Baca keterangan selanjutnya

Salafus Sholeh Antara Ilmu dan Iman (bagian 3)

Penulis: Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman Al Jibrin hafizhohulloh
Diterjemahkan Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Kemunculan Bid’ah Di Zaman Salaf
Tidak diragukan pada zaman salaf sudah ada pelaku bid’ah, sudah ada kebid’ahan, perbuatan dusta dan maksiat serta yang lainnya. Namun pada saat itu ada orang yang menghadapinya, membantahnya, mematahkan syubhat-syubhat mereka dan menjelaskan kebatilan perbuatan-perbuatan dan tipu daya ahlul bid’ah, sehingga bid’ah tidak meninggalkan bekas.

Umat (secara umum) tidak terancam bahaya ahlul bid’ah, karena yang haq itu banyak, pembawa panji al haq sangat kuat, sehingga ahlul bid’ah tidak mampu mempengaruhi mereka.
Di antara bid’ah yang muncul pada qurun mufaddhalah (masa-masa yang penuh keutamaan), kami hanya menyebutkan contoh-contoh saja:

Bid’ah Khawarij
Bid’ah khawarij ini muncul pada masa sahabat. Mereka diperangi oleh Ali rodhiallohu ‘anhu dan sahabat lain setelah Ali sampai akhir abad pertama.

Kebid’ahan khawarij ini termasuk kebid’ahan yang paling ringan (pada awalnya, namun setelah itu mereka termasuk pelaku bidah yang banyak menumpahkan darah kaum muslimin sampai saat ini, sehingga pantaslah bila dinamakan Rosululloh anjing neraka -pen). Yaitu mereka menganggap perbuatan memberi maaf termasuk perbuatan dosa dan menganggap dosa sebagai kekufuran. Mereka mengkafirkan orang akibat dari dosa, dan menganggap orang yang berdosa telah murtad dari islam. Mereka menghalalkan darah dan hartanya, menganggap mereka telah keluar dari lingkup kaum muslimin dan menetapkan hukum bahwa orang yang berdosa itu termasuk penghuni neraka. Inilah aqidah mereka.

Beberapa hadits datang membawa celaan kepada mereka, menjelaskan aqidah buruk mereka. Hadits-hadits ini telah diriwayatkan dan telah masyhur. Tatkala kondisinya seperti ini, tidak ada seorang sahabat pun yang mengikuti mereka (khawarij), tidak juga ulama umat. Mereka hanya diikuti oleh orang-orang awam dan sebagian orang yang suka menakwilkan nash, orang yang tidak memiliki ilmu mendalam yang diwarisi dari sahabat rodhiallohu ‘anhum.

Bid’ah Mengingkari Takdir
Kemudian di akhir-akhir masa sahabat, muncul bid’ah yang lain yaitu bid’ah pengingkaran terhadap takdir, maksudnya mengingkari ada takdir sebelum sebuah kejadian. Sebagaimana dikatakan oleh Yahya bin Ya’mar :

كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ فَقُلْنَا لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ فَقُلْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ قَالَ فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Orang yang pertama kali berbicara (maksudnya menolak) tentang takdir di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani. Lalu aku dan Humaid bin Abdurrahman berangkat menunaikan ibadah haji (atau umrah). Kami berkata: “Seandainya kami berjumpa dengan salah seorang sahabat, maka kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh orang-orang ini tentang takdir. Lalu kami diberi kemudahan menjumpai Abdullah bin Umar bin Al Khattab dalam keadaan masuk masjid, maka kami mendekatinya, salah seorang kami dari sebelah kanan dan yang lain dari sebelah kiri. Aku mengira bahwa temanku mewakilkan pertanyaan ini kepadaku, maka aku katakan: “Wahai abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul sekelompok orang di tengah-tengah kami, mereka membaca Al Quran, menuntut ilmu (mereka menuntut dan meneliti ilmu. Dalam riwayat lain yatafaqqarun, dengan mendahulukan huruf fa’). Mereka mengatakan bahwa tidak ada takdir dan semua kejadian itu adalah baru (baru, tidak diawali dengan qada’ dan takdir. Lihat An Nihayah karya Ibnul Atsir ).

Abdullah bin Umar mengatakan, “Jika engkau berjumpa dengan mereka, beritahukanlah mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Zat yang dipergunakan untuk bersumpah oleh Abdullah bin Umar, seandainya salah seorang di antara mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu dia menginfakkannya, maka Alloh tidak akan menerimanya sampai dia beriman dengan takdir, baik dan buruk… (al hadits) (diriwayatkan oleh Imam Muslim no.7, Abu Daud no. 4695 dan Tirmidzi no. 2610)

Kelompok ini mengingkari ilmu Alloh yang mendahului segala sesuatu. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya Alloh tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi.”

Mereka mengingkari Alloh telah menuliskan takdir segala sesuatu di Lauh al Mahfuzh. Mereka mengingkari bahwa Alloh telah menetapkan takdir apa yang akan diperbuat seorang hamba dan Alloh tahu orang yang akan bahagia dan yang akan sengsara. Mereka mengingkari nash-nash yang gamblang dalam masalah ini.

