Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir-13 (AZ-ZAMAKHSYARI)
Kamis, 16 Februari 06
Nama Mufassir
Beliau adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi,
penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah.
Nama Kitab
Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil.
Aqidahnya
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia
memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78)
berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru
kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu,
berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”
Beliau demikian getol berdalil dengan ayat-ayat dalam rangka memperkuat
madzhabnya yang batil. Sebaliknya, ia selalu menakwil ayat-ayat yang dianggapnya
bertentangan dengan pendapatnya. Bahkan, ia merubah arah ayat-ayat yang
semestinya diarahkan kepada orang-orang kafir kepada Ahlussunnah yang ia sebut
sebagai ‘Hasyawiyyah’ ‘mujbirah’ dan ‘musyabbihah.’
Spesifikasi Umum Kitab Tafsirnya
Kitab tafsir karangannya memiliki keunggulan dari sisi keindahan al-Qur’an dan
balaghahnya yang mampu menyihir hati manusia, mengingat kemumpunian beliau dalam
bahasa Arab dan pengetahuannya yang mendalam mengenai sya’ir-sya’irnya. Tetapi
ia membawakan hujjah-hujjah itu untuk mendukung madzhab muktazilahnya yang batil
di mana ia memaparkannya dalam ayat-ayat al-Qur’an melalui pintu balaghah.
Karena itu, harus berhati-hati dengannya, khususnya bagi pemula dalam bidang ini.
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih
Ia menyinggung juga tentang permasalahan fiqih namun tidak memperluasnya. Diakui
bahwa ia dalam hal ini adalah seorang yang ‘moderat’, tidak fanatik dengan
madzhab ‘Hanafi’-nya.
Sikapnya Terhadap Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau memberikan perhatian penuh pada penjelasan kekayaan balaghah dalam hal
‘Ma’aani’ dan ‘Bayaan’ yang terdapat di dalam al-Qur’an. Tetapi, bila
ia melewatkan saja suatu lafazh yang tidak sesuai dengan madzhabnya, ia berupaya
dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna zhahir lafazh itu dengan
menetapkan makna lain untuknya dari apa yang ada di dalam bahasa Arab atau
mengarahkannya seakan ia adalah ‘Majaz’, ‘Isti’arah’ atau ‘Tamtsil’.
Sikapnya Terhadap Isra’iliyyat
Amat sedikit beliau menyinggung masalah Isra’iliyyat. Kalau pun ada, maka
ia dahului dengan lafazh, “Diriwayatkan” atau dengan mengatakan di akhirnya,
“Wallahu a’lam.”
Namun anehnya, ia malah menyebutkan beberapa hadits Mawdhu’ (palsu) mengenai
keutamaan-keutamaan surat-surat di akhir setiap surat.
(SUMBER: al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin
karya Abu Abdillah, Muhammad al-Mahmud an-Najdi, hal.16-17)