Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-12 (Tafsir FATHUL QADIR,
IMAM ASY-SYAWKANI)
Senin, 03 Oktober 05
Nama Mufassir
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syawkani, ash-Shan’ani,
al-Qadhi.
Nama Kitab
Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm
at-Tafsiir.
’Aqidahnya
Ia memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di
dalam kitabnya ini, ia mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara
mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadits
serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari
penafsirannya terhadap firman Allah, Laysa Kamitslihi Syai-un. Di antara
yang ia katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (memisalkan segala
sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan
menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah
menyifati diri-Nya dengan mendengar, melihat dan ketika menyebut sifat mendengar,
melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut
tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau pun Musyabahah (menyerupai)
dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang
berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat
tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan
dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan
sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab
Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan
Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah
yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir”
Imam asy-Syawkani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab
Salaf.
Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan
faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya.
Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, ia membantah pendapat az-Zamakhsyari,
tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.
Spesifikasi Umum
Dalam permulaan tafsirnya, pengarang (asy-Syawkani) menyebutkan bahwa biasanya
para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan
penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua,
momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan
antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia mengatakan,
“Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua
hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja.
Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya
tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu
pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sedapat mungkin
dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari
sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah dengan sedikit
banyak. Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang
shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau
ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang
banyak, terpenuhi bagian tahqiq (analisis)-nya serta mengena tujuan mencari
kebenaran di dalamnya serta mencakup pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan
sebagainya yang disarikan dari kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Syawkani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan
bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta.
Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan,
semoga Allah merahmati beliau.
Sikapnya Terhadap Sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab
tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan
penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para shahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya
menyebutkan hadits yang lemah sanadnya dan ini karena dua hal; bisa jadi karena
ada hadits lain yang bisa menguatkannya atau karena ia sesuai dengan makna
secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan hadits yang dinisbatkan kepada
periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya
seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada
tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya.
Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadits
lalu tidak menjelaskannya.! Dan tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang
mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi
mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang
menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan
hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka
membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka;
menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks
asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka
hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan
taufiq atas hal itu, insya Allah….”
Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan
menjelaskan kondisinya.
Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di
antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di
dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak
sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Beliau menyinggung madzhab ulama fiqih, baik empat imam madzhab atau pun ulama
selain mereka, perbedaan pendapat serta dalil-dalil mereka. Beliau menguatkan
salah satunya dan mengambil kesimpulan hukum darinya.
Pantaslah beliau sebagai seorang imam yang mumpuni ilmunya, mujtahid dalam fiqih.
Banyak karya-karya tulis yang beliau telorkan, seperti kitab yang sangat
terkenal lainnya, Naylul Awthaar Syarhu Muntaqal Akhyaar; as-Saylul Jiraar
al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaa’iqil Azhaar; ad-Durar al-Bahiyyah berikut syarahnya,
dan kitab-kitab lainnya.
Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ (tujuh bacaan) dan mengarahkan
yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat
Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.
Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Sedikit sekali menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang
menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.
Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya
dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’,
Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.
Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi
Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan
sya’ir-sya’ir.
CATATAN
Mengenai biografi Imam asy-Syawkani, lihat: al-Badr ath-Thaali’ (II:214),
al-Imam asy-Syawkani Mufassiran karya Dr.Muhammad Hasan al-Ghumari.
SUMBER:
al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, karya Abu
‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, hal.50-53.