Akan tetapi para salaf telah membantah mereka dan kesalahan-kesalahan mereka telah dijelaskan. Para salaf telah menerangkan bahwa ini adalah perkataan batil, karena menganggap ilmu Alloh itu kurang.

Oleh karena itu Imam Syafi’i rohimahulloh mengatakan: “Debatlah mereka dengan ilmu Alloh, jika mereka mengakui Ilmu Alloh, berarti mereka terkalahkan. Jika mereka mengingkari Ilmu Alloh berarti mereka telah kufur”. Maksudnya, tanyailah mereka, apakah kalian mengakui bahwa Alloh Maha Tahu (mengilmui) terhadap segala suatu? apakah kalian mengakui bahwa Alloh mengetahui apa telah terjadi, yang tidak terjadi dan yang belum terjadi, jika sudah terjadi, Alloh Maha Tahu bagaimana kejadiannya. Jika mereka mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu, berarti argumen mereka telah terkalahkan, tidak ada lagi yang bisa mereka jadikan pegangan. Jika mereka mengingkarinya dan mengatakan: “Kami tidak mengakui bahwa Alloh ‘Alim (Maha Tahu) terhadap segala sesuatu”. Berarti mereka telah kufur. Karena mereka telah menganggap Alloh memiliki kekurangan, dan mensifatiNya dengan sifat jahil. Orang yang menolak sifat Ilmu berarti dia menetapkan sifat jahil bagi Alloh.

Bid’ah ini telah muncul, namun ada sahabat yang melawannya dan membantahnya, sehingga bid’ah ini tidak mapan pada masa itu. Karena kekuatan yang dimiliki pembawa kebenaran dan kwantitas mereka besar dan juga karena kuatnya dalil-dalil yang mereka bawakan. Sehingga terputuslah syubhat dan agama Alloh menang walaupun Ahlul Bid’ah membencinya.

Bid’ah Jahmiyah
Bid’ah Jahmiyah muncul di awal abad kedua. Mereka mengingkari bahwa Alloh bisa berbicara, mereka mengingkari bahwa Al Quran itu kalamulloh. Mereka menolak bahwa Alloh menyukai hamba-Nya yang disukai dan menolak bahwa Alloh telah berbicara dengan Musa atau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih.

Ketika mereka menampakkan pendapat mereka ini, tokoh pelopornya yaitu Ja’ad bin Dirham telah dibunuh pada masa salaf. Dia dibunuh Gubernur (Amir) Iraq Khalid bin Abdullah Al Qusari pada saat hari raya idul Adha dan menganggapnya sebagai binatang qurban. Dia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, berkorbanlah kalian. Semoga Alloh menerima ibadah qurban kalian. Sesungguhnya aku berqurban dengan (menyembelih) Ja’ad bin Dirham, karena dia menganggap Alloh tidak pernah berbicara dengan Musa dan tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Maha Tinggi Alloh dari ucapan Ja’ad”. Dia lalu turun dan menyembelihnya. Ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitabnya “Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad”. (lihat Khalqu ‘Af’aalil ‘Ibad hal. 7 dan lihat Siyar A’lamin Nubala’ 5/423)

Para salaf memiliki ilmu dan iman sehingga mereka mengingkari perbuatan bid’ah Ja’ad dan mencela al Jahmiyah pengikutnya. Beginilah kondisinya saat itu, tidak ada bid’ah pada masa salaf yang memiliki kekuatan. Namun sangat disayangkan, bid’ah-bid’ah ini yaitu bid’ah mu’tazilah, jahmiyah dan bid’ah qadariyah akhirnya menyebar setelah tiga generasi ini lewat, terutama bid’ah jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Alloh. Bid’ah ini menguat sehingga pada abad keempat dan seterusnya, pendapat salaf dalam masalah aqidah hampir tidak bisa diketahui. Bahkan kemudian mereka melecehkan para ulama salaf, dan menjuluki para salaf itu orang-orang bodoh. Mereka mengumpamakan mereka seperti orang yang tidak bisa baca tulis, yang tidak mengerti Al Quran kecuali dongengan bohong belaka, sebagaimana Alloh menggunakan kata-kata ini untuk menceritakan ahlul kitab. Alloh ‘azza wa jalla berfirman :

وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لاَ يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ

“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka. (QS Al Baqoroh: 78)”
. Maksudnya hanya sekedar bisa membaca tanpa mengerti maknanya sedikit pun.

