بسم الله الرحمن
الرحيم
Makna Taat Kepada Allah, Rasul, dan Ulil
Amri |
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikannya ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59) Asbabun Nuzul (sebab turunnya ayat) Dari As-Suddi, dia berkata :
"Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengirim sepasukan sariyyah
(pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) dibawah komando Khalid bin
Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat
menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun
berhenti (untuk istirahat). Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul
Uyainatain (pengintai musuh) dan memberitahukan kedatangn pasukan Khalid.
Mereka pun lari semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya
untuk mengumpulkan barang-barangnya kemudian dia berjalan di kegelapan
malam hingga sampai di pasukan Khalid. Di
TafsirAl-Qurthubi berkata : "Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll."
Syaikh Abdur Rahman As-Sa'di berkata :
(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum mukminin) untuk taat kepadaNya
dan kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang
wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah juga
memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil amri, yaitu
orang yang mengurusimkepentingan ummat, baik itu umarah, pemerintah
ataupun muft-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien
dan dunia kecuali dengan taat kepada mereka dan tunduk kepada
perintah-perintah mereka dalam rangka taat kepada Allah dan mengharap
pahala yang ada di sisiNya. Akan tetapi dengan syarat mereka tidak
memerintahkan kepada kemaksiatan. Apabila mereka memerintahkan kepada
kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il athi'u (taatilah) dalam
perintah taat kepada ulil amri. Disamping itu disebutkanny perintah taat
kepada mereka itu meyertai taat kepada rasullah shalallahu alaihi
wasallam, karena rasu tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah
sehingga barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat
kepada Allah. "Jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir" (An-Nisa: 59) Maka ayat ini menunujukkan bahwasannya
orang-orang yang tidak mengembalikan masalah khilafiyah kepada Al-Quran
dan As-Sunnah, dia bukanlah seorang mukmin yang hakiki, bahkan dia adalah
seorang yang beriman kepada thogut (sebagaimana yang akan disebutkan
dalam ayat sesudahnya 4:60). Menyoroti ayat ini, Ibnul Qoyyim berkata dalam I'lamul Muwaaqi'in 1/38 : "(Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum muslimmin) unutk taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya,dan Allah mengulang fi'il (=taatilah) sebagai i'lam (pemberitahuan) bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih dahulu kepada apa yang diperintahkan allah dalam Al-Quran. Jadi, kalau rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah itu ada dalam alquran ataupun tidak,karena Rasulullah shalallahu alahi wasallam diberi Al-Quran dan juga yang semisalnya ( As-Sunnah).” “Dalam ayat ini juga, Allah
memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah
membuang fi'il (AYAT) dan menjadikannya didalam kandungan taat kepada
Rasul, sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam
rangka taat kepada Rasul." (Lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil
Ahkam Al-Aqaid hal. 11-12). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…"
(Al-Hasyr :
7). "Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
dari nabi shalallahu 'alaihi walsallam beliau bersabda: 'setiap umatku
akan masuk surga kecuali orang- yang enggan.' Dalam Asy-syifa' 2/6, Al-Qadhi Iyadh
berkata : "Allah azza wa jalla menjadikan ketaatan kepada Rasul-Nya
seperti ketaatan kepada-Nya dan menggandengkan ketaatan kepada Ulil Amri
dengan ketaatan dengan ketaatan kepada rasul-Nya. Allah menjanjikan pahala
yang besar bagi orang-orang yang taat kepada rasul-Nya dan mengancam
orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih.
Allah juga mewajibkan (kepada kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah
rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya." (Lihat Hujiyyatu
ahadittsil ahad Fi ahkam wal Aqaid karya Muhammad hal.
10) Allah melarang dan memerintahkan kaum
mu'minin untuk menyelisihi perintah Rasulnya shalallahu alaihi wasalllam
dan mengancam orang-orang yang berbuat demikian (menyelisihi perintah
Rasul-Nya) dengan firman-Nya : "Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adab yang
pedih." (An-Nur:
63) "Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan kami masukkan ia dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali." (An-Nisa: 115) Dari Al-Irbadh bin Sariyyah radhiallahu
anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : 'berpegang
teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnah itu, gigitlah sunnah
itu dengan gigi-gigi geraham dan hati-hatilah kalian dari perkara yang di
ada-adakan karena perkara yang diada-adakan itu adalah bidah dan setiap
bid'ah itu sesat." (HR. Tirmidzi 5/44 hadits ke 2676, hadits hasan
shahih, dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, disepakati
oleh Imam Dzahabi) Dalam hal ini, Ibnu Mas'ud berkata:
"Ittiba'lah kalian dan jangan kalian ibtida' (berbuat bid'ah), karena
kalian telah dicukupi (dengan syari'ah ini) dan setiap kebid'ahan adalah
sesat." Beliau juga mengatakan: "hati-hatilah kalian dengan perbuatan
bid'ah dan memfasih-fasihkan dalam berbicara masalah agama. Berpegang
teguhlah kalian dengan atsar (sunnah) orang dhulu (Salafus
Shalih)." (Al-Ibanah 1/32, 324) Di dalam kitab yang sama, Abul Aliyah
Ar-Rayahi juga berkata: "Pelajarilah oleh kalian akan islam. Bila
kalian telah mempelarinya maka kalian jangan membecinya. Dan berjalanlah
kalian di atas jalan yang lurus. Karena jalan yang lurus itu adalah islam.
Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang lurus ke arah kanan dan kiri.
Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi, dan hati-hatilah kalian
dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan dan kebencian di
kalangan orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah."
(Al-Ibanah 1/338) Oleh sebab itu, barangsiapa yang ingin
berbahagia di dunia dan akhirat, hendaklah ia menempuh jalan mereka
(salafus Shalih) dan mengikuti manhaj mereka. Imam Ahlus Sunnah (Imam Ahmad) berkata:
"Ushul-ushul sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang
dipahami dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam, ittiba' kepada mereka dan tidak berbuat bid'ah karena setiap
bid'ah itu sesat. Tidak berdialog dan tidak duduk-duduk bersama ahli
bid'ah dan tidak berdebat tentang masalah agama. Sedangkan sunnah menurut
kami adalah atsar-atsar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sunnah
digunakan sebagai tafsir bagi Al-Quran. Tidak ada qiyas dalam sunnah dan
sunnah tidak bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu. Dan sunnah-sunnah
lazimah yang bila ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak
dikatakan Ahlus Sunnah." Kemudian Imam Ahmad menyebutkan
beberapa hal yang antara lain : " mendengar dan taat kepada para imam
dan amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), baik yang shalih (adil)
maupun yang fajir (dhalim), dan taat kepada khalifah yang desepakati dan
diridhai oleh kaum mukminin. Jihad bersama mereka (yang adil maupun yang
dhalim) secara terus menerus hingga hari kiamat, mengadakan pembagian
harta fa'i (harta rampasan yang diperoleh tanpa melakukan perlawanan),
juga terus menerus menjalankan hukum had. Tidak boleh bagi siapapun untuk
mencela dan menyelisihi mereka, mengerjakan shalat Jum'at di belakang
mereka dua raka'at. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, maka dia adalah
mubtadi' (ahli bid'ah) yang meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan
tidak mendapat keutamaan Jum'at sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak
kepada Imam kaum muslimin yang telah disepakati atau dan diakui
kekhilafahannya, maka sungguh dia telah memecahkan tonggak kaum muslimin
dan telah menyalahi atsar-atsar yang datang dari Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam. Apabila ia mati ketika melakukan hal itu, dia mati
secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan) bagi siapapun untuk
memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiap yang berbuat demikian,
dia adalah mubtadi' yang tidak berjalan di atas sunnah dan tidak pula
berjalan di atas jalan yang lurus." (Syarah Ushul I'tiqad
1/160-161) Abu Muhammad Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata : "Saya bertanya kepada bapakku dan Abu Zur'ah tentang madzab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa yang beliau berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata : "Kami jumpai para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam dan Yaman beri'tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan bebrapa hal antara lain : dan kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang zaman.Kita tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena dikhawatirkan fitnah. Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula kita tidak mencabut ketaatan dari mereka. Kita ittiba' kepada sunnah dan jamaah dan menjauhi persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan sejak diutusnya Nabi kita shalallahu 'alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak, dan tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji." (Syarah Ushul I'tiqad 1/176-180) Sahl bin Abdullah At-Tutsani berkata
ketika ditanya : "Kapankah seseorang itu mengetahui bahwa dirinya di
atas sunnah dan jama'ah?
Seseorang itu di atas sunnah dan jama'ah bila mengetahui adanya
sembilan (9) hal pada dirinya” : 6. Dia tidak memperdebatkan masalah
agama. Berkata Abu Ja'far At-Thahawi :
"kita tidak memandang adanya kebolehan untuk memberontak imam-imam dan
Wulatul Umur sekalipun mereka itu dhalim dan kita tidak mendoakan
kejelekan buat mereka. Kita tidak mencabut tangan ketaatan kepada mereka
dan kita pun memandang ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari
ketaatan kepada Allah, selama mereka tidak memerintahkan kepada
kemaksiatan. Kita juga mendoakan kepada mereka."
