Sebagai tambahan, Berikut ana juga bawakan terjemahan Tulisan dari
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tentang Wahabi dari Kitab beliau yang judul
aslinya : Minhajul Firqah An-Najiyah wa Thaifah Al-Manshuroh, mohon dikoreksi
apabila ada kesalahan dalam penulisannya. Moga bermanfaat...
BAGIAN 11
PENGERTIAN WAHABI
Orang-orang biasa menuduh "wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi,
kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu
rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka
menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah
semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits
riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawawiyah. Hadits itu
berbunyi:
"Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau
meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi,
ia berkata hadits hasan shahih )
Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika
beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di
luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu,
kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya
kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu
amat tercela."
Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, "Hadits ini berikut
keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain
Allah." Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!"
Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil
berkata dengan suara tinggi,
"Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd!" dan Aku bertanya
padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?" Ia
menjawab, "Aku berdo'a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada
Allah, lalu Allah menyembuhkanku."
Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak
habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau
justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."
Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau
pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali
sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang
wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak
percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan
berbagai tuduhan dusta lainnya."
Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada
pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku
wajib mengenal wahabi lebih jauh."
Kemudian penulis tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa
pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji
pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi
majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti,
sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau
memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah
kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuk-nya.
Penulis berkata dalam hati, "Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu' (rendah
hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."
Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
"Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon
pertolongan dan ampunan…", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana
Rasulullah biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau
menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para
perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya.
Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab
soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur'anul Karim dan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di
akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk
orang-orang Islam dan salaf. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini
termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk).
Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
"Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk."
(Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah
mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad.
Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah
rafidhah."
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi,
dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka
aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami
benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar
salah seorang mereka berkata, "Inilah syaikh yang sesungguhnya!"
A. PENGERTIAN WAHABI
Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid
(yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka
jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu
Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai
nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama
Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka
sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi),
yaitu Allah yang memberi-kan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada
tauhid.
B. MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal
Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang
fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri,
terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Perasaan beliau ter-sentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya
Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan,
khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultus-kan kubur,
suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang
besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku
menginginkan suami sebelum setahun ini."
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul
bait), serta kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, hal yang
sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.
Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah ,
serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan
dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur'an
menegaskan:
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at
dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat
(yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang
zhalim." (Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:
"Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika eng-kau
meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." (HR. At-Tirmidzi, ia
berkata hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan
berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha
Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari
dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih),
adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai
perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menja-dikannya sebagai
tempat bermohon selain daripada Allah.
1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:
Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh
tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan
mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." (Shaad: 5)
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan meme-rangi dan
menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol
untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan.
Tetapi Allah menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar
luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia
yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mere-ka mengatakan, dia (Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah
seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi
tidak mencintai Rasulullah serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan
shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menulis kitab "Mukhtashar
Siiratur Rasuul ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka
mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,
suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh
kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat
sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa
ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari
ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab
karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan
terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat
kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca,
mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.
2. Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di
negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan
di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam
hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang
terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallaahu 'anhu
dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud
dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah
sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz
adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah
mengutus para rasul.
3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan:
Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah se-orang
mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang
beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh
Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di
antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke
India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang
terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang
menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi
akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah
tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang
bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun
menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu
mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat
Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya
semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata
wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu
dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya
tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.
BAGIAN 12
PERANG ANTARA TAUHID DENGAN SYIRIK
Perang antara tauhid dengan syirik telah terjadi sejak lama. Sejak
zaman Nabi Nuh AlaihisSalam menyeru kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah
semata dan meninggalkan ibadah kepada berhala-berhala.
Nabi Nuh berada di tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Beliau
menyeru kaumnya kepada tauhid, tetapi peneri-maan mereka sungguh di luar harapan.
Secara jelas Al-Qur'an meng-gambarkan penolakan mereka, dalam firmanNya:
"Dan mereka berkata, 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
wadd, dan jangan pula suwaa', yaghust, ya'uq dan nasr." Dan sesudahnya mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia)." (Nuh: 23-24)
Tentang tafsir ayat ini, Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu
Abbas , dia berkata:
1. Ini adalah nama-nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh.
Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaumnya agar mereka
membuat patung orang-orang shalih tersebut di tempat-tempat duduk mereka, dan
agar memberinya nama sesuai dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan
perintah setan tersebut. Pada awalnya, patung-patung itu tidak disembah. Tetapi
ketika mereka semua sudah binasa dan ilmu telah diangkat, mulailah patung-patung
itu disembah.
