Adab-Adab Membaca al-Qur’an
Selasa, 12 Juli 05
Mukaddimah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki kedudukan tersendiri di
hati setiap Muslim. Ia merupakan kalamullah dan sebagai sumber hukum pertama
bagi umat Islam.
Sebagai sebuah kitab suci yang memiliki keistimewaan, tentu patutlah bagi
seorang Muslim untuk memuliakan dan menghormatinya, termasuk dalam sikap kita
ketika ingin membacanya.
Nah, apakah adab-adabnya? Silahkan menyimak!!
Banyak sekali adab-adab yang harus diperhatikan ketika membaca al-Qur’an, di
antaranya:
1. Ikhlash atau menuluskan niat karena Allah semata. Ini merupakan adab yang
paling penting di mana suatu amal selalu terkait dengan niat. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya semua amalan itu tergantung
niat-niatnya dan setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya…” (HR.al-Bukhari,
kitab Bad’ul Wahyi, Jld.I, hal.9)
Karena itu, wajib mengikhlashkan niat dan memperbaiki tujuan serta menjadikan
hafalan dan perhatian terhadap al-Qur’an demi-Nya, menggapai surga-Nya dan
mendapat ridla-Nya.
Siapa saja yang menghafal al-Qur’an atau membacanya karena riya’, maka ia tidak
akan mendapatkan pahala apa-apa.
Nabi SAW bersabda, “Tiga orang yang pertama kali menjalani penyidangan pada
hari Kiamat nanti…[Rasulullah SAW kemudian menyebutkan di antaranya]…dan seorang
laki-laki yang belajar ilmu lalu mengajarkannya, membaca al-Qur’an lalu ia
dibawa menghadap, lalu Allah mengenalkan kepadanya nikmat-nikmat-Nya, maka ia
pun mengetahuinya, lalu Dia SWT berkata, ‘Untuk apa kamu amalkan itu.?” Ia
menjawab, ‘Aku belajar ilmu untuk-Mu, mengajarkannya dan membaca al-Qur’an.’
Lalu Allah berkata, ‘Kamu telah berbohong akan tetapi hal itu karena ingin
dikatakan, ‘ia seorang Qari (pembaca ayat al-Qur’an).’ Dan memang ia
dikatakan demikian. Kemudian ia dibawa lalu wajahnya ditarik hingga dicampakkan
ke dalam api neraka.” (HR.Muslim, Jld.VI, hal.47)
Manakala seorang Muslim menghafal dan membaca al-Qur’an semata karena
mengharapkan keridlaan Allah, maka ia akan merasakan kebahagian yang tidak dapat
ditandingi oleh kebahagiaan apa pun di dunia.
2. Menghadirkan hati (konsentrasi penuh) ketika membaca dan berupaya menghalau
bisikan-bisikan syetan dan kata hati, tidak sibuk dengan memain-mainkan tangan,
menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyibukkan pandangan dengan selain al-Qur’an.
3. Mentadabburi (merenungi) dan memahami apa yang dibaca, merasakan bahwa setiap
pesan di dalam al-Qur’an itu ditujukan kepadanya dan merenungi makna-makna Asma
Allah dan sifat-Nya.
4. Tersentuh dengan bacaan. Imam as-Suyuthi RAH berkata, “Dianjurkan menangis
ketika membaca al-Qur’an dan berupaya untuk menangis bagi yang tidak mampu (melakukan
yang pertama-red.,), merasa sedih dan khusyu’.” (al-Itqan, Jld.I, hal.302)
5. Bersuci. Maksudnya dari hadats besar, yaitu jinabah dan haidh atau nifas bagi
wanita.
Al-Qur’an merupakan zikir paling utama. Ia adalah kalam Rabb Ta’ala. Karena itu,
di antara adab membacanya, si pembaca harus suci dari hadats besar dan kecil. Ia
dianjurkan untuk berwudhu sebelum membaca. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidaklah menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (Shahih al-Jaami’,
no.7657)
Perlu diketahui, bahwa seseorang boleh membaca al-Qur’an asalkan tidak sedang
berhadats besar, demikian pula disunnahkan baginya untuk mencuci mulut (menggosok
gigi-red.,) dengan siwak sebab ia membersihkan mulut sedangkan mulut merupakan
‘jalan’ al-Qur’an.
