Perbedaan Yang Terjadi Di Dalam Tafsir Bil Ma`tsur
Rabu, 23 Februari 05
Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat
dibagi menjadi 3 klasifikasi:
Pertama, Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah
firman Allah Ta’ala, “Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan
Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (Q.s.,
al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).”
Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas
berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran
seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan
tersebut terhadap makna ayat.
Kedua, Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna
tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat
diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga
sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua
pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa
yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan bacakanlah kepada mereka berita
orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi
al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia
diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk
orang-orang yang sesat,[175] Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn
Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang
yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia
adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman.” Menurut riwayat lain darinya,
“[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Balqa`.
Sinkronisasi terhadap pendapat-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat
kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa
menimbulkan pertentangan (kontradiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat
itu hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan.
Contoh lainnya, firman-Nya, “Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)”
(Q.s.,an-Naba`:34) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Dihaaqa adalah penuh.”
Mujahid berkata, “Maknanya adalah berurutan (teratur).” ‘Ikrimah berkata,
“Maknanya adalah bening.”
Pada hakikatnya, antara pendapat-pendapat ini tidak terdapat pertentangan sebab
ayat tersebut mencakupi semuanya sehingga diarahkan kepada semuanya dan
masing-masing pendapat merupakan jenis dari makna tersebut.
Ketiga, Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara
bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya
harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui
petunjuk redaksinya atau lainnya.
Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan
tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna
Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak
pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain,
“Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak
berbuat maksiat di dalam perjalanannya.”
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah
kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan
hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat (sehingga tidak
diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi
membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan
dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).
Contoh lainnya adalah firman-Nya, “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,
kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang memegang
ikatan nikah…” (Q.s.,al-Baqarah:237) ‘Ali bin Abi Thalib RA mengatakan bahwa
makna “orang memegang ikatan nikah” adalah suami. Ibn ‘Abbas RA berkata,
“Maknanya adalah Wali.” Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama (suami)
sebab maknanya menunjukkan ke arah itu, juga karena telah diriwayatkan sebuah
hadits dari Nabi mengenainya.
(SUMBER: Ushuul Fi at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin,
h.30-31)