Dakwah Salafiyah dan
Persatuan
Jumat, 23 Januari 2004 16:51:56
WIB
Ustad Ahmas Faiz Asifudin
Manhaj Salaf, sebagai manhaj Islam itu
sendiri merupakan manhaj pemersatu,bukan pemecah-belah. Dakwah Salafiyah adalah
dakwah yang mengajak pada persatuan, bukan dakwah yang memecah-belah umat.
Persoalannya, umat sekarang sudah terkondisi dengan kotak-kotak hizbiyah, hingga
cara pandangnya pun menjadi cara pandang hizbi (bersifat kelompok). Selalu
mencurigai orang lain. Benar atau Salah diukur dengan ukuran kelompok, tidak
berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Akibatnya, dakwah Salafiyah yang mengajak
kepada persatuan serta melepas segala belenggu hizbiyyah, dipandang dengan penuh
kecurigaan sebagai kotak baru yang menambah jumlah perpecahan umat. Ini
disebabkan, kebanyakan umat Islam sudah tidak memiliki pemahaman yang jelas lagi
tentang agamanya. Dengan kata lain, umat Islam sudah jauh meninggalkan ajaran
agamanya, dan terperangkap masuk ke dalam berbagai kelompok hizbiyah, atau ke
dalam pusaran hawa nafsunya, maka ketika kebenaran hadir, dianggap salah.Ketika
para pembela dakwah
Salafiyah menyatakan bahwa kelompok-kelompok hizbiyah itu
sesat, batil dan bid'ah -maka dianggapnya sebagai caci-makian terhadap sesama
muslim. Mereka tidak bisa membedakan, antara peringatan supaya orang tidak
terjerumus ke dalam kesesatan atau bid’ah hizbiyah, dengan caci-makian terhadap
pribadi muslim. Mereka juga tidak mengetahui atau lupa, bahwa para ulama Ahli
Hadist banyak memiliki kitab yang berisi peringatan, agar orang jangan mengambil
agama atau mengambil riwayat dari Fulan, Fulan atau Fulan, sebab ia seorang
pendusta, atau sebagai ahli bid’ah, atau seorang yang tidak layak diambil
perkataannya atau hadistnya. Nah, apakah caci-makian seperti itu tertuju kepada
pribadi muslim? Tentu bukan! Sebab maksudnya ialah untukmengingatkan umat dari
kepalsuan Fulan, perbuatan bid’ahnya atau kedustaannya.
Sebab persoalannya
adalah persoalan agama. Supaya agama ini tetap terjaga keutuhannya. Dengan
demikian, umat Islampun akan tetap terjaga keutuhan persatuannya. Tidak
dikotak-kotak dengan belenggu hizbiyah.
Jika kehadiran Rasulullah dahulu
dipandang oleh orang kafir Quraisy sebagai pemecag-belah kesatuan bangsa
Quraisy, maka –kurang lebih- demikianlah sekarang kehadiran dakwah Salafiyah di
tengah golongan-golongan umat Islam. Padahal ia bukanlah dakwah yang baru. Ia
merupakan dakwah Rasulullah, para sahabatnya serta para pengikutnya yang
mengikuti sunnah beliau. Ia merupakan dakwah yangmengajak kepada penjernihan
ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat dan noda-noda lainnya;
kemudian mengajak umat, supaya terbiasa melaksanakan ajaran Islam yang bersih
dari segenap kotoran yang menyusup. Supaya umat bisa bersatu kembali, lepas dari
kungkungan dan disiplin fanatisme golongan. Dan yang terpenting diantara yang
paling penting, yaitu terlepas dari ancaman siksa Allah Ta’ala. Jika kungkungan
dan disiplin golongan masih dipertahankan -begitu juga- jika kebatilan
ditoleransi, maka persatuan hakiki umat Islam tidak bakal terwujud. Padahal
Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan dengan tegas dalam Al-Qur’an serta
hadist-hadist shahih, supaya kaum muslimin bersatu padu dalam Islam. Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab, dalam risalah beliau, Al Ushul As Sitah, pada Al Ashlu
Ats Tsani mengatakan, “Allah memerintahkan supaya (kaum Muslimin) bersatu dalam
agama, dan melarang berpecah-belah di dalamnya. Karena itu, Allah menjelaskan
perintah-Nya ini dengan penjelasan memuaskan yang dapat difahami orang awam.