2. Selanjutnya datanglah para rasul sesudah Nabi Nuh. Mereka
menyeru kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah semata, dan agar meninggalkan
apa yang mereka sembah selain Allah, sebab me-reka tidak berhak untuk disembah.
Renungkanlah Al-Qur'anul Karim yang menceritakan tentang keadaan mereka:
"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya. Maka
mengapa kamu tidak bertakwa kepadaNya?." (Al-A'raaf: 65)
"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Shalih
berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain
Dia." (Huud: 61)
"Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib.
Ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain
Dia." (Huud: 84)
"Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Sesungguhnya
aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah)
Tuhan yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku."
(Az-Zukhruf: 26-27)
Terhadap dakwah para nabi tersebut, kaum musyrikin meresponnya
dengan penentangan dan pengingkaran terhadap apa yang mereka bawa. Orang-orang
musyrik itu memerangi para rasul dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam misalnya, sebelum diutus
sebagail rasul, beliau terkenal di kalangan orang-orang Arab dengan julukan
"ash-shaadiqul amiin" (yang jujur dan dapat dipercaya). Tetapi tatkala beliau
mengajak kaumnya menyembah kepada Allah dan mengesakanNya, serta menyeru agar
meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang mereka, serta merta mereka lupa
dengan sifat jujur dan amanah beliau. Lalu mereka menghujaninya dengan berbagai
julukan buruk. Di antaranya ada yang menjuluki beliau dengan "ahli sihir lagi
pendusta". Al-Qur'an mengisahkan penolakan mereka terhadap dak-wah tauhid dalam
firmanNya:
"Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi
peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata, 'Ini
adalah seorang ahli sihir yang banyak dusta. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan
itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan." (Shaad: 4-5)
"Demikianlah tidak ada seorang rasul pun yang datang kepada
orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan. "Ia adalah seorang
tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang
dikatakan itu. Sebenar-nya mereka adalah kaum yang melampaui batas." (Adz-Dzaari-yaat:
52-53)
Demikianlah itulah sikap segenap rasul dalam dakwahnya kepada
tauhid. Dan sebagaimana gambaran ayat-ayat di atas itulah sikap kaum mereka yang
pendusta lagi mengada-mengada.
4. Pada zaman kita saat ini, jika seorang muslim mengajak sesama
saudara muslim lainnya kepada akhlak, kejujuran dan amanah, ia tidak akan
menemukan orang yang menentangnya.
Berbeda halnya jika ia mengajak mereka kepada tauhid yang
ke-padanya para rasul menyeru –yaitu berdo'a (memohon) hanya semata-mata kepada
Allah dan tidak memohon kepada selainNya, baik kepada para nabi atau wali,
karena sesungguhnya mereka hanyalah hamba Allah–, niscaya orang-orang segera
menentangnya dan menuduhnya dengan berbagai tuduhan dusta. Mungkin mereka akan
dituduh wahabi, dengan maksud untuk membendung manusia dari dakwah kepada tauhid.
Jika sang da'i mengetengahkan ayat yang didalamnya terdapat ajakan
kepada tauhid, mereka tak segan-segan menuduh dengan mengatakan, "Ini ayat
wahabi". Manakala sang da'i membawakan hadits:
Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah dan jika kamu mohon
pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Maka serta-merta sebagian mereka akan mengatakan, "Itu hadits
wahabi."
Bila seseorang shalat dengan meletakkan tangan di atas dada, atau
menggerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud , sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka sebagian orang akan menga-takan
sebagai orang wahabi.
Kata wahabi seakan menjadi simbol bagi setiap orang yang mengesakan
Allah, yang hanya menyembah Tuhan Yang Satu, dan mengikuti sunnah nabiNya.
Sesungguhnya wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha
Pemberi). Ia adalah salah satu dari nama-nama Allah Yang Paling Baik. Berarti
Dialah yang memberikan kepadanya tauhid, yang merupakan nikmat Allah yang paling
besar bagi orang-orang yang mengesakan Allah.
5. Para du'at kepada tauhid hendaknya sabar dan meneladani
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, yang kepadanya Allah berfirman:
"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah
mereka dengan cara yang baik." (Al-Muzammil: 10)
"Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu,
janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka."
(Al-Insaan: 24)
Setiap orang Islam hendaknya menerima dakwah kepada tauhid, serta
mencintai pada da'inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul
secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Maka barangsiapa mencintai Rasul, niscaya dia akan mencintai dakwah kepada
tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah
membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
-oOo-