Sedangkan generasi khalaf yaitu generasi empat, lima dan enam dan seterusnya, menuduh bahwa salaf itu hanya beriman dengan lafazh-lafazh semata, tanpa mengerti maknanya. Mereka (para salaf tersebut hanya) mengimani lafazhnya dan menyerahkan maknanya (kepada Alloh). Tidak diragukan lagi, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap salaf, hingga mereka mengira bahwa ilmu salaf tidak lebih dari sekedar tafwidh (penyerahan makna kepada Alloh). Orang-orang ini berdalil dengan perkataan para ulama salaf tentang hadits-hadits yang menunjukkan sifat Alloh, “Biarkanlah (makna) sifat itu sebagaimana aslinya, tanpa takyiif (mengumpamakan atau menerangkan hakikatnya)”.

Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bentuk pelecehan dan celaan kepada para salaf. Karena banyak hal yang dinukil dari salaf yang menunjukkan keimanan mereka kepada Alloh, kepada sifat-sifatNya, kepada semua yang datang dari-Nya; juga menunjukkan penerimaan mereka terhadap syariat, keimanan mereka terhadap nash-nash serta meyakini kandungan-kandungannya; mereka menyifati Alloh dengan sifat-sifat kesempurnaan dan membiarkan makna ayat-ayat sifat sebagaimana aslinya. Mereka hanya melarang perbuatan takyiif (mengumpakan/menyamakan), melarang membebani diri dengan menanyakan hakikat sifat Alloh atau yang sejenisnya.

Inilah maksud dari perkatan mereka, tentang ayat-ayat sifat, “Biarkanlah ayat-ayat itu sebagaimana dia datang tanpa mengumpamakan (takyiif)” Maksudnya, janganlah kalian bertanya tentang hakikat sifat. Dan sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas (beliau rohimahulloh salah seorang ulama tabi’ tabien) ketika beliau rohimahulloh ditanya tentang istiwa’, “Istiwa’ itu sudah maklum, hakikatnya tidak akan bisa diketahui akal, mengimaninya wajib, bertanya tentang hal itu adalah sebuah kebid’ahan”.

Perkataan ini juga diriwayatkan dari guru beliau rohimahulloh yaitu Rabi’ah bin Abu Abdurrahman. Beliau ini termasuk pembesar tabi’in dari Madinah. Dia ditanya tentang istiwa’. Maka dia menjawab, “Istiwa’ sudah maklum, hakikatnya tidak bisa diketahui, dari Alloh risalah ini datang, kewajiban rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah mengimaninya”.

Ucapan mereka menunjukkan bahwa para salaf itu memahami makna-makna ayat, mengerti maksud nash-nash, mengimaninya, hanya saja mereka tidak mengetahui hakikatnya. Hakikat ini yang tidak bisa dicapai oleh ilmu makhluk.

Ini dan yang lainnya merupakan ilmu-ilmu para salaf. Ketika mereka telah mendapatkan ilmu warisan (para nabi) ini, maka berikutnya mereka mempraktekkannya dalam permasalahan aqidah (keyakinan) dan amalan praktis. Juga mereka membantah para pelaku bid’ah dan syubhat-syubhat yang mereka bawakan. Mereka mengingkari kebid’ahan-kebid’ahan yang terjadi pada masa mereka, sehingga bid’ah-bid’ah itu tidak bisa menguat kecuali pada masa-masa terakhir.

Para ulama umat ini seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh telah menjelaskan bahwa aqidah para salaf dan para pengikut mereka adalah aqidah yang pernah diyakini oleh para sahabat rodhiallohu ‘anhum dan disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka serta diambil dari dua wahyu yaitu Al Quran dan Sunnah. Inilah yang diwajibkan dan merupakan petunjuk yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama,”. (QS At Taubah: 33)

Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di atas petunjuk. Dan orang yang meninggalkannya dan menentangnya, berada di atas kesesatan. Tidak disangsikan lagi bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan lurus yang Alloh perintahkan kepada kita untuk mengikutinya dalam firman-Nya :

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya…” (QS. Al An’am : 153)

Dalam hadits yang shohih, (dijelaskan) bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat ini. Beliau membuat sebuah garis lurus seraya bersabda, “Ini adalah jalan Alloh” Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat beberapa garis di samping kiri dan kanan garis (pertama) seraya bersabda, “Ini adalah subul (dalam ayat diatas -pent). Di atas masing-masing garis (yang sebelah kanan dan kiri) ini ada syaitan yang mengajak kejalan itu” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 1/436, Ad Darimi 67-68, Al Hakim 2/239 dari hadits Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah no. 11 dari hadits Jabir bin Abdullah rodhiallahu ‘anhu)

Maksudnya orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, maka dia akan selamat. Dan orang yang menyimpang darinya, maka itu akan menyebabkan kebinasaannya. Jalan ini disebut mustaqim (lurus) karena tidak ada kebengkokan, tidak ada penyimpangan, dan rambu-rambunya jelas bisa diketahui oleh semua manusia.

–bersambung insya Alloh–

Sumber: Kumpulan Makalah Ustadz Kholid Syamhudi, jazaahullohu ahsanal jaza’

10 Komentar untuk “Salafus Sholeh Antara Ilmu dan Iman (bagian 3)”

  1. Ridwan Lakota
    July 9th, 2006 06:29
    1

    Kenapa ada orang-orang yang mengatakan ‘ini salafy asli, ini bukan’ kenapa situs-situs salafydotordotid mengatakan kalau situs ini bukan salafy, dan ada juga yang mengatakan kalau situs itu dan itu bukan salafy. saya jadi bingung sendiri.