(Syarah Aqidah Thahawiyyah
368) Imam Al-Barbahari berkata :
"Ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi sedikitpun
kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni untuk
taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan
serta kebaikanmu bersamanya, sempurna isnya Allah, yakni ketaatan kau
berjama'ah, shalat Jum'at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah
bersamanya dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang
mendoakan kejelekan buat sulthan ketahuilah bahwa dia pelaku bid'ah. Dan
bila kamu mendengarkan seseorang mendoakan kabaikan buatnya, ketahuilah
bahwa dia itu Ahlus Sunnah, insya Allah." (Syarhus Sunnah
51) Fudhail bin Iyadh berkata :
"Kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya aku
gunakan buat (kebaikan) sulthan, karena kita diperintah untuk mendoakan
kebaikan buat mereka. Kita tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan buat
mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak sewenang-wenang, karena
kedhaliman mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga bagi
kaum mukminin. Demikian pula sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi
diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin." (Thabaqat fi
Bayanil Mahajjah 1/236) Imam Abu Ismail Ash-Shabuni berkata :
"Ashabul Hadits menasehatkan untuk shalat Jum'at, Hari Raya dan
shalat-shalat lainnya di belakang imam kaum muslimin, yang baik maupun
yang fajir. Demikian pula jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim dan
bertindak semena-mena. Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum
muslimin : berdoa supaya mereka diberi taufiq oleh Allah dan supaya mereka
berbuat adil terhadap rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara
sekalipun mereka melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dan
sekalipun mereka (Umara) berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul
Hadits) memerangi kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai
mau kembali taat kepadanya." (Aqidah Salaf Ashabul Hadits
92,93) Pendapat para ulama Ahlus Sunnah
tentang masalah ini banyak sekali dan bisa dilihat dalam kitab-kitab para
ulama Ahlus Sunnah seperti : Kitab As-Sunnah karya Ibnu Bathah, Syarah
Ushul I'tiqad karya AL-Lalika'i, Aqidah Salaf Ashabul Hadits karya Abu
Ismail Ash-Shabani, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah karya Abul Qasim
Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnul Abil Izz, dll. Semua
kitab itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan
Umara, sulthan dan Walatul umur. Pendapat-pendapat itu tidak hanya
tertulis di kitab-kitab saja, tetapi juga telah dipraktekkan secara
langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah, diantaranya :
Dari Abdullah bin Umar dari Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
"Makna adalah : sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu,
sehingga mereka tidak berlaku adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan
hakmu," seperti yang tersebut dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin
Hudhair bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda”
: "Sesungguhnya kalian akan menemui
perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah kalian bersabar
sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti." (HR. Bukhari 3/41 dan
Muslim3/1474) "Sesungguhnya akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian ingkari." Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?" beliau menjawab : "Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah akan hak kalian." (HR.Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472) Dari
Wail bin Hujr radhiallahu 'anhu, dia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju'ti
pernah bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai
Rasulullah, kalau kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi
tidak mau menunaikan hak kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?"
Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian
Salamah bertanya lagi dan Rasulullah berpaling lagi. Kemudian Salamah
bertanya lagi untuk yang ketiga kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy'ats
bin Qais. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Dengar
dan taatlah kalian, karena mereka akan memikul dosa-dosa mereka dan kalian
juga akan memikul dosa-dosa kalian (sendiri)." (Muslim
3/1474) "Dan apa saja yang meninpa kamu maka
disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan
sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura :
30) Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu
'anhu, dia berkata : Kekasihku (Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam)
pernah berwasiat kepadaku : Dari Auf bin Malik radhiallahu 'anhu
dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :
"Sebaik-baik pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka
mencintai kalian. Kalian doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka
doakan kesejahteraan bagi kalian. Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah
kalian memebenci mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati
mereka dan mereka melaknati kalian." Kami para shahabat bertanya : "Wahai
Rasulullah, apakah mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?"
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, selama mereka
masih shalat bersama kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurus oleh
Ulil Amri (sulthan) kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah,
maka hendaklah dia benci terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh
jangan cabut ketaatan padanya." (HR. Muslim
3/1482) Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu, dia
berkata bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda
: Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
'anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda
: “Maka ketika mereka membukakan pintu
kerusakan pada jaman Utsman radhiallahu 'anhu dan mengingkari perbuatan
Utsman secara terang-terangan, memuncaklah fitnah dan terjadilah
pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal yang tidak pernah punah
bekasnya sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah antara Ali dan
Muawiyyah, dan terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan shahabat
disebabkan pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Kita mohon
keselamatan kepada Allah." (Haququl Ra'i wa Ra'iyyah
27-28) Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan, maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya." (HR. Ahmad 3/403) 2. Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan Beliau pernah ditanya : "Bagaiman manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59) Demikian pula Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan) sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan ia berkata : HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami' 2546) “Hadits ini sesuai betul dengan ayat
tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih lain yang menganjurkan
untuk mendengar dan taat kepada pemerintah Islam. Pemerintah Islam harus
ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau memerintahkan kepada
maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah selain ini
(selain maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati." (Wujud Tha'ati Sulthan
25-26) ![]() |
[1][1] Salah satu tokoh Mu'tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, dan dia adalah orang yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara |