Mailing list salafiyyyin@yahoogroups.com
Message: 1
Date: Mon, 28 Feb 2005 08:59:46 -0800 (PST)
From: "M.J. Robbani" <>
Subject: Mencium Mushaf Al-Qur'an ?
Mencium Mushaf Al-Qur'an ?
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Apa hukumnya mencium mushaf
Al-Qur'an yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin ?
Jawaban.
Kami yakin perbuatan seperti ini masuk dalam keumuman hadits-hadits tentang
bid'ah. Diantaranya hadits yang sangat terkenal.
"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara (ibadah) yang
diada-adakan, sebab semua ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada contohnya
dari Rasul) adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat" [Shahih Targhib wa
Tarhib 1/92/34]
Dalam hadits lain disebutkan.
"Artinya : Dan semua yang sesat tempatnya di neraka" [Shalat Tarawih hal. 75]
Banyak orang yang berpendapat bahwa mencium mushaf adalah merupakan perbuatan
yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan Al-Qur'an. Betul ...!, kami
sependapat bahwa itu sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an. Tapi yang menjadi
masalah : Apakah penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara seperti itu
dibenarkan .?
Seandainya mencium mushaf itu baik dan benar, tentu sudah dilakukan oleh orang
yang paling tahu tentang kebaikan dan kebenaran, yaitu Rasulullah ? dan para
sahabat, sebagaimana kaidah yang dipegang oleh para ulama salaf.
"Artinya : Seandainya suatu perkara itu baik, niscaya mereka (para sahabat Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam) telah lebih dulu melakukannya"
Itulah patokan kami.
Pandangan berikutnya adalah, "Apakah hukum asal mencium mushaf itu boleh atau
dilarang?" Ada sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim yang sangat pantas untuk kita renungkan. Dari hadits ini insya Allah kita
bisa tahu betapa kaum muslimin hari ini sangat jauh berbeda dengan para
pendahulu mereka (salafush shalih) dalam hal memahami agama dan dalam menyikapi
perkara-perkara ibadah yang tidak dicontohkan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh 'Abis bin Rabi'ah, dia berkata : "Aku melihat
Umar bin Kahthtab Radhiyallahu ;anhu mencium Hajar Aswad dan berkata.
"Artinya : Sungguh aku tahu engkau adalah batu yang tidak bisa memberi mudharat
dan tidak bisa memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah
mencium engkau, maka aku tidak akan menciummu" [Shahih Targhib wa Tarhib
1/94/41]
Disebutkan dalam hadits lain bahwa.
"Artinya : Hajar Aswad adalah batu dari surga" [Shahihul Jaami' No. 3174]
Yang jadi masalah ... kenapa Umar Radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad ? Apakah
karena Hajar Aswad tersebut berasal dari tempat yang mulia yaitu surga ?
Ternyata tidak, Umar mencium batu tersebut bukan karena kemuliaan batu tersebut
dan bukan karena menghormatinya tetapi Umar mencium karena dia mengikuti sunnah
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihatlah .... betapa Umar Radhiyallahu
'anhu lebih mendahulukan dalil dengan mencontoh kepada Rasul Shallallahu 'alaihi
wa sallam daripada mendahulukan akalnya. Dan demikian sifat dan sikap semua para
sahabat, -pent-).
Lalu sekarang ... bolehkan kita mencium mushaf Al-Qur'an dengan alasan untuk
menghormati dan memuliakan-Nya sementara tidak ada dalil bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat mencium mushaf ? Kalau cara
beragama kita mengikuti para sahabat, tentu kita tidak akan mau mencium mushaf
itu karena perbuatan tersebut tidak ada dalilnya (tidak ada contoh dari Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam). Tapi kalau cara beragama kita mengikuti selera
dan akal kita serta hawa nafsu, maka kita akan berani melakukan apa saja yang
penting masuk akal.
Contoh kedua adalah ketika Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma bersepakat
untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Lalu mereka berdua menyerahkan
tugas ini kepada Zaid bin Tsabit. Bagaimana komentar dan sikap Zaid ? Dia
berkata, "Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Begitulah para sahabat semuanya
selalu melihat contoh dari Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua
urusan agama mereka. Sayang sekali semangat seperti ini tidak dimiliki oleh
sebagian besar kaum muslimin hari ini.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dan
paling tahu bagaimana cara memuliakan Al-Qur'an. Tapi beliau tak pernah mencium
Al-Qur'an. Sebagian orang jahil mengatakan, "Kenapa mencium mushaf tidak boleh
dengan alasan tidak ada contoh dari Rasul? Kalau begitu kita tidak boleh naik
mobil, naik pesawat, dan lain-lain, karena tidak ada contohnya dari Rasul ...?"
Ketahuilah bahwa bid'ah yang sesat (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam) hanya ada dalam masalah agama. Adapun masalah
dunia, hukum asalnya semuanya mubah (boleh), kecuali yang dilarang oleh Allah
dan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka seorang yang naik pesawat dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Baitullah
adalah boleh, walaupun naik pesawat untuk pergi haji itu belum pernah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang tidak boleh adalah naik
pesawat untuk pergi haji ke Negeri Barat. Ini jelas bid'ah, karena haji itu
masalah agama yang harus mencontoh Rasul Shallallahu 'alahi wa sallam di dalam
pelaksanaannya, yaitu dilaksanakan di Makkah dan tidak boleh di tempat lain.