    Jawaban Muslim.or.id
    Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh
    Akhi Ridwan Lakota, tuduhan tinggallah tuduhan…
    Adapun seseorang yang berpegang teguh dengan manhaj Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya maka dialah seorang salafy walaupun seribu fitnah dan tuduhan menghantamnya…

  2. Ridwan Lakota
    July 9th, 2006 06:30
    2

    Yang kedua. apakah kalau masuk salafy harus daftar dulu, misalnya saya ikut salafy a maka saya harus daftar-daftar dulu dan tidak boleh ikut salafy b. begitu juga seterusnya. benar ka?

    Jawaban Muslim.or.id:
    Akhi, manhaj salaf adalah islam itu sendiri, yaitu islam yang masih murni dari berbagai penyimpangan (kesyirikan, hal-hal baru yang bukan dari islam/bid’ah, khurafat, dll). Semua pengikut manhaj salaf adalah pengikut Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya. Salafy tidak mempunyai struktur keanggotaan, tidak punya kartu anggota, tidak ada bendera partai, dll… jika akhi Ridwan mengikuti manhaj Rasulullah shollahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya dan berpegang teguh dengannya maka akhi Ridwan adalah seorang salafy… semoga Allah memberi petunjuk dan hidayah taufik-Nya kepada kita semua…

  3. Ridwan Lakota
    July 9th, 2006 06:32
    3

    yang ketiga. kalu makan kenapa tidak boleh bersandar, saya selalu saja ditegur kaka kalau makan besandar. kenapa ya?

  4. Ridwan Lakota
    July 9th, 2006 06:33
    4

    terima ksih dan maafan saya kalu pertanayaannya terlalu banayak saya senang dengan situs ini.

    Jawaban Muslim.or.id:
    Alhamdulillah… sering-sering main ke sini ya… dan jangan lupa ajak teman-temannya dan keluarganya untuk main ke muslim.or.id ya…

  5. Akhi fillah
    July 10th, 2006 13:53
    5

    sebagian besar pertanyaan akh ridwan sudah dikomentari balik oleh moderator. sy cuma ingin menanggapi komentar yang ke-3. seingat sya memang ada hadits yang menyebutkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam melarang kita untuk makan sambil bersandar. mohon kepada teman-teman pembaca yang lain untuk menambahkan penjelasannya dan tolong dikritik kalau salah.jika sudh ada larangan dari rasulullah kepada kita maka kita wajib ta’at dan patuh walaupun kita belum tahu sebabnya, jika kita patuh kepada perintah rasul maka itulah salah satu bukti kecintaan kita kepada beliau. perintah dan larangan dalam islam mengandung hikmah yang sangat banyak, hanya saja diantaranya banyak yg kita belum tahu karena ilmu kita yg masih kurang. insya ALLAH jika kita intensif menuntut ilmu agama maka sedikit demi sedikit kita akan tahu banyak hal dalam agama.maaf kalau komentarnya kepanjangan

  6. kamal
    July 11th, 2006 09:40
    6

    Ass.
    Bid’ah adalah sesuatu yang baru berhubungan dengan ibadah dan tidak ada contoh dari AlQuran dan Alhadidt.
    Ustadz yang menjadi permasalahan adalah jika bid’ah itu tidak ada dalam AlQuran dan Alhadits apakah tidak bertolakbelakang dengan kenyataan bahwa orang-orang beribadah bersumber kepada AlQuran dan Alhadits. Cuma masalahanya penafsirannya berbeda. Seperti tahlilan dianggap bid’ah padahalkan mengucapkan lailahaillallah sangat dianjurkan oleh Rasul. Dan bukankan mengirim doa itu sangat disunahkan.
    Tadi saya menyebutkan perbedaan adalah dalam penafsiran. Sedangkan yang namanya penafsiran tidak lepas daripada metodelogi cara berpikir. Jika hadits merupakan perkataan nabi sebagai penjelas AlQuran maka orang yang paling berhak untuk menjelaskan AlQuran adalah Nabi. Namun masalah muncul ketika nabi wafat siapakah yang akan menjelaskan alquran ketika persoalan baru datang dan itu secara teks tidak ada penjelasannya dalam AlQuran dan Alhadits, bukankah kita membutuhkan penafsiran yang tidak salah dan metodenya sama dengan rasulullah.
    Tapi persoalaan lain datang manakala siapakah orang yang berhak untuk mengklaim bahwa metode penafsirannyalah yang benar. Saya kira bukanlah metode yang cukup untuk menafsirkan AlQuran dan Alhadits manakala dia mengerti bahasa Arab dan segudang tatabahasanya. Tapi dia membutuhkan suatu disiplin ilmu tertentu dan tentu saja saya tidak punya otoritas untuk menyebutkan ilmu2 tersebut.
    Tapi saya hanya ingin meniktik beratkan bahwa bid’ah2 dan perbedaan yang terjadi karena metode penafsiran yang berbeda.
    terima kasih
    Wass.

    Jawaban Muslim.or.id:
    Waalaikum salam warohmatullah,
    Komentar antum pada baris terakhir adalah kesimpulan dari komentar antum sebelumnya. Memang benar bahwa “bid’ah-bid’ah dan perbedaan yang terjadi karena metode penafsiran yang berbeda”, oleh karena itulah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah mewanti-wanti kita dalam haditsnya yang arti secara maknawinya “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrosyidin yang telah diberi petunjuk, dan berpegang teguhlah padanya serta gigitlah dengan gigi geraham kalian……” Jadi ada satu standar bagi kita agar tidak berpecah belah karena dalih “perbedaan interpretasi/penafsiran”, apa itu? yaitu kembali kepada manhaj salafusholih (para sahabat) dalam memahami agama ini.

  7. kamal
    July 13th, 2006 11:50
    7

    Ass.
    Ustadz mohon petunjuk ilmunya. Dulu pada zaman rasulullah tidak ada perdebatan karena sumbernya satu. Sekarang rasul tidak ada kemana kita mencari sumber kebenaran? Kata ustadz “kembali kepada manhaj salafusholih”.
    1. Jika manhaj salafusholih (para sahabat) menjadi tolak ukurnya maka apakah rentang waktunya tidak terlalu lama. Jika waktunya terlalu lama dan sama-sama tidak ada (rasul dan salafusholih tidak ada sekarang) ya udah ikut ke rasul aja.
    2. Ustadz pada teknisnya para sahabat itu banyak sekali dan latar belakang mereka berbeda. Dan masuk Islamnya pun berbeda-beda. Ada semenjak lahir muslim atau pernah merasakan kejahiliyahan. Yang jadi permasalahan adalah jaminan apa yang bisa meyakinkan bahwa hadits yang diterima oleh kita sampai ke nabi melalui sahabat merupakan kebenaran. Karena bagaimanapun latar belakang seseorang mempengaruhi kadar penerimaan informasi.
    3. Masih nyambung ke -3 metode Ahli hadits digunakan dimana kebenaran terletak pada orang yang menerima hadits tersebut. Apabila hadits tersebut diterima oleh orang yang masuk katagori layak periwayatkan hadits maka hadits tersebut diterima jika orang tersebut tidak layak maka hadits tersebut dibuang. Yang jadi permasalahan adalah Jadi kebenaran terletak pada orang yang meriwayatkan hadits terakhir. Dalam hal ini Bukhari muslim dan ketujuh buku hadits yang lain. Lalu apakah standar/siapakah yang berhak mengatakan bahwa Hadits Bukhari muslimlah yang benar. Jika para ulama. Siapakah mereka? Sehingga berhak menyatakan bahwa 7 buku hadits yang benar.
    Lalu siapakah yang memilih ulama-ulama tsb sehingga mempunyai hak untuk menentukan hal itu.

    Terima kasih ustadz atas ilmunya,
    Wass,

  8. Kardiman
    July 13th, 2006 14:22
    8

    Ass
    Menarik sekali komentar Kamal perihal bidah, saya setuju dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa bidah lahir dari perbedaan penafsiran Q dan H sehingga dari perbedaan itu maka timbulah penafsiran antara satu dan yang lainnya berbeda dan kadang perbedaan itu bisa meruncing sehingga terjadilah saling menjelekan dan menghina.
    Adalah benar jawaban Muslim.or.id kita harus bepegang teguh pada hadist nabi seperti yang dikutipnya tapi kembali lagi seperti yang dikomentari Kamal, Tergantung bagaimana penafsirannya. Penafsiran menurut Muslim.or.id ya.. seperti yang dia kutip itu dan bisa dipastikan berbeda jika ditafsirkan oleh aliran Islam yang lain. Dan bisa pula dipastikan kalau Muslim.or.id akan ngotot kalau penafsirannyalah yang paling benar sementara orang lain keliru dan begitu pula sebaliknya.
    Dengan contoh sederhana itulah gampang sekali kita membuktikan kebenaran bunyi hadist yang menjelaskan kalau islam itu pada akhirnya akan pecah menjadi 73 sementara yang benar adalah satu, yang satu itu siapa? Muslim.or.id dapat dipastikan akan menjawab yang satu itu adalah “yang mengikuti sunahhkau dan para sahabatkau” islam yang lain akan menjawab”Yang satu itu adalah yang berbentuk Jamaah ” Sekali lagi tergantung penafsirannya kan ?
    Kamal juaga menulis bagaimana penafsiran setelah nabi? tentu saja ada urutannya dari nabi ke sahabat, sahabat ke tabi’in dan seterusnya hingga jaman sekarang ini. Sambung menyambung inilah yang disebut muttasil jika kita bisa membuktikan sanad ini nyambung ke nabi dapat dipastikan penafsiaran inilah yang paling benar.