Allah melarang kita, jangan sampai menjadi golongan orang-orang yang
berpecah-belah dan berselisih dari umat sebelum kita, sehingga mereka menjadi
binasa. Allah menyebutkan, bahwa Dia memerintahkan kaum Muslimin supaya
bersepakat dalam agama, dan melarang mereka berpecah-belah pemahamannya
dalammasalah agama. Perintah Allah ini menjadi semakin jelas dengan keterangan
menakjubkan yang terdapat dalam Sunnah. Akan tetapi – sayangnya – kemudian
persoalan perpecahan faham dalam masalah pokok-pokok agama serta masalah
cabang-cabangnya, justeru menjadi ilmu dan menjadi
pemahaman yang baik
tentang agama. Sebaliknya, orang yang menyuarakan persatuan (persepsi) dalam
agama, justeru dianggap sebagai orang zindik atau gila”1
Selanjutnya Syeikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberikan penjelasan dalam syarahnya, tentang
dalil-dalil persatuan: baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, amalan sahabat maupun
amalan para Salafus Shalih. Ringkasan dari beberapa dalil sebagai
berikut:
~ Dalil Al-Qur’an Al Karim, diantaranya ialah:
Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya,
dan janganlah kamu mati kecuali sebagai orang-orang muslim (berserahdiri). Dan
berpegang teguhlah kamu dengan tali Allah semuanya, dan janganlah
berpecah-belah.
Dan ingatlah nikmat Allah yang telah diberikan kepada
kamu tatkala dulunyasaling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu
sehingga kamu menjadi bersaudara karena nikmat Allah tersebut. Dan kamu dahulu
berada di tepi jurang api neraka,lalu Allah menyelamatkanmu daripadanya.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk.
(QS. Ali-Imran:102-103).
Dan janganlah kamu menjadi seperti
orang-orang yang berpecah-belah danberselisih sesudah datang kepada mereka
penjelasan-penjelasan yang benar.Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang pedih.
(QS.Ali-Imran:105).
Sesungguhnya orang-orang yang
memecah-belah agamanya, sedangkan mereka bergolongan-golongan, maka tidak ada
tanggung jawabmu sedikitpun terhadap mereka. Sesungguhnya perkara mereka
hanyalah menjadi urusan Allah, kemudianAllah akan memberitahu kepada mereka
tentang apa yang telah mereka kerjakan
.(QS.
Al-An’am:159).
~ Dalil Sunnah, diantaranya, sabda Rasulullah
:
Janganlah kalian saling mendengki, saling memuslihati dalam jual beli,
salingmembenci, saling membelakangi, dan janganlah sebagian kalian menarik
pembeliyang sedang dalam proses pembelian dengan pedagang lain. Jadilah
hendaklahkalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah
saudaramuslim yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak merendahkannya dan
tidakmeremehkannya. Takwa adalah disini-beliau- memberikan isyarat kearah dada
tiga kali. “cukuplah seseorang dikatakan jahat, bila ia menghina saudaranya yang
muslim. Tiap-tiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya,hartanya
dan kehormatannya.”(HR.Muslim, Kitab Al Birri Wash Shilah, Bab Tahri Zulmi Al
Muslim Wa KhazlihiWa Ihtiqarihi Syarh Nawawi XVI/336-337,Tahqiq Khalil Ma’mun
Syiha).
~ Adapun pengamalan para sahabat, diantaranya bahwa betul-betul
terjadiperselisihan pendapat pada zaman sahabat dalam masalah ijtihadiyah.
Walaupundemikian tidak terjadi perpecahan, permusuhan dan saling membenci satu
dengan lainnya karena ijtihadiyah ini. Misalnya kasus yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim, tentang penyerangan ke Bani Quraidzah karena mereka
mengingkari perjanjian terhadap Rasulullah pada saat terjadi perang Ahzab.Ketika
itu, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk tidak shalat Ashar, kecuali
setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah. Ternyata ditengah perjalanan,
waktu Ashar tiba. Maka sebagian sahabat tetap tidak maumelaksanakan shalat Ashar
sampai mereka tiba di Bani Quraidzah. Mereka tetap berpegang kepada perintah
Rasulullah. Tetapi sebagian sahabat yang lain,melaksanakan shalat Ashar di
perjalanan. Sebab mereka memahami perintah Rasulullah tersebut sebagai perintah
supaya bersegera menuju Bani Quraidzah, tidak berarti menunda shalat
Ashar.
Dan ternyata, kedua pendapat itu dibenarkan oleh Rasulullah. Merekapun
tidak saling mencela satu sama lainnya. Sebab persoalannya adalah persoalan
ijtihadiyah. (dan ijtihad tersebut dilakukan oleh para tokoh ulama umat,
yaitupara sahabat. Masing-masing memahami kedudukan dan ke-ilmuan pihak lain,
pen).
Sedangkan pengamalan para Salafush Shalih, ialah bahwa diantara
prinsip AhluSunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah. Yakni, bila masalah
khilafiyah itu lahir karena ijtihad yang diperbolehkan dalam agama, maka satu
sama lain saling menghargai perselisihan tersebut. Tidak membuatnya saling
mendengki, saling memusuhi atau saling membenci. Bahkan mereka menyakini
persaudaraan diantara mereka.Adapun masalah yang tidak boleh diperselisihkan,
yaitu segala penyimpangan yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in.
Misalnya dalam masalah aqidah. Banyak orang yang tersesat (karena berbeda
pemahaman aqidahnya dengan pemahamanpara sahabat). Perselisihan dalam masalah
aqidah ini-yang sebenarnya tidak diperbolehkan- hanyalah terjadi secara tidak
terkendali, setelah perginya generasi-generasi umat terbaik.
Ketika tiga
generasi utama umat ini masih ada, penyimpangan masalah aqidah masih dapat
dikendalikan. Namun sesudahnya, tersebar luaslah penyimpangan ini. Sehingga
terjadilah perselisihan dan perpecahan umat secara luas. Dengan demikian,
barangsiapa yang menyelisihi manhaj para sahabat dan tabi’in,maka ia menanggung
dosanya. Dan perselisihan dalam hal demikian tidak bisa ditoleransi. Demikianlah
keterangan secara ringkas Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.2)
Jadi
sesungguhnya persatuan merupakan salah satu hal yang prinsip yang diajarkan
Islam. Tetapi persatuan kaum muslimin hanya dapat terwujud bilasecara
lahir-batin, persepsi dan pengalaman mereka mereka sama. Hanya dalam hal-hal
yang bersifat ijtihadiyah saja kaum muslimin diberikan keleluasaan untuk tidak
sama pendapatnya. Karena kesamaan dalam hal ini tidak mungkin. Dan
ketidak-samaan itu sudah terjadi semenjak zaman sahabat. Ketidak-samaan
ijtihadiyah tersebut tidak boleh menjadikan umat berpecah-belah. Disamping itu,
ijtihad yang dimaksud adalah ijtihadnya para ulama. Yakni, orang-orang yang
memiliki kewenangan untuk berijtihad. Bukan ijtihadnya sembarang orang. Dan jika
terjadi sembarang orang berijtihad, maka rusaklah agama; kacaulah
umat.Na’udzubillah min dzalik. Intinya, persatuan dan persaudaraan diantara kaum
muslimin harus dibangun. Namun harus berdasarkan syarat. Yaitu ikhlas karena
Allah, dan dalam koridor ketaatan kepada Allah. Yakni, persaudaraan yang bersih
dari
noda-noda dan motif-motif duniawi beserta kaitan-kaitannya. Yang menjadi
pendorong persaudaraan ini hanyalah keimanan kepada Allah.3) bukan kesamaan
kelompok hizbiyah, kesamaan kepentingan, atau kesamaan-kesamaan lain yang
bersifat duniawi, seperti:politik, kedudukan, uang, dll.Demikianlah uraian yang
sangat ringkas. Mudah-mudahan dapat menjadi wacana,bahwa kaum muslimin hanya
bisa bersatu, manakala kembali secara benar, dengan pemahaman yang benar kepada
agamanya. Meninggalkan cara-cara beragama berdasarkan pendapat-pendapat atau
hawa nafsu pribadi atau golongan.
Semua itudengan izin dan taufiq Allah.
Wallahu waliyyuattaufiq.
Foote
Note
1 & 2. Penjelasan secara lengkap, silahkan lihat Syarah Al Ushul
As Sittah yang digabung dengan syarah Kasyfi Asy Syubuhat, karya Syaikh Muhammad
Shalih Al Utsaimin hal.151, Al Ashlu Ats Tsani.
3. Lihat Minhaj Al
muslim, Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Bab Tsani, Fashl Sabi’, hal.
101.
Sumber : Majalah As-Sunnah, edisi 03/Tahun VII/1424H/2003M,
hal 17-19.
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=71&bagian=0