Ahad, 31 Agustus 2003 - 03:11:16, Penulis : Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di.
Kategori : Tafsir_AlQuran
Serial
Tafsir Al Quran - Surat Al Baqarah ayat 2 - 3
[Print View] [kirim
ke Teman]
Tafsir Surat Al-Baqarah 2-3)*
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :
ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين ( ) الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلوة ومما رزقنهم ينفقون ( )
Artinya :
Ayat 2 : “Kitab (al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”.
Ayat 3 : “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka…”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah menafsirkan orang-orang
bertaqwa adalah orang-orang yang dapat mendapat manfaat dengan adanya ayat-ayat
kauniyah dan ayat-ayat syar'iyah.
Hidayah ada dua macam yaitu hidayah bayan dan hidayah taufiq. Dan orang-orang
bertaqwa yang dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dalam ayat tersebut,
mereka mendapatkan dua macam hidayah tersebut. Adapun selain orang-orang
bertaqwa, tidak mendapatkan hidayah taufiq. Mereka tahu akan kebaikan dan kebenaran
tetapi tidak diberi kemudahan untuk beramal dan mengikuti kebaikan serta
kebenaran tersebut. Oleh karena itu ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman As Sa'di
bahwa hidayah bayan tanpa disertai hidayah taufiq untuk beramal dengannya, maka
pada hakikatnya hal demikian bukanlah hidayah, karena kebenaran atau ilmu yang
datang kepadanya bukan memberikan kemanfaatan pada dirinya, tetapi mencelakakan
dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa ta'ala .
هدى للمتقين , petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa,
setelah itu Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di menerangkan, Allah Subhanahu
wa ta'ala mensifati orang-orang yang bertaqwa itu dengan keyakinan-keyakinan
pada mereka dan amalan-amalan bathin serta amalan-amalan yang dzahir.
Pada ayat selanjutnya,
الذين يؤمنون بالغيب
Orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang beriman kepada perkara yang
ghoib yang berarti ini adalah keyakinan-keyakinan mereka.
ويقيمون الصلوة
Dan mereka menegakkan sholat, yang terkumpul padanya amalan dzahir dan batin.
Amalan dzahir yang nampak pada tubuhnya yang diucapkan dengan lisannya dan
amalan bathin, amalan sholat yang dikerjakan dengan khusyuk.
ومما رزقنهم ينفقون
Dan mereka infaqkan sebagian rizqi yang dikaruniakan kepada mereka.
Itu adalah beberapa sifat-sifat orang-orang bertaqwa yang Allah Subhanahu wa
ta'ala jelaskan. Allah Subhanahu wa ta'ala mensifati mereka dengan aqidah,
amalan-amalan bathin dan amalan-amalan dzahir.
Allah Subhanahu wa ta'ala menyatakan الذين يؤمنون بالغيب , Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di
mengatakan, hakikat iman adalah pembenaran yang sempurna terhadap segala
sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul dan pembenaran ini mengandung
keterikatan anggota badan, artinya beramal dengannya. Maka perkara keimanan
bukan beriman kapada segala sesuatu yang bisa diketahui oleh panca indera (bisa
dilihat, didengar, dicium baunya). Hal ini disebabkan karena apabila beriman
itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, berarti tidak dapat
dibedakan antara yang mu'min dengan yang kafir.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan tentang taubat yang
diterima oleh Allah Subhanahu wa ta'ala sampai matahari terbit dari arah
tenggelamnya, kalau hal ini terjadi maka seluruh penduduk bumi akan beriman,
akan tetapi imannya tidaklah bermanfaat. Ini menunjukkan kalau seandainya iman
itu pada segala sesuatu yang bisa dirasakan oleh indera, maka semua orang akan
beriman, sehingga tidak bisa dibedakan mana yang mu'min maupun yang kafir.
Iman itu adalah beriman kepada perkara yang ghaib, yakni perkara yang tidak
bisa di lihat, atau dipersaksikan. Dan beriman kepada perkara yang ghaib karena
adanya khabar atau berita dari Allah Subhanahu wa ta'ala, dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam (diterangkan di dalam Al-Quran dan As sunnah).
Maka keimanan yang seperti ini dapat terbedakan/terpisahkan yang muslim dari
yang kafir.
Beriman kepada perkara yang ghaib berarti pembenaran yang semata-mata karena
Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul Nya, bukan karena yang lainnya. Maka
seorang mu'min adalah seorang yang beriman kepada segala sesuatu yang Allah
Subhanahu wa ta'ala kabarkan atau Rasulullah beritakan. Apakah perkara tersebut
bisa diketahui dan dipahami ataukah belum, masuk di akal ataukah tidak, maka
seorang mu'min akan tetap beriman, kalau benar dari Allah Subhanahu wa ta'ala
dan Rasul Nya, tanpa memperdulikan itu mutawatir ataukah ahad. Karena iman itu
letaknya disini (menunjuk pada hati), sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu
'alaihi wasallam :
التقوى ههنا ويشير إلى صدره ثلاث مرات
Taqwa itu di sini dan beliau menunjuk ke dadanya (tiga kali) .. (HR. Muslim)
Keadaan orang yang bertaqwa berbeda dengan keadaan orang-orang zindiq yang
mereka mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang dangkal,
yang tidak sampai kepada apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala inginkan. Hal ini
disebabkan akal mereka yang tidak mau tunduk kepada wahyu sehingga mendustakan
segala sesuatu yang ilmunya tidak sampai kepadanya.