    Jawaban Muslim.or.id:

    Pak Kardiman, kami ingin mengutip kembali komentar bapak di atas pada bagian ini :

    …Penafsiran menurut Muslim.or.id ya.. seperti yang dia kutip itu dan bisa dipastikan berbeda jika ditafsirkan oleh aliran Islam yang lain. Dan bisa pula dipastikan kalau Muslim.or.id akan ngotot kalau penafsirannyalah yang paling benar sementara orang lain keliru dan begitu pula sebaliknya.

    Subhanallah, pak kardiman kenapa bapak berprasangka jelek terlebih dahulu?
    pak, ini adalah forum diskusi, jika bapak mempunyai hujjah/argumentasi yang kuat maka silahkan bapak ajukan disini tanpa harus berprasangka buruk.

    Kemudian perhatikan komentar pak kardiman yang memplesetkan hadist Nabi shollallahu’alaihiwasallam :

    ….yang satu itu siapa? Muslim.or.id dapat dipastikan akan menjawab yang satu itu adalah “yang mengikuti sunahhkau dan para sahabatkau

    Pak kardiman, dari berbagai penafsiran yang beraneka ragam tersebut tentu ada satu penafsiran yang benar. Yaitu penafsirannya para sahabat yang diajarkan langsung oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Ingat ya pak kardiman, yang dimaksud dengan para sahabat yaitu jama’ah para sahabat (para sahabat secara keseluruhan) dan bukan sahabat secara perorangan.

  9. Kardiman
    July 14th, 2006 09:45
    9

    Ass
    Terima kasih atas koreksinya dan dengan tulus saya katakan bahwa saya salah tulis untuk hadist nabi dan sama sekali tidak ada niat untuk memplesetkan.Untuk itu mohon maaf yang sebesar besarnya.
    Saya tidak berprasangka buruk kepada anda dan bahkan kepada siapapun, saya berpendapat anda akan ngotot karena banyak penceramah dari kalangan ustad Salafy dan begitu pula dari beberapa buku karangan dari kalangan Salaf yang saya baca berpendapat demikian, dan umumnya mereka ngotot dengan pendapatnya itu.Atau barangkali anda mempunyai satu argumen diluar kebiasaan tersebut?
    Kembali ke penafsiran, anda benar bahwa penafsiran yang benar adalah penafsiran sahabat dan kalau anda mengatakan sahabat adalah para jamaah secara keseluruhan ini yang perlu dikoreksi karena tidak semua jamaah itu adalah penfsir yang baik.Pasti ada diantara mereka yang munafik, kufur dsb.
    Yang menjadi persoalan adalah sahabat mana yang akan menjadi acuan penafsiran anda, inipun kalangan anda sendiri yang bisa menjawabnya dan bukan orang lain khan.
    Dan saya setuju dengan pendapat Kamal yang terakhir, rentang waktu yang begitu panjang sangat tidak mungkin dapat memberikan pembelajaran yang baik untuk dapat memahami penafsiran Q,Itu intinya. Sementara kita hanya dapat mempelajari implementasi(praktek) ibadah dari perilaku nabi yang kesemuanya ada diriwayatkan dihadist.
    Nah kalau anda berpendapat pemahaman yang benar adalah sesuai pemahaman salafus sholeh, pertanyaanya anda mempelajari perilaku ibadah sahabat ini dari mana? kalau jawabanya dari Hadist, bukankah semua hadist itu hanya meriwayatkan contoh ibadah dan sabda nabi bukan sahabat.

    Di jawaban yang anda berikan untuk kamal :
    ……” Jadi ada satu standar bagi kita agar tidak berpecah belah karena dalih “perbedaan interpretasi/penafsiran”, apa itu? yaitu kembali kepada manhaj salafusholih (para sahabat) dalam memahami agama ini.

    Bagaimana anda membuktikan hal ini?dapatkah hal itu menjawab satu persoalan kenapa manhaj salaf sendiri berpecah belah?di Ind saya mencatat ada kelompknya Umar as sewed, kelompk anda , ataupun kelompok lainnya.
    Ironinya lagi kesemua kelompok itu mengaku berdasarkan salafus sholih.
    Jadi kesemua itu kesimpulannya adalah tergantung penafsiran masing masing kelompok islam dalam menafsirkan Q dan H.

    Jawaban Muslim.or.id:
    Pak Kardiman, sekali lagi bapak jangan salah paham antara penyebutan “para sahabat (secara keseluruhan)” dengan “sahabat secara perorangan…

    Berikut kami kutip komentar bapak :

    Kembali ke penafsiran, anda benar bahwa penafsiran yang benar adalah penafsiran sahabat dan kalau anda mengatakan sahabat adalah para jamaah secara keseluruhan ini yang perlu dikoreksi karena tidak semua jamaah itu adalah penfsir yang baik. Pasti ada diantara mereka yang munafik, kufur dsb.

    Pak Kardiman, sekali lagi kami tegaskan bahwa para sahabat secara keseluruhan sudah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya berada di atas kebenaran. Banyak sekali pujian dari Allah dan Rasul-Nya terhadap para sahabatnya. Untuk lengkapnya silahkan merujuk pada beberapa artikel berikut :

    http://muslim.or.id/?p=37
    http://muslim.or.id/?p=97

    dan tulisan-tulisan lainnya (silahkan anda search sendiri…)

    Kemudian jangan lupa juga untuk membaca artikel-artikel pada kategori “Salafiyah” agar anda tidak salah paham tentang manhaj salaf…

    Ringkasnya, para sahabat sudah dijamin berada di atas kebenaran, sehingga jika para sahabat sudah ijma/sepakat terhadap suatu permasalahan maka ijma sahabat tersebut adalah dalil dan dapat menjadi hujjah. Jadi, yang kita (ahlussunnah) ikuti adalah para sahabat atau jama’ahnya para sahabat… dan kita dilarang untuk fanatik kepada sahabat secara perorangan. Ahlussunnah tidak seperti kaum Syi’ah yang mereka menyimpang dikarenakan mereka fanatik kepada sahabat Ali rodiallahu’anhu serta mencela bahkan mengkafirkan sahabat-sahabat yang lainnya, dan bahkan di antara mereka ada yang menuhankan ‘Ali rodiallahu’anhu.

    Coba perhatikan kembali komentar anda di atas :

    ….Pasti ada diantara mereka yang munafik, kufur dsb.

    Pak Kardiman, jika ada yang kafir dan munafik maka itu bukan sahabat lagi namanya… :). Baiklah, para ulama mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan sahabat : “Sahabat adalah siapa saja yang berjumpa dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam keadaan beriman/islam dan wafat dalam keadaan beriman pula.” Jika ada yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam keadan beriman dan kemudian dia kembali murtad/kafir maka status dia sebagai sahabat sudah gugur… mohon dibaca lagi artikel-artikel di website ini untuk lebih jelasnya, mungkin banyak yang belum bapak baca…

    Kemudian komentar pak kardiman berikut ini :

    Bagaimana anda membuktikan hal ini?dapatkah hal itu menjawab satu persoalan kenapa manhaj salaf sendiri berpecah belah?di Ind saya mencatat ada kelompknya Umar as sewed, kelompk anda, ataupun kelompok lainnya.
    Ironinya lagi kesemua kelompok itu mengaku berdasarkan salafus sholih.
    Jadi kesemua itu kesimpulannya adalah tergantung penafsiran masing masing kelompok islam dalam menafsirkan Q dan H.

    Pak Kardiman, kami tidak menyalahkan pendapat anda tersebut karena begitulah yang tertangkap pada pandangan orang-orang umum terhadap salafy di Indonesia. Akan tetapi yang harus tetap kita ingat bahwa kami mengajak bapak dan saudara-saudaraku semua untuk menempuh manhaj Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabat. Kami tidak mengajak bapak dan saudara-saudara semua untuk masuk ke dalam kelompok tertentu, kami tidak mengajak bapak untuk fanatik kepada syaikh atau ustadz tertentu… akan tetapi kami hanya mengajak bapak untuk beragama seperti cara beragamanya Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan para sahabatnya yaitu islam yang masih murni dari berbagai bentuk bid’ah dan kesyirikan. Selain itu, kami juga mengajak bapak dan ikhwah semuanya untuk menuntut ilmu dan mengangkat kebodohan dalam diri kita, ayo kita belajar agama ini secara ta’shily, ayo kita pelajari agama ini dari mulai dasar; tauhid, bahasa arab, ushul fiqh, ushul hadits, ushul tafsir, dst… Satu lagi yang harus bapak ingat bahwa perpecahan di kalangan salafiyin di Indonesia adalah pada permasalahan ijtihadiyah dalam masalah penerimaan dana dari yayasan At-Turots. Walaupun salafiyin di Indonesia sedang berbeda pendapat (mudah-mudahan Allah menyatukan kami dan kita semua), akan tetapi kami semua salafiyun sepakat untuk menempuh manhaj salaf dengan menjauhi kesyirikan, bid’ah, dan semua hal yang menyimpang dari agama, dan kami sepakat untuk menggunakan dan mengamalkan tafsirannya para sahabat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Begitupun dengan dakwah kami juga sama yaitu mengajak manusia untuk beragama secara murni dengan menempuh manhaj salaf. Adapun jika ada diantara para salafy yang berakhlak jelek maka hal tersebut tidaklah mencerminkan dan mewakili manhaj salaf (tolong jangan digeneralisir…!), kita ambil contoh; apakah jika ada diantara muslim yang membunuh orang lain dengan dalih jihad apakah lantas islam (secara keseluruhan) dianggap sebagai agama teroris? tidak bukan?! jadi jangan bapak lihat orangnya akan tetapi lihat dan nilai ajaran-ajarannya…

    Kemudian komentar bapak Kardiman:

    Jadi kesemua itu kesimpulannya adalah tergantung penafsiran masing masing kelompok islam dalam menafsirkan Q dan H.

    Komentar tersebut adalah kesimpulan yang keliru serta fatal (dan salah alamat jika dialamatkan pada salafy dan manhaj salaf). Fatalnya lagi dari kesimpulan tersebut adalah pak Kardiman menganggap benar semua ajaran dari berbagai kelompok yang menyimpang dalam islam. Bapak mentolerir setiap perbedaan yang ada karena dalih perbedaan penafsiran, tidak beda dengan pendapat orang-orang liberal negeri ini (JIL). Ingat pak, bahwa kebenaran hanya 1 dan tidak mungkin berbilang. Tidak mungkin semua tafsiran yang saling bertabrakan dan tumpang tindih itu benar semua, tidak mungkin 2 hal yang saling bertentangan itu benar semuanya. Standar kebenaran hanya 1 yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para sahabatnya. Jika bapak bertanya, “Bagaimana saya bisa tahu dan yakin bahwa ini adalah pemahaman Rasulullah dan para sahabatnya?”, maka jawaban kami “Ayo kita belajar pak, ayo kita belajar dari sekarang, belajar secara ta’shily, ayo kita mulai belajar tauhid, bahasa arab, ushul fiqh, ushul hadits, ushul tafsir dst.. dan langsung mulazamah dengan seorang ustadz atau syaikh serta tidak mencukupkan diri dengan hanya mengandalkan buku-buku terjemahan dan artikel-artikel di internet.” Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah taufik-Nya untuk bapak…

  10. akhi fillah
    July 14th, 2006 23:38
    10

    sy hanya ingin mengomentari komentar pak kardiman yang terluput dikomentari oleh moderator.

    pak kardiman berkomentar:

    /*
    Nah kalau anda berpendapat pemahaman yang benar adalah sesuai pemahaman salafus sholeh, pertanyaanya anda mempelajari perilaku ibadah sahabat ini dari mana? kalau jawabanya dari Hadist, bukankah semua hadist itu hanya meriwayatkan contoh ibadah dan sabda nabi bukan sahabat.
    */

    pak kardiman, itulah pentingnya mempelajari ilmu hadits pak. Jika pak kardiman belajar ilmu hadits, maka bapak akan ketemu istilah hadits mauquf yaitu hadits yang disandarkan kepada para sahabat baik dari perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya. contohnya : perkataan ‘ali rodiallahu’anhu, “Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan pemahamannya, apakah kalian ingin Allah dan rasul-Nya didustakan?” (HR. Bukhori), hadits ini statusnya adalah hadits mauquf qouli. syarat hadits mauquf : \1/ tidak menyelisihi nash (al-qur’an dan hadits), \2/ tidak menyelisihi para sahabat yang lainnya, \3/ mauquf yang paling rojih adalah dari ulamanya para sahabat, seperti khulafaurrosyidin, ibnu abbas, ibnu mas’ud, dll. jika bapak kardiman belajar ilmu hadits lebih mendalam lagi maka akan bapak dapati istilah-istilah yang lain. Ayo dong pak belajar ilmu hadits…… :)

    begitu juga buat mas Kamal, biar nggak bingung mending belajar ilmu hadits, insya Allah semua kebingungan mas Kamal akan terjawab jika mas mendalami ilmu hadits. kalo kita belajar hadits maka kita bakal tahu gimana ketatnya sistematika yg digunakan para ulama dalam meneliti suatu hadits (baik sanad maupun matan). satu lagi yg harus kita perhatikan bahwa hadits adalah salah satu sumber agama islam dan tidak mungkin kita tinggalkan begitu saja karena kita ragu-ragu (karena tidak tahu/bodoh) “ini bener2 hadits bukan ya?”, dan Allah juga nggak bakal nyia-nyiain hadits rosul-Nya ditenggelamin zaman. Rasulullah bersabda yg kira-kira artinya maknawinya : “kepadaku diturunkan wahyu dan yang semisal dengannya”. yg dimaksud yang semisal denganya (semisal al-qur’an) adalah hadits! dan Allah sampai kapanpun akan tetap menjaga wahyu-Nya (termasuk hadits). hadits disebut juga semisal al-qur’an karena secara lafadz dia berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi secara makna nabi mendapatkannya dari wahyu Allah, hanya saja disampaikan dengan lafazd nabi sendiri (kita tahu bhw nabi tidak pernah mengucapkan sesuatu berdasarkan kreasi akalnya akan tetapi berdasarkan wahyu dan tuntunan Allah). kalo kita membiarkan kebingungan kita dan nggak mau belajar, jadinya kita lambat laun melupakan ilmu hadits, kalo udah gitu apa bedanya lagi kita dengan kaum “ingkarus sunnah” yang menolak hadits?! ayo kita belajar ilmu hadits

Silahkan memberi komentar