SURAT AL-BAQARAH: 194-195 (Jangan Jerumuskan Dirimu Ke Dalam
Kebinasaan)
Selasa, 20 Desember 05
TEKS AYAT
قوله تعالى:
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصُُ فَمَنِ
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ {194} وَأَنفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang
patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertaqwalah kepada Allah dan ketauhilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang
bertaqwa,[194]. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [195]”
MAKNA GLOBAL AYAT
Ayat 194
Masih dalam kerangka redaksi sebelumnya, ayat ini mensugesti kaum Mukminin yang
dimusuhi (tertindas) untuk berperang melawan musuh-musuh mereka. Ayat ini juga
menginformasikan kepada mereka bahwa siapa saja yang memerangi mereka dalam
bulan Haram, maka hendaklah mereka memeranginya pula di bulan Haram itu; dan
siapa saja yang memerangi mereka saat sedang berihram, maka hendaklah mereka
memeranginya di saat ia sedang berihram pula. Demikianlah, pada sesuatu yang
patut dihormati, berlaku hukum qishaash dan perlakuan balik yang sama. Jadi,
siapa saja yang dimusuhi (diserang), maka hendaklah mereka menyerangnya,
seimbang dengan serangannya terhadap mereka. Allah juga memerintahkan kepada
mereka agar bertakwa kepada-Nya dan menginformasikan bahwa Dia bersama akan
mereka selama mereka bertakwa kepada-Nya dengan memberikan ketepatan (dalam
tindakan dan perkataan), pertolongan dan bantuan.
Ayat 195*
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kaum Mukminin agar menginfakkan harta mereka
di jalan jihad untuk dengan menyiapkan perbekalan, memudahkan perjalanan
satuan-satuan perang khusus dan para pejuang serta melarang mereka untuk
meninggalkan infak di jalan Allah -yang tidak lain adalah jihad- sebab bilamana
mereka meninggalkan infak dan jihad, maka itu sama dengan orang yang menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Hal ini dikarenakan, bila musuh yang selalu
mengintai melihat mereka tidak lagi berjihad, maka mereka akan menyerang dan
memerangi mereka bahkan bisa mengalahkan mereka sehingga karenanya mereka akan
binasa.
Di samping itu, Allah juga memerintahkan mereka agar berlaku baik dalam seluruh
perbuatan-perbuatan mereka. Berlaku baik dalam perbuatan artinya menekuninya,
memperbagusnya dan membersihkannya dari segala ketimpangan dan kerusakan. Allah
juga berjanji kepada mereka bahwa jika mereka berlaku baik dalam
perbuatan-perbuatan mereka tersebut, maka Dia akan menolong membantu dan
menolong mereka.
Firman-Nya, “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik” ; siapa saja yang dicintai Allah, maka Dia
akan memuliakan dan menolongnya, tidak akan menghina dan mengerdilkannya. (Aysar
at-Tafaasiir, al-Jazaa’iri)
Tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy Atas Ayat 195
“Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan para hamba-Nya agar berinfak (membelanjakan
harta) di jalan Allah, yaitu mengeluarkan harta di jalan-jalan menuju Allah.
Yakni setiap jalan kebaikan seperti bersedekah kepada si miskin, kerabat atau
memberikan nafkah kepada orang yang menjadi tanggungan.
Yang paling agung dan hal pertama yang termasuk kategori itu adalah infak dalam
jihad fi sabilillah. Sesungguhnya, berinfak dalam hal itu merupakan jihad dengan
harta yang juga wajib, sama seperti jihad dengan badan. Infak tersebut banyak
sekali mashlahatnya seperti membantu dalam memperkuat barisan kaum Muslimin,
melemahkan syirik dan para pelakunya, mendirikan dienullah dan memperkuatnya.
Jadi, jihad fi sabilillah tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya infak
sebab infak ibarat roh (nyawa) baginya, yang tidak mungkin ada tanpanya. Dengan
tidak berinfak di jalan Allah, itu artinya membatalkan jihad, memperkuat musuh
dan menjadikan persekongkolan mereka semakin menjadi. Dengan begitu, firman
Allah SWT, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”
menjadi seperti alasan atas hal itu. “Menjatuhkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan” (teks arabnya, al-Ilqaa’ bi al-Yad) kembali kepada dua hal:
Pertama, meninggalkan apa yang seharusnya diperintahkan kepada seorang hamba,
jika meninggalkannya itu mengandung konsekuensi -atau hampir mendekati-
binasanya badan atau jiwa dan mengerjakan apa yang menjadi sebab kebinasaan jiwa
atau roh. Termasuk juga ke dalam kategori ini beberapa hal pula, di antaranya:
meninggalkan jihad fi sabilillah atau berinfak di jalannya di mana
konsekuensinya adalah menjadikan musuh berkuasa, tipuan diri untuk berperang,
bepergian yang mengandung resiko, ke tempat yang banyak binatang buas atau
ularnya, memanjat pohon, bangunan yang berbahaya dan semisalnya. Ini dan
semisalnya termasuk kategori orang yang menjatuhkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan. Di antara hal lain yang termasuk ‘menjatuhkan diri sendiri ke dalam
kebinasaan’ adalah melakukan maksiat terhadap Allah SWT dan berputus asa untuk
bertaubat.
Ke-dua, meninggalkan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah di mana
meninggalkannya merupakan bentuk kebinasaan bagi jiwa dan agama.
Manakala infak di jalan Allah tersebut merupakan salah satu jenis berbuat baik (Ihsan),
maka Allah menyuruh berbuat baik secara umum. Dia berfirman, “Dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ini mencakup semua jenis berbuat kebaikan sebab Dia tidak mengaitkannya dengan
sesuatu tanpa harus adanya sesuatu yang lain, sehingga termasuk di dalamnya
berbuat baik dengan harta seperti yang telah dikemukakan di atas.
Termasuk juga, berbuat baik dengan kehormatan diri berupa pemberian ‘syafa’at’ (pertolongan)
dan sebagainya. Termasuk pula, beramar ma’ruf nahi munkar, mengajarkan ilmu yang
bermanfa’at, membantu orang yang sedang dalam kesusahan, menjenguk orang sakit,
melawat jenazah, menunjuki jalan kepada orang yang tersesat, membantu orang yang
mengerjakan suatu pekerjaan, bekerja untuk orang yang tidak bisa melakukannya
dan bentuk kebaikan lainnya yang diperintahkan Allah SWT. Termasuk juga berbuat
baik (ihsan) dalam beribadah kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan Rasulullah SAW dalam haditsnya mengenai apa itu ihsan, “Bahwa kamu
menyembah Allah SWT seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Siapa saja yang memiliki sifat-sifat seperti di atas, maka ia termasuk orang
yang Allah sebut, “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang
terbaik (surga).” (QS.Yunus:26) Allah SWT akan selalu bersamanya;
memberikannya ketepatan (dalam tindakan dan perkataan), membimbingnya dan
menolongnya dalam segala hal.” (Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fi Tafsiir
Kalaam al-Mannaan karya Syaikh Naashir as-Sa’idi berkenaan dengan ayat
tersebut)
Pendapat Ulama Lain
Ibn Hajar al-‘Asqalani
Setelah memaparkan makna bahasa dari kata “al-Halaak” dan
“at-Tahlukah” (kebinasaan), Ibn Hajar di dalam kitabnya atas syarah al-Bukhari,
Fat-h al-Bari mengatakan, “Kemudian mushannif (Imam al-Bukhari) menyebutkan
hadits Hudzaifah mengenai ayat ini, ia mengatakan, ‘Ayat ini turun mengenai
infak, maksudnya tidak mengeluarkan infak di jalan Allah.’ Apa yang dikatakannya
(Hudzaifah) ini penafsirannya terdapat dalam hadits Abu Ayyub yang dikeluarkan
oleh Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Daud, at-Turmudzi, Ibn Hibban dan al-Hakim dari
jalur Aslam bin ‘Imran, ia berkata, ‘Ketika kami berada di Konstantinopel,
datang barisan besar pasukan Romawi, lalu ada seorang prajurit muslim membendung
barisan Romawi tersebut lalu menyusup ke barisan tersebut, kemudian kembali lagi.
Maka orang-orang pun berteriak, ‘Subhanallah, ia telah menjerumuskan dirinya ke
dalam kebinasaan (nekad masuk ke barisan musuh-red).!’ Maka berkatalah Ayyub,
‘Wahai manusia, sesungguhnya kalian menakwil ayat ini dengan takwil seperti ini.
Padahal ayat ini turun mengenai kami, orang-orang Anshar. Yakni, ketika Allah
telah memuliakan agama-Nya dan sudah banyak pendukungnya, kami berkata di antara
sesama kami secara sembunyi-sembunyi, ‘Sesungguhnya harta kita telah hilang.
Andai kata kita tinggal (berdiam) dan memperbaiki apa yang telah hilang itu
tentu lebih baik (maksudnya, mengumpulkan harta benda dan menyibukkan diri
dengannya, wallahu a’lam-red).’ Maka Allah pun menurunkan ayat ini. Jadi, maksud
kebinasaan di sini adalah tinggal (berdiam) seperti yang kami maksud itu.’”
Dan penakwilan ayat tersebut seperti itu juga telah valid berasal dari Ibn
‘Abbas dan beberapa orang dari kalangan Tabi’in.
Selanjutnya, setelah memaparkan hadits semakna dengan hadits Ayyub, Ibn Hajar
mengomentari, “Membatasi ayat ini hanya sebatas itu perlu ditinjau kembali sebab
yang menjadi tolok ukur adalah makna umum dari suatu lafazh (bukan hanya
kekhususan sebabnya-red).” (Fat-h al-Baari, Ibn Hajar)
Imam al-Qurthubi
Setelah memaparkan beberapa hadits terkait dengan ayat di atas, termasuk hadits
Abu Ayyub, Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Abu Ayyub
menginformasikan kepada kita bahwa menjerumuskan diri sendiri ke dalam
kebinasaan itu adalah dengan meninggalkan jihad di jalan Allah SWT dan ayat
tersebut turun mengenai hal itu.” al-Qurthubi juga menyebutkan makna lainnya
dengan berpijak pada beberapa hadits tertentu mengenai ayat tersebut di
antaranya; berdiam mengurusi dan memperbaiki harta, takut menjadi beban orang
lain, tidak bersedekah dan berinfak untuk orang-orang yang lemah, berbuat dosa,
berinfak di jalan yang haram dan lainnya. (Tafsir al-Qurthubi)
Imam ath-Thabari
Imam ath-Thabari berkata, “Firman-Nya, ‘Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan’ bersifat umum mencakup semua hal yang telah
disebutkan karena lafazhnya dapat menerima hal itu.”
Selanjutnya, ath-Thabari memaparkan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum
tindakan seorang Muslim dari pasukan kaum muslimin yang mengorbankan dirinya
untuk menggempur pasukan musuh yang jumlahnya banyak tetapi hal itu dapat
memperkuat barisan kaum muslimin (memiliki implikasi yang baik) sementara
niatnya ikhlash karena Allah semata. (Tafsir ath-Thabari)
PETUNJUK AYAT
Ada beberapa petunjuk dari ayat di atas:
- Perlunya menghormati bulan Haram dan seluruh hal yang patut dihormati (Hurumaat)
- Boleh melakukan qishash dan membalas dengan setimpal terhadap orang yang
memusuhi, sama seperti yang ia lakukan
- Membalas serangan dan kejahatan orang yang memusuhi, yang zhalim dan
memulainya dengan kezhaliman dan permusuhan pula
- Allah senantiasa bersama orang-orang yang beriman, bertakwa dan berbuat
kebaikan
- Keutamaan berbuat baik karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (Aysar
at-Tafaasiir, al-Jazaa’iri)
* Diriwayatkan, bahwa Abu Ayyub al-Anshori RA pernah berkata, “Ayat ini
diturunkan atas kami, kaum Anshor. Yaitu, tatkala Allah menolong Rasul-Nyya dan
menggunggulkan agama-Nya, kami berkata, ‘Mari kita tinggal bersama harta benda
dan memperbaikinya’ maka turunlah firman Allah SWT, “Dan belanjakanlah (harta
bendamu) di jalan Allah.” (ayat) Dan maksud dari kata menjatuhkan diri
dalam kebinasaan (dari firman-Nya, Wa La Tulquu Bi Aydiikum Iia at-Tahlukah)
adalah dalam sikap kita tinggal bersama harta benda kita (dengan
meninggalkan jihad-red).