihad melawan ahli bid’ah,
lebih utama daripada berjihad melawan musuh dengan pedang dan
tombak, meskipun keduanya tetap harus menjadi kewajiban setiap
umat sepanjang zaman.
Kedua : Umat memahami akan bahaya
perang fisik, sehingga mereka secara serentak bergerak bersama
untuk melawan musuh. Berbeda dengan ahli bid’ah, tidak semua
orang bisa memahami bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, jihad melawan ahli bid’ah lebih utama
daripada jihad melawan musuh fisik, mengingat sedikit sekali
yang mau berjihad melawan ahli bid’ah. Bahkan sebagian umat
secara sadar atau tidak, ikut serta membantu ahli bid’ah dalam
menebar kesesatan. Orang yang berjihad dalam keadaan seperti
ini bagaikan memerangi musuh, (seperti keadaan) setelah
pasukan banyak melarikan diri dari medan perang. Manakah
pahala orang yang berperang bersama tentara yang kuat dengan
tentara yang ditinggalkan lari oleh pasukan ?
Ketiga :
Berjihad melawan musuh fisik banyak orang yang siap, berbeda
dengan jihad melawan ahli bid’ah, tidak mungkin dilakukan
kecuali oleh para ulama yang istiqamah di atas As Sunnah.
Lebih dari itu harus ada keberanian, hujjah yang kuat serta
penguasaan manhaj dan pernyataan ulama’ salaf seputar masalah
bid’ah, agar mampu merontokkan syubhat ahli bid’ah. Bagi
pembaca buku sejarah bisa mengetahui kisah “Fitnah Al Qur’an
Makhluk” pada zaman pemerintahan Abbasiyah di masa khalifah
Makmun. Bagaimana kegigihan dan ketegaran ulama Sunnah dalam
menghadapi cobaan dan penyiksaan dahsyat, bahkan tidak ada
yang mampu menghadapi cobaan itu melainkan Imam Ahmad, Imam
Ahli Sunnah wal jama’ah dan sekelompok kecil dari ulama.
Mereka secara tegas menyatakan bahwa Al Quran Kalamullah bukan
makhluk, membantah propaganda dengan dalil dan alasan-alasan
yang lugas di bawah tekanan penyiksaan dan kebengisan
pemimpin, serta ancaman cambuk dan pembunuhan.
Tidak
banyak yang mampu menghadapi cobaan sebesar itu. Bahkan tidak
sedikit yang terpaksa menyatakan Al Quran adalah makhluk.
Ketika Imam Ahmad menghadapi siksaan cambuk, Bisyr bin Harits
ditanya,”Wajib bagi kamu untuk berbicara.” Ia menjawab,
”Kalian ingin aku meraih kedudukan para Nabi ? Itu tidak saya
miliki, semoga Allah Ta’ala menjaga Ahmad bin Hambal dari arah
depan dan belakangnya.” Hal senada diungkapkan Yahya bin Main,
”Manusia menginginkan aku seperti Imam Ahmad. Demi Allah
Ta’ala aku tidak bisa seperti Imam Ahmad, dan tidak bisa
menempuh jalan Ahmad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah
1/140).
Dengan demikian memerangi ahli bid’ah dengan
hujjah dan dalil kebenaran lebih mulia daripada perang fisik,
karena sangat sedikit orang yang sanggup.
Oleh karena
itu, wajib bagi orang yang mampu untuk berjihad melawan ahli
bid’ah terutama ulama, agar semua orang memahami kesesatan
mereka.
Bersambung ke Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir
dan ghibah atas ahli bid'ah (II)
(Dinukil dari Kitab
Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’,
Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr.
Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari
Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa
Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli
Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah
Agar Umat Selamat Dari Pengaruh
Mereka)
| |
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel
ini dengan mencantumkan url sumbernya. Sumber artikel :
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=416
|