Dengan sebab itu, syaikh Abdurrahman As Sa'di menerangkan bahwa akal-akal
mereka rusak dan pemikiran-pemikiran mereka kacau. Sedangkan akal-akal orang
yang beriman, membenarkan, dan terbimbing dengan petunjuk Allah maka akal-akal
mereka itu bersih, sehat, normal karena tunduk kepada wahyunya Allah.
Kalau tadi disebutkan beriman kepada perkara ghaib, termasuk beriman kepada yg
ghaib itu adalah beriman kepada segala sesuatu perkara yang Allah dan Rosul Nya
kabarkan dari perkara ghaib, baik itu yang telah lalu (sebelum dan setelah
Allah menciptakan langit dan bumi), atau ceritanya para Nabi dan Rasul sebelum
diutusnya Rasulullah. Begitu juga termasuk beriman kepada yang ghaib adalah
beriman dengan perkara-perkara yang akan datang, juga perkara yang akan terjadi
di akhirat. Yakni fitnah kubur, adzab /nikmat kubur, dibangkitkannya seluruh
manusia dari kubur, adanya hisab, mizan, sirath al-mustaqim dan perkara lain
yang ada di akhirat nanti.
Termasuk pula beriman kepada hakikat, sifat-sifat yang Allah miliki. Allah
mungkin tidak memberitahukan kepada kita, tapi kita yakin bahwa apa yang Allah
beritakan tentang dirinya itu adalah benar.
Demikian juga beriman kepada segala sesuatu yang dikabarkan oleh para rasul
tentang perkara ghaib, atau perkara yang akan terjadi di akhirat, atau
sifat-sifat Allah. Maka mereka (orang-orang yang bertaqwa) itu beriman kepada
sifat-sifat Allah dan wujudnya sifat tersebut. Dan mereka itu berkeyakinan
adanya sifat-sifat tersebut, walaupun mereka belum/tidak memahami bagaimana
sifat-sifat tersebut.
Seperti Allah nyatakan :
كل من عليها فان ( ) ويبقى وجه ربك ذالجلال والاكرام
Segala sesuatu yang ada di muka bumi adalah fana, dan tetap kekal wajah Tuhanmu
yang memiliki ketinggian dan kemulyaan. (Ar Rahman 26-27).
Maka kita yakin bahwa Allah memiliki wajah, sebagaimana Allah ceritakan
mengenai diri Nya, kita yakin walau kita belum tahu seperti apa wajah Allah.
Kemudian Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di berkata, mereka itu menegakkan
sholat. Allah tidak menyatakan 'melakukan sholat' (يفعلون الصلاة ) atau (يأتون الصلاة ) akan tetapi menegakkan sholat ( يقيمون الصلوة ), karena tidak cukup dalam melakuan
sholat semata-mata melakukan dalam bentuk dzahirnya. Yakni setelah berwudhu,
lalu takbir sampai salam. Menegakkan sholat maknanya adalah menegakkannya
secara dzahir dan secara bathin. Secara dzahir; menyempurnakan rukun-rukunnya,
kewajiban-kewajibannya dan syarat-syaratnya. Menegakkan secara bathin, maknanya
adalah menegakkan ruhnya sholat, yaitu hadirnya hati pada waktu kita sholat dan
sekaligus merenungi apa yang diucapkan dan dikerjakan.
Sehingga, Allah nyatakan bahwasanya terdapat keutamaan shalat secara dzahir
maupun bathin :
ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر
Sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Seseorang tidak akan mendapatkan balasan melainkan apa yang dia pahami, apa
yang dia mengerti tentangnya. Maka dari sinilah orang yang menegakkan sholat
itu secara dzahirnya sama, rukun, kewajiban dan syarat sama, tetapi di sisi
Allah memiliki balasan dan timbangan yang lain, diantaranya karena kekhusyukan
orang yang melakukannya dan kepahaman dia atas apa yang dia kerjakan.
Imam As-Syafi'i pernah mengatakan " Bahasa Arab itu wajib, minimal apa
yang dia ucapkan di dalam sholat." Disebut sholat berarti termasuk sholat
wajib maupun shalat sunnah.
Wallahu Alam.
(Kitab Taisir Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Penulis Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as Sa’di. Dibahas oleh Ustadz Muhammad Ikhsan, Pimpinan
Ponpes Difa’anis Sunnah, Sewon, Bantul setiap hari Kamis pukul 16.00 – 17.30 di
Masjid Al Hasanah, depan Mirota Kampus Jogjakarta.)