6. Sebaiknya, ketika membaca al-Qur’an, menghadap Qiblat sebab ia merupakan arah
yang paling mulia, apalagi sedang berada di masjid atau di rumah. Tetapi bila
tidak memungkinkan, baik karena ia berada di kios, mobil atau sedang bekerja,
maka tidak apa membaca al-Qur’an sakali pun tidak menghadap Qiblat.
7. Disunnahkan bagi seseorang untuk ber-ta’awwudz (berlindung) kepada
Allah dari syaithan yang terkutuk. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu
membaca al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.”
(an-Nahl:98)
8. Memperindah suaranya ketika membaca al-Qur’an sedapat mungkin. Rasulullah SAW
bersabda, “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kamu sebab suara yang bagus
membuatnya bertambah bagus.” (dinilai shahih oleh al-Albani, Shahih al-Jaami’,
no.358)
“Disunnahkan memperbagus dan menghiasi suara dengan al-Qur’an… Terdapat banyak
hadits yang shahih mengenai hal itu. Jika seseorang suaranya tidak bagus, maka
ia boleh memperbagus semampunya asalkan jangan keluar hingga seperti karet (dilakukan
secara tidak semestinya dan menyalahi kaidah tajwid-red.,).” (al-Itqaan, Jld.I,
hal.302)
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami orang yang tidak
bersenandung dengan al-Qur’an (melantunkannya dengan bagus).” (Shahih al-Bukhari,
Jld.XIII, hal.501, bab at-Tauhid, no.7527)
Hendaknya pembaca al-Qur’an membaca sesuai dengan karakternya, tidak
menyusah-nyusahkan diri (dibuat-buat) dengan cara menaklid salah seorang Qari
atau dengan intonasi-intonasi tertentu sebab hal itu dapat menyibukkan dirinya
dari mentadabburi dan memahaminya serta menjadikan seluruh keinginannya hanya
pada mengikuti orang lain (taqlid) saja.
9. Membaca dengan menggunakan mushaf. Hal ini dikatakan oleh as-Suyuthi,
“Membaca dengan menggunakan mushaf lebih baik dari pada membaca dari hafalan
sebab melihatnya merupakan suatu ibadah yang dituntut.” (al-Itqaan, Jld.I,
hal.304)
Hanya saja, Imam an-Nawawi dalam hal ini melihat dari aspek kekhusyu’an; bila
membaca dengan menggunakan mushaf dapat menambah kekhusyu’an si pembaca, maka
itu lebih baik. Demikian pula, bila bagi seseorang yang tingkat kekhusyu’an dan
tadabburnya sama dalam kondisi membaca dan menghafal; ia boleh memilih membaca
dari hafalan bila hal itu menambah kekhusyu’annya.
Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini, hendaknya seorang pembaca,
khususnya bagi siapa saja yang ingin menghafal, untuk memilih satu jenis cetakan
saja sehingga hafalannya lebih kuat dan mantap.
Demikian pula, hendaknya ia menghormati mushaf dan tidak meletakkannya di tanah/lantai,
tidak pula dengan cara melempar kepada pemiliknya bila ingin memberinya. Tidak
boleh menyentuhnya kecuali ia seorang yang suci.
10. Membaca di tempat yang layak (kondusif) seperti di masjid sebab ia merupakan
tempat paling afdhal di muka bumi, atau di satu tempat di rumah yang jauh dari
penghalang, kesibukan dan suara-suara yang dapat mengganggu untuk melakukan
tadabbur dan memahaminya. Karena itu, ia tidak seharusnya membacakan al-Qur’an
di komunitas yang tidak menghormati al-Qur’an.
(SUMBER: Silsilah Manaahij Dauraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –fi’ah an-Naasyi’ah-
al-Hadits karya Dr Ibrahim bin Sulaiman al-Huwaimil, hal.21-25)