Maka perkara ibadah adalah semua perkara yang dilakukan dengan tujuan
ber-taqarrub (mendekatkan diri ) kepada Allah dan kita tidak boleh ber-taqarrub
kepada Allah kecuali dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh Allah.
Untuk memahami dan menguatkan hadits, "Setiap bid'ah adalah sesat", ada sebuah
kaidah yang datang dari para ulama salaf.
"Artinya : Jika bid'ah sudah merajalela, maka sunnah pasti akan mati"
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat dan merasakan kebenaran kaidah
tersebut, katika bid'ah-bid'ah sudah banyak dilakukan orang dalam berbagai macam
keadaan.
Orang-orang yang berilmu dan mempunyai banyak keutamaan tidak pernah mencium
mushaf ketika mereka mengambilnya untuk dibaca, padahal mereka adalah
orang-orang yang selalu mengamalkan isi Al-Qur'an. Sementara orang-orang awam
yang kerjanya mencium mushaf, hampir semua dari mereka adalah orang-orang yang
perilakunya jauh dan menyimpang dari isi Al-Qur'an.
Demikianlah orang-orang yang melaksanakan sunnah, dia akan jauh dari bid'ah.
Sebaliknya orang-orang yang melakukan bid'ah, dia pasti akan jauh dari sunnah.
Maka tepat sekali kaidah di atas : "Jika bid'ah sudah merajalela, sunnah pasti
akan mati".
Ada contoh lain lagi. Di beberapa tempat, banyak orang yang sengaja berdiri
ketika mereka mendengar adzan.Padahal di antara mereka ini adalah orang-orang
fasik yang selalu berbuat maksiat.
Ketika mereka ditanya : "Kenapa Anda berdiri ?" Jawab mereka : "Untuk
mengagungkan Allah". Begitulah cara mereka mengagungkan Allah dengan cara yang
salah, kemudian setelah itu mereka tidak pergi ke masjid untuk shalat berjama'ah
tetapi malah kembali bermain kartu atau catur, dan mereka merasa telah
mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dari mana ceritanya sampai mereka berbuat demikian? Jawabannya adalah dari
sebuah hadits plasu, bahkan hadits yang tidak ada asal-usulnya, yaitu.
"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka berdirilah" [Adh-Dhaifah No. 711]
Sebetulnya hadits tersebut ada asalnya, tetapi isinya telah diubah oleh sebagian
rawi (periwayat) pembohong dan rawi-rawi yang lemah hapalannya. Kata
"berdirilah" dalam hadits tersebut sebenarnya aslinya adalah "ucapkanlah".
Jadi yang sebenarnya hadits tersebut berbunya.
"Artinya : Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah (seperti lafadz adzan
tersebut)" [Shahih Muslim No. 184]
Demikialah, syetan menjadikan bid'ah itu indah dan baik di mata manusia. Dengan
melakukan bid'ah-bid'ah tersebut, orang-orang merasa telah menjadi seorang
mukmin yang mengagungkan syiar-syiar Allah, dengan cara mencium mushaf atau
berdiri ketika mendengar adzan.
Akan tetapi kenyataannya mereka adalah orang-orang yang pengamalannya jauh dari
Al-Qur'an. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang meninggalkan shalat. Kalau
toh di antara mereka ada yang shalat, mereka masih makan barang haram, makan
hasil riba atau memberi nafkah (keluarganya) dari hasil riba, atau menjadi
perantara riba, dan perbuatan lain yang berbau maksiat.
Oleh karena itu tidak boleh tidak, kita harus membatasi diri kita dalam ketaatan
dan peribadatan kepada Allah hanya dengan sesuatu yang telah disyariatkan oleh
Allah. Jangan kita tambah-tambah syariat Allah tersebut, walaupun satu huruf.
Sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Apapun yang Allah perintahkan kepada kalian, semuanya telah aku
sampaikan. Dan apapun yang Allah larang, semuanya telah aku sampaikan"
[Ash-Shahihah No. 1803]
Coba tanyakan kepada orang-orang yang suka mencium mushaf dan suka berdiri
ketika mendengar adzan : "Apakah anda lakukan semua ini dalam rangka beribadah
untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah)?" Kalau mereka bilang : "Ya"
Maka katakan kepada mereka : Tunjukkan kepada kami dalil dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam!" Kalau mereka tidak bisa menunjukkan dalil, maka
katakan bahwa perbuatan itu adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan
semua sesat pasti di neraka.
Mungkin diantara kita ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang
sangat ringan dan sepele. Pantaskah masalah sekecil ini dikatakan sesat dan
pelakunya akan masuk neraka ?"
Kalimat yang berbau syubhat ini telah dibantah oleh Imam Syatibi : "Sekecil
apapun bid'ah itu, dia tetap sesat. Jangan kita melihat bid'ah itu hanya wujud
bid'ahnya saja (seperti mencium mushaf, berdiri ketika mendengar adzan,
ushollii, adzan untuk mayit, dan seterusnya -pent-), tetapi mari kita lihat, mau
dikemanakan perbuatan-perbuatan bid'ah yang menurut kita kecil dan sepele itu?
Ternyata perbuatan ini akan dimassukkan ke dalam sesuatu yang besar, agung,
mulia dan sempurna yaitu ajaran Islam yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Seolah-olah ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam itu belum
begitu baik dan belum begitu sempurna sehingga masih perlu diperbaiki dan
disempurnakan dengan bid'ah-bid'ah tersebut. Dari sini sangat pantas kalau
bid'ah itu dinilai sebagai perbuatan sesat.
[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi Indonesia
Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid]